ahahahaha. betul dilema.
tapi gak usah ngomongin DPRD sekarang deh, yang isinya kader2 karbitan dan cabutan.
kalaupun DPRD itu isinya orang-orang yang berkualitas dan pinter-pinter, saya sendiri gak mau menyerahkan nasib saya ke mereka. jadi mirip2 oligarki dan tentunya rentan manipulasi.
kalau soal boros dan makan waktu, menurut saya itu sih "harga" yang harus kita "bayar" untuk demokrasi. Harga yang harus dibayar karena kita bisa berpartisipasi secara langsung dalam sebuah proses politik.
Jadi saya rasa, kalau gara2 boros dan makan waktu lalu kita menyerahkan begitu aja ke DPRD, kok kayanya pertimbangannya gak esensial?
mengenai rentan konflik, gak ada yang menjamin kalau pemilihan tidak langsung bakal minim konflik. Jangan bandingin sama Orba, karena situasi dan kondisi pada saat itu jauh berbeda (dwifungsi ABRI dan produk2 turunannya)
Lagipula, kalaupun ada konflik, memang berapa banyak konflik (horizontal) yang terjadi selama pilkada langsung?
kalau berdasarkan data International Crisis Group di tahun 2010, ada 20 konflik horizontal dari 244 pilkada yang berlangsung. (lihat International Crisis Group, Indonesia: Preventing Violence in Local Elections, Asia Report N°197 – 8 December 2010).
kalau dari persentasenya, berarti lebih kurang 20% terjadi konflik horizontal. toh itu juga semua selesai. dan saya rasa, solusi untuk mencegah konflik horizontal bukan dengan menyerahkan kewenangan memilih ke DPRD, tapi justru meningkatkan kualitas pendidikan politik, terutama dari pihak2 terkait (parpol, politisi, LSM, KPU, Bawaslu, Pemerintah, DPRD, dll)