@ mbak Mbok & nak Fere (yg lain menyusul yak...)
Ikutan nyeletuk juga ya, soale itu ada kaitan dgn tulisan awal saya yg didepan...
Kalo saya pribadi, ttg ucapan "assalamu alaikum" digunakan dlm adab bertamu (ataupun adab2 yg lain dlm bermasyarakat) saya ndak mempermasalahkannya. Sepanjang kalimat tsb ditempatkan sepenuhnya sbg bagian dr 'budaya/tradisi' (social custom) yg artinya bisa diterima oleh masyarakan scr umum, baik itu yg memberi/mengucapkan salam maupun yg menerima/mendengar maka menurutku oke2 aja. Yg terpenting, namanya juga adab, cara penyampaian/pengucapannya ya mesti beradab.
Dan sebagai (bagian dari) sebuah budaya, ya harus dipahami karakter ttg budaya, termasuk segala konsekuensi dan implikasinya logisnya kalo ada.
Artinya, sbg budaya luar yg diserap oleh budaya lokal, "assalamu alaikum" ya mesti manut dan tunduk dgn karakter budaya lokal, bukan sebaliknya 'menjajah' (mengatur) budaya lokal.
Misalnya dlm hal bertamu hendak masuk rumah orang, dlm budaya lokal ndak ada adab 'mendoakan' scr eksplisit ketika ketok pintu ato pagar, yg ada adalah adab mengucapkan "permisi, selamat pagi/siang/sore/malam, punten, kulonuwun, dll". Kalo "assalamu alaikum" mau masuk ke adab ini ya mesti 'menyesuaikan diri', artinya kalimat tsb bisa saja maknanya harus digeser ato terjadi pergeseran makna, bukan sekedar 'makna harfiah' aja. Artinya "assalamu alaikum" hanyalah (salah satu) adab kesopanan untuk memberikan tanda/isyarat (dlm bertamu). Tidak kurang tidak lebih. Tidak ada makna harfiahnya lagi, sengaja dan memang harus dihilangkan.
Atau kalo tidak, ya coret aja salam tsb dari adab bertamu, ndak usah dipaksakan untuk mengantikan salam2 lokal.
Masalahnya, ini yg bisa bikin ribet, kalo misalnya ada pihak tertentu yg merasa memiliki scr ekslusif kalimat tsb. Maunya memasukkan kalimat tsb tanpa memahami karakter budaya lokal itu sendiri. Kalo ini sih menurutku udah sebuah bentuk 'penjajahan budaya'. Sebagai 'orang lokal', saya ndak setuju. Kalo tetep ngeyel ya mendingan ditendang keluar sekalian n dibalikin ke yg punya.
Tapi bagaimanapun, kita mestinya tetap berusaha untuk bisa menjadi 'tuan rumah' yg baik. Sepanjang 'tamunya' bisa bersikap baik ya kita terima dgn tangan terbuka. Itu malah bisa 'memperindah rumah kita' kok. Tapi kalo 'tamunya kurang ajar' ya suruh ke laut aja.
Itu juga berlaku untuk budaya2 luar lain yg ingin 'bertamu ke rumah kita'. Semua tergantung 'tamu tsb', baik itu 'siapa tamu tsb' maupun bagaimana 'cara/sikap dia bertamu'. Ente jual, ane borong.
Tapi kalo untuk dikatikan dgn 'agama' sih saya no komen, krn saya memandang agama itu masuk ranah pribadi/individu, bukan ranah 'sosial masyarakat' (budaya/tradisi) lagi. Tapi ini cuman soal pilihan cara pandang aja lho. Artinya kalo mau pake cara pandang lain pun bisa aja saya ikuti. Saya manut aja, yg penting asal konsisten. :tuing:
Tapi apa iya bisa/mau? Apa iya ndak ada yg tersedak kalo saya bilang agama itu adalah bagian dari budaya? Jgn2 saya ntar malah dibilang merendahkan makna agama, bisa2 digebukin banyak orang.
Note: Saya sendiri kalo bertamu ke rumah orang Muslim (baca: beragama Islam) saya selalu ucapkan "assalamu alaikum" lho. Begitu juga kalo masuk rumah sendiri pulang dari bepergian (pulang kerja misalnya), maka pada saat buka pintu saya pun selalu ucapkan salam tsb. Sekedar adab aja, tidak kurang tidak lebih.