(Masih) Tentang Puisi Itu
Jadi, kisah mengenai tuduhan plagiasi terhadap Douglas Malloch (DM) oleh Taufiq–pakai Q–Ismail (TI) yang dituduhkan oleh paman saya sendiri, Bramantyo Prijosusilo masih bergulir, bahkan ke babak yang jauh lebih dalam dan intens.
Penyair yang saya panggil dengan sebutan Eyang Kakung sering berkata untuk: “tidak membenarkan yang salah, namun tanpa kebencian” (maaf jika salah kutip, saya bukan penghapal verbatim), dan itulah yang aya coba lakukan saat ini. Saya tidak punya sentimen apa-apa terhadap bapak TI, baik positif ataupun negatif. Ini semua semata-mata karena rasa penasaran saya terhadap kasus ini.
Anak muda jaman sekarang pasti menganggap saya “kepo”, tapi biarkanlah. Toh saya juga masih piyik.
Jadi, apa yang menarik dari kasus ini?
Awal tuduhan ini berasal dari penemuan dua puisi yang nyaris serupa. Puisi bahasa Indonesia yang diklaim dan dikenali oleh khalayak ramai sebagai karya seseorang yang bernama “Taufik Ismail” (pakai K), dan puisi dari seorang penulis dari akhir abad 19 bernama Douglas Malloch. Sepasang puisi yang jika disandingkan jelas terlihat memiliki identitas, struktur, dan makna yang nyaris 100 % serupa.
Dan ketika isu ini perlahan terangkat, mulailah semua keributan, saling menyerang, saling menuduh dan saling klarifikasi. Semua ini terjadi di Facebook. Berakhirlah ini dengan sebuah status yang terkutip di bawah ini:
Taufiq Ismail bilang kepada Fadli Zon bahwa puisi “Kerendahan Hati”, terjemahan karya Douglas Malloch, bukan kerjaan dia. Saya minta maaf telah menjerumuskan Soe Tjen Marching, Chandrasa Sedyaleksana,Antonius Made Tony Supriatma, Odji Lirungan, Kris Budiman dan kawan-kawan soal ini. TI, dalam hal ini, bukan plagiator.
Serta satu lagi:
”Jadi dengan rendah hati saya mohon maaf. Saya mohon maaf bukan hendak lari dari tanggungjawab kesalahan, tetapi sebagai upaya memperbaiki adab saya sendiri,”
Lucu bahwa kemudian ada pembicaraan mengenai pihak TI ingin menuntut pihak BP (Bramantyo Prijosusilo, bukan Bambang Pamungkas) atas pencemaran nama baik dan “fitnah”.
Maaf, tapi “fitnah”?
Seperti sudah diuraikan di atas, ada sebuah puisi yang tersebar atas nama Taufik Ismail, dan dengan banyaknya pihak yang memasang puisi itu di jagat daring (sekitar 8000an) tanpa satupun sangkalan dari pihak yang disangkakan menulis puisi itu. Bahkan, sebuah buku pelajaran SMP memuat puisi itu atas nama “Taufik Ismail”. Wajarkah jika seseorang menyangka bahwa puisi bermasalah itu memang karya Taufiq Ismail? Saya rasa “ya” adalah jawaban yang tepat.
Mari tidak berfokus bahwa di berita itu dikatakan Taufiq Ismail mengatakan “David Malloch” bukannya “Douglas Malloch”.
“Fitnah” ada ketika sebuah tuduhan palsu dilancarkan. Tapi apakah plagiasi ini sebuah tuduhan palsu? Saya sudah uraikan kondisinya di atas, jadi instead of “fitnah” saya rasa “salah paham” adalah kata yang lebih tepat. Seperti juga “plagiarisme”, “fitnah” juga merupakan tuduhan yang keras.
Idealnya seseorang yang menemukan puisi itu mengkonfirmasi pada pihak yang bersangkutan sebelum menyatakan sebuah tuduhan. Namun, bukankah naif jika kita berharap semuanya berjalan dalam kondisi ideal?
Seperti mungkin saya naif mengharap bahwa penyelesaian kasus ini tidak perlu sampai meja hijau karena idealnya, ini diselesaikan secara empat mata. Apalagi permintaan maaf sudah diucapkan, kondisi yang adalah sebuah kesalahpahaman, bukan fitnah.
Apa yang dilakukan seorang Bramantyo Prijosusilo itu memang salah. Selain terlalu hasty, pemilihan kata yang tidak tepat memang membawa impact negatif pada mereka yang membaca. Namun di sisi lain, bukankah orang yang sama juga mengakui kesalahannya di media yang sama, bahkan di koran nasional (yang secara ironis masih menggunakan “K” bukannya “Q”) ? Klarifikasi sudah terjadi, nama sudah dibersihkan, masih pentingkah tuduhan “pencemaran nama baik” ketika nama yang tercemar itu sudah dibersihkan melalui media yang sama?
Toh coba periksa semua portal berita yang memuat berita ini dan bacalah komentar pembacanya. Lihatlah berapa banyak yang membela TI di sana. Benarkah nama Taufiq Ismail “tercemar”?
Entahlah, mungkin yang bersangkutan merasa itu tidak cukup. Tapi toh tuntutan itu belum terjadi, dan mari kita semua berharap tuntutan yang kurang bijaksana itu tidak terjadi. Selain buang uang, tenaga, dan waktu, dan tidak ada faedahnya.
Saat ini, jujur saja, lebih baik kita mencari tahu siapakah “Taufik–pakai K–Ismail” itu sebenarnya. Puisi ini pernah muncul dalam kutipan-kutipan Soe Hok Gie dan lagu Abah Iwan juga, meskipun jauh kalah populer dari Taufik Ismail dan mereka tidak mencantumkan siapa penulis puisi tersebut. Bukankah kebenaran ini, sumber salah paham ini, jauh lebih penting dibanding menyerang seseorang yang merupakan korban salah paham?
Entahlah, saya hanyalah seseorang dengan selisih usia setengah abad dengan Taufiq Ismail. Siapalah saya untuk memberikan nasihat, saya hanya bisa beropini sambil mencari tahu mengenai fakta yang menurut saya jauh lebih penting ketimbang saling membacok, baik dengan kata-kata maupun dengan somasi.
Lagipula, bukankah sebaiknya seorang Taufiq Ismail peduli bahwa ada seseorang mendompleng namanya, bahkan mungkin mendapat keuntungan moneter dari sana?