Skrg kan lagi rame2nya ngomongin Interpelasi Dahlan Iskan
Menurut luuuu????
Dari Pihak yg mendukung Interpelasi DI
Jakarta - Indonesia Audit Watch (IAW) memandang, DPR pantas mengajukan hak interpelasi kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, karena mendelegasikan kewenangannya sebagai menteri kepada jajaran eselon I. Pasalnya, kebijakan tersebut melanggar pasal 15 Undang-Undang BUMN No 19 tahun 2003.
"Bila mencermati hal itu, maka sudah sangat pantas bagi DPR mengoreksi perilaku yang lari dari fatsun (kebiasaan/etika) managemen kinerja yang benar dan managemen yang berlaku di Kementerian BUMN," kata Sekretaris IAW Iskandar Sitorus, di Jakarta, Minggu (15/4).
Menurutnya, jika DPR tidak mengkritisi kebijakan itu, DPR bisa dipersalahkan karena membiarkan adanya dugaan perbuatan a-managemen birokrasi di Kementerian BUMN tersebut.
Ditegaskan Iskandar, DPR tidak perlu takut melakukan fungsi pengawasan yang dimandatkan undang-undang agar kementerian BUMN melaksanakan kinerja sesuai koridor hukum, meskipun langkah DPR itu tidak menarik perhatian, bahkan mungkin dicibir publik.
"DPR harus tetap melakukan kontrol terhadap Kementerian BUMN, walau kinerja DPR itu tidak didukung dengan pujian, karena kinerja yang baik, bukan harus mendapat pujian atau sanjungan, tapi bisa meningkatkan kualitas kinerja institusi," bebernya.
Iskandar menilai, langkah Dahlan mengunjungi dan tidur di rumah penduduk, makan soto di Soto Kudus Kauman, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, serta naik kereta listrik dan ojek hanyalah upaya pencitraan diri.
"Itu hanya skenario dan pencitraan Dahlan saja. Benarkah tugas pokok dan fungsi menteri mengunjungi masyarakat dan tidur bersama masyarakat pada saat banyak BUMN masih bermasalah serta merugi, seperti IPO Krakatau Steel, IPO Garuda, dan lain-lain?" ungkapnya.
Selain itu, upaya penciptaan opini publik bahwa gaya managemennyalah yang paling baik. Padahal, saat menjadi Dirut PT PLN Persero tahun 2009 dan 2010, PT PLN Persero melakukan managemen in-efisien senilai kurang-lebih Rp37 triliun yang kemudian menyalahkan pemerintah karena dianggap tidak siap menyediakan gas bagi PLN.
Kemudian, 15 persoalan mendasar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terkait pelayanan PT Jasa Marga (JM) pada tahun 2009 dan 2010, hingga 2011 gagal di dituntaskan jajaran direksi penyelenggara jasa tol yang diangkat era Dahlan.
"Penggerudukan pertugas kontrol pelayanan pintu tol PT JM tidak bisa memperbaiki sistem. Menteri idealnya melakukan penataan managemen PT JM," pungkasnya.
Iwan Setiawan/Editor: Tian Arief
----
DARI YG TDK MENDUKUNG INTERPELASI DI :
Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal DPP Demokrat, Ramadhan Pohan, menyatakan partainya maklum jika partai-partai lain tidak suka dengan kebijakan dan langkah Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan. Bagi Demokrat, Dahlan sudah bekerja dengan baik selama ini.
Ujung ketidaksukaan politisi tersebut, adalah rencana pengajuan hak interpelasi kepada pemerintah terkait penerbitan Surat Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 236 Tahun 2011.
"Dahlan itu middle class darling. Publik dan kelas menengah suka gaya, karakter, dan pola Dahlan. Sebab ia lugas, apa adanya, nggak bertele-tele, anti birokrasi panjang, result oriented, anti mewah, sedikit bicara banyak kerja, dan lain-lain," ujar Ramadhan, hari ini.
Demokrat sendiri, lanjut Ramadhan, mendukung Dahlan Iskan karena kinerja yang baik membantu presiden. Tapi, imbuhnya, banyak politisi dari partai politik lain yang gerah dengan tindak tanduk Dahlan tersebut. "Maklum lah."
Namun Ramadhan tidak menjelaskan lebih rinci mengenai alasan kemaklumannya tersebut.
Sejumlah anggota DPR, khususnya dari Komisi V, menilai SK No 236/2011 ini bermasalah. Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-236/MBU/2011 tentang Pendelegasian Sebagian Kewenangan dan/atau Pemberian Kuasa Menteri Negara BUMN sebagai Wakil Pemerintah selaku Pemegang Saham/RUPS pada Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan Terbatas serta Pemilik Modal pada Perusahaan Umum (Perum) kepada Direksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Pejabat Eselon I di Lingkungan Kementerian BUMN ini bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Setidaknya, ada empat kasus dalam SK tersebut yakni:
1. Penunjukan direksi BUMN tanpa melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sehingga melanggar Pasal 15 UU Nomor 19/2003 tentang BUMN;
2. Penunjukkan direksi BUMN tanpa melalui Tim Penilai Akhir (TPA), sehingga mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas, seperti diamanatkan Pasal 16 UU Nomor 19/2003 tentang BUMN;
3. Pengangkatan kembali direksi BUMN yang memiliki rekam jejak negatif sebagaimana Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Akibatnya melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), seperti diamanatkan Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 19/2003 tentang BUMN.
4. Pengangkatan kembali direksi BUMN untuk masa jabatan ketiga kalinya, sehingga melanggar Pasal 16 ayat 4 UU Nomor 19/2003 tentang BUMN.
SK tersebut dianggap memberikan pelimpahan wewenang kepada direksi BUMN untuk melakukan penjualan aset. Akibatnya, diduga kuat, telah terjadi penjualan aset BUMN--dengan kata lain aset negara-- yang dilakukan langsung oleh direksi BUMN terkait, tanpa melalui mekanisme yang seharusnya.
Padahal, sesuai pasal 24 ayat (5) UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 45 dan 46 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, penjualan aset BUMN harus melalui persetujuan DPR, Presiden, dan atau Menteri Keuangan, sesuai tingkat kewenangan masing-masing.