Page 2 of 4 FirstFirst 1234 LastLast
Results 21 to 40 of 78

Thread: [Tokoh] Sapardi Djoko Damono

  1. #21
    selingan, kabar terakhir SDD


    Sapardi Tak Pernah Berhenti
    Minggu, 28 Maret 2010 | 03:49 WIB

    Ilham Khoiri

    Sapardi Djoko Damono, salah satu penyair kuat Indonesia, kini sudah berusia 70 tahun. Dia masih sehat, produktif, dan karya-karyanya terus diapresiasi masyarakat. Bagaimana dia menjaga energi kreatifnya?

    Sapardi tampak segar dengan setelan kemeja krem, kaus dalam putih, dan celana gelap, Jumat (26/3) pagi itu. Setelah sarapan pagi, yang hampir selalu dia buat sendiri, lelaki itu memeriksa beberapa buku.

    ”Ini buku-buku saya yang pernah diterbitkan di luar yang ditarik kembali untuk diterbitkan sendiri,” katanya. Sapardi bercerita sambil duduk santai di ruang tengah rumahnya yang bersahaja di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia di kawasan Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

    Tahun 2009, penyair itu membuat penerbitan Editum. Semua bukunya, baik berupa kumpulan puisi, esai, maupun cerita, ditarik lagi. Setelah melewati editing naskah dan format ulang tampilannya, buku-buku itu kemudian dicetak kembali.

    Yang menarik, semua proses itu dikerjakan sendiri oleh Sapardi. Untuk mengedit dan me-layout naskah, dia memanfaatkan program Microsoft World yang disimpan dalam format PDF. Setelah beres, naskah itu dicetak terbatas, sesuai dengan permintaan. Hingga kini, sudah 14 buku yang diterbitkan dengan cara itu.

    ”Penerbitan ini untuk memenuhi permintaan banyak orang yang masih mencari buku saya. Padahal, beberapa buku lama sudah tak beredar lagi di pasaran,” katanya.

    Penerbitan itu hanya salah satu dari kegiatan yang dijalani lelaki yang lahir di Solo, 20 Maret 1940, itu. Hingga masa tuanya, dia masih aktif berkarya: membuat puisi, menulis esai sastra dan budaya, mengarang cerita, menerjemahkan, serta menulis makalah.

    Sudah 20-an buku sastranya yang terbit, sebagian besar berupa kumpulan puisi. Setelah DukaMu Abadi (1969), menyusul kemudian beberapa kumpulan puisi lainnya, Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2002), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), dan Kolam (2009).

    Dia juga rajin mengajar dan membimbing penelitian di beberapa kampus. Sapardi pernah menjadi Dekan Fakultas Sastra UI sekaligus guru besar. Juga pernah menjadi redaktur majalah Horison, Basis, dan Kalam serta mengisi diskusi dan membacakan puisi.

    ”Sampai sekarang, saya tetap membaca, menulis, dan bekerja agar tidak pikun,” katanya sambil tersenyum.

    Liris

    Dengan ketekunan semacam itu, Sapardi melakukan uji coba dan terobosan dalam sastra Indonesia. Tahun 1960-an, karya-karyanya cenderung bernuansa kelam dan murung, seperti tampak dalam DukaMu Abadi. Tahun 1970-an, puisi-puisinya banyak menghadirkan benda-benda keseharian yang hidup dan bisa bicara, seperti manusia. Baca saja kumpulan puisi Akuarium.

    Tahun 1980-an, dia banyak membuat acuan tokoh-tokoh mitologi. Tahun 1990-an, dia menggumuli tema-tema sosial dengan kritis dan tajam. Corak ini diwakili puisi-puisi dalam Arloji dan Ayat-ayat Api.

    Tahun 2000-an, dia menulis sajak-sajak panjang, seperti dalam Den Sastro. Lalu, pada akhir tahun 2000-an, lelaki bertubuh ringkih ini memaksimalkan permainan perangkat tradisi tulis (seperti titik, koma, titik dua, huruf miring, atau huruf tebal) untuk merekam gumaman atau celetukan yang tak terdengar. Itu terasa pada puisi-puisi dalam Kolam.

    ”Saya bosan dengan satu corak bahasa, dan ingin terus bereksperimen,” katanya.

    Meski begitu, Sapardi telanjur dikenal sebagai penyair dengan puisi-puisi liris. Puisi jenis ini memproses perkembangan pikiran dan perasaan yang subtil. Diksinya tajam, halus, dan rumit, tetapi tak kentara.

    Dalam karyanya, benda-benda keseharian (seperti hujan, gerimis, angin, gunung, pohon, senja, kucing, pisau, atau langit) hadir berdenyut hidup. Bahasanya bersahaja, tetapi penuh imaji, jernih, dan dalam. Kualitas seperti itu menjadikan karya-karyanya sangat populer: kerap dikutip, dimainkan dalam musik, film, sandiwara, sinetron, atau dicantumkan dalam kalender, bahkan undangan perkawinan.

    Dalam kuliah umum tentang puisi Sapardi di Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat sore, pengamat sastra Nirwan Dewanto mengatakan, puisi-puisi Sapardi mudah digemari karena genap dalam gramatika dan semantik. Puisi-puisinya berada di tengah sebagai titik moderat antara puisi amanat dan puisi gelap, antara puisi pamflet dan puisi eksperimental.

    ”Itulah puisi yang menengahi konvensi di satu pihak dan avantgardisme yang keras kepala di pihak lain. Puisi yang merawat ambiguitas sekaligus memperkuat hubungan dengan pembaca dan bahasa,” tulis Nirwan dalam makalahnya yang panjang.

    Energi

    Hingga usia 70 tahun, Sapardi tak berhenti berkreasi. Banyak orang penasaran, bagaimana dia memperoleh dan mengelola energinya? ”Menulis itu seperti petualangan dalam pikiran. Saya terus tertantang untuk menjelajahi hal-hal baru,” katanya.

    Ketika sudah mulai menulis, seorang penyair seperti tersedot dalam arena pertarungan. Dia berjibaku untuk menemukan kata, menyusunnya menjadi kalimat, memotong, menghapus, menimbang-nimbang, sampai kemudian membuahkan puisi. Persis seperti tukang yang bergelut mengutak-atik kata.

    Pertarungan itu kadang tak mudah. Saat menulis puisi tentang Marsinah (buruh pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur, yang tewas dibunuh penguasa), misalnya, Sapardi membutuhkan waktu tiga tahun, dari tahun 1993 sampai 1996. ”Saya sulit mengontrol dan menyusun kata-kata karena rasanya marah sekali.”

    Setelah rampung, puisi itu diberi judul Dongeng Marsinah. Ini beberapa petikannya:

    ”Di hari baik bulan baik,/ Marsinah dijemput di rumah tumpangan/ untuk suatu perhelatan… Dalam perhelatan itu/ kepalanya ditetak,/ selangkangnya diacak-acak,/ dan tubuhnya dibirulebamkan/ dengan besi batangan.. Detik pun tergeletak,/ Marsinah pun abadi. Marsinah itu arloji sejati/ melingkar di pergelangan tangan kita ini.”
    you can also find me here

  2. #22
    pelanggan setia et dah's Avatar
    Join Date
    Jun 2011
    Location
    Land Between Solar Systems
    Posts
    3,911
    njiss bener-bener keren ini orang..

  3. #23
    (Hal.3)

    selamat malam, langit, apa kabar selama ini?
    barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya
    ia pernah membenci langit dahulu,
    ketika musim kapal terbang seperti burung
    menukik: dan kemudian ledakan-ledakan
    (saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoa
    dan terbawa pula namanya sendiri )
    kadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara saja
    ke tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dingin
    ia ingin lekas kawin, membangun tempat tinggal.

    ia pernah merasa seperti si pandir menghadapi
    angka-angka ... ia pun tak berani memandang dirinya sendiri
    ketika pada akhirnya tak ditemukannya kuncinya
    pada suatu saat seorang gadis adalah bunga,
    tetapi di lain saat menjelma sejumlah angka
    yang sulit. ah, ia tak berani berkhayal tentang biara.

    ia takut membayangkan dirinya sendiri. ia pun ingin lolos
    dari lampu-lampu dan suara-suara malam hari,
    dan melepaskan genggamannya dari kenyataan;
    tetapi disaksikannya: berjuta orang sedang berdoa,
    para pengungsi yang bergerak ke kerajaan tuhan,
    orang-orang sakit, orang-orang penjara,
    dan barisan panjang orang gila.
    ia terkejut dan berhenti,
    lonceng kota berguncang seperti sedia kala
    rekaman senandung duka nestapa.

    seorang perempuan tua tertawa ngeri di depannya, menawarkan
    sesuatu.
    ia menolaknya.
    ia tak tahu kenapa mesti menolaknya.
    barangkali karena wajah perempuan itu mengingatkannya
    kepada sebuah selokan, penuh dengan cacing;
    barangkali karena mulut perempuan itu
    menyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanya
    seperti gula-gula yang dikerumuni beratus semut.
    dan ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk itu.
    kepada siapa gerangan tuhan berpihak, gerutunya.
    you can also find me here

  4. #24
    (Hal. 4)

    ia menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiri;
    atau membawa perempuan, atau bergerombol,
    wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal,
    wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman,
    wajah-wajah yang ia cinta dan ia kutuk,
    semua sama saja.
    barangkali mereka mengangguk padaku, pikirnya;
    barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama
    berpisah
    atau setelah terlampau sering bertemu. ia berjalan ke barat.

    selamat malam. ia mengangguk, entah kepada siapa;
    barangkali kepada dirinya sendiri. barangkali hidup adalah
    doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras.
    ia merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga;
    ia pun bergegas.
    barangkali hidup adalah doa yang...
    barangkali sunyi adalah...
    barangkali tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke arah barat.

    1964
    you can also find me here

  5. #25
    "...barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras..."

    you can also find me here

  6. #26
    pelanggan setia et dah's Avatar
    Join Date
    Jun 2011
    Location
    Land Between Solar Systems
    Posts
    3,911
    yang artinya ??

  7. #27
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Bapak ini... bahasa puisinya manis... romantis gak alay

    *gak bosen baca2 puisi2nya>.<
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  8. #28
    TENTANG SEORANG PENJAGA KUBUR YANG MATI (Hal.5)


    bumi tak pernah membeda-bedakan. seperti ibu yang baik,
    diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan
    membusuk, seperti halnya bangkai binatang; pada
    suatu hari seorang raja, atau jenderal, atau pedagang,
    atau klerek - sama saja;


    dan kalau hari ini si penjaga kubur, tak ada bedanya. ia
    seorang tua yang rajin membersihkan rumputan,
    menyapu nisa, mengumpulkan bangkai bunga dan
    daunan; dan bumi pun akan menerimanya seperti ia
    telah menerima seorang laknat, atau pendeta, atau
    seorang yang acuh tak acuh kepada bumi, dirinya.


    toh akhirnya semua membusuk dan lenyap. yang mati tanpa
    genderang, si penjaga kubur ini, pernah berpikir:
    apakah balasan bagi jasaku kepada bumi yang telah
    kupelihara dengan baik; barabgkali sebuah sorga atau
    ampunan bagi dusta-dusta masa mudanya. tapi sorga
    belum pernah terkubur dalam tanah.


    dan bumi tak pernah menbeda-bedakan, tak pernah
    mencinta atau membenci; bumi adalah pelukan yang
    dingin, tak pernah menolak atau menanti, tak akan
    pernah membuat janji dengan langit.


    lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak
    bisa menjaga kuburnya sendiri.


    1964
    you can also find me here

  9. #29
    SAAT SEBELUM BERANGKAT (Hal.6)


    mengapa kita masih juga bercakap
    hari hampir gelap
    menyekap beribu kata di antara karangan bunga
    di ruang semakin maya, dunia purnama

    sampai tak ada yang sempat bertanya
    mengapa musim tiba-tiba reda
    kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini
    di luar para pengiring jenazah menanti.

    1967
    you can also find me here

  10. #30
    pelanggan setia et dah's Avatar
    Join Date
    Jun 2011
    Location
    Land Between Solar Systems
    Posts
    3,911
    beud ... penjaga kubur yg mati judulnya aja sudah tidak biasa


    juara
    Last edited by et dah; 28-09-2011 at 01:47 PM.

  11. #31
    saya kok merinding yah baca puisi yg ntuh?
    you can also find me here

  12. #32
    pelanggan setia et dah's Avatar
    Join Date
    Jun 2011
    Location
    Land Between Solar Systems
    Posts
    3,911
    jd inget wawncara seorang penjaga kuburan mewah di eropa sana ( prancis / italy gw lupa) pokonya batu nisannya semua di bikin patung sama pemahat yang terkenal.
    sang penjaga makamnya itu pun gajinya tidak sedikit. kalau tinggal di indonesia mungkin bisa beli sedan mewah, rumah , kolam renang
    ketika ditanya oleh bbc "anda ingin dimakamkan dimana?" tanya reporter. Jawabnya enteng banget " saya ingin di kremasi "



    bener ya , siapa pun ngga ada yg kelewat oleh ajal ::skeriii::
    Last edited by et dah; 28-09-2011 at 01:57 PM.

  13. #33
    pelanggan tetap nerissa's Avatar
    Join Date
    Jul 2011
    Posts
    1,574
    weis..rame thread ini

    mhhh

    gudd

    aku sih suh donlot yg 'perahu kertas'
    Sabbe sattha bhavanthu sukhitatta.

  14. #34
    Ada satu puisi yang paling kuinget
    pernah kubacakan ketika workshop keaktoran dan gerak bareng Sujiwo Tedjo dulu

    TAPI

    aku bawakan bunga padamu
    tapi kau bilang masih

    aku bawakan resahku padamu
    tapi kau bilang hanya

    aku bawakan darahku padamu
    tapi kau bilang cuma

    aku bawakan mimpiku padamu
    tapi kau bilang meski

    aku bawakan dukaku padamu
    tapi kau bilang tapi

    aku bawakan mayatku padamu
    tapi kau bilang hampir

    aku bawakan arwahku padamu
    tapi kau bilang kalau

    tanpa apa aku datang padamu
    wah!

  15. #35
    Ah, salah kan gue, itu puisinya Sutardji Calzoum Bahri, bukan Sapardi
    dasar dodol

  16. #36
    Chief Cook etca's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    aarde
    Posts
    11,135
    Gpp, anggap aja ada commercial break

  17. #37
    pelanggan setia et dah's Avatar
    Join Date
    Jun 2011
    Location
    Land Between Solar Systems
    Posts
    3,911
    aku tuliskan puisi padamu
    tapi kau bilang ada commercial break

  18. #38
    BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH (Hal.7)

    berjalan di belakang jenazah angin pun reda
    jam mengerdip
    tak terduga betapa lekas
    siang menepi, melapangkan jalan dunia

    di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
    di atas: matahari kita, matahari itu juga
    jam mengambang diantaranya
    tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

    (1967)
    you can also find me here

  19. #39
    SEHABIS MENGANTAR JENAZAH (Hal. 8)

    masih adakah byang akan kautanyakan
    tentang hal itu? Hujan pun sudah selesai
    sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap
    di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja

    pulanglah dengan payung di tangan, tertutup
    anak-anak kembali bermain di jalanan basah
    seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
    barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya

    masih adakah? Alangkah angkuhnya langit
    alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
    seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan
    pada sebuah gua yang akan menjadi sepi tiba-tiba

    1967
    you can also find me here

  20. #40
    dua puisi ini malah bikin murung

    kata-kata yang bersahaja, namun mengena
    you can also find me here

Page 2 of 4 FirstFirst 1234 LastLast

Tags for this Thread

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •