Judul Buku : To Kill A Mockingbird
Pengarang : Harper Lee
Buku lama banget, telat saya baru baca sekarang, karangan harper lee. Dapatnya pas buku murah mi*zan. Lumayan buat bacaan sebelum tidur, dua malam dibaca tamat. Ga gitu tebal ko.
Awal-awal membaca seakan-akan terbawa ke nuansa dan suasana yang dibawa oleh and*rea hir*ata dalam LP (dimaafkan, ga ada referensi lain ya, jarang-jarang baca soalnya).
PoV aku yang dituturkan oleh seorang bocah kecil, suasana pedesaan, ada penggambaran anak kecil bin dekil masuk sekolah (lintang???), ada salah satu penduduk kampung yang misterius dan jarang keliatan (bodenga???), ada teman baru yang gayanya seniman banget (mahar???), ada guru cewe yang manis-manis-ketus. Dan yang lebih penting: cerita ini mengangkat adanya kesenjangan antar ras di sini. Kalau kita liat di LP, ada kesenjangan antara etnis melayu vs jawa. Di sini kulit hitam vs kulit putih. Yang kayak-kayak gitu. Oh, ya. Juga ada nuansa film Green Mile. Tapi, dikit sih.
Tapi, setelah dibaca lebih lanjut, ini memang jauh panggang dari api dengan LP. Walaupun, dari judulnya (burung mockingbird?) agak menggiring kita ke arah sana, mengingat las*kar pela*ngiselain diakui sebagai noveljuga merangkap sebagai ensiklopedi burung dan tanaman. Futnote tentang burung dan tanamannya banyak nian. Kayak skripsi anak Jurusan Perburungan (emang ada gitu?). Tapi, enggak ah. Nggak mirip.
Memang saya akui juga sih, sedari awal sampai akhir, saya ingat LP terus pas baca ini. Apalagi pas di bagian-bagian akhir. Padahal, memang gak kentara ya? Ga tau kenapa. Aroma bodenga-nya itu lo.
Udah ah, kok malah ngomongin and*rea hir*ata terus? Ga nyambung.
Opening dibuka dengan suasana saat sang anak yang bernama Scout Finch (Finch ini nama burung, bukan ya?), dan abangnya Jem Finch masuk sekolah untuk pertama kalinya. Si Scout maksudnya. Baru nyadar kalo si Scout ini cewek, setelah baca bab sembilan-sepuluhan ke depan gitu. Ga ada petunjuk di awal-awal kalau beliau ini adalah he/she sih. Terjemahan soalnya. Kalau main, dia suka main sama laki-laki (jangan ngeres lho), tidak memakai pakaian cewe, kadang-kadang suka berantem, dsb. Kalau mau kenal sosoknya, bayangin aja nirina zubir versi anak-anak, dalam sebuah drama bule.
Cewek yang ga punya teman lain selain abangnya, dan tergila-gila sama kemisteriusan seseorang yang mengidap sedikit keanehan. Hikkikomori ya, istilahnya?
Penuturannya asik, ga ada deskripsi panjang yang melelahkan, dialog-dialognya bervariasi. Si pengarang menyelipkan banyak dialog tak langsung, meminimalisasi pengulangan berkata, kata Jem, katanya, dsb. Setiap bab, hampir selalu ditutup dengan paragraf-kalimat manis (pas buat jeda iklan). Mmm, tetapi cukup mengundang kita untuk membaca bab selanjutnya.
Mengingat biasanya, novel yang berkisar pada kehidupan anak-anak lugu bersama orang-orang dewasa di sekelilingnya, sangat berpeluang terjerumus menjadi Cerita Ceramah Satu Arah. Tapi gak. Ada juga mengarah ke situ memang di pertengahan cerita, tapi disamarkan melalui dialog, adegan-adegan, dan humor dikit-dikit dalam kacamata seorang bocah. Dan selama membaca, ga merasa dikuliahi sihbeda nuansa kaya baca bukunya si pa*ulo coe*lho.
Selaku anak yang tumbuh dan besar di Indo ( dan agak kurang gaul dikit), saya agak aneh juga pas baca: si Scout manggil nama ayahnya sebagai : Atticus, langsung plek gitu manggil nama???, si Jem sendiri manggil ayahnya: Sir??? Emang gitu ya, anak-anak sana manggil orangtuanya?
(Membayangkan saya manggil ayah saya dengan: nama) *sendal ke jidat*
(Terus, manggil ayah dengan: tuan) *telenovela latin salah tempat*
Kekuatan novel ini adalah, ya kepolosannya itu. Karena pake sudut pandang anak kecil. Si pengarang juga pakai bahasa anak-anak. Kalimat-kalimatnya pendek, jelas dan ngena. Ga ada ditemui dramatisasi berbunga-bunga satu kebun atau hiperbolisme model and*rea hir*ata (di LP, lintang dan mahar digambarkan; bagaikan anak-anak dewa nan sakti mandraguna yang turun dari kayangan, ga offense buat LP mania, he he), tapi ga terlalu tu de poin juga. Sampai-sampai kita susah membayangkan ceritanya. Intinya enak dibaca sih. Ibarat mi instan yang porsinya pas di lidah, pas di kantong. Pas buat pengantar tidur, buat orang-orang yang sulit tidur. He he he.
Pengibaratan yang dipakai juga lucu-lucu. Polos, lebih tepatnya. Mungkin juga, karena saya-nya memang kurang banyak baca cerita lain. Gitu aja ko pake dikomentari, begitu kata salah satu orang di sebelah sana. Contohnya gini:
kepalanya bergerak-gerak seakan-akan majalah itu sedang menyajikan siaran langsung pertandingan tenis.
Ini pengandaian yang diberikan Scout saat melihat Jemabangnyasedang membaca majalah olahraga.
Atau yang ini:
seolah-olah sang hakim mengetuk meja dengan pensil.
Ini pengandaian waktu sang hakim sibuk ngetok palu, pas orang-orang kulit putih dan hitam ribut-ribut di pengadilannya si Tom Robinson (saya bayangin si Tom ini kayak si pemain blood diamond, siapa itu yang item, gede badannya, tapi lugu).
Terus, seperti yang tadi dibilang, pengarang agaknya menghindari deskripsi remeh temeh yang terlalu berlebihan. Kan banyak tuh, cerita-cerita lain di luar sana yang menggambarkan deskripsi yang sebenarnya gak perlu untuk disebutkan. Bajunya pake merek ini lah, dia beli di sini lah, bahannya ini lah, kebun bunga ada ulatnya lah. Enggak. Cerita si Harper Lee ini bisa hidup dengan pas, tanpa deskripsi panjang yang gak berkesudahan; tentang sepatu yang dipakai Scout, misalnya. Ga adaseenggaknyaitu yang saya tangkap. Terbukti, deskripsi yang simpel pun tetap dapat mengalir, fokusnya sih pada cerita bukan pada detil.
(sok tau, padahal BIKIN SATU CERPEN AJA GA BISA, muaa ha aha aha aha haha ha).
Endingnya gimana ya? gak gitu canggih. Karena ini memang bukan cerita misteri atau teka-teki detektif bikinan agatha kristin gitu. Mengalir lepas seperti air. Seiring dengan berlangsungnya cerita. Damai. Ibarat naik travel yang udah taulah bakal sampai kemana.
Tapi, setelah semua hal itu berlangsung, kayak ada yang hilang nih, habis baca cerita ini. *ada yang colek2 saya* Maksud kamu gimana sih?
Maksud saya, endingnya tuh drama, membuat kita rindu akan karakter-karakter dan kelanjutan ceritanya. Maksudnya, selesai baca cerita ini, kita jadi bersimpati abis sama tokoh-tokoh dan nasibnya setelah itu (bisa jadi jelek juga ya? Ceritanya ga lengkap gitu?).
Kalau dikasih permisalan, nih seperti abis nonton sinetron-sinetron keluarga normal (kalau sinetron yag di tv-tv seakrang itu ga normal semua) tempoe doeloe. Macam: keluarga cemara, si doel, ingat kan? Novel-novel Arswendo. Atau kayak habis nonton film-filmnya Tom Hanks atau Rob William. Bisa bayangin gimana rasanya? Ada rasa kehilangan di sini. Nyesek di hati. Kalau kita renungkan (kayak lagu ebit-ge-ade aja). Terutama tentang hubungan kita dengan orang lain, juga dalam urusan berprasangka. Sederhana tapi nusuk pesannya.
Ah, kamunya aja sih yang terlalu mendramatisir. Mmm, mungkin juga.
Endingnya, tragis ya? Enggak juga. Biasa aja (malah gantung kalau bisa dibilang, masih banyak hal-hal yang gag diceritain di akhirnya). Tapi ya, gitulah. Dipersilahkan menyimpulkan sendiri.
Maaf bahasanya kacau, masih amatir kop. Tolong jangan dibata ya. Cerndol ga nolak.