Percayai apa yang ingin kau percayai
Dan hiduplah seperti apa yang kau inginkan….
agitho gak diimunisasi
karena waktu jamannya dia belum ada
Anekdok:
aku ingat dulu aku diimunisasi cacar. 3 hari kemudian aku kena cacar, seminggu kemudian sembuh. Lalu beberapa tahun kemudian ada semacam wabah cacar, dan aku serta teman2 yg sudah imunisasi cacar tak terkena cacar..
anak saya dua2nya imunisasi yang L-I-L itu. Untuk Naomi ditambahkan thypoid begitu selepas thypus karena daerah saya memang rawan penyakit model begitu. Alhamdulillah keduanya ASI eksklusive 6 bulan, plus dilanjut sampai usia dua tahun. Masih ditambah minyak ikan dan multi vitamin. Sekarang Nadhira diberi madu dan propolis.
Apakah anak saya baik2 saja? Mereka sehat overall, batuk pilek kan biasa, tapi gampang sembuhnya. Sebenarnya mereka termasuk anak2 yang ada kemungkinan kena astma, tetapi so far alhamdulillah sehat.
Imunisasi adalah salah satu ikhtiar kita sebagai orang tua yang diamanahi Tuhan untuk menjaga dan mengasuh anak2 kita itu. ASI juga ihktiar, makanan sehat juga ikhtiar, lingkungan sehat juga ikhtiar. Pengobatan dan vitamin tradisional dan Nabawi juga ikhtiar. Dan Allah lebih menyukai orang-orang yang berikhtiar (sorry kesannya Islamis banget, maklum TSnya bawa2 nama Allah juga ). Dan ikhtiar kita juga terencana dan terpola. Logikanya, kalau benar imunisasi mematikan atau merusak sistem imun alami, kenapa yang polio2 itu justru mereka yang memang tidak imunisasi polio? Saya belum pernah dengar si penderita polio pernah imunisasi polio?
AIDS, adalah melemahnya atau habisnya kekebalan tubuh, bukan karena imunisasi tetapi virus yang masuk ke tubuh dan melumpuhkan semua yang ada di badan. Imunisasi, saya tidak bilang seratus persen benar, adalah salah satu ihktiar kita.
Minta maaf...suatu saat ketika anak kita kena polio (naudzubillahiminzalik) karena kita ngotot gak mau kasih imunisasi polio, siapa yang disalahkan tidak ikhtiar dari awal?
ASI adalah makan dan antibiotika, bukan imunisasi alami 100%, kecuali ASI awal (itu apa namanya? lupa )
Jadi buat saya, adalah ikhtiar, karena kita sebagai orang tua diamanahi Tuhan untuk menjaga buah hati kita
Bunda Na, ASI awal -> colostrum, ane juga sempat kasih ke bocah, yang luput hanya IMD pas brojol.
Gito -> waktu bayi, ane sudah pernah dapat imunisasi BCG. Pas gede sempet was was kena cacar, maklom ane waktu itu belom laku... (soale kalo dapet cacar pas gede khawatir kaga' ilang bekasnye). Alkhamdulillah, ane akhirnya laku and dapet cacar juga pas suami lagi tugas... pas ketemu udah tritmen superduper and ber-ubat kulit ke dokter Inong dan dah kembali (sdikit) normal (maklum bekas cacarnye banyak berkumim eh bermukim di muke)
Gito, tuh kan ane imunisasi cacar tapi tetep aje cacaran juga. Trus negh ane tanya2 temen sejawat di tempat ane jadi kuli... nyang udeh cacar juga pada dapet cacar juga tuh pas lama udahannye...
dulu sama sepupu nyang anaknye beda 6 bulanan dari anak ane, aye pesen, "Luk, imunisasi si Makki. Soal halal atau tidak bukan tugas kita. tau sendirikan kamu kalo makanan kita sekarang udah tercemar dzat kimia buatan, trus polusi dimana-mana."
sepupu ane mah cuma senyum, dia kekeuh g imunisasi anaknye.
Terakhir akhirnya gwe nyesel ngomong kayak gitu...
ujan lagi ah ujan lagi,,,
Bu, ibu pernah immunisasi cacar atau BCG tuh?
BCG itu immunisasi untuk mencegah TBC. Biasa
disuntikkan dibahu kanan, sedikit dibawah kulit.
Satu lagi, Cacar sudah dinyatakan punah dari muka
bumi, kecuali barangkali masih tersedia di laborato-
rium penelitian atau sebagai senjata biologis.
Cacar yang kita sering kenal itu sebenarnya Cacar
Air, atau Chicken-Pox, bukan Cacar yang ditakuti
dahulu (Small-Pox)
ohya, berikut contoh penderita Cacar (Small-Pox)
Spoiler for Cacar Small Pox (jangan dibuka kecuali udah siap mental):
Last edited by kunderemp; 16-08-2011 at 06:30 PM. Reason: Tambah tag spoiler
ya Tuhan...ronggo....
tolong dikasih spoiler dong gambarnya
g sampe kaget banget liatnya...bisa mimpi buruk nih malem2
waduuh,attachment gambarnya bisa tolong di edit gitu?
Pliis, aku parno klo mo buka page ini..
eh, kalo imunisasi cacar bukan BCG ya? he3x... afwan jiddan.. tadi koq nanya2 temen dimarih pada sepakad BCG.
iya deh pokoke aku dah pernah imunisasi nyang bwt cacar tapi tetep kena cacar...
mas Ronggolawe, mohon gambarnya dikaji ulang... matur suwuuuuun
mungkin bisa untuk baca-baca sambil menunggu buka puasa...
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=395
Dewasa ini banyak ibu di Indonesia dan seluruh dunia mempertanyakan berapa amankah imunisasi anak mereka terhadap risiko timbulnya penyakit kronis sebagai efek samping imunisasi itu.
Imunisasi pertama di dunia ditemukan untuk penyakit cacar yang telah membunuh jutaan orang di Eropa dan seluruh dunia. Malahan pertambahan penduduk Eropa telah dihambat oleh banyaknya korban penyakit tersebut. Edward Jenner di tahun 1796 telah menggunakan cacar sapi sebagai bahan untuk menimbulkan imunitas pada manusia. Walaupun hasilnya telah nyata, diperlukan imunisasi massal untuk melenyapkan penyakit cacar itu dari Bumi. Seratus tahun yang lalu masih tercatat 48.000 kasus cacar per tahun di Amerika Serikat. Hari ini tidak terdapat lagi cacar di dunia, sehingga tidak diperlukan lagi pencacaran di seluruh dunia, dan anda tidak perlu memiliki surat bukti cacar bila bepergian ke negara lain. Namun, diperlukan 200 tahun untuk mencapai hasil bebas cacar seperti ini.
Statistik di Amerika Serikat di tahun 2001 mencatat bahwa hanya terdapat 2 kasus difteri, tidak satu-pun poliomielitis paralitik, dan 116 kasus campak (measles). Sebelum ditemukan vaksin untuk penyakit-penyakit ini kejadiannya di Amerika ialah ratusan ribu per tahun. Keadaan ini juga diperoleh di negara maju lainnya. Jelas, imunisasi telah melindungi anak anda secara individu, mengurangi penyakit tsb di dalam masyarakat, dan menimbulkan imunitas dalam kelompok, sehingga menjalarnya penyakit dapat dihambat secara mencolok.
Tujuan akhir suatu imunisasi ialah eliminasi total dari penyakit menular yang bersangkutan dan tidak perlunya lagi vaksinasi terhadapnya. Hanya terhadap cacar hal ini telah berhasil, setelah hampir 200 tahun.
Sekarang dibutuhkan vaksinasi 18 kali suntikan pada anak terhadap 12 penyakit menular pada usia sebelum 2 tahun. Ini membutuhkan biaya yang sangat besar bila hendak dilakukan pada seluruh penduduk. Pemerintah di negara berkembang jelas belum dapat mengalokasikan dana untuk itu, dan masyarakatnya masih harus mengeluarkan biaya dari kantong sendiri.
Di lain pihak, imunisasi membawa risiko, walaupun kecil. Suatu vaksin poliovirus oral yang bermutasi justru telah menimbulkan poliomielitis sendiri secara sporadik. Fenomen seperti ini selalu akan dijumpai bila program imunisasi dilakukan secara besar-besaran. Vaksinasi cacar juga pernah menimbulkan penyakit cacar sendiri. Ini adalah 2 contoh yang benar telah terjadi, dan merupakan kerugian yang nyata pada sebagian kecil anak. Di mata ilmuwan kesehatan masyarakat dan Badan Kesehatan Dunia yang selalu berargumentasi bahwa “the benefits still outweigh the risks” sering membenarkan program vaksinasi pemerintah seperti itu.
Argumen ini juga berlaku untuk evaluasi obat untuk dipasarkan yang sering salah kaprah. Malahan, bila rokok masih menguntungkan (uang) bagi pemerintah, tapi menimbulkan banyak kerugian hingga kematian, rokok-pun tidak dilarang. Namun, untuk suatu vaksin, manfaat yang diperoleh harus jauh lebih besar dari efek yang tidak diingini. Pertimbangan kebijakan seperti dengan rokok dan obat biasa-pun tidak boleh dilakukan.
Penyakit kronis tertentu bisa terjadi setelah vaksinasi.Tetapi karena penyakit itu sendiri memang bisa terjadi tanpa vaksinasi, sulit dibuktikan apakah benar vaksin penyebabnya. Hubungan antara beberapa penyakit kronis seperti autisme dan diabetes melitus tipe 1 (diabetes yang terjadi pada usia muda) telah menimbulkan pertanyaan dan perdebatan yang kontroversial dan sengit. Kejadian yang tidak diingini itu terfokus pada 3 jenis vaksin: yang memakai mikroba yang telah mati (killed vaccine), adjuvan yang sering dipakai dalam produksi vaksin, dan vaksin yang memakai virus hidup yang diperlemah (live virus vaccine).
Kejadian yang sering dilaporkan setelah vaksinasi difteri-tetanus-pertussis ialah: menangis berkepanjangan, demam, pergerakan anak berlebihan, dan kejang sewaktu demam. Hal ini terjadi sekitar 1%. Jenis acellular pertussis vaccine , yang sekarang dianjurkan, menimbulkan reaksi yang lebih hebat, seperti kejang berkepanjangan dan koma atau syok.
Komponen vaksin berisi zat2 organik seperti formalin, albumin manusia, protein telur, antibiotik, protein ragi, aluminium dan thimerosal (yang mengandung ethyl-mercury, suatu racun saraf). Reaksi alergik juga dapat terjadi oleh komponen organik ini. Walaupun reaksi yang tidak diingini ini terjadi dalam hubungan temporal (waktu) yang jelas (artinya, benar terjadi setelah vaksinasi, dan bukan sebelumnya), telah terjadi sanggahan ilmiah yang mengatakan bahwa komponen tersebut dipakai dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga dianggap aman dan disingkirkan sebagai penyebab autisme.
Menurut saya, argumen ini mengandung kelemahan, karena jumlah yang kecil dari suatu zat racun bisa saja tidak menimbulkan tanda-tanda keracunan, tetapi bisa berperan sebagai inisiator kelainan khusus tertentu dalam terjadinya suatu penyakit. Kendati demikian, ketakutan orang tua terjadi luas di seluruh dunia. Studi epidemiologis tidak menemukan hubungan antara autism dan thimerosal. Mungkin akan dihasilkan studi baru di beberapa negeri maju, karena sejak tahun 2001 thimerosal telah tidak dipakai lagi di Amerika Serikat. Nanti akan dapat kita lihat apakah penghentian pemakaian thimerosal akan berakibat pengurangan kasus autism dalam beberapa tahun mendatang.
Poliovirus-hidup sangat efektif untuk mencegah kejadian polio di dunia, namun sekarang telah direkomendasikan virus-mati untuk polio. Vaksin virus-hidup untuk measles, mumps, dan rubella (terkenal dengan MMR) dapat mengubah respons imun tubuh dengan sangat kuat dan karenanya dikhawatirkan dapat menimbulkan penyakit autoimun, termasuk diabetes tipe 1, yang sekarang kejadiannya lebih frekuen. Dalam sumber jurnal yang sama telah dilaporkan suatu penelitian di Denmark yang memakai data anak yang lahir antara tahun 1990-2000, yang tidak menemukan hubungan antara vaksin hidup atau mati dengan diabetes tipe 1. Penelitian ini telah dianggap konklusif, sehingga penulis jurnal tersebut berharap tidak perlu dilakukan bukti penelitian lagi tentang hubungan imunisasi dan diabetes type 1.
Peneliti mungkin perlu mengarahkan studi ke faktor lingkungan lainnya yang sekarang dicurigai berperan dalam timbulnya penyakit diabetes yang menimbulkan risiko penyakit lain (terutama penyakit jantung koroner dan infark) dan kematian yang sangat besar.
Prof. Iwan Darmansjah, SpFK
(Sumber: New England Journal of Medicine, 1 April 2004)
Barangsawijine purwo marang kawitan, Bandar sejatining wujud. Yuk lakone.. BUTHO CAKIL sido NGEMUTTT PEN.....THUNG!!
lho? emang teman-teman dimarih itu ada yang ber-eh, kalo imunisasi cacar bukan BCG ya? he3x... afwan jiddan.. tadi koq nanya2 temen dimarih pada sepakad BCG.
profesi sebagai dokter?
salah lagiiya deh pokoke aku dah pernah imunisasi nyang bwt cacar tapi tetep kena cacar...
ibu itu mendapat immunisasi Cacar (SmallPox) tapi
terkena penyakit Cacar Air (ChickenPox)
Kalau beneran ibu terkena Cacar, ya seperti di foto
yang menyeramkan itu.
tentang imunisasi, hasil bacaanku: http://lita.inirumahku.com/wp-conten...KisahNyata.pdf
mmm...
Ronggolawe: Iye, ane lupa lagi bicara di dunia berbeza.. mangsud ane temen2 dimarih, dikantor, sebelah ane sekarang neeh... maaf lagi.
trus, ok... cacar aer dah.. bukan nyang kayak poto ntu. maaf lagi.
ini ane kebanyakkan minta maap, maap ye...
ehm... hanya pengalaman segelintir orang ya?? maaf bukan berarti saya merendahkan..
Vaksin atau imunisasi adalah hasil dari penelitian, dan tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini. Bahkan orang berkendara di jalan dengan menggunakan helm paling berkualitas sekalipun bisa meninggal karena benturan di kepala bukan? Keberhasilan dari suatu imunisasi adalah 85% - 95% bukan 100%. Tidak ada usaha didunia ini yang menjamin sukses 100%. Hanya Tuhan yang bisa menjamin 100% akan sesuatu, tapi toh doa kepada Tuhan juga tidak 100% dikabulkan.
Barangsawijine purwo marang kawitan, Bandar sejatining wujud. Yuk lakone.. BUTHO CAKIL sido NGEMUTTT PEN.....THUNG!!
Bacaan lagi sambil nunggu bedug magrib
http://health.kompas.com/read/2011/0...Soal.Imunisasi
JAKARTA, KOMPAS.com – Sampai saat ini, beberapa pendapat keliru di masyarakat tentang imunisasi masih sering terjadi. Sebagian orang merasa bahwa imunisasi tak diperlukan lagi lantaran pada dasarnya manusia sudah dikaruniakan kekebalan oleh sang pencipta.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Soedjatmiko, Sp.A K (Msi) di sela-sela acara journalist class, dengan tema “Kesehatan Fisik dan Mental Anak Sebagai Investasi Tak Ternilai Bagi Bangsa”, Rabu, (3/8/2011) di Jakarta.
Menurut Soedjatmiko, pendapat tersebut sebetulnya tak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. “Benarnya adalah bahwa memang betul Tuhan telah memberikan kekebalan pada tubuh kita. Tapi kalau kumannya dalam jumlah banyak dan ganas, tubuh kita tidak akan bisa melawan,” katanya.
Ia mencontohkan, pada negara-negara maju yang sosial ekonomi nya baik, gizinya bagus, dan lingkungannya bersih, masih bisa terkena wabah bakteri E C-o-l-i. Padahal, sebagaimana diketahui, mereka bukanlah dari sosial ekonomi yang buruk. Pada kasus tersebut Soedjatmiko berkesimpulan bahwa, kebersihan badan, lingkungan dan gizi yang baik belum mampu untuk mencegah penyakit menular.
“Ini untuk mengcounter pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa imunisasi itu tidak perlu,” tegasnya.
Soedjatmiko juga memaparkan 8 fakta seputar imunisasi yang perlu diketahui. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi salah kaprah di masyarakat mengenai imunisasi.
1. Imunisasi merangsang kekebalan spesifik bayi dan anak
Pemberian vaksin akan merangsang peningkatan kekebalan spesifik pada bayi dan anak untuk membunuh kuman atau racun yang dihasilkan oleh kuman yang masuk ke dalam tubuh. Jadi vaksin tidak melemahkan kekebalan tubuh, tetapi justru merangsang peningkatan kekebalan tubuh yang spesifik terhadap kuman atau racun.
2. Imunisasi mencegah penyakit berbahaya
Kalau anak tidak di imunisasi, maka tubuhnya tidak mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap penyakit. Bila kuman berbahaya yang masuk bersifat ganas dan banyak, maka tubuh tidak akan mampu melawan, sehingga bisa menyebabkan sakit berat, cacat atau meninggal. Sampai saat ini, imunisasi yang sudah disediakan oleh pemerintah untuk imunisasi rutin meliputi, Hepatitis B, Polio, BCG, DPT, Campak dan vaksin jemaah haji (Maningitis). 3. Imunisasi lebih praktis dan efektif cegah penyakit
Imunisasi lebih praktis, karena sangat cepat meningkatkan kekebalan spesifik tubuh bayi dan anak. Setelah diimunisasi dalam waktu 2-4 minggu, maka akan mulai terbentuk kekebalan spesifik tubuh bayi dan anak untuk melawan kuman. Sementara itu, pemberian ASI, hidup sehat, dan kebersihan lingkungan memang dapat menurunkan risiko serangan penyakit, tetapi membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk memperbaikinya. Sehingga lebih sulit dan lebih lama hasilnya dibandingkan imunisasi.
4. Negara maju tetap butuh imunisasi
Negara maju dengan tingkat gizi dan lingkungan yang baik tetap melakukan imunisasi rutin pada semua bayinya, karena terbukti bermanfaat untuk bayi yang diimunisasi dan mencegah penyebaran ke anak sekitarnya. Sampai saat ini menurut data WHO, sekitar 194 negara maju maupun sedang berkembang tetap melakukan imunisasi rutin pada bayi dan balitanya. “Jadi, tidak benar kalau ada informasi yang mengatakan negara kaya tidak membutuhkan imunisasi. Mereka tetap melakukan vaksinasi, bahkan vaksin yang diberikan jauh lebih banyak,” kata Soedjatmiko.
5. Tidak ada negara yang melarang program imunisasi
Sampai saat ini, tidak ada satupun negara yang melarang program vaksin. Semua ahli-ahli di dunia dan pemerintah yakin dan sepakat bahwa program vaksin pentng dan bermanfaat untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat penyakit berbahaya.
6. Vaksin imunisasi di Indonesia adalah produk lokal
Vaksin yang digunakan untuk program imunisasi di Indonesia dibuat oleh PT. Biofarma Bandung dan sudah dinyatakan aman oleh badan internasional WHO. Bahkan vaksin buatan Biofarma saat ini sudah digunakan oleh Unicef untuk lebih dari 120 negara didunia. “Masa, negara lain percaya sama produk kita, tapi kita sendiri nggak,” katanya.
7. Pasca imunisasi muncul ‘kejadian ikutan pasca imunisasi’
Setelah imunisasi kadang muncul kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) seperti demam ringan sampai tinggi, bengkak, kemerahan dan gampang rewel. Menurut Soedjamiko, kejadian seperti itu adalah reaksi yang umum terjadi pasca imunisasi. Biasanya dalam hitungan 3-4 hari, gejala tersebut akan berangsur-angasur hilang dengan sendirinya. 8. Setelah diimunisasi masih bisa terkena penyakit, tapi ringan
Soedjatmiko mengatakan, perlindungan imunisasi memang tidak ada yang 100 persen. Artinya, setelah diimunisasi, bayi dan anak masih bisa terkena penyakit, tapi kemungkinannya sangat kecil yakni sekitar 5-15 persen.
Last edited by Agitho_Ryuki; 16-08-2011 at 03:35 PM.
Barangsawijine purwo marang kawitan, Bandar sejatining wujud. Yuk lakone.. BUTHO CAKIL sido NGEMUTTT PEN.....THUNG!!
Imunisasi jangan disamakan dengan ASI dan Gizi.
ASI dan GIZI itu ibarat perlengkapan perang.
Imunisasi itu ibarat latihan perang.
Anak yg lahir kedunia mau tidak mau harus berhadapan dengan kekejaman dunia ini, termasuk berbagai kuman penyakit.
Tidak mungkin orang tua bisa melindungi anak 100% dari kuman atau virus, akhirnya anak itu sendiri yg harus berjuang melawan penyakit.
Imunisasi mengajarkan tubuh bagaimana cara melawan penyakit,
tanpa "ilmu" ini anak akan babak belur dihajar berbagai penyakit.
Ibarat anak yg sehat diberi senjata lengkap (Gizi) lalu disuruh pergi ke medan perang tanpa pernah berlatih, dia akan langsung dimangsa oleh pasukan musuh.
hmm... gitu yah.
Tapi anak pertamaku memang ikut nyang L-I-L
berhubung anak nyang selanjutnya masih meminta restu Alloh (lagi usaha), jadi untuk imunisasi ya gue belajar lagi deh...
syukron jazakumulloh everyone
ngomong masalah ASI, pengin buka trit baru deh...
ujan lagi ah ujan lagi,,,