merdeka.com/dunia/bangun-dari-koma-pria-muslim-ini-masuk-kristen.html

Karim Shamsi-Basha, warga muslim Suriah, mengalami koma selama sebulan pada 1992. Begitu sadar dia kemudian berpindah agama menjadi Kristen. Dia lahir dan tumbuh besar di Suriah dan dia tidak pernah terpikir untuk berpindah keyakinan setelah sembuh secara ajaib dari penyakitnya.

Surat kabar the Daily Mail melaporkan, Rabu (2/10), dalam perjalanan hidupnya selama 20 tahun menjadi umat Nasrani dia menulis sebuah buku berjudul Paul and Me. Paul atau Paulus adalah nama tokoh di Alkitab yang masuk Kristen di Ibu Kota Damaskus, Suriah.

Selain sebagai penulis, Shamsi-Basha juga seorang jurnalis foto. Dia mengaku selalu menjalankan salat lima waktu ketika remaja.

"Saya salat lima kali sehari. Saya berangkat ke masjid sebelum matahari terbit. Saya berpuasa di bulan Ramadan," kata dia.

Di usianya yang ke-18 Shamsi pergi meninggalkan negaranya ke Amerika Serikat untuk kuliah di Universitas Tennessee sebelum akhirnya bekerja sebagai jurnalis foto di media lokal Birmingham Alabama. Dia kemudian menikah dan memiliki seorang putra.

Ketika meliput kebakaran di sebuah gereja, Shamsi jatuh pingsan di lapangan parkir dan gangguan saraf di otaknya membuatnya lumpuh. Setelah sebulan menjalani terapi Shamsi akhirnya pulih dengan cara yang dia sebut keajaiban.

Pria kini tinggal di Kota Nashville, Tennessee, itu mulai membaca Alkitab di masa pemulihannya hingga dia dibaptis pada 1996. Peristiwa itu membuat dia harus meninggalkan pernikahannya. Ayahnya kemudian meninggal dan dia menjadi tunawisma.

Shamsi mengatakan Tuhan memberinya ganjaran setelah dia pindah keyakinan. "Rahmat Tuhanlah yang menyelamatkan saya," kata dia.

Meski hidupnya sudah sangat berubah Shamsi mengaku masih menjalin hubungan baik dengan keluarganya yang muslim. Kakak perempuannya masih tinggal di Damaskus dan kerabatnya yang lain tinggal di Kota Homs.


Paul and Me berisi kisah Shamsi-Basha saat ia koma hampir sebulan lamanya akibat penyakit aneurisma otak. Setelah dia mengalami pemulihan total, ahli bedah otak memberitahu dia bahwa sangat sedikit orang yang bisa pulih seperti yang dia alami. Sang ahli bedah berkata kepada Shamsi-Basha, “Kamu harus mencari tahu mengapa kamu bertahan hidup.”


Kemudian dia menghabiskan waktu 20 tahun dalam hidupnya untuk menemukan Yesus dan belajar tentang tujuan hidupnya. Dia menulis buku ini untuk “membagi kasih Tuhan” dengan orang-orang lain dan memberitahu mereka bahwa Dia mengasihi semua anak-anakNya.”


Buku Paul and Me dirilis bulan Agustus 2013. Selain berisi perjalanan pribadi Shamsi-Basha sampai dia menemukan Tuhan, buku ini juga memuat beberapa sudut pandang teologi mengenai Paulus, mantan penganiaya orang Kristen yang akhirnya bertobat dalam perjalanan menuju Damaskus, kota kuno yang terletak di Suriah.

Karim: “Saya ingin memiliki Tuhan yang mencintai saya dan yang saya cintai. Akan tetapi Tuhan di dalam Islam, kamu mencintai dia, dan dia mencintai kamu, tetapi Keselamatan tidak dijamin. Kamu takut dengan Tuhan. Tuhan begitu kuat.” ….. “Saya sholat lima kali sehari. Saya berangkat ke masjid sebelum matahari terbit. Saya berpuasa di bulan Ramadan,” katanya.


Karim Shamsi-Basha dibesarkan di kota Damaskus – Syria dari keluarga Muslim Syiah dan dia tidak pernah terpikir untuk berpindah keyakinan. Sahabat karibnya adalah seorang Kristen, dan keduanya sering mengunjungi rumah masing-masing, dan mereka banyak berbincang dan berargumentasi tentang agama, meskipun begitu iman mereka tidak goyah dan tetap memeluk kepercayaan masing-masing.


Diam-diam dia mempunyai keingintahuan mengenai Tuhan yang penuh kasih dari teman Kristen-nya itu.


“Tuhan di dalam Kekristenan yang diceritakan teman saya Munir adalah Tuhan yang saya impikan pada saat saya berumur belasan tahun tersebut. Saya melihat kebebasan di dalam diri Munir yang tidak aku miliki. Tetapi saat itu saya begitu takut bahkan berpikirpun saya tidak berani.” katanya.


Karena muak dengan korupsi yang dilakukan rezim Assad, Shamsi-Basha hijrah ke AS di usia 18 tahun untuk belajar di University of Tennessee. Di Amerika dia bertemu dengan beberapa teman Kristen.


“Teman saya pernah berkata kepadaku ‘apakah kamu mau menjadi Kristen’, kemudian saya menjawab ’emm … tidak, tidak mau, saya tidak bisa, saya bisa dibunuh. Melakukan hal itu di dalam Islam adalah sesuatu yang menakutkan. Akibatnya besar sekali’.” katanya.


Setelah kuliah dia bekerja sebagai jurnalis foto professional di media lokal Birmingham – Alabama. Dia lalu menikah dan punya seorang putra dan lalu tinggal di Birmingham, Alabama. Ketika meliput kebakaran di sebuah gereja, Shamsi jatuh pingsan di lapangan parkir tahun 1992 dan gangguan saraf di otaknya membuatnya lumpuh sehingga dia koma selama hampir sebulan.


“Seketika saya merasa sakit kepala. Saya terpaksa menutup mata saya, karena mata saya rasanya mau keluar. Saya berteriak dan jatuh ke tanah. Kemudian saya pingsan selama tiga minggu. Saya koma.” jelas Karim.


Penjelasan dr Nancy yang adalah dokter terapinya:
“Apa yang terjadi adalah selaput otaknya atau pembuluh darah otaknya lemah dan darah keluar dari pembuluh darah itu. Maka daerah itu menjadi terluka. Hal itu bisa mengakibatkan seseorang menjadi koma selamanya, lumpuh selamanya. Kalau tidak segera ditangani maka hal ini bisa mengakibatkan kematian.”


Dokter otaknya (neurosurgeon) mengatakan kepada Karim, “Hanya sedikit sekali orang yang bisa sembuh seperti kamu. Kamu harus menyelidiki mengapa kamu bisa selamat.” Perkataan dokternya itu memulai perjalanan hidup Karim selama 20 tahun untuk mencari jawaban sehingga akhirnya Shamsi-Basha bertemu dengan Yesus Kristus.


Setelah sebulan menjalani terapi Shamsi akhirnya pulih dengan cara yang dia sebut keajaiban.


Karim mengatakan: “Saat itu dokter Nancy mengatakan bahwa sembari memegang pundak saya ‘Kamu harus menyelidiki mengapa kamu masih hidup? Saya serius karena saya telah menangani banyak penyakit selama bertahun-tahun dan saya tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya.’ kemudian saya berpikir – saya hidup dan saya baik-baik saja sekarang, tetapi kenapa? Saya tidak tahu.”


“Orang-orang mengatakan bahwa Tuhan menyelamatkan nyawaku.” katanya.


Kemudian Karim membawa kitab Yohanes dan berkonseling dengan seorang pendeta untuk mencari jawaban mengenai kesembuhan-nya dan tentang kekristenan.


Karim: “Kemudian aku membaca Injil Yohanes 14 : 6 (Kata Yesus kepadanya: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku), kemudian saya berkata ‘hal ini tidak mungkin terjadi bagaimana dengan saudara-saudaraku, aku ingin membawa mereka sekalian ke jalan ini? kalau aku menempuh jalan ini, kemana mereka akan melangkah’?”


Kemudian seorang Kristen temannya bertemu dengan Karim.


Karim: “Saya mengatakan bahwa Tuhan Yesus adalah segalanya bagiku, tetapi bagaimana dengan saudara-saudaraku?”


Kemudian dia berkata: ‘Tuhan akan menjaga keluargamu. Kamu tidak usah kuatir.’


“Kemudian saya mulai menagis, selama tiga hari kedepan saya mulai menangis. Saya lahir baru, lahir baru. Saya lahir kembali. Dan saya tahu Dia membuka pintu Kasih bagiku yang demikian saya impikan selama hidup saya. Tuhan yang begitu saya impikan selama saya masih anak-anak, sekarang ada di dalam diriku. Sebelumnya Roh Kudus hanya sebuah pemikiran asing. Setelah itu Roh Kudus ada di dalam diriku, ada di dalam hatiku. Roh Kudus mengarahkan aku, memimpin aku dengan suatu cara yang saya tidak bisa katakan. Hal itu sungguh luar biasa.”


Pria kini tinggal di Kota Nashville, Tennessee, itu mulai membaca Alkitab di masa pemulihannya hingga dia dibaptis pada 1996. Peristiwa itu membuat dia harus meninggalkan pernikahannya. Ayahnya kemudian meninggal dan dia menjadi tunawisma.


Shamsi mengatakan Tuhan memberinya ganjaran setelah dia pindah keyakinan. “Rahmat Tuhanlah yang menyelamatkan saya,” kata dia. Meski hidupnya sudah sangat berubah Shamsi mengaku masih menjalin hubungan baik dengan keluarganya yang masih muslim. Kakak perempuannya masih tinggal di Damaskus dan kerabatnya yang lain tinggal di Kota Homs.


Meskipun Shamsi-Basha sudah murtad, tapi keluarganya tetap Muslim. Dia berkata bahwa dia tidak berbicara tentang agama dengan keluarganya. Saat ayahnya wafat di tahun 2005, dia tidak memberi tahu bahwa dia sudah pindah agama karena khawatir akan menyakiti hati ayahnya. Meskpun begitu, hubungannya dengan ibu dan saudara perempuannya tetap kuat dan ibunya hijrah pula ke AS beberapa tahun yang lalu.


Setelah pecah perang saudara di Syria, Shamsi-Basha berusaha membawa saudara perempuannya keluar dari negara itu, tapi dia tak diijinkan mendapat visa AS. “Saudara perempuanku berada di Syria sendirian saja, dan ini benar-benar mengerikan, “katanya. “Aku bertemu dengan wakil rakyat di daerahku, orang ini lalu menulis surat ke Kedubes AS di Syria, tapi saudaraku tetap tidak diperbolehkan untuk mendapatkan visa AS.”


Dia sekarang berusaha mencari jalan kemanusiaan bagi saudaranya, meskipun belum jelas. “Keluarga kami ketakutan,” katanya, karena banyak saudara-saudara ayahnya yang tinggal di Homs, salah satu kota yang menderita banyak kehancuran dan kekerasan. Dia juga tak tahu bagaimana nasib anggota keluarganya di situ.


Membaca berita tentang Syria dari kantor berita Arab atau dari perbincangan telpon dengan saudara perempuannya membuat Shamsi-Basha merasa tertekan. “Jika aku tidak tampak menangis, itu berarti aku menangis dalam hati. Sungguh keadaan yang sangat amat menyedihkan,” katanya.


“Di tahun 2008, aku benar-benar menyerahkan diriku pada Tuhan,” katanya. “Dan sekarang aku tidak pernah bosan membahas tentang Tuhan.”


Shamsi-Basha mengaku bahwa Yesus Kristus dan pengampunan-Nya-lah yang membuatnya bertobat. “Penebusan adalah pemberian Tuhan,” katanya pada media The Christian Post. “Kemurahan Tuhanlah yang menyelamatkanku,” katanya.