Eksportir kopi khawatir pedagang asing akan mendominasi pembelian kopi lokal. Sebab, pungutan ekspor kopi yang sebesar Rp 30 per kilogram sudah dihapus. "Pedagang asing hanya datang, bawa dollar, sewa gudang lalu ekspor kopi. Sedangkan kami harus investasi," kata Ketua Kompartemen Renlitbang, Produksi dan Mutu Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Benny Hermanto, ketika dihubungi Sabtu 18 Juni 2011.
Jika begitu, ke depan pengusaha takut kopi Indonesia hanya diekspor dalam bentuk mentah. sehingga tidak ada bahan baku untuk industri dalam negeri. Penghapusan aturan pungutan ekspor kopi terdapat dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 10 Tahun 2011. Berdasarkan aturan itu, eksportir kopi tidak wajib lagi membayar iuran kepada pemerintah.
Iuran eksportir kopi sebenarnya dibutuhkan untuk dibayarkan kepada International Coffe Organization (ICO). Biaya ini dibebankan kepada pemerintah sebab yang menjadi anggota ICO adalah negara bukan pengusaha.
AEKI telah berkontribusi untuk ikut membayar iuran sebesar Rp 11 miliar dalam 11 tahun. Besaran iuran per tahun berbeda-beda tergantung banyaknya ekspor kopi. Benny mengatakan, pungutan ekspor kopi yang disetorkan kepada pemerintah sebenarnya juga memberi keuntungan kepada pengusaha. Sebab, nilai ekspor kopi berubah-ubah. Jadi, jika ada kelebihan pungutan ekspor, akan dikembalikan untuk pengembangan AEKI sendiri.
Saat ini, produksi kopi tengah menurun. Pada 2010, jumlah produksi hanya mencapai 640 ribu ton. Tahun ini, hasil panen juga diperkirakan hanya sebesar 600 ribu ton.
Kondisi tersebut membuat eksportir kesulitan mendapatkan kopi di pasar lokal. Namun, Benny belum menelusuri lebih lanjut apakah penurunan jumlah kopi di pasaran hanya karena prouksi yang sedikit atau pembelian oleh asing yang meningkat. Akibatnya, ekspor kopi juga rendah. Pada 2010, nilai ekspor hanya 410 ribu ton. Tahun ini jumlah pengiriman kopi ke luar negeri hanya akan mencapai 390 ribu ton.
Ketua AEKI, Suyanto Husein mengakui sebenarnya, pedagang asing memang bisa memberikan nilai lebih bagi petani. "Mereka pinjam uang dari bank di luar negeri dengan bunga lebih rendah. Tentu harga pembelian di tingkat petani lebih baik," kata dia.
Apalagi, saat ini pasokan kopi dunia sedang turun. Jadi, wajar pedagang asing mencari hingga langsung kepada petani di negara-negara penghasil kopi. "Para trader mau amankan suplai kopi dari Indonesia," ujarnya.
Pemerintah sendiri, lanjut Suyanto memang tidak membatasi pembelian kopi oleh pedagang asing. Sehingga pasar Indonesia memang lebih terbuka dibandingkan produsen kopi lainnya.
Sebenarnya, selama ini, eksportir harus melaporkan rencana besaran ekspor kepada AEKI untuk dapatkan rekomendasi saat membayar iuran ekspor. "Tapi, sekarang sistemnya tidak seperti itu lagi. Pedagang asing bisa langsung ke petani tanpa harus jadi anggota AEKI," kata dia.
Maka, Suyanto meminta ada pembatasan pembelian oleh pedagang kopi asing. "Kalau bisa jangan terlalu terbuka, agar pengusaha bisa tetap hidup," kata dia. Misalnya dengan aturan bahwa pembelian kopi oleh pedagang asing harus dengan kerjasama dengan pengusaha lokal. sumber