ya sudahlah.... mau gimana lagi
tapi yang penting perjuangan belum berakhir, kita doakan semoga uji materi di MK bisa membuahkan hasil
anw, saya bersyukur ga nyoblos pas pileg kemarin
ya sudahlah.... mau gimana lagi
tapi yang penting perjuangan belum berakhir, kita doakan semoga uji materi di MK bisa membuahkan hasil
anw, saya bersyukur ga nyoblos pas pileg kemarin
Tapi DKI tetap Pilgub langsung dong....
UU no. 29 tahun 2007 Khusus Ibu Kota Jakarta
Di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, diatur tentang Jakarta sebagai ibu kota negara. Dalam Pasal 10, secara eksplisit menjelaskan bahwa Jakarta dipimpin oleh satu orang gubernur dibantu oleh satu orang wakil gubernur yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah.
"And this world of armchair bloggers who created a generation of critics instead of leaders, I'm actually doing something. Right here, right now. For the city. For my country. And I'm not doing it alone. You're damn right I'm the hero."
--Oliver Queen (Smallville)
Caleg-caleg yg kemaren kepilih tahu yg kaya gini gak sik
you meet someone
you two get close
its all great for awhile
then someone stops trying
Talk less, awkward conversations, the drifting
No communication whatsoever
Memories start to fade
Then the person you know become the person u knew
That how it goes. Sad isn't it?
you meet someone
you two get close
its all great for awhile
then someone stops trying
Talk less, awkward conversations, the drifting
No communication whatsoever
Memories start to fade
Then the person you know become the person u knew
That how it goes. Sad isn't it?
Kalo seandainya pdip dan kawan2 juga WO apa voting tetep dilanjutkan stlh peserta kurang dari 50
you meet someone
you two get close
its all great for awhile
then someone stops trying
Talk less, awkward conversations, the drifting
No communication whatsoever
Memories start to fade
Then the person you know become the person u knew
That how it goes. Sad isn't it?
SBY (dan Demokrat) sedang bermain api.
Kalo SBY berhasil mengganjal UU Pilkada melalui uji materi di MK, maka SBY akan jadi "pahlawan" dan Demokrat akan berkibar lagi di 2019. Terlepas ini memang udah di-setting dari awal ato ndak, tapi ini benar2 strategi yg ruarrrr biasa cerdik.
Sebaliknya kalo gagal di MK, maka nama SBY akan terpuruk dan Demokrat bakal nyungsep di 2019.
Gusti iku dumunung ing atine wong kang becik, mulo iku diarani Gusti... Bagusing Ati.
SBY kl mao jadi pahlawan seharusnya dari kemaren2. Dia presiden kok. Kan ada perwakilannya dari kementrian dalam negeri. Kalo pemerintah menentang masa jadi juga?
mari kita doakan semoga para wakil rakyat ke depannya tidak akan korupsi dan suap-menyuap
*duh kayanya saya salah makan obat deh*
Last edited by Yuki; 28-09-2014 at 06:54 PM.
CURE SUNSHINE WA KAKKOSUGIRU.
Menurut saya yg kemarin itu masih menyisakan dua kemungkinan...Originally Posted by Ndableg
Pertama, jika SBY hanya bersandiwara pura2 marah dan kecewa oleh hasil sidang paripurna kemarin yg mengesahkan "Pilkada lewat DPRD" maka ceritanya selesai. IMO, SBY (dan Demokrat) bakal tamat di 2019. Rakyat, cepat ato lambat, akan tahu "sandiwara konyol" tsb.
Kedua, jika benar SBY memang kecewa dan benar2 setuju "Pilkada Langsung" maka berarti SBY udah ditelikung oleh oknum elit Demokrat sendiri.
http://m.liputan6.com/news/read/2110...karena-sms-sby
Artinya Max Sopacua, dan entah siapa lagi, sudah berbohong ke anggota fraksi Demokrat sebelum aksi WO krmarin.
Menurutku hanya ada satu cara SBY untuk membersihkan namanya yaitu all out melalui uji materi di MK.
Masalahe menurutku, SBY mau mengatasnamakan siapa untuk maju ke MK? Pake nama pemerintah ndak mungkin menurutku, atas nama presiden jadinya aneh, pake nama partai (Demokrat) malah kayak dagelan, satu2nya celah adalah pake nama pribadi, sbg tokoh masyarakat, ketua umum sekaligus ketua dewan penasihat sebuah partai besar, dan atribut2 pribadi lainnya.
Plus, SBY harrus usut siapa dalang kasus WO kemarin kalo memang itu bukan perintahnya. SBY, sebagai ketum merangkap ketua dewan pembina, harus berani memecat para "pengkianat" tsb.
Menurutku itu satu2nya cara untuk mengangkat kembali namanya sendiri plus partai Demokrat kalo ndak ingin terpuruk kedepannya.
Sayangnya, saya ndak begitu yakin SBY "punya nyali" melakukan itu semua. Tapi saya masih berharap.
Kalo lobi2nya menenemui jalan buntu shg ndak bisa dicapai lewat musyawarah mufakat maka mau ndak mau ya harus lewat voting di DPR, dan realitanya kemarin ternyata pendukung pilkada langsung kalah suara.Dia presiden kok. Kan ada perwakilannya dari kementrian dalam negeri. Kalo pemerintah menentang masa jadi juga?
Bisa saja, terlepas konstitusional ato ndak, "pemerintah alias presiden (SBY) menolak menandatangani RUU yg udah disahkan dlm sidang paripurna DPR kemarin."
Tapi menurutku itu cara yg sama sekali ndak elegan kalo ndak bisa dibilang otoriter bahkan kotor. Itu justru malah memperburuk citra (pemerintah) SBY, ndak bertanggung jawab, pengecut cuma melempar bola api ke pemerintahan berikutnya (Jokowi-JK).
Ini saya lebih ndak yakin lagi SBY bakal berani. Dan saya pun ndak berharap SBY akan nekat melakukan hal itu.
Gusti iku dumunung ing atine wong kang becik, mulo iku diarani Gusti... Bagusing Ati.
Kemaren ada ngobrol di group bb, ada teman kebetulan dosen tata negara, katanya ada uu ( sorry lupa nomor uu nya)yg mengatakan walo presiden tidak menandatangani uu itu, tetap berlaku setelah 26 atau 30 hari, jadi cara ini ga bisa dipake, satu2nya yg bisa dilakukan presiden adalah dengan dekrit presiden,
you meet someone
you two get close
its all great for awhile
then someone stops trying
Talk less, awkward conversations, the drifting
No communication whatsoever
Memories start to fade
Then the person you know become the person u knew
That how it goes. Sad isn't it?
Hanya ada satu kata untuk SBY saat ini: menjijikkan!
Udah jabatan mau selesai masih main2 dengan rakyat.
There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.
Everyone wants happiness, no one wants pain.
But you can't make a rainbow without a little rain.
Thanks. Tapi saya semakin ndak yakin seorang SBY akan berani mengeluarkan Dekrit. Dan kalo Dekrit tsb muncul scr "ujug2" menurutku ndak elegan, kesannya jadi otoriter. Jadi harus ada semacam "people power" dulu untuk melegitimasi keluarnya Dekrit tsb. Masalahe, SBY hanya punya waktu tinggal kurang dari sebulan lagi.Kemaren ada ngobrol di group bb, ada teman kebetulan dosen tata negara, katanya ada uu ( sorry lupa nomor uu nya)yg mengatakan walo presiden tidak menandatangani uu itu, tetap berlaku setelah 26 atau 30 hari, jadi cara ini ga bisa dipake, satu2nya yg bisa dilakukan presiden adalah dengan dekrit presiden,
Saya pribadi, scr subyektif, merasa ndak memiliki reasons memadai untuk sampe "menghujat" SBY dlm persoalan ini. Tapi menurutku "hujatan2 keras" memang mesti scr TSM (pinjam istilah yg lagi ngetrend: terstruktur, sistematis dan masif) harus terus-menerus dilontarkan ke "pribadi" SBY.Hanya ada satu kata untuk SBY saat ini: menjijikkan!
Udah jabatan mau selesai masih main2 dengan rakyat
SBY itu, IMO, "tipe priyayi", sensi, gampang tersinggung kalo pribadinya diserang. "Positifnya", itu justru yg bisa meningkatkan adrenalinnya untuk menjadi seorang "pemberani".
So, "hajar" aja terus SBY lewat media. Saya yakin nyalinya akan bangkit, bahkan Dekrit pun bisa saja dikeluarin kalo udah benar2 "murka" dan setelah gagal di MK.
Gusti iku dumunung ing atine wong kang becik, mulo iku diarani Gusti... Bagusing Ati.
Saya secara subyektif punya alasan. Yang mengajukan RUU Pilkada itu kan pemerintah jadi inisiatif datang dari pemerintah. Lha kepala pemerintahnya ke mana aja kok bisa nggak tau baru ribet nolak-nolak setelah sah? Koplak dah.
Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) sudah sejak 2010 disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
sumbeer:http://www.rumahpemilu.org/in/read/1...-Kepala-DaerahRUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang menyebut juga Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut.
sumber: http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/...-undang-undang
There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.
Everyone wants happiness, no one wants pain.
But you can't make a rainbow without a little rain.
Setahuku, CMIIW, pemerintah sendiri prefer pada opsi "Pilkada Dati I ndak langsung sedangkan Pilkada Dati II langsung" dari beberapa opsi yg diajukan. Dan mengingat itu disodorkan udah lama tentu itung2an pemerintah udah beda dgn realita politik sekarang (pasca Pilpres).
Kalo RUU tsb diplenokan sebelum Pilpres 2014 saya yakin pemerintah akan "menang". PAN, PPP, PKS, Golkar, misalnya, semua adalah "koalisis pemerintah (Demokrat)". Dus sebenarnya anggota DPR yg sekarang itu "seharusnya" mendukung (suara) pemerintah SBY sekarang.
Jadi disini saya melihat pemerintahnya sebenarnya cuma "apes" aja. Pemerintah SBY udah ndak punya power pasca pilpres kemarin. "Koalisi" dlm pemerintahan SBY scr de facto saat ini udah bubar. Ini "kemenangan" koalisi kapak merah eh merah putih maksudku. Jelas banget terbaca unsur "balas dendam" atas kekalahan Bowo kemarin. Coba kalo seandainya kemarin Bowo menang, saya yakin RUU Pilkada tetaplah akan "abadi" sebagai RUU tanpa pernah diplenokan oleh DPR untuk dijadikan UU. Sidang pleno RUU Pilkada mana ada "duitnya", masih banyak "sidang2" lain yg lebih "basah" (duitnya).
Atas dasar itulah saya merasa ndak memiliki reasons cukup memadai kalo harus sampe "menghujat" pemerintah umumnya dan SBY khususnya. Kalo sekedar "menyalahkan" (baca: tidak setuju) memang iya, tapi saya belum sampe taraf "menghujat".
IMO.
Gusti iku dumunung ing atine wong kang becik, mulo iku diarani Gusti... Bagusing Ati.
Doesn't matter kalo sampeyan tidak menghujat.
Saya ndak tau pemerintah prefer yang mana, mungkin bisa diposting di sini sumbernya. Kehadiran menteri sendiri mewakili pemerintah seharusnya menjadi tanda restu presiden karena kalau memang tidak setuju dari awal tinggal menterinya ditarik maka pembahasan tidak bisa dilanjutkan.
Saya menganggap ini semua drama dari pemerintahan sekarang dan sekarang saya sudah sampe pada taraf muak.
There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.
Everyone wants happiness, no one wants pain.
But you can't make a rainbow without a little rain.
“Mengapa harus mahal betul pemilihannya? Khusus gubernur saja mengapa tidak dipilih DPRD...” (Mendagri, 1 Feb. 2013)
http://m.republika.co.id/berita/nasi...b-dipilih-dprd
Memang, itu hanya salah satu opsi yg diusulkan oleh pemerintah diantara beberapa opsi lain yg muncul kemudian, sampe pada saat akhir menjelang voting mengerucut jadi dua opsi aja.
"Kalau pemerintah kan standing awalnya jelas. Gubenur itu wakil pemerintah pusat di daerah. Maka gubenur tidak usah dipilih langsung. Tapi bupati dipilih secara langsung. Karena itu kita lakukan perbaikan. Itu standing awal pemerintah..." (Mendagri, 26 Sep. 2014)
http://m.detik.com/news/read/2014/09...an-ruu-pilkada
Memang, bisa saja Gamawan sedang "bermain drama" seperti halnya SBY pun mungkin hanya "main sandiwara" menyatakan kekecewaannya thd hasil kemarin.
***
BTW soal tuntutan ke MK...
Bisakah sebuah "RUU" yg baru disahkan lewat paripurna DPR tapi belum disahkan (ditandatangani) oleh pemerintah untuk diuji materinya di MK?
Apa MK ndak akan "ngeles" menunggu sampe RUU tsb resmi jadi UU baru bisa dilakukan uji materi?
Atau, kalo yg diajukan ke MK adalah "proses pengambilan keputusan di DPR" kemarin kok menurutku ndak ada yg salah (inkonstitusional) deh.
Kayaknya Dekrit Presiden memang satu2nya cara untuk menjegal hasil keputusan di DPR kemarin.
Beranikah pak Beye?
Gusti iku dumunung ing atine wong kang becik, mulo iku diarani Gusti... Bagusing Ati.
Bukan soal berani atau ndak berani tapi ... ... ...
Silahkan isi sendiri.
Settsuno Kirimaru
"The two most important days in your life are the day you are born and the day you find out why." - Mark Twain
[MENTION=912]234[/MENTION]
Kalau seperti itu skemanya, berarti ya tetap melalui sistem tidak langsung. Kerugiannya lebih banyak dari manfaatnya kok. Misalnya, money politics lebih parah karena hanya menyogok segelintir anggota DPRD, dan skema itu tentunya juga membuat kepala daerah di kabupaten/kota rentan untuk disogok.
Jadi selama skemanya itu masih pemilihan tidak langsung, ya tetap saja kerugiannya lebih banyak. And in my opinion, seharusnya tidak ada pembedaan antara provinsi ataupun kabupaten kota.
---------- Post Merged at 12:25 PM ----------
[MENTION=912]234[/MENTION]
Untuk kasus Jakarta, statusnya kan memang sudah ditetapkan sebagai Ibukota NKRI. Jadi perlakuannya memang berbeda dibandingkan dengan provinsi lain, mulai dari pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah (semua ditangani pemprov), jabatan walikota yang bukan jabatan politis (karir dari pegawai negeri sipil). Strukturnya kota, namun perlakuannya provinsi (ya karena Ibukota NKRI).
Nah, untuk status provinsi, memang seharusnya diperjelas dulu sih. Dalam kerangka peraturan perundang-undangan saat ini, provinsi memang berperan sebagai perwakilan pemerintah pusat (makanya kalau ada incumbent yang mencalonkan diri lagi, yang menggantikan itu pejabat dari Kemendagri).
Sialnya, meski berperan sebagai perwakilan pemerintah pusat, dia memungut pajak dan retribusi dari warga provinsinya, dan melakukan hal-hal lain yang terkait dengan urusan dekosentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Jadi lebih enaknya sih, sebelum memutuskan untuk dipilih langsung atau tidak, ya diperjelas dulu statusnya seperti apa. Jangan di tengah-tengah dan gak jelas kelaminnya seperti saat ini.
---------- Post Merged at 12:36 PM ----------
[MENTION=320]surjadi05[/MENTION] [MENTION=912]234[/MENTION]
Itu ada di Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebuah undang-undang akan otomatis berlaku 30 hari setelah disetujui oleh DPR, terlepas ditandatangani Presiden atau tidak. Jadi, kalaupun SBY gak tanda tangan UU Pilkada ini, atapun Jokowi juga gak tanda tangan, ya suka gak suka harus berlaku.
Salah satu cara yang mungkin dan dibenarkan dengan undang-undang adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), bukan dengan Dekrit. Soalnya, dekrit itu tidak dikenal dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia.
OOT dikit,
Ini menurut saya kecacatan dari sistem presidensial kita. Masa Presiden gak bisa veto atau override hasil dari DPR? Padahal seharusnya bisa.
---------- Post Merged at 12:47 PM ----------
Memang betul, MK hanya bisa menguji undang-undang (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). Dengan kata lain, RUU yang sudah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR, masih berstatus sebagai RUU, dan belum bisa diuji di MK. Pilihannya, Presiden segera tanda tangan agar bisa dimasukkan ke lembaran negara, dan kemudian diuji ke MK; atau menunggu saja 30 hari (dengan alasan tidak mau mengotori tangan), baru kemudian diuji di MK.
EDITED:
info dari temen yang sekarang spesialisasinya constitutional lawyer, RUU yang sudah disetujui, tapi belum ada nomor, sebenarnya bisa diajukan ke MK. Nantinya, setelah RUU itu dapet nomor (entah itu karena ditandatangani Presiden, atau karena klausula 30 hari), permohonan hak uji materi diperbaiki, dengan menambahkan formalitas (nomor undang-undang, dll) yang diperlukan.
BTW, “proses pengambilan keputusan di DPR”, tidak bisa diuji atau “diperkarakan” di MK, karena itu bukan kewenangan dari MK.
Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 menyatakan bahwa kewenangan MK hanya
1. Menguji UU terhadap UUD
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara (impeachment presiden, sengketa antara presiden dan DPR, dll)
3. Pembubaran parpol
4. Memutus sengketa pemilu
Again, dekrit gak bisa dijadikan andalan seandainya Pak BeYe mau ngelawan UU yang kemarin sih. Yang dimungkinan secara hukum hanya melalui Perpu, yang kemudian harus disahkan oleh DPR di rapat paripurna berikutnya.
Last edited by nerve_gas; 29-09-2014 at 04:45 PM.