Originally Posted by
nerve_gas
Tidak pernah merasa kalau pemilihan tidak langsung itu menguntungkan publik. Liat aja deh pas era Orde Baru. Entah ada gubernur atau walikota baru yang gak pernah kedengeran namanya, tiba2 udah dilantik aja, dan kita harus nerima dia sebagai pemimpin.
Menurut saya, pemilihan melalui DPRD justru memiliki banyak kelemahan:
1. Tokoh-tokoh alternatif seperti Ahok, Kang Emil, Bu Risma, gak akan pernah bisa jadi kepala daerah. Karena toh pemilihan tidak membutuhkan orang yang cukup bagus untuk dijual supaya bisa meraup suara yang banyak dari publik.
2. Kita gak akan pernah tau deal politik yang terjadi di balik ruangan antara anggota2 DPRD dudul itu. Tinggal memainkan beberapa suara dengan money politic, selesai sudah perjalanan.
3. Kepala daerah akan bertanggung jawab kepada DPRD. Konsekuensinya, mereka akan berupaya sebisa mungkin membuat DPRD puas, bukan membuat masyarakat yang puas.
Kalau berpikir pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan menghemat biaya, memang benar. Tidak perlu ada anggaran bagi KPU dan Bawaslu melaksanakan kegiatan pemilihan kepala daerah.
Tapi yang bener aja deh. Dangkal sekali pemikirannya. Mengorbankan suara masyarakat hanya dengan pertimbangan menghemat anggaran? Sekalian aja semuanya dipilih tidak langsung. Termasuk presiden.
Nah, tapi kalau mau bicara urusan yuridis, memang tidak ada masalah konstitusional dalam pemilihan melalui DPRD.
Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 (Perubahan Kedua) memang menyatakan begini:
Pasal itu berbeda konstruksi ayatnya dengan pilpres yang ada di Pasal 6A (Perubahan Ketiga):
Frasa “dipilih secara demokratis” itu kan penafsirannya luas. Termasuk di dalamnya pemilihan melalui DPRD, karena dianggap prosesnya tetap demokratis. Ada pencalonan, ada penyampaian visi dan misi, ada pemilihan melalui mekanisme pemungutan suara, dan lain sebagainya.
Jadi, seandainya ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah oleh DPRD dalam RUU Pilkada sekarang akan disahkan, kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi, ya hanya bisa harap-harap cemas agar hakim konstitusi menafsirkan “dipilih secara demokratis” adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Meski demikian, tetap ada celah kalau melihat ke undang-undang yang lain. UU MD3, misalnya, yang lagi rame sekarang, menyatakan kalau fungsi DPRD itu ada tiga: legislasi, anggaran, dan pengawasan (Pasal 316 dan 365).
Ketentuan itu kan tentunya menjadi turunan dari UUD 1945. Dengan demikian, fungsi DPRD memang hanya tiga itu, sebagai penerapan dari ketentuan mengenai pemerintahan daerah di UUD 1945. Tidak ada fungsi untuk memilih kepala daerah.
Kalau, seandainya RUU Pilkada disahkan, dan kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi, mungkin hal ini bisa jadi celah yang dimanfaatkan.
Simpulannya, saya tetap mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung.