loh obama itu dipilih secara langsung
bukan ke situ arahnya, jika tidak ingin ada penjegalan, koalisi pro eksekutif harus menjadi mayoritas di legislatif, sesederhana itu
sama begitu juga dengan pemilihan kepala daerah
loh obama itu dipilih secara langsung
bukan ke situ arahnya, jika tidak ingin ada penjegalan, koalisi pro eksekutif harus menjadi mayoritas di legislatif, sesederhana itu
sama begitu juga dengan pemilihan kepala daerah
CURE SUNSHINE WA KAKKOSUGIRU.
Ibarat pacar, ada yang suka milih sendiri (langsung) tapi ada juga yang suka dipilihin orang tua (ndak langsung).
Ketika ndak ada krisis kepercayaan antara ortu dan anak, yang satu ndak lebih baik dari yang satu lagi. Ortu yang percaya pada penilaian si anak akan memberikan kepercayaan pada si anak untuk memilih pasangan hidupnya sendiri. Anak yang percaya pada penilaian ortu akan memberikan kepercayaan pada ortu untuk memilihkan pasangan hidup untuknya. Akhirnya si anak ketemu dengan pasangan hidup-nya, they get married and live happily ever after, the end.
Masalahnya ketika antara ortu dan anak sudah ndak ada kepercayaan lagi dan masing-masing merasa berhak untuk memilih. Akhirnya terjadi backstreet atau kawin paksa, si anak lari dari rumah atau terpaksa kawin lalu cerai, si anak menderita.
Ketika antara rakyat dan perwakilannya ndak ada kepercayaan lagi dan masing-masing merasa berhak untuk memilih, pertanyaannya, "Kepala daerah sebenarnya untuk siapa?" Kalau untuk rakyat maka rakyat berhak untuk memilih pemimpinnya. Para anggota dewan ndak punya hak di atas rakyat untuk memilih kepala daerah karena anggota dewan hanya berfungsi mewakili rakyat dalam legislasi, anggaran dan pengawasan. That's all.
RUU Pilkada mestinya ndak bisa dipersiapkan Kemendagri tanpa sepengetahuan/persetujuan rakyat karena RUU itu menghapus hak rakyat memilih pemimpinnya, menghapus hak suara rakyat Indonesia untuk memilih pemimpinnya sendiri. RUU itu sudah merupakan pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah demokrasi khususnya Indonesia, menghapus suara rakyat yang sudah diperjuangkan ratusan tahun.
Rakyat Indonesia sudah dibuat bisu selama 32 tahun, hak mereka untuk bersuara akan dihapus kembali.
This is the sequel, my friends. You all have to speak up. Para wakil-mu itu ndak punya hak untuk merancang apalagi mengesahkan undang-undang apapun yang menghapus hak asasi-mu sebagai manusia.
It ain't funny. Semua yang dipendam dan diperjuangkan orangtua dan kakek-nenekmu selama 32 tahun itu akan sia-sia.
Unless you are part of them, speak up!
Last edited by mbok jamu; 02-10-2014 at 07:48 PM.
"The two most important days in your life are the day you are born and the day you find out why." - Mark Twain
menurut saya tidak ada masalah mbok, ini hanya mengenai teknis belaka
jangan salah, di negara-negara maju macam US saja beberapa negara bagiannya gubernur itu dipilih oleh legislatif, tapi tidak ada gejolak yg berarti
berarti masalahnya bukan di teknis harus dipilih langsung ataupun tidak, tapi ini adalah masalah moral
rakyat melihat moral legislatif di negeri ini sudah negatif, jadinya teknis ini kebawa-bawa salah, padahal seperti yg sudah saya singgung sebelumnya, dipilih langsung oleh rakyat pun tidak menjamin kepala daerah tsb tidak memiliki masalah moral
CURE SUNSHINE WA KAKKOSUGIRU.
Selamat datang kembali ke dunia romansa orde baru. Dimana kita tidak bebas memilih.. hingga terpaksa dipilihkan untuk terpaksa tampak bahagia
Ndak juga. Sebagus apapun fotografernya kalo kameranya abal2 ya hasilnya bakal abal2 juga.Originally Posted by Ishaputra
Dlm konteks pemilihan anggota legislatif, mau sepintar apapun masyarakat dlm memilih tetap aja hasilnya bakal abal2 kalo pihak yg dipilih (DPR) realitanya memang tidak loyal pada pihak pemilih (konstituen) melainkan loyal pada juragannya (partai).
Jadi buat apa ada "Pemilu (Langsung) Legislatif" oleh rakyat kalo begitu? Mendingan anggota legislatif itu ditunjuk/dipilih langsung oleh partai berdasarkan jumlah jatah kursi partai yg didapatkan melalui "Pemilu (Langsung) Partai" oleh rakyat. Cukup sekali pemilu dlm lima tahun kayak jaman mbahku dulu. Simpel. Praktis. Murah.
Piye mas bro? Iseh penak jamanku mbiyen tho?
Gusti iku dumunung ing atine wong kang becik, mulo iku diarani Gusti... Bagusing Ati.
Logika yang sama juga berlaku untuk pilkada langsung.
(Lagian, kalo fotografernya bagus, dia gak bakalan beli/pake kamera abal-abal).
---------- Post Merged at 05:32 AM ----------
Wah, relatif ini jawabannya. Tergantung apakah dari pilihan yang tersedia, ada yang cocok di hati apa tidak. Yang jelas, kalo saya mau beli celana, saya akan tertarik dengan toko yang punya stock lengkap ketimbang yang cuma 2 pilihan (merk/jenis) saja.
---------- Post Merged at 05:35 AM ----------
Bener, ini bukan masalah teknis tapi masalah kualitas DPR/DPRD yang buruk sehingga tidak dipercaya oleh rakyat. Tapi hermannya, DPR/DPRD kan ya dipilih rakyat juga.
Herman saya dengan logika masyarakat..
Twitter: @tingnongtingcer
Blog: http://ishaputra.wordpress.com/
Jadi bener "iseh penak jamanku mbiyen", tho? Rakyat coblos Partai -> Partai pilih DPR/DPRD -> DPR/DPRD pilih Presiden dan Kepala Daerah.Originally Posted by Ishaputra
Oke sekarang kita coba bandingkan antara "Pileg vs Pilkada" pake "logika yg sama". Saya comot salah satu "inti" dari pernyataan sampeyan di topik ini...:
Mari kita bandingkan kameranya eh maksudku sistem dan mekanismenya antara "milih wakil" (Pileg) dgn "milih kepala daerah" (Pilkada).Point saya simpel aja: Kalo rakyat belum becus milih wakilnya, kenapa bisa merasa becus milih kepala daerah?
Dlm setiap Pilkada Langsung, setiap kali masuk bilik suara orang akan langsung buka surat suara seukuran A4 berisi 234 eh maksudku 2, 3 sampe 4 pasangan calon. Orang relatif mudah untuk tahu profil dari calon2 tsb krn memang ndak sulit untuk didapatkan (lewat media misalnya) shg dia bisa millih salah satu pasangan calon dgn sadar-sesadarnya memang pasangan itulah yg dipilihnya.
Lalu bandingkan dgn Pileg Langsung...
Setiap masuk bilik suara seseorang akan membuka surat suara seukuran koran jadul berisi gambar2 selfie eh foto wajah dari (mungkin) lebih dari 100 jumlahnya dan salah satunya harus dicoblos.
Lha trus gimana masyarakat mesti pelajari profil dari 100 wajah tsb sebelum memutuskan bahwa dia memilih salah satu caleg terbaik diantara seratusan caleg tsb? Itu sama aja memaksa seseorang merem sambil ngitung bunyi tokek untuk menentukan caleg mana yg dipilih. Kalopun orang itu nyoblosnya sambil melek paling2 dia akan coblos "public figure" yg paling dia tahu. Maka ndak heran kalo akhirnya misallnya Anang Hermansyah ato seleb2 yg lain, bahkan seorang Titik anaknya mbah Harto, yg akhirnya terpilih sbg anggota legislatif.
Lalu dimana logikanya "hasil jepretannya bisa bagus kalo kameranya abal2 begitu"? Mosok yg disalahin potograpernya eh masyarakat pemilihnya.
So, poin saya, "ketidak-becusan" masyarakat dlm memilih anggota legislatif itu ndak bisa "disamakan logikanya" dgn dlm hal memilih kepala daerah.
Herman saya dgn logika sampeyan.
Gusti iku dumunung ing atine wong kang becik, mulo iku diarani Gusti... Bagusing Ati.
Ini Isi Perppu Pilkada yang Dikeluarkan Presiden SBY
Jumat, 3 Oktober 2014 | 09:19 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada), Kamis (2/10/2014). Perppu ini terkait mekanisme pelaksanaan pilkada yang sebelumnya telah disahkan DPR melalui RUU Pilkada pada 26 September 2014.
Namun, pengesahan RUU ini menimbulkan polemik karena bertentangan dengan keinginan masyarakat yang menghendaki pemilihan secara langsung. Sementara itu, ketentuan RUU Pilkada mengubah mekanisme pemilihan menjadi tidak langsung, yaitu melalui DPRD. (Baca: Batalkan Pilkada Tak Langsung, Presiden SBY Terbitkan 2 Perppu!)
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, Presiden menghendaki pelaksanaan pilkada yang lebih baik dari sebelumnya. Isi Perppu yang ditandatangani Presiden, kata dia, menjawab kritik dan masukan dari berbagai pihak terkait penyelenggaraan pilkada langsung. (Baca: #TerimaKasihSBY "Buah" dari Dua Perppu Pilkada yang Diterbitkan SBY)
"Presiden SBY menghendaki agar pelaksanaan pilkada ke depan lebih baik dari sebelumnya. Karena itu, substansi Perppu 1/2014 adalah jawaban atas kritik, masukan, dan hasil evaluasi yang selama ini banyak disuarakan berbagai pihak," ujar Denny, melalui keterangan pers yang diterima Kompas.com, Jumat pagi.
Sejak awal pembahasan, menurut Denny, Presiden menginginkan pelaksanaan pilkada secara langsung dengan sejumlah perbaikan. (Baca: Inilah 10 Perbaikan Pilkada Langsung yang Dimuat SBY dalam Perppu)
Berikut garis besar isi Perppu yang diterbitkan Presiden.
1. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota langsung oleh rakyat (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2);
2. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung oleh DPRD (Pasal 205);
3. Adanya uji publik calon kepala daerah agar dapat mencegah calon yang integritasnya buruk dan kemampuannya rendah (Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) huruf b, dan Pasal 7 huruf d);
4. Penghematan atau pemotongan anggaran pilkada secara signifikan (Pasal 3, Pasal 65 ayat (1) huruf c, d, e, dan f, serta ayat (2), dan Pasal 200);
5. Pembatasan kampanye terbuka agar menghemat biaya dan mencegah konflik horizontal (Pasal 69);
6. Pengaturan akuntabilitas penggunaan dana kampanye (Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76);
7. Larangan politik uang dan biaya sewa parpol pengusung yang dapat berdampak pada tindakan penyalahgunaan wewenang (Pasal 47);
8. Larangan kampanye hitam yang dapat menimbulkan konflik horizontal (Pasal 68 huruf c);
9. Larangan pelibatan aparat birokrasi yang menyebabkan pilkada tidak netral (Pasal 70);
10. Larangan mencopot jabatan aparat birokrasi pasca-pilkada karena dianggap tidak mendukung calon (Pasal 71);
11. Pengaturan yang jelas, akuntabel, dan tranparan terkait penyelesaian sengketa hasil pilkada (Bab XX Pasal 136 sd 159);
12. Pengaturan tanggung jawab calon atas kerusakan yang dilakukan oleh pendukung (Pasal 69 huruf g, Pasal 195);
13. Pilkada serentak (Pasal 3 ayat (1);
14. Pengaturan ambang batas bagi parpol atau gabungan parpol yang akan mendaftarkan calon di KPU (Pasal 40, Pasal 41);
15. Penyelesaian sengketa hanya dua tingkat, yaitu pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (Pasal 157);
16. Larangan pemanfaatan program atau kegiatan di daerah untuk kegiatan kampanye petahana (Pasal 71 ayat (3));
17. Gugatan perselisihan hasil pilkada ke pengadilan tinggi/Mahkamah Agung hanya dapat diajukan apabila memengaruhi hasil penetapan perolehan suara oleh KPU secara signifikan (Pasal 156 ayat (2).
Denny mengatakan, agar regulasinya tidak saling bertentangan, Presiden juga menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perppu Pemda).
Isi Perppu tersebut intinya berisi dua hal, yaitu pertama, menghapus tugas dan wewenang DPRD Provinsi untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian (Pasal I angka 1).
Kedua, menghapus tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali kota kepada menteri dalam negeri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian (Pasal I angka 2).
"The two most important days in your life are the day you are born and the day you find out why." - Mark Twain
Last edited by ndableg; 04-10-2014 at 01:16 AM.
you meet someone
you two get close
its all great for awhile
then someone stops trying
Talk less, awkward conversations, the drifting
No communication whatsoever
Memories start to fade
Then the person you know become the person u knew
That how it goes. Sad isn't it?
Pantesan Bowo gak pernah ada matinya...*kudanyabanyak
Gusti iku dumunung ing atine wong kang becik, mulo iku diarani Gusti... Bagusing Ati.
Inget, Beye si kebo klemar-klemer itu hasil pilihan rakyat lho, tahan 2 periode.
Problem masyarakat itu bukan soal kesulitan teknis, tapi "sulit" secara intelektual untuk membedakan/mengenali mana calon yang oke dan tidak oke.Orang relatif mudah untuk tahu profil dari calon2 tsb krn memang ndak sulit untuk didapatkan (lewat media misalnya) shg dia bisa millih salah satu pasangan calon dgn sadar-sesadarnya memang pasangan itulah yg dipilihnya.
Gampang aja kok milih yang terbaik dari 100-an caleg, KALAU MEMANG ADA YANG BAIK. Kan sebelumnya para caleg itu berkampanye (memasang poster, dsb). Kita pergi ke toko baju aja disediakan banyak sekali pilihan, toh ya akhirnya bisa milih yang pas sesuai dengan kebutuhan kita.
Masalah sulitnya mencari caleg yang berkualitas, bukan soal ada 100-an calon, tapi karena memang jarang. Masyarakat memilih sekedar memilih, asal coblos daripada golput. Itulah yang namanya kebodohan. Belum lagi memilih caleg karena caleg tersebut ngasih sembako & uang, dsb.
Twitter: @tingnongtingcer
Blog: http://ishaputra.wordpress.com/
Jelas inget. Dan inget juga lho, yang ndak dipilih (langsung) oleh rakyat itu cuma Sang Jenderal Besar Bapak Pembangunan HM Soeharto, lalu Si Mata Belo Bibie, Si Mata Buta Durrahman dan Si Emak Bodoh Mega-l-Megol.Originally Posted by Ishaputra
Piye mas bro, iseh penak jamanku mbiyen tho?
*kalocumamauberolokoloksayajugabisa
Bagaimanapun, kalo bicara probabilitas (bicara probabilities itu pake itungan "ilmah" dan logis lho, bukan sekedar possibilities bunyi tokek), untuk bisa "benar" (tepat) memilih anggota legislatif (berkualitas) itu nilai peluangnya lebih kecil dibandingkan memlilih kepala daerah (berkualitas). Soal "angka2" ini sebenarnya, scr tersirat, udah disinggung Kang nDableg sebelumnya, tulisan saya terakhir cuma mengelaborasinya scr lebih rinci soal teknis di lapangan scr riil aja.Problem masyarakat itu bukan soal kesulitan teknis, tapi "sulit" secara intelektual untuk membedakan/mengenali mana calon yang oke dan tidak oke.
Gampang aja kok milih yang terbaik dari 100-an caleg, KALAU MEMANG ADA YANG BAIK. Kan sebelumnya para caleg itu berkampanye (memasang poster, dsb). Kita pergi ke toko baju aja disediakan banyak sekali pilihan, toh ya akhirnya bisa milih yang pas sesuai dengan kebutuhan kita.
Masalah sulitnya mencari caleg yang berkualitas, bukan soal ada 100-an calon, tapi karena memang jarang. Masyarakat memilih sekedar memilih, asal coblos daripada golput. Itulah yang namanya kebodohan. Belum lagi memilih caleg karena caleg tersebut ngasih sembako & uang, dsb.
Masalah lainnya, celakanya lagi, daftar caleg2 yg diajukan OLEH PARPOL umumnya memang "barang busuk", dus peluang "KALAU MEMANG ADA YANG BAIK" (istilah sampeyan) itupun probabilitasnya juga kecil. Poin ini, scr ndak langsung, erat dgn yg sebelumnya dilontarkan oleh Kop Kandalf soal "calon independent".
Jadi kalo mau "nyari2 kesalahan" pada "obyek" (bukan proses), maka titik sentral kesalahannya ada di (elit) Parpol, kemudian di DPR/DPRD, setelah itu baru bisa tunjuk hidung ke masyarakat (sbg pemilih).
Sedangkan kalo bicara ttg "proses", IMO, alih2 meributkan soal (langsung-tidaknya) Pilkada (dan/atau Pilpres), menurutku justru PILEG itu yg lebih urgent untuk diberesin. Udah jadi rahasia umum bisik2 soal besarnya "mahar" setoran baleg/caleg ke Parpol pengusung, sebar sembako ke masyarakat, dst...sampe cerita2 konyol soal jimat dan mantera2, dateng ke mbah dukun, mandi kembang tujuh rupa di tujuh sumur, sendang dan tiga tempuran sungai, sampe larisnya RSJ pasca pelaksanaan Pileg, dst...dsb.
Celakanya, masyarakat "umum" (bukan timses si caleg) pun cenderung ndak peduli dgn hal tsb (Pileg) dibandingkan dgn Pilkada (dan Pilpres). Memang, IMO, pada realitanya Pileg itu adalah "Pesta Rakyat yg sesungguhnya", maksudku rakyat benar2 disuguhi tontonan hiburan berupa dagelan yg lumayan bisa mengocok perut.
So, berdasarkan hal tsb, kalo ndak segera dibenahi, saya malah prefer mekanismenya dikembalikan ke jaman Si Jenderal Koplak Soeharto dimana rakyat cukup melaksanakan Pemilu Partai lima tahun sekali dan selanjutnya Parpol yg akan menunjuk kadernya duduk di legislatif. Simpel. Praktis. Murah. Toh realitanya legislatif itu lebih loyalnya ke Parpol, bukan ke rakyat. Memecat kader adalah hak penuh Parpol dan itu ndak melanggar konstitusi. Jadi wajar, meskipun bisa dianggap "kurang ajar" dimata masyarakat, akibatnya DPR/DPRD hanya loyal ke juragannya (Parpol).
Itu (bergaris bawah) usulan serius ndak pake "hihihi" lho. No...no..., bukan berarti saya lebih setuju sistem di jaman Orba. Tidak sama sekali. Saya sedang bicara antara PILEG dgn Pemilu Partai, krn sampeyan pun bilang "ndak mbahas Pilkada" yg menurut sampeyan langsung atau ndak langsung bagi anda sami mawon.
Sedangkan untuk Pilkada (dan Pilpres) itu sendiri, ini yg jadi topik di tret ini, saya udah sampaikan preferensi saya di postingan2 sebelumnya.
Gusti iku dumunung ing atine wong kang becik, mulo iku diarani Gusti... Bagusing Ati.
Insentif orang pintar dan baik-baik untuk jadi anggota DPR kecil atau malah minus. Sebaliknya insentif orang (mau) kaya untuk jadi anggota DPR besar sekali, supaya bisa mempertahankan kekayaannya melalui pengaturan undang-undang. Sumber kekacacauan ini tampaknya memang dari parpol yang suka-suka menggandeng kader. Apalagi kalo udah gandeng yang instant seperti artis-artis. Pendidikan politiknya tidak bagus sama sekali.
There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.
Everyone wants happiness, no one wants pain.
But you can't make a rainbow without a little rain.
you meet someone
you two get close
its all great for awhile
then someone stops trying
Talk less, awkward conversations, the drifting
No communication whatsoever
Memories start to fade
Then the person you know become the person u knew
That how it goes. Sad isn't it?