maaf om alip saya lebih sering online km pakai hape jadi gerak terbatas buat copas, bukan bermaksud membuat susah para pelaku diskusi.
hanya ingin memberikan pandangan lain soal bunga bank ini.
dengan segala keterbatasan saya copas artikel contoh riba, dan kenapa bunga bank dianggap riba (oleh artikel ini) maaf kalau copasnya berantakan. ntar kalau di laptop diperbaiki insyaAllah.
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah,
sebab riba jenis inilah yang terjadi pada
jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari
penambahan tempo (bayar hutangnya atau
tambah nominalnya dengan mundur-nya
tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B
dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si
B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A
menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri
saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya
menjadi Rp 1.100.000.” Demikian
seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah
(melipatgandakan uang). Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat
ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang
dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si
B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya
hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu
bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang
paling besar dosanya dan sangat tampak
kerusakannya. Riba jenis ini yang sering
terjadi pada bank-bank dengan sistem
konvensional yang terkenal di kalangan
masyarakat dengan istilah “menganakkan
uang.” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba
qardh (riba dalam pinjam meminjam).
Gambarannya, seseorang meminjamkan
sesuatu kepada orang lain dengan syarat
mengembalikan dengan yang lebih baik
atau lebih banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena
seharga Rp. 1000 dengan syarat akan
mengembalikan dengan pena yang seharga
Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga
Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp
110.000 saat jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang
mendatangkan keuntungan adalah riba,
dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib z:
“Setiap pinjaman yang membawa
keuntungan adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada
Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk
(ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul
Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagai-mana
yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil
Barr dan para ulama lain, bahwa setiap
pinjam meminjam yang di dalamnya
dipersyaratkan sebuah keuntungan atau
penambahan kriteria (kualitas) atau
penam-bahan nominal (kuantitas)
termasuk riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba
jahiliyah yang telah lewat penyebutannya
dan termasuk riba yang diharamkan
berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan
ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya
keuntungan sangat bertentangan dengan
maksud dan tujuan mulia dari pinjam
meminjam yang Islami yaitu membantu,
mengasihi, dan berbuat baik kepada
saudaranya yang membutuhkan
pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi
jual beli yang mencekik orang lain.
Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar
Rp. 11.000 sama dengan membeli Rp.
10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada
kaidah ini, di antaranya:
a. Misalkan seseorang berhutang kepada
syirkah (koperasi) Rp 10.000.000 dengan
bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1
tahun. Namun pihak syirkah mengatakan:
“Bila jatuh tempo namun hutang belum
terlunasi, maka setiap bulannya akan
dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah
lewat penyebutannya. Dan cukup banyak
syirkah (koperasi) atau yayasan yang
menerapkan praktik semacam ini.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang
tanpa bunga untuk modal usaha dengan
syarat pihak yang meminjami mendapat
prosentase dari laba usaha dan hutang
tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah membe-
rikan sejumlah uang kepada seseorang
untuk modal usaha dengan syarat setiap
bulannya dia (yang punya uang)
mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik
usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada
koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah
pun menerapkan sistem ini dengan istilah
mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan
seseorang memberikan modal Rp. 10 juta
untuk modal usaha dengan ketentuan
pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau
30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil
usaha. Bila menghasilkan laba maka dia
mendapatkannya, dan bila ternyata rugi
maka kerugian itu ditanggung bersama
(loss and profit sharing). Hal ini
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah n
dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul
muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh
mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/
qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan
baju indah nan Islami bernama
mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang
yang digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta
kepada si B (pegadaian) dengan mengga-
daikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak
pegadaian memanfaatkan sawah tersebut,
mengambil hasilnya, dan apa yang ada di
dalamnya sampai si A bisa mengembalikan
hutangnya. Tindakan tersebut termasuk
riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu
pemeliharaan atau biaya, maka barang
tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti
pembiayaan. Misalnya yang digadaikan
adalah seekor sapi dan pihak pegadaian
harus mengeluarkan biaya untuk pemeliha-
raan. Maka pihak pegadaian boleh meme-
rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti
biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat
Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu
Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki
(sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan
yang tergadai dapat diminum (sebagai
ganti) nafkahnya.”
2. Tanah sawah yang digadai akan
mengalami kerusakan bila tidak ditanami,
maka pihak pegadaian bisa melakukan
sistem mudharabah syar’i dengan pemilik
tanah sesuai kesepakatan yang umum
berlaku di kalangan masyarakat setempat
tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang
biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang
ditanami pihak pegadaian tadi menghasil-
kan, maka pemilik tanah dapat 50%.
Namun bila si pemilik tanah merasa tidak
enak karena dihutangi lalu dia hanya
mengambil 25% saja, maka ini tidak
diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-
shawab.
http://asysyariah.com/macam-macam-riba/