Obama dan Putin, siapa yang agresor sebenarnya?
SAAT krisis di Ukraina mengemuka, salah satu aspek yang sangat mencolok adalah bahasa yang digunakan media dan politisi Barat saat menggambarkan Rusia dan Presiden Vladimir Putin.
Negara dan pemimpinnya itu dicap sebagai agresor, penjajah, pembangun kerajaan, dan bahkan dibandingkan dengan Nazi Jerman.
Meminjam istilah Alexander Clarkson, peneliti dan pengamat politik Global Political Insight asal Amerika Serikat, di ilmu psikologi terdapat istilah untuk menggambarkan mekanisme pertahanan yang dicirikan dengan memproyeksikan perasaan yang tidak diinginkan ke pihak lain.
opiniMungkin, AS dan sekutu Baratnya mengalami lonjakan proyeksi, sebagai cara mereka menggambarkan Rusia. Tapi mereka tidak hanya keliru, tapi juga tepat untuk menggambarkan wajah Barat yang sebenarnya.
Sejak Presiden Vladimir Putin berkuasa pada tahun 2000, terlepas dari krisis terbaru di Ukraina ini, Rusia telah terlibat dalam dua konflik besar, yakni Perang Chechnya 1999 dan 2009, serta “Perang Lima Hari” melawan Georgia pada 2008.
Dalam kedua peristiwa ini, fakta mencatat bahwa Rusia tidak menghasut konflik, dan terkesan bertindak membela diri. Konflik Chechnya dimulai pasca invasi Dagestan, saat Islam Brigade Chechnya berbasis International (IIB), milisi Wahhabi [yang diam-diam didukung CIA] yang dipimpin panglima perang Shamil Basayev dan Ibn al-Khattab.
Mereka menyerbu Rusia Dagestan pada 2 Agustus 1999, untuk mendukung pemberontak separatis Syura Dagestan. Saat itu Rusia hanya diberi sedikit pilihan selain memasuki Chechnya pada 1 Oktober.
Lalu ini berujung pada kemerdekaan de facto Republik Ichkeria Chechnya dan pulihnya kembali kendali pemerintahan federal Rusia atas wilayah tersebut. Meski terjadi perdebatan tentang apakah itu merupakan konflik ‘asing’ atau bukan, namun cukup masuk akal untuk menyatakan bahwa krisis itu bersifat internal.
Konflik dengan Georgia, mengikuti garis yang sama dengan peristiwa di Chechnya, dimana mulai dari tanggal 7 (malam) sampai 8 Agustus 2008, Georgia melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap Ossetia Selatan untuk merebut kembali wilayah itu.
Serangan Georgia memakan korban pasukan penjaga perdamaian Rusia, yang menolak serangan bersama milisi Ossetia.
Rusia [tentu] berhak bereaksi dengan mengerahkan Angkatan Darat Rusia unit ke-58 dan pasukan udaranya ke Ossetia Selatan sehari kemudian, serta meluncurkan serangan udara terhadap pasukan Georgia di Ossetia Selatan dan menarget sasaran militer serta logistik di Georgia.
Mayoritas pakar, pengamat, dan duta besar menyetujui bahwa perang itu memang dimulai oleh pihak Georgia.
Sejak Putin menjabat presiden, Rusia tidak pernah diserang atau menyerang negara lain, kecuali terdapat provokasi yang jelas dari pihak lawan. Fakta ini tampaknya sudah diketahui para pemimpin dan media Barat yang terus menggambarkan Rusia sebagai negara menakutkan dan tak mudah ditebak.
Liputan krisis di Ukraina, terutama di Crimea, memunculkan kesan bahwa media Barat sangat bernafsumenggambarkan Rusia sebagai bangsa yang berkali-kali melanggar hukum internasional dan kedaulatan negara lain. Padahal yang sebenarnya, justru sebaliknya.
Lalu, apakah pengiriman pasukan di Crimea disebut “invasi”? Jangan terburu-buru memastikannya. Karena hingga detik ini tak ada darah tertumpah dan tak ada pertempuran atau bahkan tembakan, kecuali tembakan peringatan ke udara.
Tapi Presiden Barack Obama di Washington dan para pemimpin Eropa seolah sepakat dengan sebuah dalih yang digaungkan bahwa Rusia telah melanggar kedaulatan teritorial Ukraina.
Padahal, mesti dicatat bahwa baik publik Crimea maupun Rusia tidak mengakui pemerintahan interim Ukraina saat ini. Dengan demikian bagi keduanya, wilayah Ukraina benar-benar berada di bawah anarki dan kekacauan.
Terkait insiden yang didokumentasikan tentang kekerasan neo-Nazi di Kiev dan bagian lain Ukraina, sudah jadi tanggung jawab Rusia untuk menjamin bahwa etnis Rusia di Crimea dilindungi.
Harus dicatat bahwa Rusia tidak mengklaim Crimea saat ini sebagai milik atau bagian dari Federasi Rusia. Baru pada 16 Maret nanti diketahui melalui referendum untuk memutuskan bergabung ke Rusia atau tidak.
Hasil referendum itu akan menjadi rujukan bagi Moskow untuk mengambil tindakan yang tepat, yaitu hengkang jika Crimea memilih tetap menjadi bagian Ukraina atau tinggal di sana jika warga Crimea memilih menjadi bagian dari Rusia.
Dalam fakta dan catatan dunia, Rusia selalu mematuhi hukum internasional dan sudah menunjukkan selama 14 tahun terakhir tanpa pernah melakukan agresi militer.
Sebaliknya, AS dan NATO adalah negara-negara doyan perang. AS sendiri telah melakukan intervensi di negara berikut: Sierra Leone, Nigeria, Yaman, Afghanistan, Filipina, Côte d’Ivoire, Irak, Georgia, Haiti, Djibouti, Kenya, Ethiopia, Eritrea, Pakistan, Libanon, Somalia, Libya, Uganda, Jordan, Chad, Mali, dan Turki.
NATO juga terlibat dalam intervensi Bosnia and Herzegovina, Kosovo, Perang Afghanistan, dan yang terbaru adalah Libya. Di mana terhadap Afghanistan dan Libya, NATO justru menciptakan malapetaka yang membuat kedua negara itu hancur berantakan dan menciptakan anarkisme baru.
Selain itu, NATO juga melanggar janjinya terhadap Rusia. “Mikhail Gorbachev, mantan Presiden Uni Soviet dilaporkan setuju untuk mengizinkan reunifikasi Jerman dalam NATO setelah NATO berjanji tidak akan memperluas wilayah ‘se-inci pun ke timur’.
Namun pada 1999, Polandia, Hungaria, dan Republik Ceko bergabung dengan NATO, meskipun Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu mengklaim tidak berencana memperluas [koloninya] setelah berakhirnya Perang Dingin.
Ekspansi lain datang dengan pengesahan negara Eropa Tengah dan Timur: Estonia, Latvia, Lithuania, Slovenia, Slovakia, Bulgaria, dan Romania.
Baru-baru ini, Albania dan Kroasia bergabung pada 1 April 2009, sesaat sebelum KTT Strasbourg-Kehl 2009. Ekspansi masa depan saat ini menjadi topik perdebatan di banyak negara.
Siprus dan Macedonia terhenti pengesahan masing-masing, sementara Turki dan Yunani menunggu penyelesaian sengketa di antara mereka. Negara-negara lain yang akhirnya bergabung termasuk Bosnia dan Herzegovina, Montenegro, dan Georgia.
Karena itu, kekhawatiran Putin sangat benar dan masuk akal. NATO sebenarnya punya misi besar yakni mengepung Rusia.
Keterlibatan Uni Eropa dan AS baru-baru ini di Ukraina hanya memperburuk kekhawatiran Putin dan petinggi di Kremlin. Karena itu, tak kaget jika Rusia menentang keras pemerintah dukungan Barat di Ukraina.
Serangan terbaru terhadap Rusia tidak hanya keliru dan munafik, namun juga menggambarkan nafsu Barat untuk mendiskreditkan dan memfitnah Rusia demi tujuan geopolitisnya.
Dari berbagai gambaran dunia itu, dengan mudah diurai bahwa Barat yang sebenarnya agresif dan intervensionis. AS dan NATO yang berencana membangun imperium kekuasaan di dunia, bukan Rusia.*
saus