Kalo menurutku, ucapan "assalamu alaikum" itu pada dasarnya adalah salam (budaya) Arab, bukan eksplisit Islam. Jadi kalo itu dikaitkan dgn persoalan akidah (agama Islam) menurutku itu lebay bin alay.
Eiiits...tunggu dulu.
Harus saya akui bahwa budaya salam Arab tsb nilainya lebih "bagus" dibandingkan dgn budaya salam lokal. Lha mana ada salam budaya lokal yg isinya ada unsur mendoakan pihak yg diberi salam dlm bentuk ungkapan yg sangat eksplisit seperti itu?
Masalahnya, cocokkah budaya salam Arab tsb diserap kedalam budaya lokal? Menurutku, kalo untuk memperkaya (budaya lokal) YA, tapi kalo untuk menggantikan TIDAK. Jadi kalo mau dipakai ya monggo, ndak dipakai juga ndak apa2, yg penting berbudaya n beradab.
Dan implikasinya, berdasarkan dasar argumen tsb, menurutku sebaiknya kalimat tsb ndak usah diterjemahkan kedalam bahasa lokal. Biarkan aja apa adanya, seperti halnya bentuk salam2 lain dari luar (non lokal) kayak misalnya "syalom aleikhem, sabbe sutta sukhita hontu, gong xi fat chai, dll". Semua itu akan memperkaya khasanah budaya salam lokal yg udah ada seperti "selamat pagi/siang/sore/malam, selamat berbahagia, selamat ulang tahun, permisi, punten, kulo nuwun, dll".
Sedangkan kalo mau maksa untuk diterjemahkan jadinya malah aneh, lucu, ajaib. Itu malah ibaratnya seperti menerjemahkan misalnya bacaan shalat kedalam bahasa lokal. No...no, saya ndak bilang itu salah. Disini saya ndak sedang bicara soal benar-salah. Saya hanya bilang, itu aneh, lucu, dan ajaib. Kocak aja.
Dan, misalnya lagi, saya ndak kebayang kalo ada orang bertamu ketok2 pintu "tok-tok-tok...assalamu alaikum...tok-tok-tok...permisi, assalamu alaikum, halooo, eni badi hom, tok-tok kulonuwun, assalamu alaikum, alo-alo-alo asssalamuuu alaikuuummm, dst."
Coba kalo disitu "assalamu alaikum" diterjemahkan dan diucapkan dlm bhs lokal, apa itu ndak malah bikin ngakak?
*ini pendapat saya pribadi scr common sense aja lho, ndak pake dalil*