Page 5 of 6 FirstFirst ... 3456 LastLast
Results 81 to 100 of 107

Thread: Today's pick

  1. #81
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Barusan baca-baca tentang Item Response Theory. Bacaan berat --> malas baca. Lihat grafiknya sambil menghela nafas, apaan ya maxudnya?



    Melihat manfaatnya untuk mengukur kapasitas akademik yang sebenarnya dari peserta ujian, kalo aku yang jadi Menteri Pendidikan nih, itu para pakar pendidikan tak suruh bikin grading sistem berdasarkan IRT dari tingkat SD sampe minimal SMA. Tapi secara aku tidak akan jadi menteri, dan menteri pendidikan yang terpilih biasanya juga dosen yang bukan pakar dalam bidang pendidikan, masih jauh panggang dari api keinginan untuk mengukur level akademis para siswa yang sebenarnya. Jangankan mau ngukur yang bener. Menjelang UN saja udah banyak isu-isu kecurangan.

    Eh, nah satu lagi daftar pengawasanku untuk anggota kabinet tahun depan. Menteri Pendidikan harus pakar pendidikan. Bukan dosen ekonomi atau informatika. Entah apa isi kepala presiden tercintah waktu itu yang jelas sistem pendidikan tidak kelihatan progressnya sampe sekarang. Kenapa ya pendidikan selalu dinomor sekian kan? Duitnya dibanyakin (setelah dipaksa) tapi manajemennya dicuekin. Dianggap semua orang bisa ngurus pendidikan kali.

    Padahal mafhumnya salah satu ukuran kemajuan suatu negara adalah tingkat pendidikan. Masa aku harus curiga sistem pendidikan sengaja dibiarkan amburadul? Jadi ingat masa Pak Harto. SD dibangun puluhan ribu buah tahun 70an sehingga dalam waktu singkat Indonesia berhasil menggenjot primary enrollment rate di atas 90%. Wah betapa hebatnya. Lah tapi cuma SD yang dibangun banyak-banyak. Begitu mau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi kursinya nggak ada. Ini curiganya orang bodoh aja, bahwa rakyat memang dibatasi agar bisa baca tulis, jangan sampe lebih pintar dari itu. Makin pintar makin banyak tingkah soalnya

    Masih berkaitan dengan pendidikan, sedikit menyesali Anies Baswedan yang mengundurkan diri dari Indonesia Mengajar. Bukannya juga menyalahkannya karena ingin fokus di Konvensi Partai Demokrat. Hanya saja aku merasa Anies punya visi yang cukup baik dengan program tersebut dan berharap masih ada program terobosan lain darinya. Kecil kemungkinan dia jadi presiden tapi kalo dia dapat jatah jadi menteri pendidikan aku masih ridho deh. Atau kita tarik pulang aja itu si Mbak Butet dari Canberra untuk jadi menteri pendidikan yang akan datang
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  2. #82
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Nggak pernah ya...oke, maksudnya adalah sangat jarang sekali aku bersedia nonton youtube randomly yang panjang clipnya lebih dari 10 menit. Tapi yang ini...OMG! Hampir satu jam dan nonton sampe abis even though almost all the time it hurts my eyes.



    Why? Why on this earth she let herself go that way, waaaaaaaaaaaaay over what people called as obese?

    Kasian saya liat suaminya. Mandiin, buangin kotorannya ke toilet, literally dedicated his daily life for her, while at the same time dia tetap dengan tenang makan cheese cake di tempat tidur beberapa potong per hari. Kenapa ada orang yang begitu egois? Pada dasarnya saya kasihan juga, tepatnya di saat yang ini ketika dia memang memerlukan bantuan orang. Tapi saat dia membiarkan dirinya menggendut tanpa kendali sebelumnya, saya nggak kasihan.

    Speechless rasanya. That doesn't make any sense to me at all.

    Nah si suami menurut komen di youtube ada yang simpati tapi ada juga yang menganggap dia menikmati kegilaan ini. Maybe...pada dasarnya orang merasa lebih berharga ketika dibutuhkan orang lain. Cuma tarafnya ini yang super syekali!
    Last edited by tuscany; 07-12-2013 at 06:04 PM.
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  3. #83
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Why would a man in Morocco who doesn’t have enough to eat buy a television?
    Why is it so hard for children in poor areas to learn even when they attend school?
    Why do the poorest people in the Indian state of Maharashtra spend 7 percent of their food budget on sugar?
    Does having lots of children actually make you poorer?



    Aslinya, itu di sebuah pesta ketika saya iseng melihat buku ini lain sendiri dari seabrek buku fiksi di rak buku sebelah tempat duduk.



    Kaget begitu melihat nama pengarangnya. Salah satu penulisnya adalah Esther Duflo, yang bahan mata kuliahnya tentang Pak Sohin saya tulis di sini beberapa waktu yang lalu. Saya buka-buka sekilas tanpa semangat (ya iyalah lagi pesta gitu loh) dan tidak kelihatan rumus-rumus. Saya dan teman di sebelah berpendapat mungkin buku ini ditujukan untuk khalayak luas, sehingga bahasanya mesti mudah dicerna. Lalu...sebuah halaman menarik minat saya begitu saja, karena ada grafik yang kelihatan rumit. Oow...khalayak luas mampukan menterjemahkannya?



    Tentu saja mampu, karena teks setelahnya menerangkan dengan bahasa yang sangat precise apa yang terjadi pada Bu Tina (iya, Bu Tina ini masih sebangsa juga dengan Pak Sohin), sebelum dan setelah aset produksi miliknya dicuri. Sangking serunya membaca, sampai saya perlu diingatkan teman bahwa "Hello...kita lagi di pesta nih kayaknya"

    Sebelum aset produksi miliknya dicuri, kondisi ekonomi Bu Tina sedang menuju ke titik yang disebut higher equilibria. Jika dia berhasil sampai di sana, maka kehidupannya akan stabil dan asetnya malah mungkin terus bertambah. Lalu suatu hari aset produksinya dicuri. Dengan kondisi demikian maka kehidupannya menjadi semakin sulit dan terus menuju ke lower equilibria, tempat di mana orang-orang miskin terjebak dalam kemiskinan dan tidak mampu bangkit sangking miskinnya.

    Carter & Barrett adalah dua orang yang mengembangkan teori untuk menjawab pertanyaan kenapa orang yang sama-sama miskin ada yang berhasil keluar dari kemiskinan ada yang tidak. Mereka berargumen bahwa orang miskin yang tinggal di negara berkembang sulit mendapatkan kredit untuk mengakumulasi aset, dan aset yang ada memberikan imbal hasil yang terlalu kecil, sehingga mereka miskin selamanya. Inilah yang terjadi pada But Tina setelah pencurian. Mereka yang punya aset minimal untuk berkembang pada akhirnya akan mampu mengakumulasi aset terus menerus dan masuk ke dalam middle class. Ini Bu Tina sebelum kecurian. Karena saya bacanya langsung di tengah, saya tidak tahu jika sebelumnya sudah ada story background bagaimana Bu Tina bisa berproduksi dengan margin keuntungan yang cukup.

    Aset minimal secara teori disebut critical treshold. Batas aset yang menentukan apakah seseorang bisa naik level ke middle class atau bounce back ke permanent poor. Pikiran saya langsung menuju ke Bantuan Langsung Tunai yang ditentukan jumlahnya lewat...lewat apa ya? Proses politik, maybe?

    Jika duit sekian miliar itu, given this asset based poverty trap theory is somewhat valid, diberikan pada mereka yang membutuhkan dan cukup untuk mendorong sampai ke critical treshold, bukankah itu akan sangat efektif untuk mengurangi angka kemiskinan? Forget about moral hazard, karena itu akan selalu ada di mana-mana. Jika dikawal dengan aturan ketat, saya yakin bisa kok. Cuma jelas ada kerjaan tambahan seperti menghitung setiap keluarga miskin butuhnya berapa supaya sampe ke critical treshold sehingga mereka bisa mandiri. Ya...akhirnya kembali lagi ke political will, bener nggak sih ada untuk mengentaskan kemiskinan instead of sekedar jargon belaka.

    Selanjutnya para penulis menghubungkan kemiskinan dengan kesehatan. Pak Sohin, misalnya, setiap hari dilanda kecemasan akan makan apa hari ini. Ilutrasi lain adalah tentang seorang tua di India yang kehilangan satu-satunya harta berharga miliknya yaitu seekor unta. Setiap hari dia menangis dan saat orang berusaha menghibur kesedihannya, dia menjawab bahwa apa lagi yang bisa dilakukannya. Dia merasa sangat berhak bersedih dan menangis.

    Orang miskin lebih mudah depresi karena kehilangan harapan dan sulit bangkit kembali. Level stres ini bisa diukur lewat peningkatan hormon kortisol. Begitu menerima bantuan, ternyata level kortisol menurun (oke, setidaknya BLT ada gunanya sedikit). Tingginya level kortisol dikaitkan dengan menurunnya kemampuan kognitif dan pembuatan keputusan. Sampai di sini bacaan saya terhenti karena si teman.

    Saya lalu menyadari bahwa kemiskinan adalah sesuatu yang kompleks. Kemiskinan butuh intervensi menyeluruh untuk dienyahkan. Menyerangnya harus serentak dari berbagai arah dengan strategi yang tepat.

    Ternyata, buku ini memenangkan award sebagai Financial Times and Goldman Sachs Business Book of the Year di tahun 2011. Saya hanya membaca dua halaman, namun berkatnya mulai sekarang cara saya melihat kemiskinan dan orang miskin tidak akan pernah sama lagi. Tak heran mereka menang ya .

    Anyway, dalam party pun tetap ada sesuatu yang bisa dipelajari.
    *Lagi mikir enaknya beli buku atau cari ebooknya ya?
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  4. #84
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Tulisan ini menguak tabir hati saya yang terberai ke mana-mana. Mungkin karena ada banyak kesamaan pengalaman hidup rasanya jadi kayak kisah sendiri diceritakan dalam versi orang lain. Been there, done that. Masih sama tidak pengen ganti paspor sembari mengucap dalam hati: mestinya tempat tinggal yang memuliakan manusia itu yang kayak gini. Sama galaunya soal orang yang menyebut diri mereka muslim namun perilakunya jauhhhhh beda dari yang saya tau soal Islam. It's nice to know that I am not alone.

    Bagian I

    sumber

    How Islamic are Islamic Countries?
    Posted on June 11, 2013 by Jihan Davincka

    Belum lama berlalu ketika saya membaca status seorang teman yang terdampar di Kuwait. Sebelumnya, teman bersama suami dan anak-anaknya tinggal di Polandia. Teman saya ini bukan orang biasa-biasa saja. Namanya pernah menjadi hits di beberapa media cetak karena kesuksesannya berdakwah di Negeri Non Muslim dan membawa belasan perempuan mengucapkan kalimat syahadat untuk pertama kalinya . Semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosa beliau sekeluarga .

    Ada apa dengannya di Kuwait?

    Teman saya mengalami benturan budaya yang luar biasa. Dia terkaget-kaget. Sementara saya tersenyum-senyum membaca statusnya. Sebagai alumni Jeddah, kota terbesar nomor 2 di Arab Saudi, saya tidak heran sedikit pun membaca ‘kegalauan’nya. Been there, done that.

    ***

    “How Islamic are Islamic Countries” adalah sebuah penelitian lama yang hasilnya dipublikasikan tahun 2010 silam.

    Berikut kutipan dari kompas.com (http://nasional.kompas.com/read/2011...aman.Indonesia) :

    Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

    Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

    Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

    Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

    ***

    Penasaran dengan hasilnya? Saya kasih sontekan sedikit. Selain Selandia Baru, urutan ke-2 hingga 5 ditempati oleh berturut-turut : Luxemburg, IRLANDIA *uhukUhuk*, Eslandia dan Finlandia. Negara dengan penduduk mayoritas muslim yang menempati urutan tertinggi adalah … Malaysia! Menempati peringkat ke-39. Indonesia sendiri, sudah disebutkan dalam kutipan artikelnya, urutan ke-140. Arab Saudi? Di urutan ke 131.

    Beberapa negara ‘penting’ dunia lainnya, misalnya Amerika Serikat, menempati urutan ke-25. Jepang di urutan ke-29 dan Jerman, salah satu negara terbesar di Eropa, di urutan ke-17.

    Saya lahir dan besar di Indonesia yang konon merupakan “Negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.” Pernah berkesempatan tinggal di Arab Saudi, “Negeri Penjaga Dua Kota Suci Umat Muslim Sedunia.” Baru-baru ini berkesempatan liburan ke Kuala Lumpur, ibukota Malaysia, “Negara Mayoritas Muslim yang Berada di Peringkat Tertinggi.” Dan kini…saya berada di Irlandia, peraih medali perunggu “Negara Paling Islami” . Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzziban .

    Kuwait sendiri urutannya tak terlalu buruk. Bayangkan, teman saya saja yang terdampar di “Negeri Paling Islami no.48″ bisa sebegitu stres-nya hehehe. Bagaimana dengan kita-kita yang pernah tinggal di Saudi, si peringkat ke-131? Madam-madam Jeddah, mana suaranya? Ahahhahahahaha.

    ***

    Jujur saja, selama tinggal di Indonesia dulu, saya merasa biasa-biasa saja. Tidak pernah merasa terzalimi. Ya, kadang-kadang mungkin terselip sakit hati. Saya anggap wajar-wajar saja masalah muamalah di Indonesia. Mungkin kasarnya…pasrah.

    Hingga akhirnya saya ke Jeddah. For me, Jeddah is better than Jakarta. ‘Gemerlap’nya sih mirip-mirip. Yang namanya ‘gap’ antara si kaya dan si miskin menganga sedemikian lebar baik di Jakarta maupun di Jeddah. Alasan pertama saya lebih senang di Jeddah karena beberapa hal. Bensin murah, mobil murah, penghasilan suami jauh lebih besar (daripada di Jakarta), enggak terlalu macet, kemana-mana terasa dekat, bahkan beberapa bahan pokok di Jeddah lebih murah daripada di Jakarta. Unbelievable.

    Belum lagi kesempatan untuk umrah sepuasnya. Tahun lalu dimampukanNya kami untuk naik haji. Di tahun terakhir kami di sana sebelum akhirnya dibukakan pintu rezeki di negara lain. Sekali lagi, Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzziban .

    Saya akui, secara umum perilaku orang-orang Arab di Jeddah cukup mengecewakan. Meskipun pengalaman pribadi saya tidak separah beberapa teman saya yang sudah sebegitu sewotnya sama orang-orang Arab hehehe.

    Saya pun tak bosan-bosannya menuliskan bahwa beberapa episode-episode terbaik dalam hidup saya bertempat di Jeddah. Selama di sana, saya tergolong ‘yang paling bahagia’ hehehehe. Meskipun tak sedikit hal yang membuat saya selalu mengelus dada, “How come they call themself a moslem?”

    Berusaha untuk selalu berfokus pada hal-hal yang menyenangkan, membuat 30 bulan pengalaman tinggal di Jeddah menjadi ‘rangkuman kenangan indah’. Ingat saja hal-hal luar biasa yang selalu membuat saya bersyukur. Tak pernah luput mengenang Mekkah dan Madinah sebagai tempat-tempat terindah yang pernah saya datangi. Begitu mudahnya dulu kami menghampiri kedua kota suci tersebut. Sementara tak sedikit umat Islam di Indonesia baru hanya sebatas memimpikannya saja. Bentar…hapus air mata dulu *drama-part *. Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzziban .

    Dulu, saya suka bertanya-tanya, mengapa teman-teman yang berada di Eropa bisa sebegitu ngebetnya tinggal di sana. Tak sedikit yang mencari-cari cara setelah lulus sekolah agar bisa tetap bermukim di sana. Bahkan, ada yang sudah terpikir untuk menggadaikan status kewarganegaraannya. Ingin berganti warna paspor. Apa enaknya hidup berlama-lama dalam ‘kulkas”? .

    ***

    Konon, bangsa Irlandia ini memang salah satu bangsa paling ramah di dunia. Selama lebih dari 3 bulan tinggal di sini, saya sudah membuktikan sendiri. Terpukau oleh keramahan mereka. Ada juga yang rasial kok, saya pernah diteriakin di perempatan jalan, “Go home!” oleh seorang pria separuh baya. Tapi santai saja. Orang-orang lain tidak ada yang peduli, tuh. Enggak penting memikirkan sebagian kecil yang kurang ramah.

    Di Athlone, hampir tak ada pengemis. Kalau pun ada tunawisma, penampilannya enggak germbel-gembel amat. Di Jakarta, yang bilang Pajero bukan barang mewah ada, yang gembel jadi tukang semir sepatu tak kalah banyaknya . Di Jeddah, Ferrari bukan barang langka, tapi pengemis terpencar di berbagai sudut kota.

    Fakta-fakta yang menguatkan pernyataan Ahmad Syafii Maarif dalam tulisannya yang saya share di status FB saya :
    ” …Bagi saya penggunaan perkataan ringkih terasa lebih puitis dan tajam, dibandingkan padanannya dalam istilah bahasa Indonesia.

    Itulah sebabnya dalam tulisan ini perkataan ringkih digunakan. Benarkah Dunia Islam itu ringkih? Tanpa memerlukan data hasil riset yang mendalam, berdasarkan pengamatan umum saja, pasti jawabannya: benar! Kesenjangan sosial-ekonomi hampir merata di seluruh dunia Islam. Keadilan yang demikian keras diperintahkan Alquran tidak digubris oleh penguasa yang mungkin sudah menunaikan ibabah haji berkali-kali…”

    Dulu sih, semasa di Jakarta dan Jeddah, bila mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari orang lain, tak pernah menjadi pikiran. Dimaklumi saja. Di Jakarta, sering dicuekin sama satpam di mal. Padahal kepada seorang Ibu yang turun dari mobil mentereng dengan berbagai aksesoris wah di badannya, tersenyum mengangguk setengah membungkukkan badan. Hidupnya sudah cukup ‘berwarna’ dalam menjalani tugas sebagai satpam, tak usahlah menyimpan dendam yang tidak perlu.

    Di Jeddah, pernah mendapat pengalaman pahit saat antre di kasir dalam toko di mal. Sebelumnya, saat 2 perempuan arab berdebat soal antrean, penjaga kasir dengan tegas melerai dan menunjuk ibu yang memang sudah datang lebih dahulu. Giliran saya diselak orang Arab, saya protes, kasirnya malah diam seribu bahasa. Ya, sudahlah. Saking sudah seringnya, sudah mati rasa ane hehehe.

    Terdampar di tempat lebih jauh, berbaur di tengah-tengah masyarakat non muslim, dari ras yang secara fisik sangat berbeda pula, malah mendapat perlakuan yang sangat menyenangkan. Sepele, ya? Biarpun suami suka meledek saya yang dianggapnya, “Dasar kamu ini. Belum apa-apa sudah lebay soal eropa”, menurut saya ini bukan hal sepele .

    Setiap pagi mengantar anak ke sekolah, kami selalu berjalan kaki. Hampir 100% orang-orang yang berpapasan akan tersenyum menyapa, “Good morning.” Di Jeddah, seringnya mendapat pandangan penuh tanda tanya, mungkin berpikir, “Prikitiwww, mbak-mbak TKW ini cakep juga, yak.” Ahahahahaha.

    Di Athlone, saat mengantre di kasir setelah berbelanja barang-barang dapur dll di supermarket, semua orang mengantre dengan tertib. Bahkan, kasir benar-benar menunggu kita selesai mengemasi barang baru melayani customer setelah kita. Awalnya saya sering gugup. Saking takutnya kalau mengganggu antrean, mau buru-buru masukin barang ke stroller + plastik + ransel, barang-barang malah berserakan jatuh ke lantai. Malunya minta ampun.

    Tapi kasir cuma tersenyum, “That’s ok. Take your time.” Bahkan, ibu-ibu berambut kuning yang mengantre di belakang saya ikut memunguti barang-barang yang jatuh. Masya Allah. Sudah terbiasa diperlakukan bak TKW di tengah-tengah umat yang seiman, rasanya terharu diperlakukan seperti itu. Lebay? Whatever.

    Kata-kata “thank you”, “sorry”, berhamburan begitu mudah dari bibir mereka. Jadinya saya pun, biarpun awalnya agak kagok, jadi terbiasa selalu ber “thank you” dan ber “sorry” ria .

    Di Irlandia, pajak memang termasuk tinggi. Biarpun gak setinggi di negara eropa lain pada umumnya. Tapi fasilitasnya juga enggak main-main. Jalanan dibuat senyaman mungkin. Angkutan umum sangat diperhatikan. Harga mobil sangat mahal. Bensinnya apalagi. Tapi lihatlah, sebagian besar penduduk jadinya berbaur di trotoar jalan kaki atau dalam angkutan umum. Bagus juga ide pajak tinggi dan dikenakan secara proporsional. Agar si ‘tajir’ mikir-mikir kalau mau beli barang mahal dan yang kurang mampu tak terlampau tersakiti.

    Sekolah gratis dengan fasilitas yang sangat memadai *nyengirLebar*. Malah, di selebaran pengumuman buat orang tua murid, ditulis jelas-jelas larangan untuk ‘tampil mewah’. Baju harus seragam. Seragam resmi terasa mahal? Kepala sekolah mempersilakan membeli di tempat lain yang lebih murah asal warnanya mirip. Disebutkan dengan jelas jenis-jenis sepatu tertentu yang TIDAK BOLEH digunakan ke sekolah. Bahkan, kotak untuk bekal makan pun dianjurkan untuk sesederhana mungkin. Ini semua dituliskan secara resmi dalam selembar kertas yang dibagi-bagikan pada orang tua murid sebelum hari pertama sekolah si anak.

    ‘Attitude’ adalah landasan utama pendidikan anak-anak di usia dini. Saya perhatikan betul, guru-guru dan kepala sekolahnya sangat disiplin dalam masalah tingkah laku. Mereka tak terlalu peduli dengan kemampuan kognitif. Tapi coba saja ada anak yang berani memukul temannya, kepala sekolah tidak segan-segan menarik tangan si anak dan menceramahinya panjang lebar dengan nada yang tinggi. Saya pernah melihat langsung.

    Soal penampilan pun tidak ada yang heboh-heboh. Ada lah beberapa yang agak ‘gaya’ tapi bisa dihitung jari. Pede-pede saja kemana-mana pakai training pants + kaos + jaket + sepatu kets + ransel . Mbak-nya mau mendaki gunung, ya? Ahahahahaha.

    Di Irlandia, dalam memperlakukan orang lain, people don’t really care whether you’re Catholic, Moslem or even you don’t believe in any religion at all . Berperilaku sopan dan non diskriminatif adalah hal universal buat siapa saja. Ajaran yang saya tahu pasti adalah landasan muamalah dalam Islam. Sadly, you can hardly see this in (most of) moslem countries. Ironically, pretty easy to see the practice in non-moslem countries. Tanya kenapa?

    Memang, awal di Athlone, saya benar-benar teruji oleh udara dingin. Tapi tak lama. Baru 3 bulan tinggal di sini, rasa betah menerjang sedemikian kuat. Meskipun keinginan untuk mengganti status paspor sama sekali belum ada. Tapi saya ingin agar anak-anak saya suatu hari nanti melangkahkan kaki mereka sejauh yang mereka bisa. Saya doakan, semoga saya dianugerahkan kesehatan yang mumpuni (menjalani pola hidup sehat ala FC adalah salah satu ikhtiar saya dari sekarang untuk doa yang ini), tak perlu meresahkan anak-anak kelak, sehingga saya bisa menghabiskan sisa usia di negeri kelahiran tercinta. Sampai akhir menutup mata. Amin .

    ***
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  5. #85
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Bagian II
    (karena tulisannya kepanjangan)

    Kembali mengutip pendapat Profesor Komaruddin Hidayat (UIN Syarif Hidayatullah)

    Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?

    Tampaknya keber-agama-an kita lebih senang di level semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam—syahadat, shalat, puasa, zakat, haji—dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya.

    Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.
    ***

    Saya setuju sekali, kita terlalu sering menyepelekan ‘kesalehan sosial’. Pengalaman saya naik haji kemarin, selain menyisakan rasa haru yang masih terus berbekas hingga kini, terselip rasa kecewa yang mendalam. Seusai wukuf, jemaah biro haji kami keluar dari tenda ke arah jalan untuk menuju stasiun kereta. Saya tercekat melihat suasana jalan raya yang sudah kosong dari para jemaah ‘haji koboi’ yang sudah kembali ke Mina/Musdalifah. Kotornya luar biasa. Bau pesing tak terkira. Ceceran makanan, botol minuman dan entah cairan apa itu *yucky* berbaur menjadi satu. Subhanallah, sampahnya tidak main-main.

    Besoknya, saat akan tawaf ke Mekkah, jam 7 pagi kami sudah berjalan ke arah jembatan untuk menunggu taksi. Lautan sampah di mana-mana. Baunya pun sangat menyengat. Saya ingat saat itu sempat bergumam kepada suami, “Kebersihan sebagian dari iman.” Kebersihan tidak hanya menyangkut diri sendiri, tapi orang lain dan lingkungan sekitar, kan?

    Saat sepi pun, kalau tawaf, saya sering memperhatikan ‘rusuh’nya keadaan di sekitar hajar aswad. Tidak pernah damai suasananya. Sikut-sikutan, teriak-teriak, dorong-dorongan. Itu cuma amalan sunnah, saudara-saudaraku. Teringat pesan ustaz Syafiq yang mengisi ceramah pengajian di acara syukuran salah satu teman di Jeddah sebelum kami berangkat haji, “Jangan melakukan amalan sunnah dengan cara-cara haram.”

    Malah, bagi sebagian muslim, yang penting : salat, zakat, puasa. Perlakuan kepada orang lain, gaya hidup sehari-hari, tidak akan mempengaruhi keislaman kita selama kita salat-zakat-puasa. Sadar tidak sadar, penyempitan makna “rahmatan lil ‘aalamin” dilakukan oleh kaum muslim sendiri.

    Dalam salah satu ceramah, Cak Nun bertutur, “Apakah di sini anda bisa punya cara untuk mengetahui seberapa iman anda? Bisa nggak kita mengukur akidah? Bisa nggak kita mengukur, kita ini Islam atau belum Islam? Kalau engkau menjawab “bisa”, lho, itu rak cangkemmu? Lha atimu? (itu kan mulutmu, lha hatimu?). Kita tidak bisa menilai Islamnya orang, kita tidak bisa menilai sesat atau bukan kecuali MUI.” Ucapannya disambut tawa jamaah.

    Ketika beberapa waktu lalu, saat ramai-ramainya pilkada DKI, saya berdebat dalam sebuah grup masalah akhlak vs aqidah. Seorang teman tak ragu-ragu menyematkan label ‘sekuler/liberal’ kepada saya? Untuknya, sebuah kalimat syahadat akan selalu berada di tempat teratas, jauh melampaui masalah-masalah yang berkaitan dengan kesalehan sosial.

    Dia mengejek, “Lo lebih pilih manusia daripada Tuhan?”

    Saya menjawab, “Pilihan yang mana? Memuliakan sesama manusia adalah perintah Tuhan.”

    Untuk saya pribadi, sangat jelas. Islam itu seimbang dunia akhirat. Terlalu condong kepada salah satu hanya akan membuat keseimbangannya goyah. Pengalaman hidup di Jakarta, Jeddah dan kini Athlone membuat saya mensyukuri betapa ‘liberal’nya saya. Sedangkan dalam hati saya selalu bersyukur saya dilahirkan sebagai seorang muslim. Dan selalu memohon agar Tuhan tidak akan memalingkan saya hingga akhir hayat nanti .

    Akhlak itu tidak kalah pentingnya dengan akidah. Kalau Anda berdakwah dengan mengatakan babi haram, ini itu adalah konspirasi, menolak nasi kotak hasil acara paskah terang-terangan di media sosial, memasang status publik tentang haramnya mengucapkan ucapan Natal dan mengutuk muslim lain yang tetap melumrahkan ucapan tersebut, apa iya mereka akan berbondong-bondong mengakui kebesaran keyakinan Anda?

    Satu lagi dari Cak Nun yang mungkin bisa jadi bahan renungan, “Tuhan yang tahu akidahmu. Masyarakat butuh akhlakmu.”

    Tugas kita sesungguhnya bukanlah untuk membawa seluruh umat manusia untuk bersyahadat bersama dalam satu bendera penafsiran yang sama (Sunni? Syiah? Wahabi? Salafi?). Tapi untuk menunjukkan (bukan menghakimi apalagi mengancam) bahwa : Islam = rahmatan lil aalamin.

    Bahkan rasulullah pun menekankan dirinya HANYA sebagai PEMBAWA PERINGATAN dan PENJELASAN. Bukan pemegang daftar siapa yang masuk surga siapa yang masuk neraka, kan?

    Katakanlah, “Wahai manusia! Sesungguhnya aku bagi kalian hanyalah pembawa peringatan dan penjelasan.” (QS. al-Hajj [22]: 49).

    Alquran, adalah petunjuk dan rahmat. Bukan untuk mengancam-ancam orang yang tidak sepaham.

    Maksudnya apa? Renungkan sendiri .

    Semoga bertahun-tahun setelah tahun 2010, saat penelitian “How Islamic are Islamic Countries?” digelar kembali, jajaran negara-negara muslim bisa bertengger di peringkat 10 besar. Amin .
    Tentu...pasti ada pro dan kontra terhadap semua hasil penelitian. Tapi mari kita ambil hikmahnya saja, seperti biasa. Yuks...
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  6. #86
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Kelembuatan dan kesadisan apakah merupakan dua hal yang selalu bertolak belakang? Ah tidak juga. Tergantung kita sendiri bagaimana mengkombinasikan keduanya dalam dosis yang tepat

    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  7. #87
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Punya pemimpin seru itu impian setiap bawahan. Jadi seru itu apa ya faktor dominannya, bakat ato usaha sih? Baiklah, kalo aku nggak bisa jadi bos yang seru, mencoba jadi anak buah yang seru saja -- ato teman yang seru -- ato in general orang yang asyik kapan pun dan di mana pun
    #numpangngiklanmumpungmasakampanye

    Canada has hilarious politicians. This guy is one of them…







    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  8. #88
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Instantly eye catching!
    ...for the first second.
    Terus baru nyadar ini jangan-jangan foto bukannya lukisan terus orangnya sok ngelukis. Maklum zaman makin canggih makin banyak hoax.
    Tapi kalo lukisan itu ternyata asli kasihan pelukisnya sudah diragukan keahliannya

    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  9. #89
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Seperti yang pernah kubaca di kalender: hidup yang tak teruji adalah hidup yang tak berarti. Kalender adalah sumber inspirasi, loh

    Again, aku membaca hal yang sama dalam perspektif yang lebih detail dalam tulisan Renald Khasali. Lega rasanya, keputusan keluar dari comfort zone mendapat dukungan dari orang berwawasan seperti beliau. Ibu Khasali prinsipnya pun ternyata mirip-mirip.

    Air (bersih) jika tak mengalir akan menjadi kubangan.

    Kayaknya makin cinta nih dengan Bapak dan Ibu Khasali.

    Spoiler for mengapa anak pintar di sekolah bisa mengalami kesulitan ekonomi?:

    Rhenald Kasali
    (@Rhenald Kasali)

    Seorang mahasiswi mengeluh. Dari SD hingga lulus S-1, ia selalu juara. Namun kini, di program S-2, ia begitu kesulitan menghadapi dosennya yang menyepelekannya. Judul tesisnya selalu ditolak tanpa alasan yang jelas. Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak oleh dosen, ia sulit menerimanya.

    Sementara itu, teman-temannya, yang cepat selesai, jago mencari celah. Ia menduga, teman-temannya yang tak sepintar dirinya itu "ada main" dengan dosen-dosennya. "Karena mereka tak sepintar aku," ujarnya.

    Banyak orangtua yang belum menyadari, di balik nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa sekolah, mereka menyandang persoalan besar: kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja tak bisa diatasi, maka masa depan ekonominya pun akan sulit.

    Mungkin inilah yang perlu dilakukan orangtua dan kaum muda: belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan.

    Hadiah orangtua

    Psikolog Stanford University, Carol Dweck, yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success, menulis, "Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan".

    Ya, tantangan. Apakah itu kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustrasi dalam memecahkan masalah, sampai kegagalan "membuka pintu", jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orangtua yang cepat-cepat ingin mengambil masalah yang dihadapi anak-anaknya.

    Kesulitan belajar mereka biasanya kita atasi dengan mendatangkan guru-guru les, atau bahkan menyuap sekolah dan guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit pejabat mengambil alih tanggung jawab anak-anaknya ketika menghadapi proses hukum karena kelalaian mereka di jalan raya.

    Kesalahan mereka membuat kita resah. Masalah mereka adalah masalah kita, bukan milik mereka.

    Termasuk di dalamnya adalah rasa bangga orangtua yang berlebihan ketika anak-anaknya mengalami kemudahan dalam belajar dibandingkan rekan-rekannya di sekolah.

    Berkebalikan dengan pujian yang dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orangtua untuk mengucapkan kalimat seperti ini: "Maafkan Ibu telah membuat segala sesuatu terlalu gampang untukmu, Nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang?"

    Jadi, dari kecil, saran Dweck, anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah.

    Saya teringat masa-masa muda dan kanak-kanak saya yang hampir setiap saat menghadapi kesulitan dan tantangan. Kata reporter sebuah majalah, saya ini termasuk "bengal". Namun ibu saya bilang, saya kreatif. Kakak-kakak saya bilang saya bandel. Namun, otak saya bilang "selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan".

    Begitu memasuki dunia dewasa, seorang anak akan melihat dunia yang jauh berbeda dengan masa kanak-kanak. Dunia orang dewasa, sejatinya, banyak keanehannya, tipu-tipunya. Hal gampang bisa dibuat menjadi sulit. Namun, otak saya selalu ingin membalikkannya. Demikianlah, hal-hal sepele sering dibuat orang menjadi masalah besar.

    Banyak ilmuwan pintar, tetapi reaktif dan cepat tersinggung. Demikian pula kalau orang sudah senang, apa pun yang kita inginkan selalu bisa diberikan.

    Panggung orang dewasa

    Dunia orang dewasa itu adalah sebuah panggung besar dengan unfair treatment yang menyakitkan bagi mereka yang dibesarkan dalam kemudahan dan alam yang protektif. Kemudahan-kemudahan yang didapat pada usia muda akan hilang begitu seseorang tamat SMU.

    Di dunia kerja, keadaan yang lebih menyakitkan akan mungkin lebih banyak lagi ditemui. Fakta-fakta akan sangat mudah Anda temui bahwa tak semua orang, yang secara akademis hebat, mampu menjadi pejabat atau CEO. Jawabannya hanya satu: hidup seperti ini sungguh menantang.

    Tantangan-tantangan itu tak boleh membuat seseorang cepat menyerah atau secara defensif menyatakan para pemenang itu "bodoh", tidak logis, tidak mengerti, dan lain sebagainya. Berkata bahwa hanya kitalah orang yang pintar, yang paling mengerti, hanya akan menunjukkan ketidakberdayaan belaka. Dan pernyataan ini hanya keluar dari orang pintar yang miskin perspektif, dan kurang menghadapi ujian yang sesungguhnya.

    Dalam banyak kesempatan, kita menyaksikan banyak orang-orang pintar menjadi tampak bodoh karena ia memang bodoh mengelola kesulitan. Ia hanya pandai berkelit atau ngoceh-ngoceh di belakang panggung, bersungut-sungut karena kini tak ada lagi orang dewasa yang mengambil alih kesulitan yang ia hadapi.

    Di Universitas Indonesia, saya membentuk mahasiswa-mahasiswa saya agar berani menghadapi tantangan dengan cara satu orang pergi ke satu negara tanpa ditemani satu orang pun agar berani menghadapi kesulitan, kesasar, ketinggalan pesawat, atau kehabisan uang.

    Namun lagi-lagi orangtua sering mengintervensi mereka dengan mencarikan travel agent, memberikan paket tur, uang jajan dalam jumlah besar, menitipkan perjalanan pada teman di luar negeri, menyediakan penginapan yang aman, dan lain sebagainya. Padahal, anak-anak itu hanya butuh satu kesempatan: bagaimana menghadapi kesulitan dengan caranya sendiri.

    Hidup yang indah adalah hidup dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh tantangan. Dan inilah esensi perekonomian abad ke-21: bergejolak, ketidakpastian, dan membuat manusia menghadapi ambiguitas. Namun dalam kondisi seperti itulah sesungguhnya manusia berpikir. Dan ketika kita berpikir, tampaklah pintu-pintu baru terbuka, saat pintu-pintu hafalan kita tertutup.

    Jadi inilah yang mengakibatkan banyak sekali orang pintar sulit dalam menghadapi kesulitan. Maka dari itu, pesan Carol Dweck, dari apa yang saya renungi, sebenarnya sederhana saja: orangtua, jangan cepat-cepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu. Sebaliknya, berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tantangan dan kesulitan.

    soto
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  10. #90
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Tulisan ini saya temukan di sebuah buku di toko buku Museum Acropolis, Athena. Lupa kalimat persisnya apa, tapi kira-kira bunyinya begini.

    Semua tentang Athena yang kamu baca di buku, pelajari di sekolah, googling di internet tidak ada seujung kuku pun menyerupai apa yang kamu dapatkan saat berkunjung langsung ke sini.

    Saya amini, karena memang begitulah rasanya. Tapi untuk kali ini, let me talk about other place, yang membuat saya teringat kembali kata-kata itu.

    Berlin

    Sebenarnya tidak ada rencana khusus mau ke mana saat tiba di Berlin. Apalagi ini hanya kunjungan singkat. Yang saya tahu sebelumnya tentang Berlin hanya sebagai ibu kota Jerman, dengan penduduk tiga juta orang.

    Saya dan teman awalnya sempat nyasar. Hostel di tengah kota yang kami booking ternyata punya alamat persis sama dengan sebuah rumah tua nun jauh di utara, karena demikianlah info dari petugas informasi di stasiun yang kami ikuti tanpa banyak mikir. Kami nyasar sedemikian jauh untuk ternyata menikmati lingkungan yang kami sebut daerah orang kaya. Jalan yang sepi dengan pepohonan rindang di kedua sisi. Rumah-rumah bertingkat gaya lama dengan halaman depan, belakang, samping yang luas. Lingkungan yang saya kira cuma bisa saya nikmati saat main Sim City. Itu pasti lingkungan kaum menengah atas Berlin, kalau tidak mana mungkin ada toko kosmetik yang saya tahu jualannya cuma branded serta rumah terapi yang amat besar dan asri di sekitar situ.

    Kembali ke pusat kota dan akhirnya menemukan hostel bookingan, si teman habis itu masih nekad mau melihat Factory Outlet di barat laut Berlin. Mungkin masih sempat mampir barang setengah jam untuk beli sepatu. Kami naik trem dan tiba di Spandau sudah nyaris jam delapan. Untuk terus ke Elstal sepertinya sudah telat. Akhirnya kami keluar sebentar untuk melihat Spandau itu seperti apa. Berlin pada dasarnya adalah kota yang besar karena merupakan gabungan dari beberapa kota yang lebih kecil, salah satunya Spandau. Dari depan stasiun kami bisa melihat menara tua, yang sepertinya merupakan ciri setiap subkota di Berlin.

    Lalu kami memutuskan untuk wisata kuliner saja. Di peta Berlin yang kami harus beli - pariwisata Berlin kok pelit yah pada turis - pada bagian Experience tertera nama Tuk-Tuk Restaurant. Lengkapnya: Since 1984, offering authentic Indonesian cuisine in a beautiful traditional setting (bamboo hut, Indonesian paintings and work of art). Tasty cuisine and feeling like you're on holiday in Bali.

    Yuhuuu here we come!

    Menemukan restoran ini sebetulnya tidaklah susah, karena keluar dari subway di Kleistpark tinggal nyebrang jalan. Tapi karena kami orang baru malah turun satu stasiun sebelumnya di Yorckstr terus pake nyasar sebentar. Restoran ini sudah mirip dengan restoran di tanah air yang mengusung konsep back to tradisi, minus lesehannya. Setelah melihat menu sejenak, saya memesan nasi padang, teman saya pesan nasi dengan ikan dan lodeh. Sambil menunggu pesanan, kami memperhatikan sekeliling. Interior dari kayu memenuhi ruangan. Ada bordiran wayang tergantung di samping saya.

    Dua meja di dekat kami telah dipesan, dan tak lama kemudian salah satu meja terisi. Dari bahasanya saya duga mereka pasangan dari Italia. Mula-mula mereka pesan entry dulu, yang kelihatannya minuman alkohol plus sesuatu. Terus saya baru sadar, ini ternyata restoran fine dining, tapi kami langsung hajar pesan main course . Teman saya malah sempat minta tolong tabletnya di charge di resepsionis dan di akhir kami lupa ninggalin tips.

    Nasi padang saya datang. Ada tiga jenis lauk menemani dan disajikan terpisah dalam mangkuk-mangkuk kecil berbentuk persegi dari porselen putih. Nasi dan kerupuk juga di dalam mangkuk kecil serupa. Saya menuang nasi ke pinggan porselen putih besar sambil menikmati pemandangan di atas meja. Ada dua potong filet dada ayam goreng kelihatannya, terbungkus balado merah. Di sampingnya ada sayur lodeh plus dua potong filet ikan goreng tepung. Terakhir ada beberapa potong kecil rendang beserta kuahnya. Tidak benar-benar otentik nasi padang sih, tapi strategi semacam ini mungkin perlu untuk jualan di luar negeri.

    Meskipun tidak ada sambal, rasa pedasnya cukup nampol entah dari mana. Semua lauk rasanya pas. Manisnya, asinnya, pedasnya, gurihnya.... Untuk ukuran yang harus saya bayar, worth it lah hitungannya. Teman saya juga berdecap keenakan. Tamu di sebelah pesan udang balado untuk si cewek dan nasi padang pake nasi kuning untuk yang cowok. Saat saya ke toilet pesanan mereka datang, jadi si teman yang menyaksikan betapa hebohnya ni pasangan pada keenakan saat pertama mencicipi makanan mereka.

    Kami pulang dengan perut kenyang dan hati senang. Saat tiba di kamar, yang tadinya teman sekamar kami cuma satu cowok sekarang datang lagi lima, tapi cuma kelihatan tasnya. Orang-orangnya saya yakin sedang dugem sampe subuh besok. Pengalaman baru nih, sekamar dengan cowok asing semua. Teman saya rada kecut, tapi sebenarnya hal-hal begini sudah jadi resiko kalau mau nginap di hostel dengan rate termurah. Lagi enak tidur saya dibangunkan teman, katanya sudah waktunya solat subuh. Saya tengok sekeliling belum ada satu cowok pun yang pulang. Begitu saya selesai wudhu, teman saya bilang dia salah lihat ternyata baru jam dua malam. Yaelah...

    Sekitar satu jam kemudian mulai berdatangan mereka. Malahan dua cowok yang datang paling belakangan sempat berucap good night satu sama lain, menurut laporan teman saya. Good night apaan, sungutnya, ini udah morning kali. Kami sholat subuh dalam kegelapan dan tidur lagi sampai jam setengah delapan. Sebelum menyeret tas keluar untuk mandi dan sekalian check out, saya perhatikan para teman sekamar ini. Karena tidur di bawah, saya cuma bisa meilhat tiga orang lain. Yang cowok pertama kami sempat bertukar kata hari sebelumnya. Selimutnya dari leher sampai ke kaki. Cowok di sebelah tempat tidur saya tidur nggak pake baju, dada montoknya kelihatan. Yang berkulit rada gelap di sudut satunya muka dan dada tertutup selimut, tapi lutut ke bawah kelihatan. Paling nggak enak sebenarnya waktu mereka baru datang, segala bunyi terdengar. Batuk, bersin, ngorok berganti-ganti.

    Selepas sarapan, kami memutuskan mengunjungi Checkpoint Charlie yang terkenal, yang kebetulan dekat dengan hostel.

    Spoiler for checkpoint charlie:



    Masa itu Berlin dikuasai oleh para pemenang perang dunia kedua yang membagi Berlin menjadi empat zonasi. USA, Inggris, Perancis dan Uni Sovyet.

    Spoiler for zona:


    Dalam perkembangannya, Uni Sovyet yang berideologi komunis berseberangan dengan para pemenang lain dan ingin menguasai Berlin sepenuhnya. Namun mereka juga tidak ingin frontal maka mula-mula mereka mengusulkan demiliterisasi Berlin. Usul ini tidak mendapat tanggapan, lalu mereka melihat peluang untuk memisahkan diri saat reformasi mata uang dijalankan di zona lain dengan memeriksa ID tentara Amerika di Checkpoint Charlie, sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan para sekutu.

    Spoiler for US checkpoint:


    Eskalasi politik meninggi di seantero negeri yang diformalkan dengan deklarasi Republik Federasi Jerman alias Jerman Barat dengan ibukota Bonn dan Republik Demokrasi Jerman alias Jerman Timur dengan ibukota Berlin Timur. Jerman resmi terbagi menjadi dua, perbatasan di sepanjang negeri dijaga ketat dan era perang dingin dimulai. Tembok Berlin pun mulai dibangun. Checkpoint Charlie merupakan tempat di mana tank tempur kedua pihak pernah saling berhadapan saat tembok baru dibangun namun mereka masih punya otak untuk tidak saling mulai menembak.

    Sulit rasanya untuk percaya bahwa saya baru saja tiba di tempat yang sangat bersejarah. Melihat foto, peta, video dan informasi secara bergantian untuk mencoba menyerap apa yang sebenarnya terjadi waktu itu. Bagaimana perasaan rakyat Berlin saat tahu kotanya dibagi dua dan tak bisa berbuat apa-apa. Sejak pembangunan tembok yang mula-mula hanya kawat dan terus berlanjut menjadi tembok tebal, selama dua setengah tahun pertama Berlin Barat adalah penjara raksasa bagi penghuninya karena terletak di Jerman Timur. Lalu tibalah saya pada video memorable dari Presiden John F. Kennedy yang membesarkan hati penduduk Berlin Barat, ketika dia berkata: Ich bin ein Berliner. Sedangkan penduduk Berlin Timur yang sebelumnya bisa bermigrasi ke Berlin Barat demi hidup yang lebih baik juga terpenjara. Banyak yang mencoba menyeberang dengan mempertaruhkan nyawa.

    Salah satu korban yang paling terkenal adalah Peter Fechter.
    Spoiler for fechter:

    Memorial Peter Fechter sebenarnya ada di dekat situ tapi saya tidak sempat mampir. Selain itu dokumen dari Stasi - kepolisiannya Jerman Timur - yang bermarkas di Leipzig menyebutkan banyak yang tertangkap saat mencoba menyeberang. Triknya macam-macam, tapi paling sering adalah dengan mengenakan seragam militer US atau masuk ke bagasi mobil diplomatik. Lucunya atau saya sebut saja bodohnya, setiap yang berhasil menyeberang memberitakan besar-besaran keberhasilannya di koran. Jadinya Stasi punya bahan untuk terus mengevaluasi trik-trik ini.

    Selama 40 tahun dunia terbiasa bahwa Jerman memang terbagi dua dan tembok Berlin menjadi etalase perang dingin paling jelas, bagian dari tirai besi antara blok NATO di barat dan Pakta Warsawa di timur. Lalu kekuatan komunis mulai digoyang di Polandia melalui Solidarity Trade Union pimpinan Lech Walesa. Polandia menjadi negara pertama yang pemerintahannya non komunis. Revolusi berlanjut ke Hungaria dan akhirnya tiba di Jerman Timur. Well, saya sekarang bisa melihat jelas peranan Gorbachev yang membebaskan para anggota Pakta untuk mengurus pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan Uni Sovyet. Gorbachev berasal dari generasi yang tidak ikut berperang sehingga bisa melihat dengan jelas biaya perang yang sudah berada di luar batas.

    Meski pada awalnya menentang usulan Glasnot, partai komunis Jerman Timur akhirnya menyerah pada tuntutan demonstrasi besar-besaran seiring dengan runtuhnya tirai besi di negara tetangga, Hungaria dan Chekoslovakia, yang membuat penduduk Jerman Timur dapat mengungsi keluar. Begitu pengumuman di televisi ditayangkan bahwa penduduk Jerman Timur dapat keluar ke Berlin Barat dan Jerman Barat berlaku efektif saat itu juga, langsung ribuan orang memadati Checkpoint Charlie. Wajah polisi Jerman Timur yang bengong saat para penduduk menyeberangi perbatasan ramai-ramai disorot jelas sekali. Tembok Berlin runtuh malam itu tanpa satu pun tembakan. Syukur yah teknologi televisi sudah maju waktu itu. Wait...kapan itu terjadi? Ternyata belum lama, baru dua puluh tahunan yang lalu. Tapi sepertinya buat generasi yang belum tahu apa-apa saat itu terjadi, Jerman Barat dan Jerman Timur sepertinya sejarah yang sudah lama sekali.

    Mengikuti narasi demi narasi, foto-foto, serta video mulai dari awal hingga akhir, selama beberapa waktu saya dibawa ke mood masa itu. Saat akhirnya mendapati tembok runtuh dan ribuan orang merayakannya, saya sangat terharu. Kini saya mengerti kenapa Jerman anti perang. Mereka adalah pihak yang paling bisa merasakan apa artinya menjadi korban perang. Pertama, menjadi pihak yang kalah di perang dunia kedua. Lalu menjadi ladang pertikaian ideologi barat dan timur selama nyaris satu generasi. Saya lalu teringat negara-negara lain yang sedang menjadi ladang pertempuran serupa. Well...kapan mereka selesai?

    Sebagian besar tembok diruntuhkan dan menjadi material konstruksi, tapi ada juga yang disisakan sebagai kenangan atau souvenir. Saya membeli gantungan kunci isi potongan tembok sebagai tanda mata.

    Spoiler for tembok:


    Sedikit lepas dari topik utama, saya terpesona dengan dua foto yang bertema gender.
    Spoiler for foto1:

    Foto ini tentang demo perang Vietnam di New York, yang merupakan ladang pertempuran ideologi juga di masa yang sama. Cewek di tengah itu kok ya sadar kamera, padahal lagi demo loh tapi masih sempat tersenyum cantik bagai bintang iklan.

    Spoiler for foto2:

    Mendapati ada seorang wanita di antara dominasi para lelaki saat memindahkan Chekpoint Charlie, saya penasaran ingin tahu siapa dia. Pada keterangan di sebelah gambar, dia disebut sebagai perempuan bernama Ingrid Stahmer, walikota Berlin Barat saat itu. Wah keren ya.

    Berlin sendiri menurut saya adalah adalah kota yang sangat nyaman untuk dikunjungi. Setiap sudutnya unik dan menarik. Ada perpaduan antara hecticnya kota besar dan kesantaian manusia modern. Saya rasa saya harus kembali lagi ke sini kapan-kapan, karena masih banyak tempat yang perlu dikunjungi. Selepas dari Checkpoint Charlie dan museum di dalamnya, saya hanya sempat mampir ke Alexanderplatz dan makan siang di Nusantara, melanjutkan wisata kuliner Indonesia di Berlin setelah imbiss yang kami incar yaitu Mabuhay hari itu tutup saat kami datangi. Masih ada banyak tempat untuk dikunjungi, seperti melanjutkan wisata sejarah ke Postdamer dan gerbang Brandenburger, melanjutkan wisata kuliner, belanja di FO, mengunjungi macam-macam museum, mampir ke Postdam...wah tak terhitung.
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  11. #91
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Why do we need democracy?
    If a dictatorship can give us the level of wealth expected, even have proved that they can manage to keep it that way as long as we keep quiet, why do (not) we accept it?
    #dibuat pusing-gara-gara China
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  12. #92
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Posting yang lucu-lucu ah...


    Kebetulan tulisan ini sesuai dengan kontroversi jilboobs yang lagi marak merona di media masya.

    Yang Sedang Berjuang Untuk Jadi Lebih Syar’i

    Any Sundari | Aug 28, 2014 415 shares
    Jangan sampai ketinggalan artikel kami!

    Apakah kamu sedang belajar untuk memakai jilbab yang lebih syar’i? Kalau kamu sudah berjilbab dan kini berusaha memakai jilbab yang lebih syar’i, akan banyak tantangan yang kamu rasakan. Mulai dari menahan diri sendiri untuk tetap menutup aurat dengan sempurna, sampai siap dengar komentar orang yang menganggap kamu seolah ingin jadi sosok yang sok religius

    Hipwee bakal kasih tahu kamu suka duka dan berbagai penilaian orang yang akan mampir padamu saat sedang berjuang untuk belajar menggunakan jilbab yang syar’i. Apa saja? Ini dia!

    1. Setelah Mulai Menjulurkan Penutup Kepala Sampai Ke Dada, Orang-Orang Bakal Sungkan Mengajakmu Salaman Duluan



    Alyssa Soebandono, artis yang mulai berjilbab syar’i via www.lintas.me

    (ketemu teman lama, cowok, di bioskop)

    Kamu: “Woy, Bro! Apa kabar?” (sembari mengulurkan tangan buat salaman)
    Temanmu: *kikuk* *refleks menangkupkan tangan di depan dada*

    Kemudian ada backsound yang mengiringi pertemuan kalian.

    Bunyinya: KRIK….KRIK…KRIK….


    2. Gak Tahu Kenapa, Kamu Jadi Sering Dipanggil, “Ukhti….”



    Jadi sering dipanggil Ukhti via www.youtube.com

    *setel lagu Haddad Alwi*

    “Assalamualaikuum ya Akhi, ya Ukhti”


    3. Karena Penampilanmu, Kamu Juga Sering Dikira Tidak Mau Pacaran dan Langsung Mau Nikah Saja



    kamu menikah dengan cara perkenalan yang islami via griyapernikahan.wordpress.com

    Saat melihat cewek dengan jilbab syar’i , orang biasanya mikir kalau cewek itu tidak mau diajak pacaran. Maunya langsung menikah dengan proses ta’aruf. Kamu pun bisa dikira seperti itu kalau sudah pakai jilbab .

    Dalam hatimu:

    “Apapun caranya deh, asal dapat jodoh. Duuuuh ribet amat orang-orang. Laku aja udah syukur!”


    4. Mulai Berjilbab Syar’i Berarti Mengucapkan Selamat Tinggal Pada Celana Jeans dan Pakaian Ketat Lain



    Bye-bye jeans kesayangan! via joojoo-blog.blogspot.com

    Salah satu syarat berjilbab syar’i adalah dengan meninggalkan pakaian yang membentuk tubuh. Demi totalitas dalam beribadah, kamu rela tidak lagi pakai jeans dan kaus-kaus ketat yang selama ini jadi favoritmu.


    5. Akhirnya, Kamu Mulai Belanja Rok-Rok Lucu Untuk Menggantikan Celana Jeans yang Sudah Kamu Istirahatkan



    Koleksi rok lucu kesayanganmu via myeverydaystruggles.wordpress.com


    6. Plus, Jilbab Dan Pashmina Panjang yang Bisa Menutup Dada



    Yang penting menutup dada via hijabonmyhead.tumblr.com


    7. Juga….Kaos Kaki Warna-Warni



    Kaos kaki warna-warni via rumahhijabrara.blogspot.com

    Aurat wanita juga sampai ke telapak kaki. Demi menutupnya, akhirnya kamu jadi kolektor kaus kaki beraneka warna. Biar matching gitu, sama baju-bajumu.


    8. Karena Penampilan Barumu, Kamu Sering Disangka Tidak Bisa Naik Motor Dan Enggan Dibonceng Cowok



    kamu bisa naik motor sendiri via indahikalarai.blogspot.com

    Orang-orang akan heran saat kamu naik ojek. Atau ketika kamu datang ke kampus dengan mengendarai motor. Ada stigma yang tertanam kalau cewek yang jilbabnya syar’i itu lemah dan gak mau bergaul sama lawan jenis.

    Padahal, kamu tetap bisa kok naik motor sendiri. Kalau harus boncengan sama yang bukan mahram pun kamu gak masalah kok, asal masih dalam batas wajar.


    9. Yeah, Walau Terkadang Bonceng Motor Jadi Problema, Sih. Duduk Miring Nggak Nyaman, Duduk Ngangkang Nggak Sopan



    Berdamai dengan duduk menyamping via pustakadigitalindonesia.blogspot.com

    Akhirnya kamu memilih berdamai dengan gaya membonceng versi menyamping. Meskipun agak-agak takut jatuh juga sih, sebenarnya.


    10 Karena Bonceng Menyamping Terus, Akan Ada Hari Sial Saat Rok Kesayanganmu Kena Oli Rantai. Hiks!



    Hiks, roknya kena ini via blog.byonic-jantan.com

    Rok-mu harus ternoda oli rantai yang hitam. Tapi kamu masih bersyukur:

    “Untung cuma rok-mu, bukan kamu yang ternoda yang jatuh karena rok yang terbelit di rantai”


    11. Di Tengah Teman-Teman, Kamu Dianggap Sebagai Sosok yang Lebih Tahu Agama



    kamu lebih islami dan sering qatam Quran via sikupu.wordpress.com

    Kamu akan dianggap sebagai sosok yang lebih tahu agama jika kamu berjilbab syar’i. Mampu mengajarkan hal-hal Islami dibandingkan teman-temanmu yang lain.

    Kamu pun dianggap lebih sering khatam dan hapal Al Quran.

    Secara ajaib, kamu bisa dihadapkan pada pertanyaan:

    “Eh, dalil gak boleh cukur alis itu darimana sih asalnya?”

    Kamu pun hanya bisa bengong, gak ngerti. Kemudian merasa jadi orang berjilbab yang gak mumpuni (mumpuni: punya kapasitas yang cukup)….


    12. Kalau Sholat Jamaah, Kamu Sering Disuruh Jadi Imam



    kamu akan biasa ditunjuk jadi imam sholat via kaspabm1.blogspot.com

    Biasanya kalau kamu lagi sholat berjamaah, kamu bakal disuruh sama teman-teman kamu buat jadi imam sholat krena dianggap lebih fasih bacaan suratnya.

    Well……..padahal nggak juga, sih. Al-Ikhlas juga ujungnya. HEHE.


    13. Kamu Jadi Sering Dianggap Sebagai Cewek yang Lembut dan Keibuan



    sosok nuri maulida yang berkerudung dan keibuan via suara.com

    Cewek berjilbab syar’i sering dianggap sebagai cewek yang lembut dan keibuan. Orang-orang sekitarmu akan berharap kamu bertindak anggun, lemah lembut, dan gak pecicilan.

    Padahal, ketawamu emang keras dan ngakak. Susah diubahnya


    14. Ada Momen Saat Kamu Pakai Jilbab Guede Banget dan Dobel-Dobel Karena Ingin Lebih Syar’i



    Definisi jilbab syar’i via www.gamisjersey.com

    Kamu hanya ingin auratmu lebih tertutup. Akhirnya, kamu mengikuti saran agar pakai jilbab dobel dan memilih kain penutup kepala yang sangat panjang. Sebenarnya kamu hanya belum menemukan formula syar’i yang “kamu banget.”


    15. Alhasil, Kamu Sempat Terlihat Seperti…..LONTONG



    Kayak lontong via lugieamir.blogspot.com

    Jilbab berlapis-lapis yang kamu pakai itu membuatmu jadi terlihat aneh. Kayak lapisan pembungkus lontong. Gerah dan rasa tidak nyaman akan kamu rasakan.


    16. Tapi, Saat Sudah Menemukan Gaya Syar’i yang Sesuai Dengan Kepribadianmu — Kamu Akan Tampil Cantik dan Happy



    Kalau sudah menemukan gaya yang tepat, kamu malah jadi makin cantik via kaliini.com

    Setelah menemukan jenis kain penutup kepala yang paling cocok untukmu, kamu mulai bisa bereksperimen untuk menjadikan gaya syar’imu tetap sesuai dengan kepribadian.


    17. Kamu Sering Kesal Saat Ada Anggapan Bahwa Jilbab Syar’i Sama Dengan Pakai Cadar



    memakai cadar agar sesuai syar’i via www.youtube.com

    Permisi. Pemikiran terbukanya disembunyiin dimana ya? Bisa tolong dipanggil dulu? Saya pengen ngopi-ngopi sambil ngobrol sama dia.


    18. Atau Dianggap Akan Nikah Muda Dan Beranak Banyak




    Satu aja udah cukup via izmazizima.blogspot.com

    Orang di luar bakal mengira kamu memilih untuk punya banyak anak kalau kamu pakai jilbab syar’i. Kamu nantinya tidak mau ikut KB dan menganggap kalau banyak anak itu banyak rezeki.

    Dalam hatimu: NGELAHIRIN SATU AJA UDAH SUSAH DEH KAYAKNYA, NGAPAIN BANYAK-BANYAK COBA?


    19. Banyak Orang Mengira Perubahan Penampilan Juga Turut Mengubah Seleramu Terhadap Pria



    Gak, kamu gak naksir Bang Rhoma via www.itoday.co.id

    Karena jilbabmu kini jadi lebih syar’i, ada anggapan bahwa kamu akan memilih lelaki berjenggot, bercelana diatas lutut dan pemahaman agamanya kuat untuk jadi suami.

    PADAHAL….BIASA AJA, KOK!

    20. Penampilan Juga Dikira Mempengaruhi Prinsipmu Soal Komitmen



    Poligami? No way! via www.huffingtonpost.co.uk

    Hatimu belum bisa seikhlas istri Nabi dan sahabat-sahabatnya. Kamu pun enggan dipoligami.

    Jangan duakan aku, Mas. Jangan duakan aku.

    *diucapkan sambil asah golok untuk calon suami yang mau minta poligami*


    21. Melihat Perubahan Penampilanmu, Kedua Orang Tuamu Sempat Khawatir Dan Bertanya, “Kamu Gak Ikut Aliran Sesat ‘Kan Nak?”



    Ini nih yang sesat via siap-1-jam.blogspot.com

    “Pak, Bu, Ummi, Abi tolong dengarkan aku. Ini nih yang harusnya dibilang sesat.”

    Kadang gak paham deh sama orang-orang……


    22. Menanggapi Semua Kesalahpahaman Itu, Kamu Ingin Menampilkan Muka Ini



    Huuuu huuu huuuu via rebloggy.com

    Huuuuuu huuuuuu huuuuuuuu.


    23. Tapi Bagaimanapun, Berjilbab Syar’i Membuatmu Merasa Lebih Terlindungi



    Jilbab membuatmu merasa lebih tenang via myhijab.info


    24. Auratmu Kini Sepenuhnya Tertutup Dari Mereka yang Tidak (dan Belum) Pantas Melihatnya



    Auratmu kini sepenuhnya tertutup via eloquencehijab.blogspot.com
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  13. #93
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    25. Gak Ada Lagi Deh Tuh Digodain Nggak Jelas Sama Cowok yang Gak Kamu Kenal. Karena Kini Penampilanmu Jadi Lebih Bersahaja



    Gak ada lagi goda-godaan random via safiyahhh.tumblr.com

    Paling mentok digodain dengan, “Assalamualaikum…”

    Yaudah lah ya, walau rasanya (tetep) pengen nendang cowok-cowok nggak sopan itu tapi mendingan deh. Paling nggak kalau kamu jawab dalam hati ada pahalanya.


    26. Godaan Untuk Kembali Ke Gaya Berpakaianmu yang Lama Pasti Tetap Ada, Tapi Kamu Pasti Bisa Kok Istiqomah Tetap Syar’i. Asal….NIAT!



    Kamu harus niat via aishah-amin-the-hijab-diaries.blogspot.com

    Asal niat, semua pasti bisa kok dilewati. Kalau belum bisa meninggalkan jeans sepenuhnya masih ada kulot jeans yang bisa kamu kenakan sesekali.

    Yang penting, kamu harus pintar-pintar menyiasati agar gaya berpakaianmu tidak menyalahi aturan yang sudah digariskan oleh agama.


    27. Tapi Bukan Hanya Penampilan yang Harus Diubah, Agar Benar-Benar Syar’i Kamu Pun Harus Memperbaiki Hati



    Yang penting perbaiki hati via heartkey-parade.blogspot.com

    Gak ada gunanya berjilbab syar’i kalau masih suka ngegosip dan ngomongin orang. Selain penampilan, kamu akhirnya sadar bahwa kamu pun harus memperbaiki perilaku dan perbuatan.

    Kini kamu akan dilihat orang bukan hanya sebagai pribadi semata. Ada atribut agama yang kamu bawa. Kamu punya tanggung jawab untuk menjaganya.


    28. Usahamu Untuk Jadi Lebih Syar’i Ternyata Masih Panjang, Dan Kamu Tak Keberatan Untuk Terus Berjuang



    Perjuanganmu untuk jadi lebih syar’i masih panjang via nisawp.blogspot.com

    Sebab proses menjadi syar’i ternyata sudah mengajarkanmu banyak hal.



    Nah itu tadi suka duka saat kamu berusaha memakai jilbab syar’i. Kalau kamu memang sedang berjuang untuk berjilbab dengan syar’i, jangan menyerah ya karena penilaian dan anggapan miring yang mampir padamu.

    Anggaplah hal tersebut sebagai tantangan agar kamu bisa menjadi pemakai jilbab yang lebih baik lagi. Semoga usahamu membuahkan hasil yang manis, ya!


    kaldu
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  14. #94
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952


    Gara-gara si reddo, nyasarlah saya ke wattpad. Sampe baru-baru ini, isi library saya adalah kisah-kisah Sherlock Holmes dan karangan Andrea Hirata. Ini sesuai dengan prinsip yang saya pegang semenjak membaca buku Allison J. Hover yang berjudul The Man Who Loved Books Too Much yang kira-kira bunyinya:

    There are too many books to read in one lifetime. So pick wisely.

    Saya yang sudah dasarnya cukup picky jadi semakin picky dalam memilih bacaan. Rasanya wasting time banget kalau baca sesuatu tapi nggak dapat apa-apa. Namun, baru-baru ini karena alasan teknis di kantor saya jadi punya waktu bengong-bengong nggak jelas beberapa jam. Akhirnya untuk membunuh waktu, pilihan saya jatuh pada e-book. Semua kisah Sherlock yang ori rasanya sudah dibaca. Maka saya pun iseng ngetap salah satu cover dan berharap dalam hati semoga tidak membosankan.

    Tap tap tap. Dari satu cerita berlanjut ke kisah yang lain. Ada yang dibaca sampe habis, ada pula yang baru baca setengah halaman sudah menyerah. Semuanya saya pilih bergenre roman. Cuma itu pilihan yang pas untuk killing time. Tema lain yang lebih serius semisal scifi atau fantasy terlalu berat buat dibaca di e-book. Sedangkan yang chiklit udah nggak zaman. Kalo humor, super jarang ketemu yang humornya yang sesuai selera. Kisah humor itu kudu pas racikannya, kedikitan berasa hambar kebanyakan garing.

    Setelah ngetap lebih dari dua puluh judul, saya mulai mendapat gambaran tema mainstream genre roman saat ini. Pertama, perjodohan. He...entah kenapa tema ini kok ya masih saja jadi andalan para penulis. Practically speaking, anak zaman sekarang tidak sepatuh anak zaman dulu. Perspektif mencari jodoh pun telah banyak berubah. Kalau kisahnya tidak benar-benar lain dari yang lain, aliran ini biasanya saya tinggal setelah halaman kedua.

    Kedua, biasanya kisahnya terjadi di Jakarta, dan kadang-kadang ada sedikit background luar negeri. Paling pusing kalau dialognya banyak yang ber gue lo. Walaupun dalam keseharian memang begitulah sapaan pergaulan di ibukota, tapi ketika masuk dalam tulisan terlalu banyak ternyata mengganggu.

    Ketiga, tokoh-tokohnya masih muda, cantik/ganteng dan kaya raya. Minimal kelas menengah. Bukannya saya keberatan dengan penokohan yang lazimnya memang begini, cuma cara menggambarkannya terkesan seadanya. Padahal kan pembaca perlu berimajinasi cantiknya kayak apa, gantengnya kayak apa. Kalo disebut tatapannya tajam, bilang kayak Chef Juna misalnya, pasti saya cepat ngeh.

    Digresi dikit: aliran roman saya adalah Marga T, terutama karya-karyanya yang terbit sebelum tahun 2000. Bukan berarti yang terbit setelah itu tidak bagus, cuma saya lebih pas saja dengan nuansa roman klasik. Having said that, itulah golden standard saya di genre roman. Maria A. Sardjono atau Mira W. aja lewat kok, eh maksudnya karya beliau-beliau tidak sebanyak itu yang bisa saya nikmati. Urusan selera saja kali.

    Oleh karena itu mau tidak mau ada beberapa aspek yang otomatis jadi perbandingan ketika saya membaca lagi novel-novel yang - harapannya - mengharu biru hati para wanita. Eh, benarkah yang baca roman cuma para cewek ya? Misal: kecantikan Koleta digambarkan Marga T memiliki wajah berbentuk bulat telur dengan bulu mata yang lentiknya sudah kelihatan dari jarak tiga meter.

    Keempat, interaksi yang intens antara penulis dengan pembaca. Sesuatu yang tidak ada di masa lalu. Pembaca bisa mengikuti munculnya setiap bab, berkomentar, atau vote. Saya kadang suka baca komen-komen dari pembaca. Biasanya adalah dari mereka yang emosinya ikut teraduk lalu berharap kisa lanjutannya begini dan begitu. Yang lucu, setiap kali mention penulisnya walau namanya beda tapi dipanggilnya sama, thor. Setelah beberapa waktu saya baru ngeh kalau thor itu maksudnya author . Sedangkan dari authornya sendiri suka ngasi komentar juga di bagian depan bab terbarunya. Yang paling enggak banget itu kalau:
    # Author keliatan nggak pede dengan tulisannya dan minta maaf. Vulgarnya gini, kalo sadar jelek ngapain ditulis? Menurut saya sih nulis ya nulis aja. Biarkan pembaca yang menilai kepantasannya.
    # Author agak manja, mau ngelanjutin kalau udah banyak yang vote. Berarti dia nggak punya konsep matang dong. Kalo punya, author akan nulis sampe selesai no matter what. Again, let the readers decide if it's worth reading.

    Kelima, nama tokohnya kadang aneh dan kebarat-baratan. Konsep family name pun diadopsi padahal di Indonesia fam itu nggak berlaku umum.

    Keenam, kalau topiknya bukan perjodohan biasanya unsur seks diperkenalkan dari awal. Entah one night stand atau pemerkosaan. Pattern yang saatu ini cukup jelas, cewek-cewek ini pastilah semua dalam masa subur karena sekali berhubungan seks baik dipaksa atau suka-sama suka atau lagi mabok, ujung-ujungnya pada hamildun. Belum selesai sampai di sana, para cewek ini akan berjuang sendirian saat hamil dan dengan beberapa variasi ujung-ujungnya akan ketemu dengan si cowok lagi dan happy ending. It's too good to be true. Tapi topik seperti ini pasti punya market tersendiri.

    Sedikit membandingkan - can't help ya - saya ingat ada dua tokoh Marga T yang punya nasib sama-sama diperkosa. Karmila (dengan novel dan sinetron self-titled) dan Koleta (Di Hatimu Aku Berlabuh series). Mereka punya jalinan kisah masing-masing dengan ending berbeda. Kalau yang one night stand saya enggak ingat, mungkin zaman itu belum ngetop.

    Beberapa dari tags di genre roman ada yang berindikasi cerita panas seperti "dewasa" atau "adult". Ya, kayaknya memang nggak mungkin tag begini ada dalam genre scifi atau fantasy. Let me talk a bit about that. Buat yang masih di bawah 18, please skip. You have been warned.

    Persamaan:
    #Sebagaimana umumnya tokoh-tokoh di genre roman, mereka cantik, tampan, muda dan terutama yang cowoknya kaya raya tujuh turunan. Ini mutlak hukumnya.
    #Para ceweknya masih perawan di awal kisah. Mulanya saya mau protes, kok ada selection bias seeeh? Akhirnya saya ketemu sendiri alasannya: untuk mengikuti perkembangan seksualitas para tokoh wanita ini from an innocent to be a b1tch. Sedangkan yang cowoknya sudah penuh berpengalaman. Again, selection bias!

    Perbedaan:
    #Ada dua aliran utama di kisah ini, berdasarkan tipe para cowoknya. Yang pertama adalah yang gentleman. I mean, yah sama aja mereka semua sama-sama playboy. Tapi ada yang lembut dan tidak suka memaksakan kehendak. Mereka ini tipe yang dengan penuh percaya diri tahu bagaimana menaklukkan hati cewek-cewek lugu. Kisahnya jadi mirip-mirip harlequin.
    #Yang kedua adalah tipe pemaksa. Biasanya kisahnya berlatar balas dendam dan sang perempuan diperkosa untuk menuntaskan misi. Ujung-ujungnya mereka berdua jatuh cinta dan kisahnya jadi berbelit-belit sampai keduanya mengakui perasaan itu. Hadehhhh....

    Kalau yang cewek mungkin kena Stockholm Syndrome. Lah yang cowok, kena sindrom apaan dong? Meskipun terdengar romantis, kisah seperti ini sebenarnya cukup berbahaya dalam perspektif jender karena bisa menjadi pembenaran bagi para lelaki untuk melakukan pemerkosaan dengan alasan si cewek ntar juga suka. Padahal yang dikisahkan di sini sangat spesifik, yaitu sudah ada pre kondisi kedua tokoh punya benih-benih suka sejak awal.

    Anyway, it is nice to be back to roman again. Roman terakhir yang saya baca adalah Janda-Janda Kosmopolitan karya Andrei Aksana, itu pun bacanya bersambung lewat harian Kompas. Sekalian mau nostalgia dengan novel-novel Marga T, dari sekian banyak yang saya nikmati tiga besarnya not in particular order yaitu:

    #Balada Sungai Musi.
    Mungkin tidak sengetop novel lainnya yang sudah dibuatkan film atau sinetron. Tapi ini adalah novel pertama Marga T yang memenangkan penghargaan Sayembara Mengarang Balai Pustaka. Dengan latar belakang perjuangan kemerdekaan, kisahnya keren dan menyentuh. Yang agak tak biasa, seingat saya tokoh utamanya malah cowok dan cacat.

    #Rumahku Adalah Istanaku
    Bukan roman melainkan cerita anak-anak. Saya nggak ingat ada novel anak-anak Indonesia yang sebagus ini.

    #Tesa
    Lagi-lagi bukan roman yang populer. Tapi saya suka banget. Mungkin karena tokoh utamanya bukan dokter, seperti kebanyakan tokoh cewek lainnya. Kisahnya pun humble meski latarnya sebagian besar terjadi di luar negeri.

    Haiss...jadi kepengen koleksi novel-novel klasik itu. Kalau ada yang sealiran dengan saya, di wattpad mungkin bisa membaca Perfect Sunrise. Tipikalnya ada rasa-rasa Marga T dikit.
    Last edited by tuscany; 15-09-2014 at 01:31 AM.
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  15. #95
    pelanggan sejati ndugu's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    7,678
    spot on, tusc
    saya juga heran, banyak amat tema perjodohan.
    ato tema 'awal sering brantem saling benci trus ujung2nya baikan'

    saya dulu banyak baca marga t juga, cuman berhubung karakternya banyak yang dokter, saya kadang jadi suka kecampur2 antara satu buku dengan buku laen nyokap lengkap koleksian marga t dan mira w (and something lestari and some other authors, lupa). and i have to agree, saya lebih suka novelnya yang versi jadul. pernah baca yang setelah 2000, ngga gitu sama lagi. ada versi ebook ga tusc? minta donk

    i'm adding perfect sunrise nih

  16. #96
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Loh ndugu ternyata baca Marga T. juga. Kirain nggak hobi sama drama2an. Versi ebook kita minta [MENTION=6]etca[/MENTION] aja gimana?

    Ada beberapa poin yang kelupaan buat ditulis.

    #7
    Kebanyakan tokoh ceweknya adalah fashion designer atau punya butik. Stereotype banget yah, padahal sudah ada persamaan hak perempuan dan lelaki di berbagai profesi gitu loh. Saya bakal salut kalo profesi ceweknya bukan sekretaris atau designer karena sudah kebanyakan. Cobalah yang kurang lazim misalnya arkeolog, jurnalis, guru, hacker, pelukis, dll.

    #8
    Tokoh cowoknya pasti berperut six-pack. Emang gampang gitu punya six-pack? Kenapa saya lebih sering lihat cowok dengan belly (beer) di mana-mana ya?


    Gatal pengen komen satu kisah di wattpad jadinya, mumpung lagi ada waktu dikit.

    ***A Review***
    Novel ini mendapat kehormatan untuk saya review karena setiap buka genre roman di android pasti berada dalam daftar pertama yang terpopuler.

    Tenaga Kerja Istimewa - on going



    “Sejujurnya, aku tidak peduli ini akan jadi pernikahan yang sah atau tidak ... yang aku butuhkan hanyalah dirimu ..., sebagai aib paling manis bagi keluarga El Talal.”


    #Kenapa sangat populer?
    This is Cinderella story. Antara sang pangeran dan upik abu. Cocok deh jadi kisah impian para wanita.

    #Bagusnya apa?
    Latarnya detil. Hal ini pun diungkapkan sang author yang marah-marah merasa kisahnya dijiplak orang-orang, karena memberi detil pada latar memerlukan riset panjang. Apalagi dengan latar belakang kisah di beberapa negara, hanya ada dua cara: entah pernah datang sendiri dan ngalami, atau berjibaku dengan google.

    #Ada lagi?
    Kisahnya mengalir dengan apik. Timeline pas dan koheren. Bahasa yang dipakai standar sehingga tidak bikin pusing.

    #Nggak pasnya di mana?
    Pertama, terlalu banyak kebetulan. Kebetulan cantik, pintar dan bisa berbahasa Inggris tapi karena nasib jadi TKI. Kebetulan dapat majikan kaya, ganteng, cerdas, terkenal. Kebetulan majikan lagi butuh istri. Kebetulan...wah kalo diteruskan jadi spoiler. Kebetulan dalam menulis fiksi itu itu memang agak tricky komposisinya. Terlalu sedikit akan susah untuk accelerate storyline. Kebanyakan jadi terasa artifisial. Apalagi kalo pembacanya kayak saya, yang tidak percaya kebetulan.

    #Kedua?
    Authornya raga galak euy . Mau baca isinya kadang kebaca komen author di awal kisah. Marah-marah karena merasa dijiplak sih boleh saja, tapi menyatukannya dengan kisah di halaman awal bab bikin mood pembaca jadi gimana gitu. Akhirnya kecampur-campur antara curcol author dengan kisah fiksinya. Tapi sebenarnya yang paling mengganggu poin pertama doang sih. Poin kedua saya anggap hiburan. Jadi tahu kalo kisah ini sangat populer, dijiplak, dihapus, diupload lagi yang karena semua curcol itu.

    #Recommended?
    Tidak bagi hardcore aliran realisme.
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  17. #97
    Chief Cook etca's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    aarde
    Posts
    11,135
    Saya hadiiirrr..

    Apa apa apa? Novel Marga T? Mira W? Dee Lestari?
    Kayaknya ada kok.
    Iya nih sekalian pengen masukin ke tablet, ada niat n bertekad pengen baca lagi.
    Meski jadinya malah cubacuba maen bercocok tanam n mbangun kompleks kota lagi

  18. #98
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    sim city emang bisa dimaeinin di tablet, ca? gimana caranya? kalo caesar iv juga bisa sekalian dong
    *maruk
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  19. #99
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952


    Let's talk about MOOC!

    Sebagai pengguna sekali-sekali MOOC sejak dua tahun lalu, menarik bagi saya melihat bagaimana perkembangan MOOC dengan pro dan kontranya. Terutama sejak saya mendengar ucapan Claudia Bremer yang menyatakan bahwa platform MOOC yang berkembang di US saat ini - termasuk favorit saya Coursera - adalah predator. Customer mereka adalah orang-orang yang sudah terdidik dan Cousera dalam perkembangannya menyediakan servis akreditasi serta job matching untuk orang-orang di Amerika. Faktanya, mayoritas pengguna US based MOOC adalah kaum terdidik dengan level pendidikan minimal sarjana dan orang-orang ini adalah mereka yang menyadari pentingnya life long learning. Sedangkan Bremer meyakini bahwa MOOC harusnya dapat menjadi jembatan penghubung ilmu pengetahuan antara kelas elit akademis dengan penduduk di negara-negara miskin utamanya di Afrika, dengan tujuan akhir adalah pengentasan kemiskinan mereka. Tujuan yang sungguh mulia, jika bisa tercapai. Tapi apakah MOOC harus didesain dengan tujuan seperti itu?

    Saya ingat membaca komentar Andrew Ng di sebuah artikel setelah Coursera menerima penghargaan sebagai The Best Overall Startup versi Techcrunch 2012. Ide awalnya adalah untuk menyebarkan materi kuliah tentang komputer secara online agar mereka yang tidak punya kesempatan/uang untuk dapat masuk Stanford atau kampus elit lainnya punya akses untuk mulai belajar tentang pemrograman. Sederhana sekali, sesederhana platform yang mereka gunakan saat itu untuk mensirkulasikan materi kuliah. Saat kemudian format Coursera yang serba gratis dikembangkan dan mendapat antisipasi ribuan hingga ratusan ribu orang di seluruh dunia - tergantung kelas yang diusung - maka dimulailah kasak-kusuk yang dari orang-orang di luar tim Coursera mengenai bagaimana model bisnis yang sesuai jika ingin tetap survive. Bagaimanapun ini negara kapitalis. Segala sesuatu diukur dengan uang. Jauh dari tujuan mulia Bremer tentang pengentasan kemiskinan di Afrika.

    Andrew Ng dan Daphne Kohler hanyalah dua orang profesor Stanford yang ingin berbagi pada awalnya. Fasilitas di Stanford dan dedikasi tim serta kesediaan para Profesor yang diundang untuk memberi materi online sudah cukup bagi mereka untuk menjalankan Coursera, dengan tujuan utama berbagi pada siapa pun yang haus ilmu tetapi memiliki keterbatasan akses ke kampus-kampus elit dunia. Para Profesor itu sendiri bukannya tanpa motivasi menanggapi undangan dari Coursera. Tantangan mengelola kelas non tradisional, kesempatan mengajar ribuan orang dalam satu sesi yang lebih banyak dari total mahasiswa mereka di dunia nyata, mengubah hidup seseorang - seperti ucapan
    Spoiler for Prof. Devlin:
    I hardly ever have an opportunity to do that in a Stanford or a Princeton classroom. The most I can do there is polish a jewel. Maybe.
    , menjadi artis akademis #eh hingga mungkin suatu hari nanti bukan hanya jumlah citation dan published paper yang dapat menjadi daya tawar tenure track dan research grant tetapi berapa jumlah mahasiswa online adalah beberapa motivasi yang dapat saya pikirkan.

    Jika kemudian platform MOOC menawarkan servis tambahan berbiaya, itu menurut saya dinamika hidup. Semua hal harus berkembang pada akhirnya. Saya juga tidak yakin pemasukan mereka dari servis akreditasi bisa untuk balik modal jika semua fasilitas kampus, biaya tim dan Profesor dihitung. Mungkin pemasukan lebih banyak datang dari job matching. Namun akses online tanpa biaya ke kelas-kelas yang diminati, menurut saya bagaikan air di padang pasir bagi para customer. Bukan cuma soal biaya, tapi fleksibilitas yang ditawarkan untuk belajar sesuai pace masing-masing agak susah didapat dari kelas-kelas konvensional. Apalagi perusahaan sekarang lebih fokus merekrut orang-orang dengan skill yang sesuai dari pada menerima orang yang bagus secara general kemudian mentraining lagi. Ada kok yang dapat kerjaan karena punya sertifikat MOOC, yang kalau dipikir-pikir itu kan ecek-ecek cuma kelas online.

    Namun pada dasarnya, customer MOOC sendiri sudah elit. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akses internet. Sesuatu yang langka bagi kebanyakan penduduk Sub Saharan Afrika, atau pedalaman Indonesia. Untuk dapat menselaraskan kemajuan pendidikan di kantong-kantong kemiskinan dengan MOOC, fasilitas internetnya dulu yang dibenahi dan ini tidak dapat diintervensi kaum akademis melainkan urusan dan tanggung jawab negara yang bersangkutan. Lalu ada kendala bahasa, yang saat ini mulai bisa diatasi dengan subtitle. Perjalanan MOOC menjadi jembatan emas kemajuan di negara-negara ketiga masih agak jauh. Tapi bukannya tidak mungkin. Biarlah Coursera dan Audacity mengajari yang sudah pintar tetapi masih tidak puas dengan level pengetahuannya. Tugas Bremer dan kawan-kawan adalah membuka akses pendidikan universal ke kaum marjinal melalui MOOC, tanpa perlu menghakimi platform lain. Toh mereka bukan head-to-head competitor.

    Dunia akan lebih baik saat kita bisa berbagi sesuai porsi masing-masing.
    Last edited by tuscany; 28-09-2014 at 11:13 PM.
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  20. #100
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Saya selalu suka tulisan-tulisan Rhenald Khasali, meski jarang baca.

    Spoiler for khasali:

    Pada abad ke-15, seorang pelaut tangguh mengangkat layar kapalnya menyeberangi lautan. Tujuannya adalah pusat rempah-rempah di timur.

    “India.” Ia berseru pada semua awak kapalnya. “Kita telah mendarat di India.”

    Anda mungkin sudah bisa mereka siapa yang saya maksud. Ya, dia adalah Christopher Colombus. Alih-alih mendarat di India seperti janjinya pada ratu Isabel yang membiayai misi perjalanannya (untuk memperkuat posisi Spanyol dalam perdagangan rempah-rempah yang terputus akibat Perang Salib), Colombus justru mendarat di Amerika.

    Ini tentu di luar harapannya. Saat menghadap ratu, ia pun dicemooh para penjelajah dunia lainnya yang sudah sampai di Tanjung Harapan. Ketika itulah Columbus berfilsafat, "Kalau Anda tak pernah kesasar, maka kita tak akan pernah menemukan jalan baru."

    Tetapi bagaimana orang seperti Columbus bisa menjadi penjelajah dunia, menemukan dunia baru? Sama pertanyaannya, mengapa orang-orang Jepang, India, Yahudi, China dan Korea ada di seluruh dunia?

    Bahkan sekarang, orang Malaysia dan Singapura mulai banyak buka usaha di sini? Ada apa dengan anak-anak kita yang masih senang berada dalam "ketiak" keluarga besarnya, menjadi PNS dan sebagainya?

    Saya ingin katakan, sesungguhnya anak-anak Anda sama seperti saya. Kita semua sebenarnya rajawali, dan bukanlah burung dara yang sayapnya diikat (dikodi) serta tak pernah bisa terbang tinggi, diberi kandang yang sempit agar selalu dekat dengan tuannya.

    Berikan anak-anak Tantangan, Maka Mereka akan Menjadi Pemimpin

    Saya kira Columbus benar. Kita semua tahu tidaklah penting apa yang kita capai hari ini, atau saat ini. Yang lebih penting sesungguhnya adalah apa yang bisa kita pelajari dari sebuah perjalanan itu sendiri. Apalagi perjalanan itu adalah sebuah proses, bukan penghentian akhir. Anak-anak tak boleh berhenti belajar walau katanya "sudah tamat" sekolah.

    Sebaliknya, Anda tahu hari ini, jutaan manusia Indonesia setiap hari sangat takut "menjelajahi" dunia baru yang sama sekali belum dikenalnya. Teman saya, seorang guru matematika misalnya, marah besar saat disuruh mengajar matematika dengan cara digabungkan dengan ilmu lainnya secara holistik. Dia biasa nyaman dalam silonya yang parsial dan merasa paling pandai. Dia juga gemar mengatakan orang lain salah.

    Banyak orang menghindari sesuatu yang namanya kegagalan, kesasar, atau segala hal baru yang bakal menyulitkan hidupnya. Bahkan, menghindari sesuatu kalau ada tantangannya karena takut terlihat kurang pandai karena orang lain bisa melakukannya sedang kita mungkin tidak. Kita maunya anak-anak kita menjadi juara kelas, lulus cepat dan dapat pekerjaan yang baik, dimudahkan jalannya.

    Kita bahkan carikan mereka pekerjaan dari koneksi kita, yang mudah-mudah. Tak banyak orang yang mengerti bahwa keunggulan yang dicapai manusia sebenarnya tak pernah lepas dari seberapa hebat ia terlatih menghadapi aneka kesulitan dan tantangan kehidupan.

    Tanpa kita sadari, sebenarnya kita terperangkap dalam kenyamanan. Persis seperti perjalanan pulang-pergi rumah-kantor yang selalu melewati jalan yang sama berulang-ulang, yang sesungguhnya mencerminkan kemalasan berpikir belaka. Kita takut kesasar, menjaga agar anak-anak tidak tersesat. Padahal jalan yang buntu itu bukan dead end, tetapi pertanda perlunya putar arah (reroute).

    Ingatlah, masalah baru terus bermunculan dan pengambilan keputusan tak bisa dihafalkan. Habit kita telah kita wariskan pada bangsa melalui anak-anak kita.

    "Self Driving"

    Bepergian ke tempat baru, dengan informasi, uang, waktu dan pengetahuan terbatas sesungguhnya bisa mengubah nasib manusia. Dan keterbatasan itu belum tentu membuat kita tersudut tanpa kemampuan keluar (dari kesulitan) sama sekali. Dan anak-anak remaja kita, sesungguhnya memiliki kemampuan untuk men-drive diri masing-masing, yang membuat mereka mampu mencari dan menemukan "pintu keluar" dari kesulitan sehari-hari.

    Namun tradisi kita ternyata jauh dari harapan itu. Kita lebih banyak membentuk mereka menjadi passengers ketimbang drivers. Persis seperti penumpang angkutan kota yang boleh mengantuk, bahkan tertidur, tak perlu tahu arah jalan, merawat kendaraan, berinisiatif pindah jalur. Semua sudah ada yang urus, tahu-tahu sudah sampai di tempat tujuan.

    Anak-anak kita sesungguhnya adalah rajawali, bukan burung dara. Tetapi secara psikologis dan tradisi, kita telah mengikat (meng-'kodi') sayapnya, sehingga mereka tak bisa terbang tinggi. Mereka hanya menjadi "burung dara" yang hanya bisa melompat ke atap gedung, lalu turun lagi ke bawah tidak jauh-jauh dari rumah kita.

    Kita "kodi" sayapnya dengan berbagai belenggu, apakah itu proteksi dan kenikmatan yang berlebihan, keputusan yang tidak pernah kita ijinkan untuk diambil mereka sendiri, hanya untuk memotong rambut atau membeli sepatu.

    Banyak masalah mereka kita ambil alih cepat-cepat sebelum mereka bergulat mengatasinya sendiri dalam kecemasan, dalam ketakberdayaan.

    Juga dogma, ancaman, ketakberdayaan dari pengalaman kita, serta kehadiran kita yang harus ada kemanapun mereka pergi.

    Cerita mereka bisa anda baca dalam buku aplikasi Self Driving (terbit dua minggu lalu) yang kemarin diluncurkan mahasiswa saya di UI. Judulnya 30 Paspor di Kelas Sang Profesor. Isinya suka duka dan curhat mereka melepas kodi-kodi itu agar menjadi rajawali yang hebat dalam program one person-one nation, kesasar di manca-negara.

    Buku itu jadi sebagai akibat provokasi yang saya lakukan pada mereka, dengan fakta bahwa para tenaga kerja wanita kita di luar negri ternyata lebih mampu menangani tantangan dan ketidakpastian di luar negri ketimbang para calon sarjana yang hanya duduk manis di bangku kuliah.

    Saya katakan, era jagoan bicara telah berakhir, kini jagoan itu hanya akan dihormati kalau mereka punya karya, punya langkah. Dan TKW itu adalah manusia yang terhormat karena mereka punya langkah dan membawa berkah.

    Jadi hari pertama kuliah, mereka harus urus paspor. Seminggu kemudian, membuat rencana perjalanan ke luar negri. Satu negara hanya boleh dikunjungi oleh satu orang. Dan itu harus cepat, karena 30 mahasiswa berebut negara tujuan dengan syarat tak boleh yang bahasa dan penduduknya mirip dengan kita. Kalau terlambat, biayanya makin besar, negeri yang dikunjungi makin jauh, makin rumit pengurusan visa dan mungkin saja makin tak menarik untuk dikunjungi. Misalnya Bangladesh.

    Ada dua situasi kebatinan yang akan mereka hadapi: terasing sekaligus tertantang. Dalam keterasingan, mereka hanya berbicara dengan diri sendiri, bukan bergantung pada orang lain. Di tengah kesibukan banyak berdialog dengan orang lain dan media sosial, dalam keterasingan, bagus bagi anak muda untuk membangun diri. Dialog diri ini akan menimbulkan self awareness (kesadaran diri) untuk membentuk karakter yang kuat.

    Sebab, kuliah saja di bangku kelas tak menjamin manusia belajar menghadapi tantangan yang sebenarnya. Kini, semua persiapan harus diurus sendiri dalam waktu yang sangat singkat, dilarang memakai jasa calo atau travel, juga dilarang menerima bantuan keluarga.

    Paspor, penginapan, rencana perjalanan, apa yang mau dilihat, biaya dan sebagainya. Laporannya pun bebas, diutamakan refleksi kehidupan, bukan soal produk atau pasar. Jadi perjalanan mereka tidak dimulai di pintu keberangkatan bandara, melainkan di hari pertama kuliah dengan saya.

    Sambil belajar teori saya ajak mereka melihat sendiri dunia, dan hadapi sendiri segala masalah. Makin kesasar makin bagus. Lama-lama "kodian" itu lepas, sayap mereka membuka, tanpa disadari mereka mulai bisa terbang jauh.

    Satu hal yang dapat dipastikan adalah; mereka akan mulai mengaktifkan otaknya. Dari situ secara tidak sadar mereka sudah memulai praktik manajemen yang sebenarnya. Selama ini buku-buku sudah pasti menjelaskan segala teknik mengatasi masalah dengan amat jelas.

    Masalahnya, pernahkah mereka sendiri menggunakanya dalam kehidupan di dunia nyata?

    Faktanya pula, kebanyakan sarjana kita belum banyak yang mampu bekerja dengan baik meski di bangku perkuliahan mereka terlihat sangat berprestasi. Inilah yang disebut sarjana kertas dengan kehebatan memindahkan isi buku ke dalam lembar kertas ujian.

    Sebagai guru, saya merenungkan kehadiran saya dalam kehidupan mereka: apakah saya hanya menjadi pentransfer pengetahuan atau seorang pendidik? Saya menyadari betul bahwa pendidik bukanlah sekedar penyampai teori. Kemampuan mewadahi keingintahuan, memperbaiki watak dan karakter, membentuk masa depan mereka adalah sama pentingnya dengan memperaktikan teori.

    Masalahnya, maukah mereka berubah? Apakah perubahan ini diijinkan orangtua mereka yang "percaya" bahwa menjadi burung dara lebih baik daripada menjadi rajawali...
    link


    Bandingkan antara burung dara



    dan burung rajawali



    Bukan saya bias selektif milih gambarnya, tapi memang rata-rata penggambaran burung dara itu ya burung yang manis selalu bertengger di atap/pohon. Itulah pose terbaik mereka. Sedangkan burung rajawali biasanya digambarkan sedang mengepakkan sayap dengan aura penuh kekuatan dan keanggunan. Para anak muda itu beruntung lho punya mentor sekelas Rhenald Khasali yang mendorong mereka keluar dari zona nyaman sejak muda. Saya nggak muluk-muluk mereka akan punya nyali setangguh Joshua Wong. Tapi sekali mereka mampu mengubah pola pikir fixed menjadi growth, maka suatu saat nanti akan ada banyak orang hebat yang mampu mencari jalan, bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk orang-orang lain.
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

Page 5 of 6 FirstFirst ... 3456 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •