Serakan Fragmen
Edisi: Gunung
Prasanti melangkah dengan anggun dan tenang. Berbeda dengan hatinya yang berdebar semakin kencang, sekencang kemben yang kini telah terbiasa dikenakannya. Dia sengaja berangkat ke pendapa utama lewat jalan ini. Saat itu dia pernah tersesat sekali karena salah belok. Tak jauh dari sini ada pertigaan, dan salah satunya adalah jalan kecil yang kelihatannya menyusuri tepi desa. Saat itu dia buru-buru karena nyaris terlambat. Saat ini berbeda. Setelah serangkaian latihan menari yang melelahkan, Prasanti berhasil bangun lebih awal.
Pertigaan itu kini tak jauh di depan matanya. Prasanti tanpa sadar semakin bersemangat melangkah.
Brak!!!
Tubuhnya terguling ke samping setelah menabrak sesuatu yang entah datang dari mana. Saat berusaha bangkit, Prasanti menemukan di sisi jalan satunya seorang perempuan juga tengah bangkit sambil setengah mengaduh. Celana jins ketat membungkus kaki jenjangnya dengan kaos putih dan jaket berbahan flanel. Kacamata hitam dan tas merahnya terlempar ke tanah tak jauh dari situ. Leher Prasanti menegang. Dia dilarang bertemu dan berbicara dengan orang asing. Maka segera dibatalkannya rencana awal dan dengan cepat berdiri hendak berlari ke pendapa.
"Tunggu!". Perempuan itu berteriak. Prasanti refleks menoleh.
"Kau tidak kedinginan?" tanya perempuan itu dengan wajah setengah bingung. Ini nyaris dua ribu meter di atas permukaan laut.
Mulut Prasanti terkunci rapat. Dia sangat ingin berbicara sebenarnya, meminta tolong perempuan ini untuk menghubungi suaminya. Namun ingatan akan kemarahan ndoro putri beberapa hari yang lalu membuat niat itu urung dilakukan. Tak boleh ada yang tahu bahwa dia belum menyerah.
"Ehem"!
Suara itu membuat kedua perempuan yang tengah saling bertatapan itu menoleh. Pupil mata Prasanti melebar. Itu ndoro putri.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tatapnya tajam mengarah ke Prasanti.
"Saya hendak ke pendapa, ndoro. Terlalu buru-buru hingga tersesat."
Ndoro putri menoleh ke wanita satunya. "Saya rasa sudah ada peringatan di pintu masuk desa bahwa area ini terlarang untuk dimasuki turis".
Saraswati merasakan tengkuknya meremang saat ditatap oleh perempuan setengah baya ini.
"Saya tak sengaja. Maaf." Dia langsung mengambil tas dan kacamatanya, berlalu dari situ secepatnya. Prasanti juga hendak berbalik ke arah datang saat suara ndoro putri terdengar kembali.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Ya, ndoro?"
"Aku melihat kain cemarmu di jemuran. Apa kau sedang datang bulan? Akan kukirim lebih banyak lagi ke tempatmu nanti."
"Iya. Terima kasih ndoro". Prasanti membungkuk dan segera pergi. Terasa olehnya tatapan dingin menembus hingga ke punggungnya. Apakah ndoro putri mencurigai sesuatu?
Setelah Prasanti menghilang dari pandangan, ndoro putri menepuk tangannya dua kali. Seorang perempuan muda muncul dari balik rerimbunan pohon di belakangnya.
"Sudah kau tes kain cemar itu?"
"Sudah, ndoro. Bersih."
"Hmm...sudah kuduga. Siapkan ramuan untuknya. Perempuan ini tak boleh dianggap remeh ternyata."