Hasil penelitian yang saya baca kira-kira delapan tahun lalu,
people leave their boss, not the company...
Having an idiot as a boss memang minta ampun deh... saya pernah melihat kasus-kasus semacam itu, untung belum pernah mengalami sendiri. Paling sial saya cuma pernah punya boss
retarded...
Dulu istri pernah mengalami dan dia memutuskan untuk resign, tapi sebelum sampai ke keputusan itu kami diskusi cukup lama soal ini-itu. Intinya, kami berusaha memastikan bahwa keputusan yang diambil sudah melalui pertimbangan matang yang melibatkan segala aspek terkait, bukan semata-mata dibutakan oleh dorongan emosional akibat satu kasus/aspek saja. Waktu itu kebetulan anak kedua masih ketjil banget dan diskusi akhirnya menyentuh masalah prinsip, jadi sampai ke batasan yang tidak bisa dilanggar samasekali. Jadilah dia resign, padahal waktu itu sudah jadi kepala departemen dan kandidat kuat untuk menduduki salah satu posisi direktris.
Sekarang istri jadi pekerja paruh waktu konsultan SDM... kalo lagi mood dia ambil proyek, sedangkan kalau lagi nggak mood, dia ambil juga proyek itu tapi saya yang harus ngerjakan...
... yang jelas anak-anak terpegang dengan baik dan mereka
happy ibunya sering di rumah.
Resign adalah juga bagian penting dari pekerjaan
nggih, Mbok? Seperti sesekali kita perlu rekreasi, adakalanya pula kita perlu mencari dunia lain yang lebih segar... asal kita tahu benar itu memang yang kita tuju...