Siang di Kantin Sudut Bandara
Aku bertemu dia lagi, setelah sekian lama kami tak lagi bersua. Masih wajah yang sama, masih senyum yang sama. Kami berpapasan di depan kantin bandara Ngurah Rai. Dia baru saja keluar dari pintu kedatangan, dan aku baru saja keluar dari counter tempatku bermarkas.
Dia tersenyum, namanya Adinda. Perempuan yang pernah mengisi hatiku bertahun-tahun yang lalu. Tetapi kemudian tega meninggalkanku, demi seorang laki-laki yang dia anggap lebih mapan dibandingkan diriku.
"Hai, Raka. Lama tak bertemu, ya," sapanya. Ternyata dia masih mengenaliku. Aku tersenyum menjawab sapaannya.
Lima belas menit kemudian, kami sudah duduk berhadapan di kantin sudut bandara.
Dari bibirnya, kemudian mengalir cerita yang memilukan. Bahwa hidupnya, tak sehebat yang dia bayangkan sebelumnya. Laki-laki yang dia harapkan membawanya dalam kebahagiaan malah sering menyiksanya lahir dan bathin. Belum lagi, setelah pulang dari Jepang, tempat lelaki itu bekerja sebelumnya, dia tak mau lagi bekerja. Belum lagi keluarga suaminya yang memperlakukannya seperti sampah.
Tuhan, sungguh tragis nasibnya kini.
"Sungguh Raka, kini aku menyesali keputusanku meninggalkanmu kemarin," bisiknya sendu, menatapku dengan penuh pengharapan.
Aku langsung berdiri. "Maaf, aku ada janji makan siang dengan istriku. Have a good day, Adinda."