PDA

View Full Version : Telah Berpulang, Sesepuh Wartawan Rosihan Anwar



kandalf
14-04-2011, 10:34 AM
Beliau wafat di usia 89 tahun di RS MMC Kuningan Jakarta.

Saya menaruh hormat pada beliau walau tidak pernah bertemu langsung melainkan hanya melalui tulisan-tulisan beliau baik di media massa maupun lewat buku (saya memiliki buku sejarah mengenai Sutan Sjahrir yang ditulis oleh beliau).

Walaupun bukan seorang tentara, beliau adalah pelaku sejarah, menyaksikan banyak pertempuran dan perundingan di masa perang kemerdekaan.

Selamat jalan, Pak Rosihan Anwar,
terima kasih telah menuliskan peristiwa-peristiwa sejarah yang Bapak saksikan sehingga generasi sekarang bisa belajar masa lampau walaupun belum lahir di masa itu.


@};-@};-@};-@};-@};-@};-@};-@};-@};-@};-@};-@};-@};-@};-

ricky
14-04-2011, 10:50 AM
Selamat jalan Pak Ros. Semoga Allah SWT menerima amal kebaikan bapak dan mengampuni segala dosa - dosa bapak Amiin.

DH1M4Z
14-04-2011, 11:03 AM
Yang gw ingat Pak Rosihan Anwar pernah menulis buku Radio Masyarakat

Sampai usia lanjutpun Pak Ros masih dengan senang hati melayani wawancara dengan media.

Selamat Jalan Pak Ros..., Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik buatmu..

AsLan
14-04-2011, 11:47 AM
http://nurray.files.wordpress.com/2010/05/rosihan_anwar_006.jpg

E = mc˛
14-04-2011, 12:03 PM
RIP Om

meski saya gak begitu familiar dg karya-karya almarhum, tapi nama besar almarhum begitu familiar dan dekat. RIP Om

DH1M4Z
14-04-2011, 04:18 PM
Oh ya...., terakhir gw lihat buku tulisan beliau berjudul Apetite Histoire : Indonesia yang berisikan hal-hal menarik dalam sejarah Indonesia
Kalau gak salah ada 4 jilid buku.

http://photo.goodreads.com/books/1267833979l/6849721.jpg

kandalf
14-04-2011, 04:33 PM
Salah satu tulisan beliau yang saya miliki adalah Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, True Democrat, Fighter for Humanity 1909-1966.

http://www.bookoopedia.com/images/products/150-10-31326.jpg


Di buku itu, Pak Rosihan ternyata narsis juga. Hehehehe..
Ada foto perjanjian Linggarjati yang diambil dari atas jadi terlihat seluruh orang-orang yang ada di situ dan di keterangan gambar tertera tulisan yang mengatakan Rosihan Anwar adalah pria berjas rapi (padahal di sebelah kanan banget dari fotonya) :D

kandalf
14-04-2011, 04:39 PM
Oh ya...., terakhir gw lihat buku tulisan beliau berjudul Apetite Histoire : Indonesia yang berisikan hal-hal menarik dalam sejarah Indonesia
Kalau gak salah ada 4 jilid buku.

http://photo.goodreads.com/books/1267833979l/6849721.jpg


Aku baru baca resensinya. kayaknya bukunya menarik..
*tiba2 merinding.. rasanya istriku melotot

keremus
14-04-2011, 04:39 PM
Wartawan Senior, Saksi Sejarah, semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik di sisi-Nya...
Saya sangat tersentuh bagaimana beliau memuja dan memperlakukan istrinya :) Tentu saja
selain bahwa beliau seorang intelektual ..

Bahkan ada kolom untuk beliau di tabloid semacam Cek n Ricek lo..

Saya mengagumi cara dia menulis : bernas, kalimat efektif, dengan informasi yang padat dalam
satu artikel

kandalf
14-04-2011, 04:44 PM
Oh ya, beliau menulis kolom di Cek n Ricek? Wah, seandainya saya tahu, saya bakal beli. Selama ini saya meremehkan tabloid tersebut sekedar memuat infotainment belaka.

DH1M4Z
14-04-2011, 04:53 PM
Oh ya, beliau menulis kolom di Cek n Ricek? Wah, seandainya saya tahu, saya bakal beli. Selama ini saya meremehkan tabloid tersebut sekedar memuat infotainment belaka.

awas kop, harap diperhatikan kutipan di bawah .... :))



*tiba2 merinding.. rasanya istriku melotot

keremus
14-04-2011, 05:37 PM
Eh bener lo, ada kolom khusus Rosihan Anwar di tabloid Cek n Ricek
dengan topik beragam dan bagus. Padat dan penuh informasi sejarah.
Suer.

Di situ saya menilai beliau bukan intelektual snob yang hanya sudi
menulis di media-media "keren dan ilmiah". Dan dia menulis dengan
mutu yang sama baiknya.

etca
14-04-2011, 05:42 PM
Nderek bela sungkawa buat wartawan senior,
Rosihan Anwar.


moga si nerve_gas, bisa mengikuti jejak beliau karya2nya menjadi fenomenal.
*nerve_gas dah jarang ke sini yak...

kandalf
15-04-2011, 12:05 PM
http://id.berita.yahoo.com/rosihan-anwar-penemu-kata-gengsi-20110414-053200-921.html

INILAH.COM, Jakarta – Almarhum Rosihan Anwar selain dikenal sebagai penulis juga penemu dan pengusung kosa kata baru. Kata “gengsi” adalah salah satu kata yang ditemukannya.

Rosihan menerapkan kata “gengsi” untuk menggantikan kata prestige dalam bahasa Inggris. Ia menggunakan kata itu pada 1949 ketika terjadi Agresi Militer Belanda I. Ia menulis di majalah Siasat mengenai keengganan Belanda melakukan perundingan dengan Indonesia cenderung lebih disebabkan prestige.

Ia menggantikan kata “prestige” itu dengan “gengsi”. Kata Gengsi itu sendiri ia adopsi dari perbendaharaan bahasa remaja di Minangkabau.

Selain itu, Rosihan juga dikenal sebagi pengusung dan pendukung kosa kata baru yang lebih menunjukkan Indonesia. Misalnya, ia menggunakan kata “Anda” untuk kata ganti orang ke dua. Rosihan adalah orang yang pertama kali menggunakan kata “Anda” dalam penulisan.

Ia menulis kata itu di harian Pedoman pada 28 Februari 1957. Kata “Anda” itu sendiri muncul pertama kali dalam kamus Bahasa Indonesia Modern karangan Sutan Mohamad Zain.

Keteguhannya untuk menggunakan kata berbahasa Indonesia dan upayanya menemukan kosa kata baru ini sangat diapresiasi oleh banyak kalangan. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo memiliki kesan tersendiri dengan hal itu.

Saat melayat almarhum di rumah duka di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2011), Fauzi Bowo menyatakan sangat terkesan dengan upaya itu. “Beliau banyak sekali pemikirannya soal bahasa. Beliau banyak menemukan kosa kata baru yang sekarang menjadi bagian bahasa Indonesia baku, misalnya Anda dan dalam rangka," ujar Fauzi mengenang. [tjs]

Lembah_Hinnom
01-06-2011, 09:24 AM
IN MEMORIAM PAK ROS YANG (JUGA) ORANG FILM (10 Mei 1922 – 14 April 2011)
Ditulis Oleh : Drs. Narto Erawan D., SH., MM

Tiba-tiba saja ada rasa gundah menyeruak sanubari ketika saya menulis tentang H.Rosihan Anwar untuk rubrik IN MEMORIAM. Teringat percakapan saya dengan almarhum H. Rosihan Anwar, “Mas Narto, kalau menurut istilah anak gaul, sekarang ini nama saya mesti ditambah dengan “simatupang” alias “siang malam tunggu panggilan”. Karena setiap ada kenalan yang meninggal, pasti setelah mengabarkan berita duka, keluarganya menambahkan, ‘tolong dibuatkan IN MEMORIAM-nya, ya Pak Ros’. Tidak pagi, tidak siang, tidak sore dan juga tidak malam.”

Seperti kita ketahui almarhum dikenal sebagai penulis khusus IN MEMORIAM yang menuturkan riwayat hidup singkat beserta kiprah tokoh-tokoh yang baru saja meninggal dunia. Tulisan-tulisan itu telah diterbitkan dalam dua buku oleh Gramedia.

Terakhir saya ketemu Pak Ros pada pertengahan Juni 2010, ketika menghadiri pengajian di Jalan Pekalongan, Jakarta, dalam memperingati 40 hari wafatnya almarhum Drs. Sumadi, mantan Direktur Jenderal Radio-TV-Film. Kami tidak sempat berbincang lama karena banyaknya tamu yang hadir. Seperti biasa, kehadiran Pak Ros selalu didampingi Bu Ros, sang belahan jiwa.

Pertama kali saya kenal nama Rosihan Anwar ketika saya kelas dua SMA pada tahun 1959, melalui buku saku yang diterbitkan oleh NV Nusantara, berjudul Dapat Panggilan Nabi Ibrahim. Kemudian pada tahun 1962, ketika saya masuk ke Jakarta pertama kali (dan alhamdulillah bisa menetap terus di Jakarta sampai sekarang), saya baca buku keduanya yang berjudul Islam dan Anda.

Pertemuan resmi pertama dengan Pak Ros terjadi pada tahun 1975, ketika sebagai Kepala Sub Direktorat Peredaran Film dari Direktorat Pembinaan Film, saya diminta Pak Ros untuk memberikan enlightening (menurut istilah Pak Ros) kepada para wartawan peserta Latihan Karya Jurnalistik yang beliau pimpin di YTKI. Topiknya “Wajib Produksi Film oleh Importir Film”, yang merupakan kebijakan Menteri Penerangan Mashuri, SH., untuk mendongkrak jumlah produksi film Indonesia, dengan cara mewajibkan importir film memproduksi satu judul film terlebih dahulu sebelum dapat memasukkan lima judul film impor (kemudian dijadikan hanya tiga judul film impor).

Pada kesempatan itulah untuk pertama kalinya saya melihat sifat Pak Ros yang dikatakan orang sebagai arogan, sinis dan skeptis. Ketiga sifat tersebut tecermin dari sikap dan cara berbicara/bertanya serta isi pertanyaan Pak Ros yang diajukan kepada saya.

Misalnya saja, “Apa Menteri Saudara benar-benar yakin bahwa importir film bisa bikin film yang lebih baik daripada yang dibuat oleh produser film yang profesional?” atau “Apa Menteri Saudara sudah benar-benar memperhitungkan bahwa film-film yang dibuat oleh para importir film tidak akan hadir sebagai film asal jadi?” atau “Apakah Menteri Saudara sudah memperhitungkan dengan cermat, mampu-tidaknya karyawan film dan jasa teknik film yang tersedia, untuk melayani booming yang terjadi di bidang produksi film?” Benar-benar saya dibikin repot oleh pertanyaan-pertanyaan Pak Ros tersebut. Kenapa? Karena saya tidak yakin Menteri Mashuri sempat berpikir sejauh itu.

Sikap dan sifat Pak Ros yang seperti itu mencapai puncaknya ketika beliau, selaku Wakil Ketua Dewan Juri FFI 1977 di Jakarta, membacakan hasil penilaian Dewan Juri di Bioskop Citra yang terletak di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Dengan sikapnya yang arogan dan sinis (begitu penilaian semua orang film pada waktu itu), Pak Ros atas nama Dewan Juri mengkritik habis mutu film Indonesia yang sempat dinilai Dewan Juri sebagai “tidak berwajah Indonesia” dan “dibuat oleh produser yang lebih bersikap sebagai merchant of dreams”.

Reaksi spontan yang cukup keras ditunjukkan oleh Sophan Sophiaan yang maju ke depan dan mau naik ke podium. Untung dapat dicegah sehingga hal-hal yang lebih menghebohkan dapat dicegah.

Pergaulan yang lebih dekat dan semakin bersahabat dengan Pak Ros, saya alami setelah beliau menjadi anggota Dewan Film Nasional (DFN), yang diangkat oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada tahun 1978. Beliau tetap berkiprah di institusi tersebut hingga sempat menjadi Wakil Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N d/h DFN) sampai tahun 1998.

Salah satu jasa Pak Ros, selaku Wakil Ketua BP2N, adalah menyetujui dikeluarkannya tambahan dana sebesar Rp4,8 miliar dari Dana Sertifikat Produksi yang dikelola oleh BP2N untuk digunakan sebagai tambahan biaya menyelesaikan GEDUNG FILM sehingga bisa menjadi delapan tingkat. Sejarah kemudian mencatat bahwa selama 20 tahun berkiprah di DFN dan BP2N, Pak Ros selalu menjadi Anggota Dewan Harian (DH-DFN), yang pada masa Menteri Ali Moertopo dipimpin oleh Drs. Asrul Sani.

Sebagai catatan sejarah, Dewan Film Nasional yang pertama kali dibentuk pada bulan Juli 1969 oleh Menteri Penerangan Laksda Boediardjo, langsung diketuai oleh H. Djamaluddin Malik, dan beranggotakan antara lain tiga serangkai: H. Usmar Ismail, Suryo Sumanto, dan Drs. Asrul Sani.

Selaku Anggota DH-DFN, Pak Ros cukup banyak menyumbangkan usul dan saran serta kinerja, khususnya melalui kegiatan di bidang penjurian FFI dan kegiatan promosi film Indonesia di luar negeri. Bersama dengan H. Baginda Siregar, SE., selaku Ketua dan L.J.N. Hoffman selaku Sekretaris, Pak Ros selaku Wakil Ketua menjadi motor penggerak utama kegiatan Kelompok Kerja Terbatas untuk Promosi dan Pemasaran Film Indonesia di Luar Negeri, yang disingkat menjadi Pokjatap Prosar. Berbagai kegiatan Pokjatap Prosar dibiayai sepenuhnya oleh Dewan Film Nasional. Hasil kerja Pokjatap Prosar yang disusun oleh Pak Ros telah dibukukan oleh Dewan Film Nasional dengan judul SWEAR, ROS.

Sejalan dengan pergaulannya yang kian intens dengan insan perfilman Indonesia, sikap arogan, skeptis dan sinis Pak Ros mulai sirna dan berganti menjadi sikap yang toleran, akomodatif, serta humoristik. Serumit apa pun topik yang akan dibahas, kalau rapatnya dipimpin oleh Pak Ros, sudah bisa diprediksi bahwa suasana rapat akan penuh dengan gelak tawa dan hampir tak pernah terdengar ada peserta yang terlibat dalam perdebatan. Tidak juga seorang Soemardjono (yang terkenal dengan sikapnya yang sering kaku dan sulit menerima pendapat orang lain) dan juga tidak seorang Asrul Sani (yang amat dikenal kepiawaiannya dalam mementahkan argumentasi orang lain).

Pak Ros untuk mencegah timbulnya debat di antara peserta rapat adalah ucapannya yang khas, “Begini sajalah, Saudara-Saudara. Dalam rumusan nanti kita pakai prinsip ‘wal bala untuk mereka sedangkan wal laba untuk kita semua’. Bagaimana? Setuju kan?”.

Saya kurang tahu, apakah sifat santun dan familiar Pak Ros itu hasil pendidikan ayahandanya yang seorang demang, atau hasil pendidikan zaman Belanda yang sempat diraihnya sampai lulus AMS. Yang jelas, sejak mulai kenal baik dengan Pak Ros pada tahun 1975, sampai bertegur sapa terakhir dengan beliau pada bulan Juni 2010, Pak Ros selalu menyapa saya dengan panggilan “Mas Narto”. Berbeda dengan Pak Asrul Sani yang selalu memanggil saya “Narto” saja meski saya sudah menjadi Direktur. Saya sih oke-oke saja, dan tidak menganggap Pak Asrul kurang santun, karena betapa pun Pak Asrul pernah menjadi guru saya dalam cara penulisan skenario film sewaktu saya belajar film di PFN.

Sikap familiar Pak Ros antara lain terungkap dalam obrolan kami, “Mas Narto sudah punya tabungan untuk jadi bekal istri nanti? Kalau belum, saya sarankan untuk mulai menabung. Saya sendiri sudah lama memulai, malah dalam US Dollar supaya nilainya terjamin relatif tetap. Sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab, persiapan itu perlu kita lakukan, karena siapa tahu kita – para suami – umumnya dipanggil lebih dahulu oleh Yang Maha Kuasa.” Bahwa kemudian Bu Ros yang mendahului Pak Ros pada bulan September 2010, itu hanya karena kehendak Allah SWT semata-mata, dan tidak mengurangi sedikit pun rasa hormat dan kagum saya kepada Pak Rosihan Anwar sebagai seorang suami.

Untuk melengkapi pribadi terpuji Pak Ros sebagai suami, berikut saya kutipkan tulisan H. Ilham Bintang, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI dan Pemimpin Redaksi Tabloid CEK & RICEK,

“Di masa tua, perhatian Pak Ros terhadap Ibu Zuraida maupun sebaliknya, menakjubkan, tidak usang ditelan waktu. Dua tahun ketika Ibu Zuraida dirawat karena sesuatu penyakit, Rosihan menangis sesenggukan. Saya tahu karena Pak Ros secara khusus menelepon saya menginformasikan keadaan mengkhawatirkan Ibu Zuraida yang sedang diopname di Metropolitan Medical Center (MMC). Mereka adalah belahan jiwa (soulmate) satu sama lain.”

Yang agak mengherankan saya, dari sekian banyak komentar para tokoh mengenai Pak Ros, ternyata hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengingat peran Pak Ros dalam dunia film, sebagaimana diungkapkan oleh beliau sebagai berikut, “Indonesia telah kehilangan salah satu tokoh bangsa yang patut dicontoh. Rosihan Anwar adalah wartawan segala zaman, sekaligus pelaku sejarah. Saya berharap akan ada Rosihan-Rosihan muda yang muncul di Indonesia, yang mampu memajukan dunia pers, seni, budaya, dan FILM (huruf tebal dan kapital dari penulis)”.

Sekadar tambahan info untuk pernyataan Presiden SBY, bisa disampaikan kutipan dari Wikipedia Bahasa Indonesia: “Bersama Usmar Ismail, pada tahun 1950 Rosihan mendirikan Perusahaan Film Nasional (PERFINI). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, Rosihan sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak awal 1980, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai akhir hayatnya.”

Pak Rosihan Anwar kini sudah terbaring damai di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Semoga ketika malaikat Munkar-Nakir menemui Pak Ros, mereka akan bilang, “Rosihan, you really deserve heaven with Zuraida, your beloved wife.” Mudah-mudahan. Amin. (AK)

Sumber: http://www.lsf.go.id/film.php?module=artikel&sub=detail&id=141

Lembah_Hinnom
01-06-2011, 09:26 AM
MENGENANG BUNG ROSIHAN ANWAR SI BUNG SANG IDOLA
Ditulis Oleh : Titie Said

Saya mengenal nama besar Bung Rosihan Anwar pada tahun 1956. Ketika itu saya nyambi bekerja di majalah wanita yang dipimpin oleh Ibu Roeslan Abdulgani dan Ibu Pujiati Armyn Pane. Sebagai wartawan yang masih ‘condolo’ tentu saja saya harus punya idola, untuk memberi semangat.

Pada masa itu sebutan ‘Bung’ adalah sebutan yang disertai rasa hormat. Bung Ros (begitulah saya memanggilnya) adalah idola saya. Kebetulan pula saya berteman dengan Bung Otje Anwar dan Bung Badril Anwar, adik Bung Ros.

Saya bertemu terakhir kali dengan Bung Ros, ketika menghadiri acara budaya di TIM. Ia duduk di deret paling depan, walau untuk VIP, kursinya ada di atas. Kata Bung, kakinya sakit.

Pada tahun 1974 saya ikut mengawali terbitnya majalah Kartini, bersama Pak Drs. Lukman Umar (alm), Bung Bram, dan Dra. Lies Said (alm). Saya menjadi managing editor. Kalau tak salah, saya sering ketemu Bung Ros di PWI cabang Jakarta. Saya mengagumi tulisan Bung Ros. Walau kemudian korannya kena bredel, menulis merupakan kegiatan yang tidak mungkin dihentikan. Sampai akhir hayat si Bung tetap menulis di tabloid Cek & Ricek.

Walaupun puluhan tahun telah berlalu, saya tetap menjadi pengagum tulisannya. Semangat yang tak kunjung padam telah dicontohkan oleh Bung Ros. Kebiasaan membaca, walau saya berusaha menirunya tetapi jauh kalah dibanding Bung Ros yang menguasai beberapa bahasa asing. Ini adalah kendala kita, tidak menguasai bahasa.

Ketika saya mendirikan majalah Famili, Bung Harmoko mengingatkan saya agar meminta pendapat dan tulisan Bung Ros. Ya, namanya majalah baru, saya belum mampu memberi imbalan apa pun. Ketika saya berterus terang tentang hal itu, beliau hanya mengacungkan jempolnya sambil mengangguk. Karena tahu saya wong jowo, kalau ketemu saya, Bung Ros juga suka menggunakan bahasa Jawa dengan lidah Sumatra.

Sebelum tahun ‘80-an, beberapa novel saya difilmkan dan ikut dinilai dalam festival. Ketika saya tahu si Bung yang jadi juri, hilang harapan saya walau film itu masuk nominasi. Saya kecewa. Si Bung amat kritis, apalagi waktu itu ada saingan utama yaitu kisah perjuangan Pak Harto. Jiwa kejuangan pasti akan unggul daripada drama biasa.

Saya juga pernah menjadi Panitia Penyaring untuk festival film dan menjadi juri pada beberapa festival lainnya, bahkan pernah juga menjadi juri film KB di Asia Pasifik. Si Bung memberikan bekal yang amat berharga bagi saya. Juga ketika saya menjadi anggota Lembaga Sensor Film pada tahun ‘90-an dan melewati 4 kali periode, si Bung mengacungkan jempolnya, tanpa kata. Saya ingat ucap beliau dulu: tugas, pengabdian, dan kewajiban harus dijalani sepenuh hati.

Ah, manusia punya mau, tetapi Allah punya kuasa. Bung Ros dipanggil menghadap-Nya, walau ia amat diperlukan sebagai tauladan yang selalu memberi semangat dan mengingatkan kita. Saya masih ingat acungan jempolnya, anggukannya tanpa kata. Semua itu tak akan pernah kulupakan, walau kita dipisahkan oleh dunia/alam lain. Yang dapat saya lakukan hanya berdoa. Kebetulan pula ketika berita dukacita itu saya dengar di radio, saya dalam perjalanan dari Kediri menuju Surabaya. Di masjid tua di pinggir jalan di luar kota Kediri, saya berdoa dan dalam hati kuucapkan selamat jalan untuk Sang Idola. (AK)
sumber:
http://www.lsf.go.id/film.php?module=artikel&sub=detail&id=140

spears
01-06-2011, 09:50 AM
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. RIP Rosihan Anwar.
my deep condolences.