PDA

View Full Version : Homeschooling



AsLan
01-03-2013, 11:19 PM
Homeschooling pada prinsipnya adalah: Orang tua mengajar anaknya sendiri.

Salah satu atau kedua orang tua mempelajari kurikulum pelajaran yg berlaku, lalu mengajar anak mereka sendiri, dirumah sendiri.

Homeschooling boleh diperluas menjadi: Orang tua memanggil guru untuk datang kerumah, untuk mengajar anak2 mereka sesuai kurikulum, namun guru yg dipanggil harus tunduk kepada peraturan moralitas dan agama yg berlaku dirumah itu.

Intinya adalah, Anak2 tetap dirumah sendiri sehingga terbebas dari pergaulan amoral.
hal ini sangat penting dilakukan dikota2 besar yg biasanya terjadi kemerosotan moral dikalangan anak2 muda.

Konsep ini juga untuk menjaga agar anak tidak terpengaruh agama atau faham2 lain sampai dia cukup dewasa.

Tapi jaman sekarang orang kurang paham dengan konsep homeschooling sehingga mulai banyak homeschooling2 komersil, sama seperti sekolah biasa namun muridnya sedikit.
Orang tua tidak mempertimbangkan masalah moral dan agama yg tadinya merupakan prinsip dasar pembentukan homeschooling.

Sekarang banyak orang menaruh anak ber-homeschooling di rumah orang lain, dengan budaya dan agama yg berbeda, dengan konsep moral yg tidak jelas... yg penting anak mendapat perhatian lebih banyak dari guru karena muridnya sedikit.

mendapat banyak perhatian dari guru yg konsep moralnya berbeda dari keluarga asal, bisa menjadi bumerang...

lily
02-03-2013, 09:29 AM
jadi kalo menurut om Aslan , homeschooling ini bagus ya ?

saya sempat mikir untuk K2 pake homeschooling , cuma masi not sure , soalnya ntar gimana bersosialisasi nya , lha di rumah terus.

kalo soal belajar di rumah orang lain , kayanya buat saya ga mungkin. soalnya setau saya homeschooling ya 1 teacher and 1 student.

kupo
02-03-2013, 09:37 AM
homeschooling kan bisa dilakukan sampai si anak lebih siap untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda... jadi setelah punya dasar kuat (agama, tradisi dll) si anak diharapkan tidak gampang terbawa kebiasaan diluar yang tidak sesuai dengan nilai2 dalam keluarga

etca
02-03-2013, 09:40 AM
HO gitu ada sertifikasinya ga sih?
valid ga buwat meneruskan ke jenjang berikutnya?
atau musti ikut ujian kesetaraan lagi.

gw ada kenalan yang sekolah di HO untuk grade SMA.
kuperhatiin sih karena dia ga bisa ikut pendidikan formal karena emang orangnya rada2 nyeleneh.
agak semau-mau gue gitu.

lily
02-03-2013, 09:42 AM
Lalu sebenarnya bisa tidak anak mendapatkan ijazah dengan menjalankan homeschooling?

Jawabannya bisa. Ada 2 pilihan Ijazah yaitu dari dalam negeri atau luar negeri.

Pilihan 1 : Ijazah dari Dalam Negeri ( Paket A, B dan C)
Untuk mendapatkan Ijazah bagi peserta homeschooling dari Departemen Pendidikan Nasional peserta homeschooling harus mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK). UNPK diadakan dua kali dalam setahun yaitu di bulan Juli dan November.
Agar dapat mengikuti ujian peserta didik harus terdaftar dulu sebagai anggota Komunitas Homeschooling atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Pendaftaran biasanya dibuka 1 - 2 bulan sebelum ujian.

Apabila peserta lulus UNPK maka akan mendapatkan ijazah kesetaraan Paket A untuk setingkat SD, Paket B untuk Setingkat SMP dan Paket C untuk Setingkat SMA.
Ijazah Paket C bisa digunakan untuk melanjutkan kes eluruh universtias negeri di Indonesia, termasuk juga dibeberapa negara seperti Singapur, Jerman dan Malaysia.
Sedangkan untuk Paket A dan B sebaiknya ditanyakan terlebih dahulu sekolah yang akan dituju. Karena belum semua sekolah mau menerima Ijazah Paket A dan B. Biasanya yang mau menerima ijazah paket A dan B adalah SD atau SMP swasta.

Berikut Persyaratn pendaftaran UNPK melalui Komunitas Berkemas :
1. Terdaftar sebagai anggota Komunitas BERKEMAS, peraturan Diknas yang baru tidak memperkenankan pelaku HS tunggal untuk mendaftar langsung.
2. Pada saat ujian telah berumur sekurang-kurangnya 12 tahun untuk Paket A, 15 tahun untuk Paket B dan 18 tahun untuk paket C.
3. Mengirimkan langsung berkas-berkas untuk ujian, yaitu :
- Ijazah tingkat pendidikan sebelumnya yang telah berusia lebih dari 2 tahun kecuali untuk ujian Paket A.
- Akte kelahiran
- Pas foto Hitam Putih ukuran 3x4 (10 lembar) dan 2x3 (10lembar)
4. Membayar sejumlah biaya untuk mengikuti ujian pada saat melakukan pendaftaran di BERKEMAS. Biaya yang harus dibayarkan adalah :
- Biaya pendaftaran menjadi anggota Berkemas (apabila belum terdaftar sebelumnya) sebesar Rp. 200.000
- Biaya ujian yang ditetapkan oleh DIKNAS untuk tahun ini ( biaya setiap tahunnya berubah) adalah sebagai berikut : a. Ujian Paket A (SD) Rp. 100.000 Ujian Paket B (SMP) Rp.100.000 Ujian Paket C (SMA) Rp. 175.000 b. Ijazah Rp. 50.000 c. Administarasi Rp. 50.000
- Total Biaya yang harus dibayarkan untuk mengikuti ujian Paket A atau Paket B adalah Rp. 200.000 sedangkan untuk Paket C adalah sebesar Rp. 275.000 ( belum termasuk biaya pendaftaran BERKEMAS)
5. Mengikuti Syarat –syarat yang berlaku di BERKEMAS dan tidak menuntut BERKEMAS apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh DIKNAS sehingga Peserta tidak dapat mengkuti UNPK pada waktu yang telah ditetapkan.
6. Para peserta dari luar kota bisa ikut mendaftar hanya saja harus berada di Jakarta pada saat pelaksanaan ujian dilangsungkan yang akan dilangsungkan selama 3 hari dari pukul 13.00 – 17.00 WIB

Pilihan 2 : Ijazah dari Luar negeri
Ada banyak lembaga dari luar negeri yang mengeluarkan sertifikasi untuk homeschooling seperti sebagian besar dari Amerika. Tapi yang paling menjadi topik pembahasan di Indonesia adalah Cambridge International Examination.

CIE adalah suatu lembaga bagian dari University of Cambridge yang mengeluarkan sertifikasi kualifikasi anak internasional yang diakui di manca negara.
Berbeda dengan UNPK yang terdiri dari 3 level A, B dan C. Ujian Cambridge terdiri dari 4 level yaitu Primary (5-11 tahun), Lower Secondary (11-14 tahun), Middle Secondary (14-16 tahun), dan Upper Secondary (16-18 tahun).

Yang menarik adalah kita tidak harus mengikuti semua jenjang ujian tersebut. Tidak seperti sistem pendidikan nasional dimana kita harus lulus SD dulu untuk bisa melanjutkan ke SMP. Di Cambridge kita bisa langsung mengikuti ujian tingkat Middle Secondary misalnya walaupun sebelumnya kita tidak mengikuti ujian di tingkat Primary atau Lower Secondary.

Untuk mengikuti ujian kita harus mendaftar ke Exam Centre, hanya saja untuk Indonesia Exam Centrenya sudah ditutup sehingga kita harus mendaftar melalui sekolah-sekolah internasional yang menjadi Exam centre atau mengikuti ujian dari Singapura atau Malaysia.


sumber : http://www.daramaina.com/2008/12/mendapatkan-sertifikasi-atau-ijazah.html

lily
02-03-2013, 09:45 AM
FAQ tentang Homeschooling

Belakang ini , saya sering ditanya oleh beberapa kawan berkaitan dengan keputusan saya dan istri untuk meng-Homeschooling-kan anak.

Ada yang mempertanyakan , menyayangkan,dan ada juga yang mendukung..

Terlepas dari itu..saat ini pun , kami (saya dan istri) dalam proses memperdalam konsep dan segala sesuatu nya terkait dengan Homeschooling. Dari beberapa yang memberikan respon atas planning kami, menurut saya sebagian masih salah persepsi terhadap homeschooling.Agar lebih objektif dalam menilai Homeschooling , saya lampirkan FAQ tentang HS.FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Homeschooling..

- – - – - – – - – - – - – — – - – - – - – - – - – - — – - – - – - – - – - – - -

Homeschooling vs. sekolah reguler

Apa persamaan dan perbedaan homeschooling dibandingkan sekolah pada umumnya?

Persamaan:

* Sekolah dan homeschooling merupakan model pendidikan anak.
* Sekolah dan homeschooling bertujuan untuk mencari kebaikan bagi anak-anak.
* Sama-sama dapat mengantarkan anak-anak pada tujuan pendidikan.

Perbedaan:

* Sistem di sekolah terstandardisasi, sistem di homeschooling customized sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga
* Pengelolaan di sekolah terpusat (kurikulumnya diatur), pengelolaan homeschooling tergantung orang tua (orang tua memilih sendiri kurikulum dan materi ajar untuk anak)
* Jadwal belajar di sekolah telah tertentu, jadwal belajar homeschooling fleksibel tergantung kesepakatan orang tua-anak.
* Tanggung jawab pendidikan sekolah didelegasikan orang tua kepada guru dan sekolah, pada homeschooling tanggung jawab sepenuhnya ada di orang tua.
* Di sekolah, peran orang tua relatif minimal karena pendidikan dijalankan oleh sistem dan guru; pada homeschooling peran orang tua sangat vital dan menentukan keberhasilan pendidikan anak.
* Pada model belajar di sekolah, sistem sudah mapan dan orang tua tinggal memilih/mengikuti; homeschooling membutuhkan komitmen dan kreativitas orang tua untuk mendesain dan melaksanakan homeschooling sesuai kebutuhan anak.

Masa depan anak homeschooling

Pintu masuk untuk memasuki sebuah profesi adalah keahlian (expertise) dalam bidang tertentu. Dalam sistem yang umum, salah satu tanda keahlian ditandai dengan ijazah/sertifikat dari sebuah jenjang pendidikan tertentu. Selain ijazah, ukuran sebuah keahlian yang lain adalah hasil karya (output) yang dihasilkan.

Jika ijazah dari Perguruan Tinggi yang menjadi kebutuhan, praktisi homeschooling dapat mengikuti ujian kesetaraan (Paket A, B, C) dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi seperti pendikan reguler pada umumnya.

Jika sertifikat yang menjadi pintu profesi, praktisi homeschooling dapat mengikuti kursus dan program sertifikasi yang banyak diselenggarakan oleh asosiasi profesi atau perusahaan swasta tertentu. Banyak profesi di bidang komputer, bahasa, seni, dan keahlian-keahlian lain yang dapat berawal dari standar sertifikasi profesi tertentu.

Selain dua pintu profesi di atas, semakin banyak profesi-profesi yang berkembang berdasarkan output. Perusahaan swasta pun semakin menghargai “portofolio karya/kemampuan” daripada sekedar ijazah. Sebagian besar profesi-profesi berdasarkan karya/kemampuan adalah profesi di dunia modern. Profesi-profesi berorientasi output itu semakin luas dan memiliki masa depan yang cerah misalnya: bisnis, komputer, marketing, fotografi, entertainment, tulis-menulis, desain, dan sebagainya.

Pada akhirnya, yang dinilai adalah output. Homeschooling memiliki potensi besar untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian anak-anak karena sifat pendidikan homeschooling yang customized dan didesain khusus memenuhi kebutuhan anak.

Apakah homeschooling mahal atau murah

Setting homeschooling sangat tergantung pada keluarga penyelenggara homeschooling. Berbeda dengan sekolah, di mana orang tua harus mengeluarkan sebuah biaya tetap yang telah ditetapkan (biaya gedung, seragam, buku, iuran bulanan, dsb), para praktisi homeschooling memiliki fleksibilitas untuk menentukan jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk anak-anak.

Isu homeschooling bukan pada biaya yang harus dikeluarkan untuk pendidikan anak, tetapi pada komitmen dan kreativitas untuk menjalankan homeschooling. Dengan biaya minimum, Anda dapat menjalankan homeschooling dengan kreativitas Anda.

Yang pasti, homeschooling tidak gratis karena Anda tetap membutuhkan materi-materi untuk pendidikan anak-anak Anda dan memperkaya pengetahuan Anda. Homeschooling dapat menjadi murah kalau Anda dapat memanfaatkan sumber daya yang sudah Anda miliki sendiri, misalkan barang-barang yang di rumah, keluarga, teman, tetangga, dan fasilitas-fasilitas umum yang ada di sekitar Anda. Anda tidak harus membeli, tetapi dapat meminjam, membeli barang bekas, melakukan daur-ulang (recycle), dan sebagainya.

Yang penting bukanlah mahal-murah, tetapi sejauh mana Anda dapat menyediakan sarana untuk bahan pendidikan anak-anak dan mencapai tujuan pendidikan anak-anak Anda.

Kelebihan dan Kekurangan HS

Kelebihan homeschooling:

* Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga.
* Lebih memberikan peluang untuk kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan dalam model sekolah umum.
* Memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah.
* Lebih siap untuk terjun di dunia nyata (real world) karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya.
* Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga. Relatif terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, drug, konsumerisme, pornografi, mencontek, dsb).
* Kemampuan bergaul dengan orang tua dan yang berbeda umur (vertical socialization).
* Biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan keadaan orang tua

Kekurangan homeschooling:

* Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua
* Sosialisasi seumur (horizontal socialization) relatif rendah dibandingkan anak sekolah karena anak homeschooling lebih terekspos dengan sosialiasi lintas umur (vertical socialization).
* Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi, dan kepemimpinan.
* Perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah yang kompleks yang tidak terprediksi.

Mana yang lebih baik antara homeschooling dan sekolah reguler?

Semua sistem pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan. Satu sistem sesuai untuk kondisi tertentu dan sistem yang lain lebih sesuai untuk kondisi yang berbeda. Daripada mencari sistem yang super, lebih baik mencari sistem yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan kondisi kita.

Sistem pendidikan anak melalui sekolah memang umum dan sudah dipraktekkan selama bertahun-tahun lamanya. Saat ini, pendidikan melalui sekolah menjadi pilihan hampir seluruh masyarakat.

Tetapi sekolah bukanlah satu-satunya cara bagi anak untuk memperoleh pendidikannya. Sekolah hanyalah salah satu cara bagi anak untuk belajar dan memperoleh pendidikannya. Sebagai sebuah institusi/sistem belajar, sekolah tidaklah sempurna. Itulah sebabnya, selalu ada peluang pembaruan untuk memperbaiki sistem pendidikan; baik di level filosofi, insitusi, approach, dan sebagainya.

Sebagai sosok yang bertanggung jawab untuk mengantarkan anak-anak pada masa depannya, orang tua memiliki tanggung jawab sekaligus pilihan untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Homeschooling menjadi alternatif pendidikan yang rasional bagi orang tua; memiliki kelebihan dan kekurangan inheren di dalam sistemnya.

Tugas kita sebagai orang tua adalah memastikan bahwa kita telah memberikan yang maksimal untuk anak-anak kita, dengan segala batasan (constraint) yang kita miliki.


sumber : http://rumah-benqi.com/?p=33

cha_n
02-03-2013, 11:21 AM
ca, HO apaan ca?
kalau aku sih ngga deh.
HS di rumah pas dia ga sekolah, iya. bentuknya permainan, penanaman nilai, keseharian, pendalaman materi sekolah dll.
tapi ga 100% di rumah

etca
02-03-2013, 11:40 AM
eh HO = Homeschooling
keknya temen gw itu nyingkatnya HO deh, apa gw yg lupa yak ::hihi::
iya intinya temen gw itu orangnya ga betahan kalau duduk manis,
trus pernah ga sekolah setaun, makanya ama kakaknya dimasukkan ke Homeschooling.
gw kenal dia tahun 2010, dan itu dia masih kelas 1 SMA di HO.

sanggar anak Akar itu konsepnya ke homeschooling juga kan?

cha_n
02-03-2013, 06:11 PM
setahuku homeschooling disingkatnya HS, termasuk di komunitas homeschooling2 gitu ;))

btw, kala di Indonesia, dengan kondisi kekinian, kayaknya sih bagiku pribadi masih terlalu berlebihan untuk HS, soal agama dan norma, kayaknya masih cukup bisa ditolerir, bahkan sama kok.
bahkan untuk yang beragama kristen sekalipun, sekolah2 kristen juga banyak.
kecuali tinggal di amerika, atau daerah yang berbahaya lingkungannya, maka HS bisa jadi salah satu alternatif.
tapi lagi2 ini pertimbanganku aja.
walau aku secara pribadi milih tetap menyekolahkan anak di sekolah formal pada umumnya, tapi ilmu2 dari komunitas HS (misal ikutan komunitas ayah edy) aku juga suka ikuti.
intinya jangan menyerahkan soal pendidikan anak 100% ke orang lain. tetap ortu juga musti berperan

tuscany
02-03-2013, 07:01 PM
Keknya seru tuh Homeschooling. Kalo aku fulltime housewife bakal pilih yang itu. Sosialisasi teman sebaya bisa didapat di tempat lain, semisal kursus.

AsLan
02-03-2013, 10:29 PM
setahuku homeschooling disingkatnya HS, termasuk di komunitas homeschooling2 gitu ;))

btw, kala di Indonesia, dengan kondisi kekinian, kayaknya sih bagiku pribadi masih terlalu berlebihan untuk HS, soal agama dan norma, kayaknya masih cukup bisa ditolerir, bahkan sama kok.
bahkan untuk yang beragama kristen sekalipun, sekolah2 kristen juga banyak.
kecuali tinggal di amerika, atau daerah yang berbahaya lingkungannya, maka HS bisa jadi salah satu alternatif.
tapi lagi2 ini pertimbanganku aja.
walau aku secara pribadi milih tetap menyekolahkan anak di sekolah formal pada umumnya, tapi ilmu2 dari komunitas HS (misal ikutan komunitas ayah edy) aku juga suka ikuti.
intinya jangan menyerahkan soal pendidikan anak 100% ke orang lain. tetap ortu juga musti berperan

betul chan, HS penting buat di negara seperti amerika.

di indonesia yg penting orang tua masih mau mengawasi kehidupan anaknya di sekolah, yg biasanya bakal makin seru di usia SMP atau SMA, itu saat2 penyimpangan biasa terjadi.

BundaNa
03-03-2013, 03:56 PM
kalau HSnya seperti definisi Aslan di awal postingan sih, rata2 ortu sudah HS anak sampe kemudian siap preschool....yang gak wajar justru anak umur 9 bulan disekolahin::hihi::

HS di Indonesia masih baku pada "belajar" sesuai dengan kurikullum nasional di rumah dengan macam variasi, tapi rata2 tetap mengikuti model sekolah fleksibel yang ditawarkan banyak lembaga, termasuk punya Kak Seto. Ada metode2 tertentu kemudian ada pertemuan mingguan juga, jadi mirip sama kuliah jarak jauh sih menurut gwe

lily
06-03-2013, 02:58 PM
dulu anak saya umur 6 bulan saya bawa ke sekolah , maen - maen warna gitu... ama denger - denger lagu...

soalnya pas itu kan free of charge... kalo anak laen bayar sih...

seru sih , ketemu ama baby - baby laen...

ada yang ikut disana sampe setaon trus keluar , trus pas K1 masuk lagi , bareng ama O , lucu rasanya , ketemu lagi setelah lebi dari 3 taon ga ketemu :)

serendipity
06-03-2013, 05:32 PM
IMO homeschooling ngebuat anak jadi gak struggle menghadapi dunia perkuliahan atau pekerjaan. Mereka jadi anak yang manja, gak bisa diajak kerja kelompok.http://www.cute-factor.com/images/smilies/wanwan/1775465355wan.gif
thats my point of view, sebaiknya biarkan anak bersosialisasi dengan teman sebayanya, biar mereka tau cerita-cerita kehidupan anak lain kaya gimana.

lily
06-03-2013, 05:39 PM
iya itu salah satunya , katanya juga...

ntar anaknya males , maunya belajar di rumah doang , ga mau keluar rumah...

AsLan
06-03-2013, 10:33 PM
IMO homeschooling ngebuat anak jadi gak struggle menghadapi dunia perkuliahan atau pekerjaan. Mereka jadi anak yang manja, gak bisa diajak kerja kelompok.http://www.cute-factor.com/images/smilies/wanwan/1775465355wan.gif
thats my point of view, sebaiknya biarkan anak bersosialisasi dengan teman sebayanya, biar mereka tau cerita-cerita kehidupan anak lain kaya gimana.

untuk semua hal ada waktunya.

gak tau kenapa jaman sekarang orang cenderung terburu2 ingin menyekolahkan anak.

jaman dulu umur 7 tahun barulah seorang anak diperkenalkan ke lingkungan sekolah, lalu belakangan diciptakan taman kanak2 untuk usia 5 tahun.

sekarang ada lagi macem2 sekolah pra TK...

Jadi ingat cerita bokap gw :


ada seorang petani yg sangat ingin mendapat hasil panen, ia mendapat ide untuk mempercepat padinya tumbuh.
ia menarik batang padi itu 1 cm keatas setiap hari sehingga padi2nya kelihatan lebih cepat tinggi daripada padi milik tetangganya.

tak lama kemudian padi2 itu mulai layu, bukannya panen cepat malah tak jadi panen.

lily
07-03-2013, 10:25 AM
saya kok lupa ya dulu saya sekolah umur berapa...

ga tau juga , jaman sekarang kayanya orang tua semakin menggebu dan merasa ada persaingan hebat antar anak...

kayanya anaknya harus jadi number one...

makanya dari awal disekolahin.

yang saya ga abis pikir di Gym***** , itu dari new born lo ada sekolahnya. 1 minggu 2 kali.

kalo saya , ya kalo gratis mah bole aja ::hihi::

kalo bayar , ya ntar deh Playgroup baru sekolah ::hihi::

BundaNa
07-03-2013, 08:34 PM
jadi fungsi HS buat suapaya anak gak cepet2 ke sekolah konvensional? HS sekarang malah kesannya "eksklusive" lho....mahal dan cuma anak2 "sibuk" yang bisa HS -_-

AsLan
07-03-2013, 10:13 PM
maksud gw adalah, orang harus bisa membedakan mana HS komersial dan mana HS yg sesuai dengan makna sebenarnya...

Intinya HS bukan sekedar sekolah eksklusif, bukan sekedar sekolah dengan murid sedikit.

HS yg benar adalah sekolah dirumah sendiri, dilingkungan keluarga sendiri yg bebas dari "kotor"nya dunia luar.

234
07-03-2013, 11:07 PM
Sebenarnya HS itu maksud n tujuannya apa sih kok saya malah ndak/belum bisa nangkep dari posting2 yg udah ada diatas...:mikir:

Kalo yg saya tangkep secara umum sih setahuku, CMIIW, HS itu lebih dimaksudkan untuk mengatasi kendala waktu/jadwal sekolah bagi si anak. Kalo di sekolah formal kan jadwal waktunya udah terikat dari jam sekian (masuk) sampe jam sekian (pulang). Nah untuk anak2 tertentu hal ini kadang ndak memungkinkan karena adanya aktifitas lain yg dianggap lebih prioritas pada jam2 tersebut seperti yg sering saya denger misalnya untuk "artis" anak2 ato remaja2 yg punya jadwal shooting ato manggung ndak menentu sehingga ndak memungkinkan mereka untuk bisa mengikuti jadwal sekolah formal/reguler. Dengan kata lain, jadwal waktu belajar HS sangat fleksibel.

Nah kalo memang alasannya seperti itu saya masih bisa memahami. Tapi kalo persoalannya dikaitkan dgn poin2 berikut ini:


Homeschooling pada prinsipnya adalah: Orang tua mengajar anaknya sendiri.

Salah satu atau kedua orang tua mempelajari kurikulum pelajaran yg berlaku, lalu mengajar anak mereka sendiri, dirumah sendiri.

Homeschooling boleh diperluas menjadi: Orang tua memanggil guru untuk datang kerumah, untuk mengajar anak2 mereka sesuai kurikulum, namun guru yg dipanggil harus tunduk kepada peraturan moralitas dan agama yg berlaku dirumah itu.

Intinya adalah, Anak2 tetap dirumah sendiri sehingga terbebas dari pergaulan amoral.
hal ini sangat penting dilakukan dikota2 besar yg biasanya terjadi kemerosotan moral dikalangan anak2 muda.

Konsep ini juga untuk menjaga agar anak tidak terpengaruh agama atau faham2 lain sampai dia cukup dewasa.

homeschooling kan bisa dilakukan sampai si anak lebih siap untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda... jadi setelah punya dasar kuat (agama, tradisi dll) si anak diharapkan tidak gampang terbawa kebiasaan diluar yang tidak sesuai dengan nilai2 dalam keluarga

untuk semua hal ada waktunya.

gak tau kenapa jaman sekarang orang cenderung terburu2 ingin menyekolahkan anak.

jaman dulu umur 7 tahun barulah seorang anak diperkenalkan ke lingkungan sekolah, lalu belakangan diciptakan taman kanak2 untuk usia 5 tahun.
Kalo saya ndak salah tangkep, CMIIW, poin diatas lebih menekankan fungsi HS sebagai upaya untuk tidak melepaskan anak secara dini (prematur) ke lingkungan diluar rumah supaya ndak terkontaminasi nilai2 dari luar yg belum tentu sama bahkan bisa bertentangan dgn nilai2 yang dianut di rumah (keluarga)?

Kok saya jadinya malah tambah bingung ya dgn pengertian dan konsep HS itu sendiri sebenarnya seperti apa?! :mikir:

***
Anyway...

Kalo kembali ke pengertian saya yg pertama, saya masih memahami (setuju) dgn keberadaan HS seperti itu. Tapi perkembangan dewasa ini yg saya tangkep, seperti juga beberapa komentar yg lain diatas, HS kesannya memang udah mulai jadi barang "komersil". HS tidak lagi sebagai sebuah bentuk "keterpaksaan" (karena terbentur jadwal waktu) tetapi sudah menjadi semacam komoditas "gengsi". HS menjadi barang ekslusif bagi orang2 borju. ::doh::

Kalo bagi saya pribadi, selama tidak ada kendala jadwal waktu sekolah, saya lebih memilih untuk menyekolahkan anak ke sekolah formal daripada HS. Mirip seperti komentar pada beberapa posting diatas, kok saya juga menangkap kesan HS itu (bisa berpotensi) si anak jadi anti-sosial yak?! ::elaugh::

Dan kalo memang persoalannya adalah si anak dikuatirkan terlalu prematur untuk mengikuti pendidikan di sekolah formal diluar rumah, setahuku dewasa ini hal tsb udah banyak disadari oleh beberapa lembaga pendidikan kok, ini terlihat dgn semakin banyak muncul sekolah2 pra-SD, baik itu tingkat playgroup maupun TK, yg lebih menekankan konsep bermain dibanding belajar (formal).

Dulu anak sulungku saya masukkan ke sekolah seperti itu dan saya coba percaya sepenuhnya dgn sistem sekolah tsb sehingga sampe lulus TK si anak masih buta huruf buta angka (baca-tulis) krn saya pun ndak pernah ajari baca-tulis kalo di rumah. Di sekolah bermain, di rumah pun bermain juga. Tidak pernah ada PR.

Tapi apa akibatnya? Saya terpaksa ndak bisa memilihkan banyak opsi bagi anak tsb untuk masuk SD tertentu apalagi masuk SD Negeri soale untuk masuknya ada tes membaca dan menulis. Dan lagi2 terpaksa saya masukkan anak tsb ke SD yg memiliki konsep pendidikan "ala bermain" seperti waktu TK meskipun pada lembaga pendidikan yg berbeda.

Lalu anak kedua pilihan sekolahnya (TK-SD) normal. Anak ketiga lagi2 SD nya saya masukkan ke konsep "sekolah bermain" (ndak ada tes baca tulis waktu masuknya).

Prestasi ketiganya sih alhamdulillah sampe sekarang ndak ada yg mengecewakan. Soal nilai2 moral? Itupun menurutku ndak ada masalah sama sekali.

Tapi saya memang melihat ada perbedaan mencolok pada anak2. Anak ke 1&3 terlihat jauh lebih enjoy dalam bersekolah dibandingkan anak ke-2 yg kelihatan lebih "terbebani" dgn sekolah. Tapi efek "negatif"-nya ada juga kok, mungkin karena saking enjoy-nya, si sulung yg sekarang dah SMP jadi cenderung slengekan, cenderung suka nyepelein masalah n relatif kurang disiplin.

Tapi saya sih sebenarnya ndak terlalu kuatir2 amat soale menurutku itu semua masih dalam batas2 kewajaran, cuman memang kelihatan beda banget antara anak ke-1 dgn anak ke-2. (Saya sih berharap si bungsu nantinya bisa ada di tengah2 sbg kombinasi antara kedua kakaknya supaya saya merasa lebih komplit hahaha...)

BTW, tapi mana ada sih orang tua yg tidak "malu" kalo ketauan orang lain bahwa anaknya belum bica baca-tulis padahal udah masuk SD, apalagi umurnya udah cukup tapi masih belum sekolah juga? ::arg!::

:ngopi:

cha_n
08-03-2013, 12:01 AM
sdn mana cak yang mewajibkan tes calistung ? melanggar aturan perundangan tuh.
kalau aku pasti aku laporkan sekolahnya

234
08-03-2013, 12:30 AM
Oya? Saya malah baru tahu kalo itu melanggar aturan. ::doh::

SDN nya di daerah nDepok mbakyu. Memang saya ndak cek semua satu2, tapi beneran ada SDN tergolong favorit yg dulu saya sempet mau daftarin anak saya kesitu tapi saya langsung mundur begitu tahu ada tes tungcalis eh calistung. Lha saya yang malah akhirnya jadi "gengsi" kalo sampe anak saya gagal ndak bisa masuk, kesannya kok jadi punya anak kok bego2 amat yak!? ::hihi::

BTW, sayangnya konsep "sekolah bermain" pun sekarang sudah cenderung banyak yg dikomersilkan shg biayanya jadi mahal2. ::arg!::

:ngopi:

lily
08-03-2013, 04:17 PM
sekolah bermain itu playgroup ya om ?

kalo iya , emang sekarang mahal - mahal , soalnya katanya ada yang kurikulum nya Cambridge bla bla bla...

cha_n
08-03-2013, 04:56 PM
iya berdasarkan pp 17 kalau ga salah. dilarang. tapi wajib masuknya umur 7 tahun. atau paling tidak 6,8 tahun kurang dari itu belum bisa

234
08-03-2013, 08:07 PM
-> Lily

Bukan. Sori kalo saya kurang tepat memilih istilah.

Maksudku, konsep "sekolah bermain" itu model pengajarannya dibuat sedemikian rupa shg proses belajar-mengajar menjadi sangat menyenangkan bagi si anak dan ini bisa diterapkan tidak hanya di tingkat playgroup ataupun TK tetapi bisa juga sampe SD (saya ndak tahu kalo diatas tingkat itu apakah bisa/ada) dgn tanpa mengabaikan kurikulum pelajaran baku.

Saya pertama kali mengetahui hal itu udah lama pas anak pertama masih "usia playgroup". Saat itu (thn 2000an) istilah yg populer adalah "sekolah alam", diantaranya yg ngetop adanya di daerah Cibubur dan Ciganjur untuk daerah sekitar rumahku (Depok). Lalu muncul juga yg lain dgn label berbeda seperti "sekolah kebun", "sekolah fitrah", dll.

-> Chan

Ho'oh, barusan saya googling ternyata memang benar ada PP nya.

PP itu ditujukan untuk pihak penyelenggara pendidikan (sekolah) dan makna yg saya tangkep adalah:

Umur = 7 thn WAJIB diterima. Artinya, pihak sekolah tidak boleh menolak calon siswa meskipun anak tsb ndak punya "ijasah" TK. Hal ini berimplikasi, sekolah dilarang menyelenggarakan tes calistung untuk calon siswa kelompok usia ini. Dasar pemikiran logisnya adalah anak yg ndak punya ijasah TK alias belum pernah mengenyam bangku sekolah dianggap tidak/belum menguasai calistung.

Umur = 6 thn BISA diterima. Artinya, pihak sekolah boleh menerima atau menolak calon siswa dari kelompok usia ini. Implikasi logisnya, sekolah akan/bisa membuat syarat2 dan ketentuan2 tersendiri untuk melakukan penyaringan siswa. Menurutku, inilah celah yg dipakai oleh sekolah melakukan tes calistung bagi calon siswa. Dari sisi ini, sekolah ybs tidak bisa disebut melanggar aturan perundangan.

Umur < 6 thn TIDAK diterima. Artinya, sekolah dilarang menerima calon siswa pada kelompok usia ini. Ketentuan ini hanya merupakan implikasi logis dari dua ketentuan diatas.

BTW, setelah saya coba hitung2 lagi ternyata ketiga anak saya semuanya belum genap 7 tahun pas dulu masuk SD. Tapi semua udah diatas 6 thn lho, berkisar 6,3-6,6thn.

:ngopi:

BundaNa
09-03-2013, 12:54 PM
kalo kurang 6 tahun TIDAK DITERIMA mestinya miki gak bisa diterima taun kemaren chan, kan masup SDnya masih 5,5 tahun::ungg::

Ketika kita bersuara bahwa SD rata-rata melanggar PP 17 karena mengadakan tes calistung, banyak orang tua murid dengan diamini pihak sekolah juga melanggar peraturan, diantaranya batas minimal masuk SD::hihi:: karena PP 17 satu paket, WAJIB menerima anak usia 7 tahun dan TIDAK MENERIMA dibawah 6 tahun

Saya pernah email depdikbud tentang sekolah yang masih saja mengadakan tes calistung...taukah jawaban dari mereka? bahwa saya harus berperan aktif menegur sekolah yang bersangkutan::grrr:: ya gwe reply, BUAT APA ADA DIKNAS kalau LAPORAN MASYARAKAT cuma dikasih JAWAB STANDART kayak GITU?

lily
11-03-2013, 12:26 PM
sekolah alam ya...

di Surabaya baru ada 1 kayanya , itupun jauh dari rumah.

saya sempat tertarik ama sekolah Cikal yang di Jakarta udah terkenal , tapi uang sekolahnya sebulan 2,2 juta. berat...

kupo
11-03-2013, 12:39 PM
loh lily kan di surabaya, kok nyekolahin anak di jkt?

lily
11-03-2013, 12:42 PM
bukan , di Surabaya juga ada sekolah Cikal , baru buka...

nah saya kan udah cari info soal sekolah ini dari dulu , makanya pas dia buka , langsung saya dateng.

tapi uang sekolahnya ga cocok hiks...

padahal kalo masuknya bayar 9,5 juta untuk K2 , itu saya masi bisa , kan sekali setaon.

kalo 2,2 juta sebulan , selama 12 kali , berat :nangis2:

cha_n
11-03-2013, 12:46 PM
-> Lily

Bukan. Sori kalo saya kurang tepat memilih istilah.

Maksudku, konsep "sekolah bermain" itu model pengajarannya dibuat sedemikian rupa shg proses belajar-mengajar menjadi sangat menyenangkan bagi si anak dan ini bisa diterapkan tidak hanya di tingkat playgroup ataupun TK tetapi bisa juga sampe SD (saya ndak tahu kalo diatas tingkat itu apakah bisa/ada) dgn tanpa mengabaikan kurikulum pelajaran baku.

Saya pertama kali mengetahui hal itu udah lama pas anak pertama masih "usia playgroup". Saat itu (thn 2000an) istilah yg populer adalah "sekolah alam", diantaranya yg ngetop adanya di daerah Cibubur dan Ciganjur untuk daerah sekitar rumahku (Depok). Lalu muncul juga yg lain dgn label berbeda seperti "sekolah kebun", "sekolah fitrah", dll.

-> Chan

Ho'oh, barusan saya googling ternyata memang benar ada PP nya.

PP itu ditujukan untuk pihak penyelenggara pendidikan (sekolah) dan makna yg saya tangkep adalah:

Umur = 7 thn WAJIB diterima. Artinya, pihak sekolah tidak boleh menolak calon siswa meskipun anak tsb ndak punya "ijasah" TK. Hal ini berimplikasi, sekolah dilarang menyelenggarakan tes calistung untuk calon siswa kelompok usia ini. Dasar pemikiran logisnya adalah anak yg ndak punya ijasah TK alias belum pernah mengenyam bangku sekolah dianggap tidak/belum menguasai calistung.

Umur = 6 thn BISA diterima. Artinya, pihak sekolah boleh menerima atau menolak calon siswa dari kelompok usia ini. Implikasi logisnya, sekolah akan/bisa membuat syarat2 dan ketentuan2 tersendiri untuk melakukan penyaringan siswa. Menurutku, inilah celah yg dipakai oleh sekolah melakukan tes calistung bagi calon siswa. Dari sisi ini, sekolah ybs tidak bisa disebut melanggar aturan perundangan.

Umur < 6 thn TIDAK diterima. Artinya, sekolah dilarang menerima calon siswa pada kelompok usia ini. Ketentuan ini hanya merupakan implikasi logis dari dua ketentuan diatas.

BTW, setelah saya coba hitung2 lagi ternyata ketiga anak saya semuanya belum genap 7 tahun pas dulu masuk SD. Tapi semua udah diatas 6 thn lho, berkisar 6,3-6,6thn.

:ngopi:

http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/29/15035278/TK.Sudah.Calistung..Masuk.SD.Dites..Deh-14

Demikian menurut Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Suyanto kepada Kompas.com di Jakarta, Selasa (29/6/2010), terkait pemberlakuan pembelajaran calistung dan tes masuk SD, baik di sekolah negeri maupun swasta. Apa pun bentuknya, kata Suyanto, model pembelajaran dan tes akademik tidak diperkenankan karena aturan main penerimaan calon siswa sudah dituangkan pemerintah melalui PP No 17 tahun 2010 Pasal 66 ayat 2 serta Pasal 69 ayat 4 dan 5.

Dalam PP tersebut disebutkan bahwa program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain yang sederajat dilaksanakan dalam konteks bermain yang dapat dikelompokkan menjadi bermain dalam rangka pembelajaran agama dan akhlak mulia, pembelajaran sosial dan kepribadian, orientasi dan pengenalan pengetahuan dan teknologi, pembelajaran estetika, serta jasmani, olahraga, dan kesehatan.

Selain itu, adanya Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 1839/C.C2/TU/2009 yang ditujukan kepada para gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia semakin menguatkan tidak diperlukannya tes akademik bagi calon siswa. Surat edaran itu menyebutkan, kriteria calon peserta didik SD/MI berusia sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun, pengecualian terhadap usia peserta didik yang kurang dari 6 (enam) tahun dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis dari pihak yang berkompeten, seperti konselor sekolah/madrasah atau psikolog.

234
11-03-2013, 12:55 PM
-> Lily

Yup, memang cenderung mahal2 sekarang... Tapi yang jauh lebih murah dari itu menurutku rasa2nya masih banyak kok.

Tapi menurutku yg terpenting, caritau dan pahami dulu kurikulum dan metode pengajarannya. Dan itu mesti dilakukan scr langsung datang ke sekolahnya nanya ke petugas/guru skalian lihat2 suasana lingkungan (rutinitas) di sekolah. Kalo udah sreg ya tinggal disesuaikan aja dgn budgetnya masuk ato ndak...

(Saya pribadi sih, kalo liat angka 2,2jt per bulan saya milih mundur aja. Kalo seandainya mampu pun, ini seandainya aja lho, saya dah kebayang kira2 lingkungan sekolahnya kayak apa. Bukan tipeku banget.)

:ngopi:

lily
11-03-2013, 01:08 PM
pas kemaren sih , saya cari - cari di internet. trus pas pameran , saya dateng ke lokasi pameran , tanya - tanya.

cuma pas tau uang sekolahnya tembus 2 juta , saya males trial disana , padahal ada free trial.

ada juga Tutor Time , lebi parah , uang sekolah 2,8 juta per 4 minggu.

aduh sekolah makin mahal dan menggorok kayanya.

sebenernya yang membedakan sekolah mahal ama enggak itu apa sih.

234
11-03-2013, 01:39 PM
-> Chan

Yup, saya setuju dengan "tafsir" diatas. Tapi kalo dilihat dari teks aslinya berikut ini:


PP No 17 tahun 2010 Pasal 69:

(1) Peserta didik pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat paling rendah berusia 6 (enam) tahun.

(2) Pengecualian terhadap ketentuan pada ayat (1) dapat dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis dari psikolog profesional.

(3) Dalam hal tidak ada psikolog profesional, rekomendasi dapat dilakukan oleh dewan guru satuan pendidikan yang bersangkutan, sampai dengan batas daya tampungnya.

(4) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib menerima warga negara berusia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 12 (dua belas) tahun sebagai peserta didik sampai dengan batas daya tampungnya.

(5) Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.

(6) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan.
Kalo ayat2 diatas dilihat secara saklek, itu artinya penerimaan siswa SD se-mata2 hanya berdasarkan prioritas umur (6-12 thn), siapa yg lebih tua dialah yg diprioritaskan sampe batas daya tampung sekolah ybs. (Dan tentu saja kesanggupan pihak orang tua dgn ketentuan2 dari pihak sekolah termasuk soal biaya.)

Terlepas itu benar ato salah, ideal ato tidak, bisa jalan ato tidak,...tapi ternyata memang itulah aturan resminya. :mikir:

-> Lily

Fasilitasnya. Dan sebagai orang tua anak bagi saya itu ndak penting2 amat. Ibaratnya anaknya sekolahnya diatas tiker dibawah pohon pun bagi saya ndak masalah, yg penting substansi (peng)ajarannya. :mrgreen:


:ngopi:

Ronggolawe
11-03-2013, 01:42 PM
kenapa ribet sih?
Pemerintah sudah menggratiskan pendidikan SD hing
gga SMA, kenapa masih ngotot nyari-nyari yang ma
hal

234
11-03-2013, 02:26 PM
^Kalo saya sih maunya nyari yg menurutku (relatif) bagus, syukur2 bisa murah bahkan kalo bisa gratis. Sayangnya saya gagal dapatkan itu untuk tingkat SD di sekitar daerahku. Untungnya itu berhasil untuk tingkat SMP nya shg sulungku sekarang sekolah di SMPN. Murah. :)

***
BTT...

Kalo kembali ke definisi HS yg berikut ini...:


Homeschooling pada prinsipnya adalah: Orang tua mengajar anaknya sendiri.

Kalo itu sih menurutku oke2 aja, mungkin istilah yg lebih tepat adalah membimbing, bukan mengajar, krn unsur pendampingan menjadi faktor yg paling dominan disitu, maksudku bukan sekedar hubungan (terpisah) antara pihak guru (pengajar) dgn murid (orang yg diajari) tapi lebih banyak melibatkan (memberdayakan) hubungan emosional antar keduanya.

Itu bisa dilakukan ndak sebatas pada usia pra-sekolah, tapi bisa terus-menerus dalam setiap interaksi yg terjadi antar keduanya.

Itu yg mestinya dilakukan oleh orang tua, kecuali memang dasarnya orang tuanya cuek meskipun mungkin krn alasan kesibukan. Kalo memang begitu, ya serahkan aja pada "ahlinya" (guru profesional), baik itu dilakukan di rumah (HS ato semacam les privat) maupun melalui sekolah formal.

Tapi kalo sampe sejauh berikut ini...:


Salah satu atau kedua orang tua mempelajari kurikulum pelajaran yg berlaku, lalu mengajar anak mereka sendiri, dirumah sendiri.
Kok menurutku malah jadi lebay ya...?!

Kalo sekedar mempelajari kurikulum sih ndak ada sulitnya, toh orang tua (asumsinya) pernah mengenyam pendidikan (tinggi) shg materi2 dlm kurikulum sekolah akan dengan mudah dilahap oleh orang tua.

Tapi masalahnya, mengajar itu ada teknik dan metodenya sendiri yg orang berpendidikan tinggi pun belum tentu menguasai. Untuk itulah ada pendidikan keguruan. Apa iya orang tua mesti juga belajar dulu ilmu keguruan?

Tapi kalo tidak, saya jamin malah si orang tua yg bakalan stress n frustasi dlm mengajar anak kalo ndak menguasai aspek2 psikologis dalam teknik mengajar! (Berdasarkan pengalaman pribadi, saya sering dibuat jengkel oleh anak kalo mesti ngajarin runtut pelan2 satu-persatu dari sebuah mata pelajaran, sehingga akhirnya saya selalu tekankan: "Tolong kalian kerjakan dan pahami dulu semampu kalian. Jangan gampang menyerah. Kalo memang benar2 udah merasa mentok, baru minta tolong ke ayah!")

So, don't try that at home! Kecuali si orang tua memang berprofesi formal sebagai seorang guru.

Kalo masih tetap ingin HS juga (krn alasan satu dan lain hal), sebaiknya datangkan guru profesional ke rumah. Peran orang tua adalah sekedar pendamping, baik secara fisik (kehadiran) maupun melalui ide2 masukan ke pihak guru seputar materi yg ingin diajarkan ke anak.

Tapi itupun harus hati2, pihak orang tua jangan terlalu mengedepankan egonya, ntar malah gurunya yg stress merasa terlalu diatur.

Jgn sampe nanti gurunya akhirnya malah bilang: Wani piro?

:ngopi:

cha_n
11-03-2013, 02:26 PM
setuju om ronggo. tiap kita belanja dipajekin, gajian dipajekin, jual beli dipajekin masa ga dipake fasilitas gratis (bisa gratis kan dari duit pajak)

BundaNa
12-03-2013, 05:41 PM
lho....bukannya sekolah negeri, artinya SD dan SMP negeri WAJIB GRATIS? karena udah ada anggarannya dan menunjang wajib belajar 9 tahun

btw...kenapa mesti ngotot HS dengan ngotot mengundang guru ke rumah? duitnya gak lebih bengkak tuh? Kan ngitungnya udah les privat? kalau bayar sekolah SPP (yang swasta) kisaran 100 ribuan masih bisa, berarti ngundnag guru bisa lebih dari itu dong...

Kalau diajarin ortu sendiri, lha...sekolah konvensional juga ortu dituntut aktif berkomunikasi dengan guru kelas plus memantau pembelajaran anak....

Sampe SMA saya lebih suka anak2 sekolah konvensional, karena disana anak2 belajar aturan2 hidup berdampingan dengan orang2 secara langsung. Kalau HS, pinter mungkin...gimana dengan belajar secara sosial secara langsung?

234
12-03-2013, 11:17 PM
lho....bukannya sekolah negeri, artinya SD dan SMP negeri WAJIB GRATIS? karena udah ada anggarannya dan menunjang wajib belajar 9 tahun
Negerinya pake embel2 RSBI mbakyu, jadi ndak bener2 gratis tapi bayarnya masih jauh lebih murah dari SMP swasta favorit, bahkan dibanding bayaran SD kedua adiknya. Prioritas saya kan dah saya sampaikan diatas: bagus syukur2 murah bahkan kalo bisa gratis. :)

(Tahun ini sih ngincer SMU Negeri lagi, syukur2 kalo anaknya mau saya kompori pulang ndeso ke rumah mbahnya di Jogja sekolah disana. Bisa lebih murah/irit lagi.) :cengir:

:ngopi:

---------- Post Merged at 10:17 PM ----------

Sekedar sharing (curcol?) pengalaman soal usia dlm pendidikan... :mrgreen:

Dulu si bungsu hitungan umurnya udah melewati 5thn 6bln bertepatan dgn thn ajaran baru. Kurang lebih 3bln sebelumnya pihak sekolah TK menanyakan ke saya sbg orang tua apakah anak itu mau langsung dimasukkan SD ato tidak. Kalo iya, maka selama 3bln tsb si anak akan diberikan tambahan pengetahuan calistung. Setelah saya pertimbangkan, akhirnya saya memutuskan untuk tetap di TK dan baru akan memasukkan ke SD di thn berikutnya. Pikirku, toh umur 6,6thn bukan usia terlambat untuk masuk SD.

Efeknya, temen bermainnya yg sebelah rumah sekarang jadi kakak kelasnya padahal umur anakku hanya beda tipis lebih muda kurang dari sebulan. Sekarang kalau melihat mereka bermain berdua, jujur, saya kadang jadi berasa gimana gitu..., kayak ada rasa bersalah. Paling2 kalo pas begitu saya coba mengingat sebuah nasihat bijak dari para "leluhur": Ojo GETUNAN. (Lengkapnya: "Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo getunan, ojo aleman.) :cengir:

Tapi efek positifnya ada juga. Si bungsu sering dipercaya oleh gurunya untuk jadi "pemimpin" kalo ada acara di sekolah. Dan kalo dia cerita di rumah ttg apa2 aja yg terjadi di sekolah, banyak muncul cerita2 "heroik" dari si anak, dari mulai mendorong teman2nya yg pemalu n penakut, menenangkan si cengeng, sampe mendamaikan yg berantem, dll. Itu bisa melatih jiwa kepemimpinan dan rasa tanggung jawab pada anak. Dan saya sangat merasakan efek tsb dlm aktifitas keseharian anak tsb di rumah. (Efek lain, saya ndak terlalu kuatir si anak jadi bahan bullying temen2nya.)

Dari situ saya juga dapat mengambil kesimpulan scr umum adanya fakta bahwa rata2 anak sekarang masuk SD itu adalah kurang lebih 6thn, bisa lebih dikit ato kurang dikit beberapa bulan dari itu.

Salahkah itu? Menurutku ini bukan masalah benar ato salah.

IMO, poin yg terpenting adalah org tua jangan memaksakan anak untuk sekolah terlalu dini tapi juga jgn menghambat keinginan anak kalo memang dia ingin sekolah meskipun umurnya masih dini. Harus ada komunikasi dua arah. Kenali dan pahami keinginan si anak, lalu arahkan.

Anak kedua saya dulu waktu umur 3thn me-rengek2 minta sekolah dan akhirnya saya masukkan playgroup. Hanya bertahan 3bln anaknya ngambek ndak mau sekolah lagi. Setelah gagal saya bujuk akhirnya saya putuskan untuk berhenti sekalian dr sekolah. Setelah hampir 2thn nganggur betah menikmati di rumah akhirnya kemudian saya masukkan lagi ke TK. Dan sampe sekarang duduk di kelas 3 SD semuanya relatif berjalan lancar.

BTW soal playgroup, sulungku yg paling lama duduk di playgroup, dari umur 2,5thn. Kayaknya, CMIIW, ini tipikal banget. Maklum anak pertama, semangat orang tua masih meng-gebu2 pengin cepet2 melihat/merasakan anaknya masuk sekolah. Jadi itu bener2 murni inisiatif orang tua, anaknya cuma ngikut.

Anak kedua merasakan playgroup cuma 3bln trus berhenti. Itu semua atas kemauan anak sendiri, orang tuanya ngikut aja.

Si bungsu sama sekali ndak pernah nginjak bangku eh kelas playgroup. Anaknya sendiri ndak pernah minta, orang tuanya sih bersyukur...lumayaaan bisa ngirit. (Itung2 bisa buat nambah budget ngrakit sepeda).

:ngopi:

BundaNa
13-03-2013, 02:30 PM
saya baru ngeliat, ini entah cuma di sekolah si sulung ato semua sekolah mengalami hal ini. Bisa calistung sedini mungkin ( 4 tahun? 5 tahun?) Belum menjamin anak-anak paham apa yang dibaca. Tadi ceritanya si wali kelas cerita bahwa untuk anak-anak yang belum genap 6 tahun waktu masuk SD dan sudah lancar calistungnya, ketika tadi UTS masih sering bertanya apa maksud si soal yang dia baca, alhasil wali kelas "terpaksa" membacakan soal-soal itu untuk seluruh siswa (karena memang masih banyak yang belum genap 6 tahun ketika masuk) dan menerangkan maksud si soal satu persatu, meski untuk anak-anak yang usianya 6 lebih ketika masuk sudah banyak yang bisa dilepas untuk memahami soal. Untuk kemandirian, memang di sekolah si sulung, yang masuk sekolah kurang dari 6 tahun rata-rata harus banyak dibantu sama si wali kelas. Jadi bener sih, usia tetap mempengaruhi saat interaksi di awal SD. Mungkin kenapa lebih baik 7 tahun atau minimal 6 tahun masuk SD karena memang usia kisaran segitu dianggap sudah mandiri dan paham peraturan sosial.

Balik lagi ke HS...kalau yang digambarkan TS diawal, mungkin dari usia dini seharusnya keluarga sebagai sumber pendidikan awal si anak, kemudian, kalau menurut saya sih, sekolah konvensional tetap dibutuhkan untuk anak-anak peka terhadap aturan main di masyarakat.

btw, saya bersyukur Naomi masuk di SD swasta tapi bukan yang model Highclass...punya teman beragam latar beragam ekonomi, membuat Naomi peka bahwa ada temannya yang tidak seberuntung dirinya, dan membuat emaknya ngerem diri gak maen tembak iuran rata-rata buat kegiatan paguyuban orang tua::hihi::

Ronggolawe
13-03-2013, 02:46 PM
sebenernya yang membedakan sekolah mahal ama enggak itu apa sih.


Gengsi orangtuanya :)

BundaNa
13-03-2013, 02:48 PM
^sama fasilitas yang kadang saya liatnya, masih belum perlu buat anak seumur itu