PDA

View Full Version : [Novel] Bangs4t-Bangs4t Berkelas by Tere-Liye



tezar
04-04-2011, 10:46 AM
Secara bersambung, Tere-Liye, salah satu penulis yang sedang naik daun, merangkai kata-kata dalam sebuah rangkaian novel baru dan memuatnya di akun Facebooknya. Tere-liye memberikan izin agar tulisan-tulisannya ini dimuat di berbagai fordis, sehingga secara berseri akan diposting di KopiMaya. Tapi jangan heran, kalau novel yang dimuat di sini akan dijumpai di fordis lain, karena memang Tere Liye meminta bantuan untuk dimuat di mana saja.

berikut pernyataan tere-liye:


Darwis Tere-Liye Penuh: maksud sy, kalau kalian sdh jd anggota forum di mana saja, tolong bantu upload, silahkan, nggak usah pakai ijin ke saya juga nggak masalah. Upload saja.


List Episode
01 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=11082&viewfull=1#post11082) | 02 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=11565&viewfull=1#post11565) | 03 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=12274&viewfull=1#post12274) | 04 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=12947&viewfull=1#post12947) | 05 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=12951&viewfull=1#post12951)
06 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=13650&viewfull=1#post13650) | 07 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=14087&viewfull=1#post14087) | 08 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=14090&viewfull=1#post14090) | 09 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=14863&viewfull=1#post14863) | 10 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=14866&viewfull=1#post14866)
11 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=15124&viewfull=1#post15124) | 12 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=15803&viewfull=1#post15803) | 13 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=15811&viewfull=1#post15811) | 14 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=17409&viewfull=1#post17409) | 15 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=17411&viewfull=1#post17411)
16 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=17414&viewfull=1#post17414) | 17 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=17416&viewfull=1#post17416) | 18 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=17421&viewfull=1#post17421) | 19 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=17423&viewfull=1#post17423) | 20 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=17426&viewfull=1#post17426)
21 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=18159&viewfull=1#post18159) | 22 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=18569&viewfull=1#post18569) | 23 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=19007&viewfull=1#post19007) | 24 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=21566&viewfull=1#post21566) | 25 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=21571&viewfull=1#post21571)
26 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=22087&viewfull=1#post22087) | 27 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=22687&viewfull=1#post22687) | 28 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=23648&viewfull=1#post23648) | 29 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=24965&viewfull=1#post24965) | 30 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=24966&viewfull=1#post24966)
31 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=29329&viewfull=1#post29329) | 32 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=29332&viewfull=1#post29332) | 33 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=30296&viewfull=1#post30296) | 34 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=30920&viewfull=1#post30920) | 35 (http://www.kopimaya.com/forum/showthread.php?776-Novel-Bangs4t-Bangs4t-Berkelas-by-Tere-Liye&p=34845&viewfull=1#post34845)

tezar
04-04-2011, 10:47 AM
Tere Liye
author profile

http://photo.goodreads.com/authors/1280461249p8/838768.jpg

born: May 21, 1979 in Tandaraja (Palembang), Indonesia
gender: male
website: http://darwisdarwis.multiply.com

lahir dan besar di pedalaman sumatera, anak keenam dari tujuh bersaudara. Dari keluarga petani.
sekolah:
SDN 2 Kikim Timur Sumsel
SMPN 2 Kikim Timur Sumsel
SMUN 9 Bandar Lampung
Fakultas Ekonomi UI
buku:
1. Daun yg Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka Umum, 2010)
2. Pukat (Penerbit Republika, 2010)
3. Burlian (Penerbit Republika, 2009)
4. Hafalan Shalat Delisa (Republika, 2005)
5. Moga Bunda Disayang Allah (Republika, 2007)
6. Bidadari-Bidadari Surga (Republika, 2008)
7. The Gogons Series: James & Incridible Incidents (Gramedia Pustaka Umum, 2006)
8. Sang Penandai (Serambi, 2007)
9. Rembulan Tenggelam Di Wajahmu (Grafindo, 2006; Republika 2009)
10. Mimpi-Mimpi Si Patah Hati (AddPrint, 2005)
11. Cintaku Antara Jakarta & Kuala Lumpur (AddPrint, 2006)
12. Senja Bersama Rosie (Grafindo, 2008)

buku-buku tere-liye bisa disapat di http://tbodelisa.blogspot.com
*) link tersebut adalah toko buku tulisan tere-liye online yang dikelola oleh istri tere-liye sendiri. Saya mencantumkan link tersebut tidak bermaksud untuk iklan, tapi sebagai ucapan terima kasih, sudah memfree-kan tulisannya dan saya tidak memiliki kaitan dan tidak mengambil keuntungan dengan pencantuman link toko buku online tersebut

tezar
04-04-2011, 10:48 AM
episode 1



Pesawat badan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London.

Penerbangan tanpa-berhenti menuju Singapura.

Gadis dengan rambut dikuncir, ipad di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. Silahkan.

“Maaf kalau wawancara ini berkali-kali, berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha untuk menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah.” Sedikit percaya diri nampaknya, senyumnya lebih baik.

Aku mengangguk, aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi, batal, aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah mingguan itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini amat penting, waktunya mendesak, pembaca setia mereka ingin tahu bagaimana cara terbaik menyikapi turbulensi ekonomi dunia saat ini. Apapun akan mereka lakukan untuk mendapatkan materi wawancara, termasuk menyusul ke London. Baiklah, aku memberikan waktu satu jam selepas konferensi. Lagi-lagi wartawan mereka datang terlambat di gedung konferensi, aku sudah menumpang taksi bergegas menuju bandara. Editor itu kembali terburu-buru menelepon, bilang mereka sudah berusaha mengirimkan wartawan terbaik mengejarku ke Eropa, tetapi jadwalku terlalu padat untuk diikuti, tertawa bergurau, “Kau tahu, Thom. Bahkan jadwalmu lebih padat dibanding Presiden.” Demi sopan-santun, aku ikut tertawa, lantas berkata pendek, kita lakukan saja sekarang di atas langit atau lupakan sama sekali.

“Seperti yang mungkin sudah disebutkan dalam email, ini akan menjadi judul di halaman depan.” Gadis dengan blouse putih dan rok hitam konservatif selutut itu masih dengan kalimat pembukanya, “Kau tahu, terus-terang aku sedikit gugup. Bukan untuk wawancaranya, tetapi karena antusias, ya Tuhan, aku baru pertama kali menumpang pesawat besar. Ini mengagumkan. Lebih besar dibandingkan foto-foto rilis pertamanya, berapa ukurannya, paling besar di dunia? Tiga kali pesawat biasa. Dan aku menumpang di kelas eksekutif, teman-teman wartawan pasti iri kalau tahu redaksi kami menghabiskan banyak uang untuk membelikan selembar tiket agar satu pesawat denganmu.”

Aku mengangguk, lebih asyik mengamati penampilan ‘kami akan mengirimkan wartawan terbaik’ di sebelahku itu. Bergumam, semoga isi kepalanya secantik penampilannya, ia lebih cocok menjadi pembawa acara kesayangan Anda di layar televisi dibandingkan kuli tinta, bergenit ria dengan dandanan dan kalimat, padahal kosong. Apa tadi kualifikasinya? Lulusan terbaik sekolah bisnis? Ada ribuan orang yang memiliki predikat itu—aku bahkan punya dua.

“Sejak kapan kau menjadi wartawan?”

Senyum riang gadis itu terlipat, meski ekspresi wajah terbaiknya tetap menggantung.

“Aku?”

“Ya, sejak kapan kau menjadi wartawan?”

“Dua tahun.” Ia menjawab ragu-ragu.

“Berapa usia kau sekarang?”

“Usia? Eh, dua puluh lima.”

“Ada berapa wartawan di kantormu?”

“Eh?”

“Ya, anggap saja aku yang sedang mewawancarai kau.” Aku menatapnya tipis, mengabaikan pramugari yang penuh sopan-santun berlalu-lalang menawarkan kaviar serta anggur terbaik.

“Hampir tiga puluh.”

“Menarik.” Aku menjentikkan telunjuk, “Dari tiga puluh wartawan di kantor review ekonomi mingguan yang mengklaim terbesar di Asia Tenggara, pemimpin redaksi kalian ternyata memutuskan mengirimkan juniornya yang berusia dua puluh lima dan baru bekerja dua tahun, melakukan wawancara yang katanya paling penting, topik paling aktual, yang judulnya akan diletakkan di halaman depan edisi breaking news. Amat menarik, bukan?”

Wajah gadis itu memerah. Sepertinya aku berhasil menyinggung harga dirinya. Ia terdiam sejenak, meremas jemari, nafasnya tersengal. Boleh jadi, kalau tidak sedang di atas pesawat, dia sudah bergegas meninggalkanku, lupakan wawancara sialan ini. Boleh jadi pula, kalau aku bukan narasumbernya, bukan siapa-siapa, sudah dilemparnya dengan ipad atau sepatu, ia sepertinya belum pernah dipermalukan seperti ini.

Aku mengembangkan senyum, santai melambaikan tangan, “Tentu saja aku begurau. Kau pastilah yang terbaik. Lagipula, aku hanya ingin membuktikan, apakah dugaanku saat bertemu di atas pesawat ini benar, ternyata kau memang jauh lebih cantik saat marah. Namamu, Julia bukan? Mari kita mulai wawancaranya.”

tezar
04-04-2011, 10:50 AM
Aku tidak terlalu suka bicara di depan ratusan orang—yang satupun tidak kukenal. Berada di tengah pakar, akademisi, penerima hadiah nobel ekonomi, birokrat, atau apalah yang mentereng sekali menyebut latar belakang masing-masing, mulai dari kartu nama hingga basa-basi moderator memperkenalkan, sebenarnya membuatku muak.

Ruangan dipenuhi praktisi keuangan dunia. Pialang, petinggi sekuritas, direktur perusahaan raksasa, CFO, CEO, dan berbagai strata manajerial kunci. Mereka sejatinya adalah srigala berbalut jas, dasi mahal, sepatu mengkilat tidak tersentuh debu, dan diantar dengan mobil mewah yang harganya ratusan kali gaji karyawan hirarki terendah mereka. Buncah bicara tentang regulasi, tata kelola yang baik, tetapi mereka sendiri yang tidak mau diatur dan dikendalikan. Sepakat tentang penyelamatan dan bantuan global, namun sibuk mengais keuntungan di tengah situasi kacau-balau.

Hanya satu alasan kenapa aku menghadiri konferensi ini, meluangkan satu jam menjadi pembicara, bayarannya mahal. Alasan paling masuk akal bagi seluruh umat manusia.

“Si Om Teroris ini, maaf, aku bosan menyebutnya dengan krisis ekonomi global, subprime mortgage, atau apalah nama binatang itu, terlalu panjang dan mual mendengarnya, setiap hari ada di televisi, koran, radio, internet, bahkan sopir taksi tidak ketinggalan. Aku akan menyebutnya dengan Om Teroris saja. Ada yang keberatan?” Aku memulai sesi pagi dengan santai, bertopang dagu.

Peserta konferensi antar bangsa tertawa.

“Ya, ya, aku tahu di pojok sana keberatan.” Aku pura-pura memasang wajah serius, “Tetapi di dunia dengan sistem ekonomi saling bertaut, tidak ada batas pasar modal dan pasar uang, krisis seperti ini lebih menakutkan dibanding teror dari ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Kita tidak pernah melihat indeks saham terjun bebas seperti hari ini ketika dulu menara WTC dihancurkan, bukan? Bahkan indeks tidak berkedut ketika kapal selam nuklir Soviet memasuki perairan Amerika di era perang dingin. Hari ini, semua orang panik, satu per-satu seperti anak kecil menunggu jatah permen, perusahaan raksasa mendaftar perlindungan kebangkrutan, dan harga surat berharga menjadi sampah, tidak lebih dari harga selembar kertas folio kosong.”

Aku ekspresif menjentik selembar kertas, membiarkannya jatuh dari atas meja.

“Orang-orang kehilangan dana pensiun, jaminan kesehatan menguap, tabungan puluhan tahun, rencana pendidikan. Kita amat tahu, untuk orang-orang seperti kita, inilah teror sebenarnya. Rasa cemas atas masa depan, detak jantung mengeras setiap melihat tukikan grafik harga, potensi kehilangan kekayaan, tidak bisa tidur, bahkan satu-dua eksekutif puncak memilih bunuh diri.”

Peserta konferensi antar bangsa takjim mendengarkan. Aku diam sebentar, meraih gelas air mineral, senang memperhatikan wajah-wajah menunggu mereka.

“Sayangnya,” Aku meremas rambutku, menghela nafas, “Om Teroris yang satu ini tidak bisa ditusuk dengan pisau. Presiden kalian, maksud aku Presiden di meja pojok sana bisa dengan mudah mengirim ribuan tentara, pesawat tempur, tank bahkan kapal induk untuk memburu satu orang teroris. Khotbah tentang preventif strike, memberikan rasa aman bagi segenap rakyat, mencegah teror meluas. Sial, Om Teroris yang satu ini bahkan tidak bisa dipegang batang lehernya.”

“Bukan karena dia tidak bisa dilihat, tentu saja muasal kekacauan pasar modal dan pasar uang kita amat terlihat, tidak susah mengurai benang kusutnya. Kita tidak bisa menusuknya, karena kalau itu dilakukan, kita semua di sinilah yang pertama kali tertikam. Kitalah yang terlalu serakah dan kreatif menciptakan pola transaksi keuangan, membiarkan bahkan membuat nilai asset menggelembung tidak terkendali, mengabaikan resiko sebesar Gunung Everest di depan hidung, peduli setan? Sepanjang bonus tahunan terus membumbung, semua fasilitas pesawat jet perusahaan, hotel terbaik, liburan berkelas. Temuan audit dibungkus sebaik mungkin, peringatan awal dianggap angin lalu, dan mulailah kita terbiasa mematut informasi, pabrikasi kemasan, lupa semua ada batasnya. Ketika nilai surat berharga semakin lama semakin menggelembung, harga selembar kertas bisa setara berkilo-kilo emas, padahal sejatinya dia tetap selembar kertas.”

“Kaboom!” Aku mengetuk mik dengan jari—membuat hadirin sedikit tersentak kaget, “Semua meledak, ekonomi dunia remuk, krisis ekonomi global pecah, dalam sekejap menjalar kemana-mana. Bursa New York tumbang, memangkas kapitalisasi dunia milyaran dollar, disusul London, Frankurt, Amsterdam, Paris. Dan hanya butuh sedetik berita mengerikan itu tiba di Bangkok, Singapura, Jakarta, Dubai, Sao Paolo, Sydney bahkan Johannesburg. Semua orang panik, kontrak future harga minyak dan komoditas turun, perdagangan dunia terkulai, perekonomian melambat, banyak negara menyatakan resesi. Bahkan ada yang bergegas menyatakan bangkrut, meminta pertolongan.”

“Hari ini kita sibuk berdiskusi sana-sini, menganalisis, berandai-andai, andai itu tidak dilakukan, andai ada regulasi yang mengatur, tetapi lebih banyak yang berandai-andai, andai lebih dulu menjual lantas memasang transaksi short-selling, andai uang tunai di tangan siap sedia, andai dalam posisi transaksi sebaliknya. Itu akan jadi berkah tidak terkira, berpesta-pora di tengah kerugian massal.”

“Tuan, maaf menyela.” Seorang peserta konferensi tidak sabaran, dengan bahasa Inggris sengau khas Asia Timur, membuat ruangan tertoleh padanya.

“Sesi tanya jawab tersedia di lima belas menit terakhir.” Bergegas moderator, salah-seorang profesor sekolah bisnis ternama, mengingatkan.

“Tidak mengapa. Silahkan.” Aku tidak keberatan, mengangguk.

“Eh?” Moderator itu menatapku.

“Terima kasih.” Peserta itu berdehem, dasinya miring, rambutnya tidak rapi, pasti sedang pusing dengan banyak hal, “Aku pikir, kami tidak akan menghabiskan waktu untuk mendengar lagi cerita seperti sesi akademis dan birokrat sehari penuh sebelumnya. Jauh sekali kami datang hanya untuk mendengar teori-teori, kami lelah, butuh keputusan cepat dan tepat. Tuan, Anda dipuji banyak media sebagai salah-satu penasehat keuangan terbaik, begini sajalah, sejak krisis ini terjadi, frankly speaking, perusahaan kami sudah limbung kiri-kanan, melaporkan kerugian yang menghabisi saldo laba dua puluh tahun, posisi kas negatif, dan klaim pembayaran nasabah hanya menunggu waktu. Apa yang harus kami lakukan? Atau tepatnya, apa yang eksekutif puncak perusahaan bernasib sama seperti kami harus lakukan? Menunggu vonis kematian?”

Gumaman setuju terdengar dari banyak meja.

Aku tertawa kecil, menyikut moderator di sebelah, “Nah, akhirnya bisa dimengerti kenapa aku dibayar mahal sekali untuk menjadi pembicara dalam konferensi ini. Kalian ternyata meminta nasehat keuangan secara gratis. John, jangan lupa kau bantu kirimkan tagihan ke seluruh peserta.”

Peserta konferensi antar bangsa tertawa.

Aku mengusap wajah, menunggu ruangan kembali hening, lantas berkata perlahan, “Kunci solusinya hanya tiga kata: rekayasa, rekayasa, dan rekayasa. Itu saja. Sejak jaman Fir’aun, sejak jaman Xerxes dari Persia, hanya itu solusi menghadapi krisis ekonomi besar. Termasuk bagaimana menyelamatkan uang kalian yang terlanjur terbenam di perusahaan terancam bangkrut.”



*** bersambung

Naskah ini tidak lazim, akan dipenuhi teori, rekayasa, bahkan intrik jahat ilmu ekonomi dan keuangan. Mulailah memberikan like, biar saya bisa mengabsen seberapa banyak yang bersiap membaca serial baru ini. Jangan jadi pembaca pasif, sejatinya like kalian tidak mempengaruhi mood menulis saya, tapi itu berguna untuk mengukur siapa saja yang membaca naskah ini.

tezar
05-04-2011, 08:25 AM
*******-******* Berkelas
by Darwis Tere-Liye Penuh on Friday, March 25, 2011 at 7:03pm

episode 2



Pesawat badan besar melaju cepat meninggalkan London, sekarang sepelemparan batu di atas wilayah penerbangan Myanmar. Penerbangan tanpa-berhenti menuju Singapura.

Tertawa kecil.

“Kau bergurau, aku konsultan keuangan profesional, aku tidak peduli dengan kemiskinan. Yang aku cemaskan justeru sebaliknya, kekayaan. Ketika dunia dikuasai segelintir orang, nol koma dua persen, orang-orang yang terlalu kaya.”

Kami sudah menghabiskan anggur gelas pertama. Pramugari selalu-tersenyum itu barusaja lewat (lagi), menawarkan gelas kedua. Aku menggeleng, selepas mendarat di Singapore, penerbangan lanjutan menuju Jakarta sudah menunggu, aku harus bergegas menuju lokasi klub tinju, aku punya pertandingan penting malam ini.

“Bisa dijelaskan lebih detail?” Gadis dengan predikat ‘kami akan mengirimkan wartawan terbaik’ di sebelahku bertanya.

“Ya, kau bayangkan, ketika satu kota dipenuhi orang miskin, kejahatan yang terjadi hanya level rendah, perampokan, mabuk-mabukan, atau tawuran. Kaum proletar seperti ini mudah diatasi, tidak sistematis dan jelas tidak memiliki visi-misi, tinggal digertak, beres. Bayangkan ketika kota dipenuhi orang yang terlalu kaya, dan terus rakus menelan sumber daya di sekitarnya, mereka sistematis, bisa membayar siapa saja untuk menjadi kepanjangan tangan, tidak takut dengan apapun. Sungguh tidak ada yang bisa menghentikan mereka selain sistem itu sendiri yang merusak mereka.”

Dahi gadis di sebelahku terlipat, belum mengerti juga.

“Kau tidak mengerti ilmu ekonomi?” Aku menyeringai.

Gadis itu tidak setersinggung sebelumnya, “Maksudku, tidak semua pembaca kami memiliki kompetensi pengetahuan ekonomi, ilustrasi lebih sederhana akan membantu mereka.”

“Baiklah. Coba kita misalkan dunia ini hanya sebesar kota. Ada seribu ribu penduduk di dalamnya. Sebagian menjadi petani, perajin, peternak, tukang, sebagian lainnya menjadi pedagang, tentara, semua profesi dan mata pencaharian hidup yang kita kenal. Katakanlah berabad-abad mereka hanya mengenal barter, ikan ditukar gandum, jasa cukur rambut ditukar perbaikan atap rumah, atau seporsi masakan lezat dibarter dengan jahitan baju. Hingga salah seorang jenius, well, kita sebut saja Mister Smith menemukan uang. Kehidupan primitif mereka dengan segera berubah drastis, perekonomian kota kecil itu bergerak maju. Transaksi lebih mudah dilakukan, itu fase pertama muasal kegilaan ini.”

“Sejak uang ditemukan, berbagai teknologi juga ditemukan, era industri datang, sumber minyak, emas, batubara, timah, besi dekat kota mulai ditambang. Tenaga kerja semakin produktif, perhitungan efisiensi produksi dikenal, dan tuntutan atas kemudahan transaksi keuangan meningkat. Mister Smith kembali datang dengan ide mendirikan bank, membuat seluruh penduduk kota terpesona, benar sekali, mereka butuh modal untuk membuat perekonomian melesat lebih hebat. Tetapi mereka ragu-ragu, siapa yang akan percaya dengan selembar kertas? Mister Smith melambaikan tangan, tenang saja, bank akan mencetak setiap lembar uang dengan jaminan cadangan emas. Seratus dollar dijamin sekian satu gram emas, jadi uang tersebut dijamin aman, ada nilai pelindungnya di bank, dan semua orang harus menerima transaksi dengan uang. Penduduk kota semakin kagum. Luar biasa, itu ide yang brilian.”

“Maka, bank mulai mencetak uang dengan jaminan cadangan emas. Sebagai pemanis, Mister Smith menjanjikan bunga untuk setiap orang yang bersedia menyimpan uang di bank. Mulailah, orang kaya berbondong-bondong meletakkan uang, sedangkan yang membutuhkan uang untuk modal usaha, juga datang ke bank dengan janji membayar cicilan ditambah bunga. Kau tahu, salah-satu penemuan klasik Mister Smith yang menjadi dasar ilmu ekonomi modern adalah bunga.”

Aku berhenti sejenak, mengangguk kepada pilot pesawat yang keluar dari kabin, ramah menyapa penumpang, lantas tertawa kecil, bergurau pada salah-satu anak kecil di seberangku yang cemas kenapa Pilot meninggalkan kokpit, “Tenang, Nak, pesawat ini memiliki sistem otomatis handal.”

“Nah, dengan adanya uang dan bank, akumulasi kekayaan mulai terjadi. Di tahun nol, total uang beredar hanya seratus dollar, katakanlah begitu. Di tahun ke sepuluh, total uang beredar di kota melesat menjadi satu miliar dollar. Bagaimana bisa? Karena begitulah sistem perekonomian baru bekerja, begitu canggih melipatgandakan kekayaan. Kau letakkan uang seratus dollar di bank yang dijamin setara satu gram emas, lantas uang itu dipinjam orang kedua, si tukang jahit. Orang kedua ini menggunakannya untuk membeli mesin jahit terbaru pada orang ketiga, si pembuat mesin. Si pembuat mesin punya uang seratus dollar sekarang, hasil menjual mesin, dia bawa uang itu ke bank lagi, ditabung. Jadi berapa uang dalam catatan bank? Dua ratus dollar.”

“Bank lantas meminjamkan uang itu ke orang keempat, si nelayan, si nelayan belanjakan untuk membeli kapal terbaru pada orang kelima, si pembuat kapal. Orang kelima membawa uang seratus dollar itu ke bank, menabungkannya. Begitu terus siklus perbankan yang canggih.”

“Jadi berapa uang seratus dollar itu sekarang dalam catatan bank? Tiga ratus dollar? Kau keliru. Uang itu tumbuh jadi tidak terhingga, semakin banyak yang terlibat dalam mekanisme simpan-pinjam itu, tanpa regulasi bank harus menyisihkan sekian persen sebagai cadangan, maka efek pengalinya berjuta-juta tidak terhingga. Padahal, come on, berapa sejatinya nilai uang yang dijamin oleh cadangan emas? Ya hanya seratus dollar, lantas bagaimana ribuan dollar lainnya? Itu hanya ada di kertas. Benar-benar ada di kertas, dalam catatan bank, dalam catatan kekayaan masing-masing.”

“Perekonomian kota tumbuh tidak terbilang, semua sektor produktif, berlomba-lomba melaporkan keuntungan transaksi. Situasi berjalan aman-aman saja hingga puluhan tahun. Di tahun kesepuluh, uang beredar di seluruh kota menjadi satu milyar dollar, dan situasinya mulai rumit, hanya segelintir orang yang menguasai uang-uang, mereka adalah penduduk super-kaya, yang terus rakus menambah nominal angka kekayaan mereka. Tidak pernah puas.”

“Katakanlah, di tahun itu, ada seribu penduduk kota yang butuh meminjam uang untuk membeli rumah, kita sebut saja ‘kredit rumah’. Uang pinjaman dari bank dibayarkan pada tukang-tukang untuk membuat rumah, dan tukang-tukang ternyata tidak menabung uang itu ke bank, melainkan dibelanjakan keperluan sehari-hari. Bank yang dikuasai segelintir orang kaya berpikir keras, kalau begini caranya, lambat sekali mereka bisa menambah kekayaan, uang itu tidak segera balik ke pundi-pundi bank, tidak ada uang yang bisa diputar lagi, lagi, dan lagi. Tanpa uang, maka sistem bunga tidak bekerja, kekayaan mereka melambat. Mister Smith datang dengan ide lebih cemerlang, dia ciptakan binatang yang disebut securization. Bagaimana caranya? Seluruh kredit rumah itu, jumlahnya ada seribu lembar surat perjanjian kredit, dikumpulkan saja jadi satu, lantas dianggap seperti produk, macam seribu potong tempe atau seribu ekor kambing, lantas dijual ke pemilik uang, penduduk super kaya lainnya, dengan imbalan bunga sekian persen yang dibayarkan setiap bulan plus cicilan. Tidak ada yang tertarik? Gampang, tinggal naikkan bunganya, tambahkan bumbu-bumbu janji semua aman, semua dijamin, kalau ada masalah, rumah-rumah itu bisa jadi jaminan.”

“Ide cerdas! Tentu itu brilian, bank yang tadinya kekurangan uang, dengan cepat kembali punya uang. Banyak malah. Mereka tidak hanya sebagai pemberi pinjaman, tetapi sekarang sekaligus sebagai ‘nasabah’ bagi pembeli aset securization tadi. Ide itu berhasil tidak terkira, dengan uang hasil menjual seribu surat perjanjian kredit, bank leluasa mengucurkan kredit berikutnya ke penduduk kota. Bank menerima pembayaran dari nasabah setiap bulan, uang pembayaran itu untuk mencicil kepada pemegang aset securization. Semua terkontrol, semua baik-baik saja, hingga tanpa disadari aset yang pada dasarnya hanyalah selembar kertas itu menggelembung tidak terkira.”

“Harga properti melesat naik, harga komoditas tidak terkendali, karena juga bermunculan derivatif transaksi keuangan lainnya, Mister Smith menciptakan transaksi future, minyak bumi atau gandum yang dibutuhkan enam bulan lagi, bisa dibeli sekarang, lantas uangnya bisa diputar kemana-mana, menjadi berkali-lipat. Dan boom! Ribuan kredit perumahan tiba-tiba macet total, orang mulai berpikir harga-harga sudah tidak rasional, harga komoditas jatuh bagai roller coaster, dan mulailah kekacauan merambat kemana-mana.”

“Bank tidak bisa menagih kredit ke penduduk kota, sedangkan pemilik aset securization sudah mulai menagih. Panik, penduduk kota panik, si pembuat perahu, si pembuat mesin bergegas ingin mengambil uang di bank, padahal uang itu sudah dipinjamkan ke tukang jahit dan nelayan. Tidak ada uang di bank, hanya catatan pinjam-meminjam. Jaminan emas? Orang lupa kalau itu hanya untuk seratus dollar pertama. Posisi bank terjepit, atas-bawah. Tidak perlu seorang jenius untuk menyimpulkan hanya soal waktu seluruh surat berharga terjun bebas, tidak ada lagi harganya. Krisis aset securization ini merambat kemana-mana.”

tezar
05-04-2011, 08:26 AM
“Itulah yang terjadi di kota kecil tadi. Nah, itulah yang terjadi di dunia saat ini. Sama persis. Krisis dunia akibat kredit perumahan. Masalahnya, di dunia yang sebenarnya, nilai akumulasi uang ratusan tahun sejak ditemukan jumlahnya triliunan dollar, tidak terbayangkan. Kau tahu Julia, berapa total hutang negara kita? Hanya seratus dua puluh milliar dollar, kecil sekali dibandingkan akumulasi uang dunia yang berjuta kali lipat, hanya nol, koma nol nol. Dan uang-uang itu hanya dimiliki nol koma dua persen penduduk bumi, yang terus rakus menelan sumber daya. Uang itu butuh tempat bernaung, mereka sudah punya mobil, rumah, berlian, pesawat pribadi, pulau pribadi, membeli hutan jutaan hektar di Afrika, Asia dan Amerika Selatan, maka mereka ciptakanlah berbagai produk keuangan untuk menampungnya, tidak puas mendapatkan lima persen bunga bank, mereka menyerbu ke obligasi dan saham. Tidak puas juga, mereka menyerbu ke komoditas dan transaksi derivatif yang semakin rumit, uang itu seperti ratu lebah yang beranak setiap hari, terus tumbuh, serakah. Uang itu butuh tempat untuk berkembang-biak, persis seperti mutasi genetik tidak terkendali.”

“Padahal kita lupa, semua hanya kertas, bukan? Secara riil, kekayaan dunia tidak berubah sejak uang pertama kali ditemukan, jumlah cadangan emas yang menjamin uang hanya itu-itu saja. Kau tadi bertanya apa? Julia, aku tidak peduli kemiskinan, peduli setan, karena daya rusaknya itu-itu saja, busung lapar, kurang gizi. Tetapi kekayaan, daya rusaknya mengerikan, bahkan karena di dunia ini terlalu banyak uang yang membuat orang tidak peduli wabah, kelaparan, perusakan alam, dan tragedi kemanusiaan lainnya.”

“Kau pernah kuliah ekonomi, bukan?” Aku diam sejenak, menatap wajah gadis di depanku yang matanya membulat, masih mengunyah kalimatku, “Aku pernah, lima belas tahun lalu. Salah-satu dosenku adalah profesor penerima nobel ekonomi. Kau bisa membayangkan, mahasiswa modelku seperti apa di kelas, aku pernah bilang hipotesis bodoh padanya, andaikata dunia ini tetap menggunakan barter, andaikata dunia ini tidak pernah mengenal uang dan bunga, maka dunia boleh jadi akan jauh lebih adil dan makmur. Profesorku tertawa, Thomas, bagi pialang, pengelola danareksa, eksekutif puncak, orang-orang pintar, bagi kalian mahasiswa sekolah bisnis terbaik dunia, kalian pasti akan lebih bersyukur karena uang dan bunga pernah ditemukan. Kami berdebat, sia-sia. Profesor itu ringan melambaikan tangan, kau lupa petuah bijak bapak ekonomi modern, pasar memiliki ‘tangan tuhan’, Thomas. Dia akan selalu membuat keseimbangan, bahkan meski harus meledakkan keseimbangan sebelumnya. Jadi jangan pernah menulis macam-macam di kertas ujian, atau kau tidak lulus di kelasku. Nasehat yang bagus. Sejak saat itu aku tidak peduli omong-kosong kemiskinan, Julia.”

“Apakah kau seorang sosialis?” Gadis di sebelahku akhirnya berkomentar setelah terdiam sejenak.

“Apa aku terlihat seperti sosialis, Sarah?” Aku tertawa, menunjuk sepatu mengkilat yang kukenakan.

Gadis itu tidak menggeleng apalagi mengangguk, balas menatapku datar, “Lantas apa pedulimu dengan jahatnya kekayaan. Bukankah kau sendiri hidup dari orang-orang itu. Konsultan keuangan dengan bayaran tinggi? Atau kau jangan-jangan tipikal orang berpendidikan tinggi, pintar, kaya, memiliki pengaruh, tetapi juga sekaligus paradoks dan memiliki kepribadian banyak?”

Aku menatap mata hitamnya, nah, sekarang rasa percaya diri dan harga diri gadis ini sudah sempurna kembali. Ia sepertinya bersiap berdebat banyak hal di luar daftar pertanyaan. Sayangnya aku tidak berselera, aku harus beristirahat sejenak di atas pesawat besar ini sebelum mendarat, jadwal pertarungan pentingku menunggu, rileks melambaikan tangan, “Jika kau tertarik, kita diskusikan hal itu di lain kesempatan, Julia, mungkin makan malam yang nyaman. Tetapi kita lihat dulu akan seperti apa hasil wawancara ini di majalah kalian. Semoga kemampuan menulis kau sekinyis penampilan kau sekarang. Selamat malam.”

Gadis itu tidak dapat menahan ekspresi gregetan, kesal. Boleh jadi kalau tidak sedang di kelas eksekutif penerbangan maskapai internasional, dengan pilot masih asyik beramah-tamah menyapa penumpang, ia akan menampar pipiku.



***bersambung

tezar
06-04-2011, 10:20 AM
*******-******* Berkelas - episode 3
by Darwis Tere-Liye Penuh on Saturday, March 26, 2011 at 10:09am

“Kau gila, hampir sebagian dari kita memang datang ke klub masih dengan pakaian rapi dan dasi langsung dari tempat kerja, tapi tidak ada yang datang kemari dengan tas bagasi, langsung dari London.” Theo, teman dekatku, orang yang pertama kali mengenalkanku dengan klub menyergah.

“Aku tidak punya pilihan, Theo. Jadwal konferensi itu sudah disusun sejak sebulan lalu, juga jadwal sialan ini. Aku harus menunaikan keduanya sekaligus.” Aku melepas kemeja dengan cepat, menarik sembarang kaos lengan pendek dari koper yang kubawa sejak keluar dari hotel konferensi.

“Kau sudah istirahat? Di pesawat misalnya.” Theo melemparkan sepasang sarung tinju.

Aku tertawa, “Bahkan di langit masih saja ada yang menggangguku, Theo. Ada wawancara. Dan sialan, seharusnya aku sudah sampai di sini dua jam lalu, tetapi petugas imigrasi bandara menahanku.”

“Petugas imigrasi?”

“Siapa lagi? Pemeriksaan rutin mereka bilang.”

“Mana ada pemeriksaan rutin untuk WNI, kecuali kau tersangkas kasus?”

“Mana aku tahu. Dua jam yang sia-sia.” Aku mendengus kesal.

Theo menggeleng prihatin, menatapku cemas, “Dengan semua kesibukan ini, kau tidak akan punya kesempatan, Thomas. Aku dengar, Rudi si penantang bahkan sengaja mengambil cuti tiga hari untuk menghadapi pertarungan ini. Tadi sempat kulihat wajahnya sangar, dan lihatlah kau, dengan wajah lelah, pupil mengecil. Kau bisa meminta penundaan waktu, itu hak yang ditantang.”

Aku menggeleng, tidak ada penundaan, semua anggota klub menunggu pertarungan ini. Bahkan ruangan pertarungan belum pernah dipenuhi oleh penonton seperti malam ini. Suara dan teriakan antusias mereka terdengar hingga ruang ganti tempatku sekarang bersiap-siap. Aku masih punya waktu setengah jam, di sana masih bertarung dua anggota klub lain, saling menjual pukulan.

“Selamat malam, Thomas.” Seseorang masuk ke ruang ganti, menepuk lemari baju, tertawa lebar.

Aku dan Theo menoleh.

“Kupikir kau tidak akan datang. Terlalu takut menghadapi penantang paling besarmu, mungkin.”

Aku tidak menjawab. Theo mengacungkan tangannya, “Kau tidak boleh berada di sini, Randy.”

“Ayolah, aku hanya menyapa salah-satu petarung terbaik klub.” Randy, salah-satu anggota senior klub masih tertawa lebar, “Beruntungnya malam ini aku tidak meletakkan uang taruhan pada kau, Thomas. Aku tidak punya ide akan bertahan berapa ronde kau dengan tampang kuyu seperti ini. Kau baru pulang dari London, bukan?”

Gerahamku mengeras, tidak balas berkomentar.

“Ngomong-ngomong, berapa lama kau tertahan di bandara? Dua jam?”

Gerakan tanganku yang memastikan sarung tinju telah terpasang sempurna terhenti, aku menoleh, berpikir cepat, berseru galak, “Dari mana kau tahu aku tertahan di sana dua jam?”

Randy terkekeh, “Seharusnya aku menahan kau lebih lama lagi, Sobat. Tiga-empat jam misalnya, tetapi kalah WO membuat uang taruhan batal, dan itu jelas tidak lebih seru dibandingkan melihat Thomas yang hebat tersungkur di lantai dengan wajah berdarah-darah.”

Aku melompat, tanganku bergerak cepat hendak memukul Randy—sekalian menguji apakah sarung tinjuku sudah sempurna mencengkeram, “Dasar *******, ternyata kau yang sengaja menghambatku di loket imigrasi.”

Theo lebih dulu menahanku, berbisik, “Simpan pukulan kau untuk Rudi. Jangan sia-siakan.”

Aku tersengal, berusaha mengendalikan diri, tentu saja urusan ini bisa dimengerti. Randy adalah pejabat tinggi di kantor imigrasi, dia punya kekuasaan untuk melakukannya.

“Kenapa kau harus marah, Thom. Semua sah dan boleh-boleh saja dalam pertarungan, bukan?”

“Tutup mulut kau.” Aku berseru marah.

Randy justeru kembali tertawa ringan.

Suara teriakan di ruangan pertarungan terdengar kencang hingga ruang ganti, sorakan-sorakan menyuruh bangkit kembali, sepertinya ada salah-satu petarung yang terkena pukulan telak.

Tiga tahun lalu, saat pertama kali Theo mengajakku pergi ke ‘klub’, aku hanya menggeleng malas. Itu bukan kebiasaanku, aku tidak suka menghabiskan waktu dengan nongkrong, minum, mendengar musik, melirik-lirik setelah pulang kerja. Theo santai mengangkat bahu, bilang itu juga bukan kebiasaannya. “Ini klub yang berbeda, Thom. Kau pasti suka.” Maka setengah terpaksa, daripada bosan menatap jalanan macet dari balik jendela tebal ruangan kantorku, aku ikut.

Menakjubkan, belasan tahun tinggal di Jakarta, aku tidak pernah tahu kalau kota ini ternyata punya ‘klub bertarung’ seperti yang kusaksikan di film terkenal itu. Theo mengajakku ke salah satu gedung perkantoran, di lantai enam, dengan akses lift private langsung ke sana, bukan partisi ruangan kantor, meja penerima tamu, dan sebagainya yang ketemukan, melainkan ruangan luas dengan lingkaran merah mencolok di tengahnya. Beberapa anggota klub sedang berseru-seru, menyemangati, wajah-wajah tegang, wajah-wajah semangat, menonton dua orang yang saling bertinju persis di lingkaran merah.

Aku menelan ludah, Theo benar, aku pasti suka. Ini sungguh keren, klub yang berbeda. Theo membiarkanku terpesona, dia sudah asyik menyapa anggota klub lain, sambil melambai memesan dua minuman ringan untuk kami.

“Ini klub tertutup dan rahasia, Thom. Tidak banyak yang tahu. Anggotanya hanya boleh mengajak teman yang dia percaya kemari. Dan kau beruntung punya teman Theo, salah-satu penggagas awal klub ini, nama kau bersih dan terjamin.” Itu penjelasan Randy—dulu dia masih ramah padaku. “Kami berkumpul tiap akhir minggu, dengan jadwal sama seperti malam ini, menonton pertarungan. Di luar latihan setiap hari buat siapa saja yang mau datang. Lumayanlah mengusir penat setelah pulang kerja, apalagi jika jadwal kau yang bertarung, itu sungguh refreshing yang hebat, Sobat.”

tezar
06-04-2011, 10:21 AM
Aku mengangguk, bersepakat—dulu aku masih sering sependapat dengan Randy, melihat dua petarung saling pukul, menghindar, darah menetes dari luka di pelipis secara live sudah membakar seluruh penat, apalagi bertarung langsung, itu memicu adrenalin berkali-kali lipat.

“Tidak ada yang peduli latar belakang kau siapa, Thom. Itu aturan main klub.” Theo berbisik, kami sudah berdiri di pinggir lingkaran merah, bergabung dengan wajah-wajah penonton yang berteriak sampai serak menyemangati, “Randy bekerja di kantor imigrasi, kudengar dia baru mendapat promosi minggu lalu, jadi kepala imigrasi bandara. Erik, kau lihat di sana, dia manajer senior di bank besar.”

Aku mengumpat dalam hati, tentu saja aku kenal Erik, baru tadi pagi kami rapat bersama, bertengkar tentang ruang lingkup jasa konsultansi yang dibutuhkan corporate bank mereka.

“Rudi, nah, yang sedang sangar bertarung adalah petugas penyidik di kepolisian atau komisi apalah, aku tidak tahu persis, tidak ada yang peduli. Di sini ada eksekutif muda, karyawan, dokter, pesohor, penulis, orang-orang pemerintah, pengusaha, itu yang berdiri di pojok bersama teman-temannya, anak salah-satu petinggi partai. Di sini, berkumpul orang-orang yang menyukai tinju, di luar itu, pekerjaan, latar belakang, siapa kau, lupakan. Meski sebenarnya hampir seluruh anggota klub tahu satu sama lain.”

Aku masih sibuk menyapu wajah-wajah seluruh ruangan.

“Dulu kami hanya amatiran. Ada enam orang pencetus ide. Tanpa jadwal, anggota klub yang mau bertarung tinggal menuju lingkaran merah, menantang siapa saja yang habis dimarahi bos, atau kesal dengan bawahan, atau mobil mewahnya habis tersenggol. Meski amatiran, selalu seru, satu-dua pulang dengan wajah lebam, mereka terpaksa berbohong pada istri masing-masing, bilang terjatuhlah.” Theo tertawa, “Semakin kesini, kami membayar pelatih profesional, membuat jadwal, melengkapi ruang ganti, bartender, dan seluruh keperluan seperti sasana tinju. Dan anggota klub bertambah dengan caranya sendiri, hanya boleh mengajak orang yang paling dipercaya, serta direkomendasikan anggota lama, kupikir sekarang anggota klub sekitar tiga puluh orang. Cukup banyak untuk membuat kau menunggu dua bulan hingga jadwal bertarung kau tiba, tapi itu bukan masalah, lebih banyak yang menjadi anggota klub hanya untuk menonton pertarungan, bertaruh, bersenang-senang. Atau sekadar mencari tempat memukuli sansak, latihan.”

Ruangan klub dipenuhi tepuk-tangan, seruan-seruan salut, kemeja dan dasi penonton kusut karena kesenangan, di tengah lingkaran merah, Rudi baru saja membuat lawannya tersungkur. Aku menelan ludah. Theo ikut bertepuk tangan, berbisik, “Dia petarung nomor satu di klub. Jangan coba-coba menantanganya.”

Wajah sangar Rudi sepanjang pertarungan terlipat, dia sudah membantu lawannya berdiri, tertawa dengan lawannya, saling peluk. “Satu-dua pertarungan bisa sangat emosional, Thom. Tetapi ini adalah klub dengan respek di atas segalanya, kita hanya bermusuhan di dalam lingkaran merah, di luar itu semua anggota klub adalah teman baik. Semua aktivitas pertarungan dirahasiakan, bahkan besok lusa kalau kau bertemu dengan anggota klub di manalah, tidak akan ada yang membahas kejadian semalam.”

Aku mengangguk, masih tercengang dengan banyak hal. Saat Theo mengajakku pulang pukul dua belas malam, pertarungan terakhir sudah selesai, aku memutuskan menjadi anggota klub.

“Selamat bergabung, Thom. Kalau kau mau, minggu depan kami bisa menjadwalkan pertarungan eksebisi, kau mau?” Randy yang menerima kartu kredit pendaftaranku mengedipkan mata.

Aku bergegas menggeleng. Itu ide buruk.

“Baiklah, minggu depan, pertarungan kedua. Tiga ronde, masing-masing lima menit, melawan, eh, Erik. Ya, Erik, dia sudah sejak sebulan lalu menuntut jadwal bertarung. Nah, kau harus bersiap-siap.” Randy tidak peduli, dia tertawa lebar.

Itu kejadian tiga tahun lalu. Dan dengan segera aku menjadi bagian ‘klub bertarung’. Adalah Erik lawan pertamaku. Kalian bayangkan, seseorang yang tidak pernah bertinju, tidak pernah menguasai teknik bela diri apapun, memasuki lingkaran merah dibawah tatapan dan seruan penonton, aku gugup, meski Theo sudah memberikan kursus selama tiga sesi, setiap pulang kerja, itu tidak cukup. Erik membuat pelipisku robek, berdarah, dia membuatku tersungkur di ronde ke tiga, persis saat lonceng berdentang.

“Anggap saja luka kau itu sebagai ganti rapat tadi siang yang menyebalkan, Thom. Kau seharusnya menyetujui presentasiku, bukan membantainya.” Erik menyeringai, membantuku berdiri.

Kakiku gemetar, entah sudah seperti apa wajahku, dihabisi oleh pukulan terbaik Erik.

“Ini hebat, Sobat. Untuk orang yang baru pertama kali bergabung dan langsung bertarung, kau membuat rekor.” Randy tertawa senang, membantu melepas sarung tinjuku, memberikan minuman segar, “Kau orang pertama yang bertahan hingga ronde ketiga.”

Theo hanya nyengir, menatap wajah lebamku. Sedangkan belasan anggota klub lainnya menepuk-nepuk bahu, bilang selamat bergabung, menjulurkan tangan, berkenalan, memuji pertarungan seru barusan.

Terlepas dari kondisiku yang babak belur. Ini sungguh hebat. Aku tidak pernah merasakan antusiasme, semangat, tegang, atau apalah menyebutnya saat bertarung, saat mengirim pukulan, dan saat menerima pukulan bertubi-tubi. Rasa-rasanya seluruh tubuhku meledak oleh ekstase kesenangan. Sejak malam itu, pertarungan pertamaku, aku memutuskan menjadi petarung. Tiga tahun berlalu, lebih dari belasan kali aku menghadapi anggota klub lain, dan hanya itulah pertama kali dan untuk terakhir kali aku tersungkur, sisanya jika tidak menang, kami sama-sama masih berdiri gagah hingga lonceng bel ronde terakhir berbunyi.

Aku tumbuh menjadi petarung hebat. Aku membalas Erik di pertarungan setahun kemudian, bahkan aku membuat Randy, tersungkur tiga bulan lalu. Satu-satunya petarung klub yang tidak pernah kukalahkan adalah Rudi, dua kali kami bertarung, dua kali pula berakhir seri.

“Jadwal kau sekarang, Thom.” Seseorang memukul pintu ruang ganti.

Membuat wajah kesalku, wajah tenang Theo, dan wajah menyebalkan Randy tertoleh.

“Bergegas, Thom. Mereka sudah tidak sabaran menunggu pertarungan ini sejak tadi. Satu dua malah sudah di klub sejak pukul empat sore.”

Theo yang mengangguk, bilang segera menuju lingkaran merah.

“Kau akan tersungkur kali ini, Sobat.” Randy masih sibuk mengoceh.

“Thom akan mengalahkan Rudi.” Theo yang menjawab datar, “Sama seperti mengalahkan kau tiga bulan lalu. Aku bertaruh untuknya.”

Randy melambaikan tangan, “Itu hanya kebetulan. Kalian curang, sengaja mengerjai, membuatku mulas saat bertarung. Kali ini kau tidak punya kesempatan.”

Theo mengacungkan tinjunya, menyuruh Randy menjauh.

Aku tetap tidak menjawab, melangkah memasuki ruangan pertarungan.

“Tidak banyak bicara kau sekarang, Sobat.” Randy terkekeh, “Catat ini, kalau kau berhasil mengalahkan Rudi malam ini, akan kupenuhi permintaan kau, apa saja, bahkan jika itu termasuk meloloskan penjahat kelas kakap di gerbang imigrasi bandara.” Teriakan provokasi Randy terdengar di belakangku.

Aku sudah tidak mendengarkan, terus menuju pusat perhatian penonton. Beberapa anggota klub berseru-seru, menepuk-nepuk bahuku, menyemangati, bilang kau harus menang, Thom, habisi dia, Thom. Ruangan klub penuh, beberapa orang tidak kukenali—selalu menjadi saat yang tepat mengajak anggota baru ketika pertarungan penting berlangsung. Antusiasme pertarungan memenuhi setiap jengkal ruangan. Dan di lingkaran merah yang diterangi lampu sorot, berdiri gagah penantangku.

Rudi si boxer sejati klub.



***bersambung

Empat bulan beroperasi, ‘Gerakan 1 juta buku untuk anak2 Indonesia’ sudah membagikan hampir 800 buku, ke 50 sekolah, dengan total murid 10.000 orang (tersebar dr Merauke hingga Sumatera). Kami menargetkan 1 tahun beroperasi bisa membagikan 2000 buku, ke 100 sekolah, dengan total murid 20.000. Bantulah gerakan ini, kunjungi group kami di (http://www.facebook.com/home.php?sk=group_171221489561908), atau blog kami, www.satujutabuku.wordpress.com.

Ada banyak cara membantu gerakan ini: Kalian menyisihkan 100 rupiah setiap membaca notes gratis ini (yg bahkan lebih mahalan biaya internet/aksesnya), lantas mentransfer ke rekening gerakan; atau membantu operasional basecamp dgn packing, berbenah-benah, membuat database, dll (cek di group utk melihat jadwal berkumpul relawan); atau dengan sekadar menginformasikan sekolah mana saja yg bisa menerima buku2 itu sudah amat membantu. Ketika seruan kebaikan datang, maka jangan bertanya lagi banyak hal, bantulah, bahkan meski itu hanya sekadar bantuan paling kecil.

tezar
07-04-2011, 10:12 AM
*******-******* Beerkelas - episode 4
by Darwis Tere-Liye Penuh on Sunday, March 27, 2011 at 7:32pm

Hampir pukul satu dinihari. Setelah mandi, berganti pakaian tidur, saatnya beristirahat.

Badanku remuk lepas pertarungan.

Sayangnya, suara dering menyebalkan telepon tiba-tiba memenuhi langit-langit kamar. Aku reflek menyambar bantal, menutup telinga sambil menyumpah, berusaha mengabaikan, melanjutkan tidur.

Tidak sesuai harapan, aku mendengus mengkal, si penelepon pasti tidak pernah mendapatkan pelajaran etiket, nada panggil sekian kali, itu artinya yang bersangkutan tidak mau menerima, sibuk, tidur, tidak ada di tempat atau alasan logis lain yang bisa diterima akal sehat ras manusia. Siapapun penunggu meja depan hotel mewah malam ini, besok-lusa akan menerima komplain tanpa ampun yang pernah ada.

Aku melempar bantal, bersungut-sungut, menyadari dua hal. Satu untuk telepon sialan ini tidak akan berhenti kalau aku tidak mengangkatnya, dua untuk bahkan menginap di kamar terbaik, hotel berbintang enam sekalipun, suara dering telepon di kamar selalu saja standar, mendengking-dengking berisik. Tidak adakah manajer keramah-tamahan kelas dunia punya ide mengganti nada dering dengan irama lagu jazz atau yang lebih ramah didengar, atau sekalian menyediakan opsi pengaturan dengan nada getar atau beep kecil. Mereka sepertinya lebih sibuk meletakkan bebek-bebekkan kuning di kamar mandi, buku petunjuk wisata kota penuh iklan atau ide sampah macam surat selamat datang yang ditandatangani massal. Atau salahku pula, mengapa tidak mencabut kabelnya sebelum tidur.

“Maaf, Pak—“

“Kau tahu ini pukul berapa, Shiong?” Sialan, aku mengenali suaranya.

“Eh? Pukul—“

“Ini lewat tengah malam, Shiong. Bukankah aku tadi berpesan tolak semua telepon ke kamarku.” Aku berseru marah.

“Maaf, Pak. Ini mendesak.”

“Persetan, bahkan besok dunia tenggelam oleh air bah Nabi Nuh.” Aku mengutuknya, bersiap menumpahkan kosa-kata makian beradab yang kumiliki, urung, terlanjur pintu kamarku diketuk.

Apalagi? Aku menoleh.

“Ada yang memaksa bertemu Bapak. Aku sudah bilang Bapak perlu istirahat, mereka memaksa naik ke atas. Aku tidak bisa menahannya, tidak ada petugas yang berani menahannya, Pak. Aku harus memberitahu Bapak, setidaknya sebelum mereka tiba.” Shiong bergegas menjelaskan, dengan intonasi hasil didikan keramah-tamahan kelas dunia belasan tahun.

Baiklah. Aku meletakkan gagang telepon. Beranjak menuju pintu kamar lebih karena ingin tahu siapa yang mendatangiku malam-malam.

“Selamat malam, Thomas.”

Hanya ada dua orang yang berdiri di depan pintu. Satu orang kukenali, satunya tidak.

“Kami sejak empat jam lalu mencari kau.” Tersenyum lelah, “Kebiasaan kau yang jarang tinggal di rumah, memilih menginap di hotel menyulitkan ka—”

“Langsung saja, apa keperluan kalian?” Aku tidak punya waktu mendengar basa-basi.

“Sudah tersambung, Pak.” Orang yang tidak kukenali berbisik, menyerahkan telepon genggam.

Orang yang kukenali mengangguk, menerima telepon genggam itu, lantas memberikannya padaku, “Ada seseorang yang ingin bicara dengan kau, Thomas. Situasinya genting sekali.”

Siapa? Aku ragu-ragu menerima telepon genggam itu.

tezar
07-04-2011, 10:13 AM
“Hallo, Tommi.”

Suara tua, terdengar serak dan bergetar, suara yang justeru seketika membuat kemarahanku kembali memuncak.

“Jangan, jangan ditutup teleponnya dulu Tom.” Terbatuk sebentar, “Aku tahu kau masih membenciku. Tetapi aku tidak punya pilihan, Nak. Aku harus memberitahu kau.”

“Sungguh jangan tutup teleponnya dulu, Tommi. Aku tahu kau tidak peduli lagi denganku, kau juga tidak akan peduli kalau kuberitahu rumah orang tua ini sudah dikepung, satu peleton polisi berkumpul di halaman rumah, mereka seperti akan menangkap teroris saja. Tetapi, Tante kau, Tommi, kesehatannya memburuk sejak berita ini dimuat di koran-koran, dan empat jam lalu saat petugas berdatangan, memeriksa banyak hal, memasang barikade memastikan aku tidak lari, dia tidak kuat lagi, jatuh pingsan. Datanglah, Nak. Temui Tante kau, sebelum jatuh pingsan, dia berkali-kali menanyakan kau, menatap pigura foto saat kau masih kecil dan bersama keluarga besar kita.” Terbatuk sebentar.

“Maafkan orang tua ini yang mencarimu malam-malam, Nak. Semoga kau tidak semakin membenciku. Selamat malam.” Sambungan telepon telah dimatikan.

Lorong kamar hotel terasa lengang.

“Bagaimana?” Orang yang kukenali bertanya setelah aku hanya diam satu menit.

Aku meremas jemari. Mengembalikan telepon genggam.

“Seberapa serius?” Aku mengeluarkan suara.

“Yang mana? Situasi di rumah? Atau Keadaan Tante kau?” Orang yang kukenali tertawa prihatin.

“Dua-duanya.” Aku menghela nafas.

“Buruk. Dua-duanya buruk, Thom, apalagi situasi di rumah, kau pastilah tahu, hanya soal waktu wartawan mulai berdatangan, memastikan penangkapan besar. Mungkin lebih baik kita bicarakan di mobil, waktu kita amat terbatas. Sekali mereka memutuskan menahan Om kau, kacau balau semua urusan. Kau ikut dengan kami?”

Aku terdiam.

“Ayo, Thomas, putuskan.”

Aku akhirnya mengangguk, “Berikan waktu satu menit untuk berganti pakaian.”



***

Mobil melesat kencang. Jalanan Jakarta lengang, pukul dua dini hari, jika nekad kalian bisa memacu kecepatan hingga 120 km/jam di jalan protokolnya.

“Kau mengikuti berita-berita?”

Aku mengangguk. Duduk di kursi belakang, mendengarkan penjelasan.

“Maka lebih mudah menjelaskannya. Bagai raja catur yang dikepung banyak musuh, Om Liem terdesak. Seminggu lalu otoritas bank sentral sudah memberikan peringatan ketiga untuk bank miliknya, dan tadi siang, sialnya mereka mengumumkan kalau bank milik Om Liem tidak bisa menutup kliring antar bank. Itu membuat kepanikan, padahal kau tahu, hanya kurang lima milliar saja. Mereka umumkan atas nama transparansi. Kau tahu akibatnya, saham Bank Semesta dihentikan perdagangannya di bursa, suspended. Nasabah panik, antrian panjang terbentuk di setiap cabang tadi sore. Dan di tengah krisis dunia, sedikit saja informasi negatif, semua orang panas-dingin.” Orang yang duduk di sebelahku menghela nafas.

“Aku belum tahu soal kalah kliring.” Aku bergumam.

Sopir sepertinya tidak mengurangi kecepatan, mobil meliuk menaiki fly over.

“Tentu saja belum. Kau baru pulang dari London tadi sore bukan? Beruntung ini hari Jum’at, jadi kita semua punya waktu dua hari untuk menghadapi nasabah yang panik Senin lusa. Situasinya sudah kacau balau, Thom. Jika rush terjadi, semua nasabah berbondong-bondong menarik tabungannya, Bank Semesta pasti kolaps, bahkan seluruh aset dijual, seluruh harta Om Liem digadaikan, tetap tidak akan cukup. Come on, semua uang telah dipinjamkan ke pihak ketiga, bagaimana mungkin kau menarik uang dari mereka dengan cepat untuk mengembalikan tabungan nasabah. Dan situasi semakin rumit, karena kau pastilah sudah tahu dari berita-berita di media massa, penyidik kepolisian dibantu otoritas bank sentral sejak beberapa bulan memeriksa Bank Semesta. Urusan ini kapiran, seperti halnya kau membenci Om kau, aku juga tahu kalau terlalu banyak transaksi tidak bisa dijelaskan di bank itu. Enam tahun menguasai bank itu, Om Liem terlalu ambisius, tidak hati-hati, menggampangkan banyak hal, dan melanggar begitu banyak regulasi demi pertumbuhan bisninya.” Orang yang duduk di sebelahku itu kembali menghela nafas.

“Kita sungguh tidak punya waktu hingga Senin lusa menghadapi polisi yang mengepung rumah, Thom, bahkan hanya karena Tante kau masih pingsanlah, mereka menahan diri belum memborgol Om Liem. Cepat atau lambat, besok atau lusa, wajah Om Liem akan terpampang besar di surat kabar, menjadi headline. Pemilik bank besar dan imperium bisnis raksasa telah tumbang.”

Aku menelan ludah. Menatap deretan gedung tinggi dari atas jalan layang.

“Bukankah dia punya banyak kenalan orang penting dan berkuasa untuk menyelamatkan bank itu?” Akhirnya berkomentar.

Orang yang kukenali tertawa masam, “Dia punya lebih banyak lagi musuh dan orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari kolapsnya Bank Semesta, Thom. Berebut atas aset berharga yang dijual murah. Dia sudah terdesak. Kabar terakhir yang kuterima, tapi ini off the record, kepala kepolisian, jaksa agung serta gubernur bank sentral terlibat langsung atas penyidikan Bank Semesta. Semangat sekali mereka bekerja, seperti tidak ada kasus korup kroni-kroni mereka yang bisa diurus. Terlalu banyak misteri dalam kasus ini sejak peringatan pertama dari otoritas. Astaga, Thom, hanya kalah kliring lima milliar, rusuhnya sudah seperti kalah kliring lima trilliun. Buat apa coba?”

“Itu sudah tugas mereka. Pengawasan.” Aku menjawab pelan.

“Omong kosong, Thom. Puluhan tahun aku menjadi orang kepercayaan Om Liem, puluhan tahun mengendalikan bisnisnya, dalam beberapa hal, aku juga sepakat dengan kau, membenci cara dia berbisnis, tetapi kasus Bank Semesta ini terlalu banyak kepentingan, terlalu banyak misteri. Seolah ada hantu masa lalu yang memang sengaja mengambil alih seluruh keberuntungan Om Liem, membuat skenario, bersiap menusuk dari belakang. Dan itu benar, sekali Bank Semesta tidak terselamatkan, seluruh kekayaan keluarga Om Liem habis. Bukankah kau termasuk salah-satu ahli warisnya, Thom?”

“Aku tidak peduli urusan itu.”

“Tentu saja kau harus peduli, kau tidak sekadar mewarisi harta benda, Thom. Kau juga otomatis mewarisi hutang-hutang.” Orang di sebelahku tertawa prihatin, bergurau.

Aku tidak menjawab. Mobil yang kami tumpangi sudah berbelok tajam, menuju salah-satu area paling elit di Jakarta.



***bersambung

Absen, absen, biar sy tahu masih berapa orang yg bertahan mengikuti serial ini.

tezar
07-04-2011, 10:14 AM
*******-******* Berkelas - episode 5
by Darwis Tere-Liye Penuh on Monday, March 28, 2011 at 7:01pm

Mobil merapat ke halaman rumah yang sebenarnya luas—namun terasa sempit dengan pemandangan yang ada. Dua mobil taktis polisi terparkir, beberapa mobil lain yang entah milik siapa, ditambah dengan satu mobil ambulans yang merapat persis di depan pintu masuk. Belasan polisi berdiri mengawasi siapa saja yang keluar masuk pintu depan, dengan senjata lengkap di tangan. Aku mengeluh dalam hati, terlepas dari bisnis mereka yang menggurita, penghuni rumah ini hanya pasangan sepuh yang tinggal dengan pembantu. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada penjaga bayaran. Mereka tidak akan melawan.

Beberapa perawat terlihat sibuk menurunkan sesuatu dari ambulans.

Aku melintasi ruang tamu, langsung menuju ruangan yang biasa digunakan Om Liem dan Tante beristirahat. Satu-dua petinggi bank dan perusahaan milik Om Liem duduk di ruang tengah, wajah kalut, berbicara pelan satu sama lain. Empat petugas polisi sedang mengeluarkan perangkat komputer dan dokumen dari ruangan yang biasa digunakan Om Liem bekerja di rumah, petugas mengenakan seragam seolah ada bom di dalam kardus-kardus dokumen serta bukti lain yang mereka gotong keluar.

Aku menghela nafas pendek, ada yang lebih mendesak, Tante Liem.

Pintu kamar langsung ditutup saat aku masuk.

Pemandangan yang suram.

Tetapi kabar Tante tidak seburuk yang kubayangkan. Tante terbaring di ranjang besar, Dokter berdiri di sebelahnya, dibantu dua perawat, berusaha memasangkan infus dan belalai selang lainnya.

“Akhirnya kau datang juga.” Suara serak Om Liem lebih dulu menyapa sebelum aku menyapa Tante.

Aku mengangguk—membiarkan dia memelukku.

“Duduk dekatku, Tommi.” Itu suara Tante, memanggilku.

“Kapan Tante siuman?” Aku menelan ludah, menatap wajah yang dulu terlihat segar dan menyenangkan berubah jadi pucat dan cekung hanya dalam waktu sebulan sejak kasus Bank Semesta menggelinding.

“Lima belas menit lalu.” Dokter yang menjawab.

Aku mengangguk, meraih tangan Tante Liem.

“Semua sudah berakhir, Tommi.” Tante menatapku lamat-lamat, “Situasi tidak akan mungkin lebih buruk lagi, bukan? Jadi aku tidak akan pingsan lagi, Nak. Itu kabar baiknya.”

Aku menatap getir wajah Tante, matanya berkaca-kaca.

“Mereka hanya memberikan waktu sebentar.” Om Liem menjelaskan perlahan, berdiri di sebelahku, “Jika Tante kau sudah membaik, sudah siuman, mereka akan membawa orang tua ini pergi ke penjara. Itu berarti hanya tinggal beberapa menit lagi.”

“Apakah tidak ada lagi orang yang bisa membantu?” Aku menoleh. Meski aku selama ini membencinya, melihat wajah kuyu Om Liem di hadapanku itu, sambil menyentuh tangan Tante yang dingin, aku banyak berubah pikiran.

Om Liem menggeleng, tertawa suram.

“Bukankah Om teman dekat dengan pejabat partai yang berkuasa? Menteri-menteri? Atau bahkan Presiden? Atau kolega bisnis, bukankah mereka bisa bantu menyelamatkan Bank Semesta?” Aku menyebut daftar kemungkinan.

“Kau tidak mendengarkan Tante kau, semua sudah berakhir, Tommi. Tidak ada yang mau dekat-dekat dengan situasi buruk seperti ini. Alih-alih, kau yang dituduh bersekongkol. Perintah penangkapan sudah efektif, polisi yang berjaga di ruang depan membawa surat perintah.”

Ruangan lengang, semua kepala tertunduk.

Aku menelan ludah, “Bagaimana dengan Shinpei, rekan bisnis selama puluhan tahun? Bukankah dia akan senang hati membantu?”

Om Liem menggeleng, “Group mereka juga dalam kesulitan, aku sudah menelepon Shinpei, bilang situasi buruk ini, dia hanya bisa ikut prihatin, tidak bisa membantu.”

Aku menghembuskan nafas. Menatap wajah empat perawat yang menunggu perintah. Dokter yang berdiri takjim, prihatin, dan beberapa petinggi perusahaan Om Liem yang balas menatap kalut, tidak bersuara, tidak punya ide harus bagaimana.

“Aku tahu kau tidak akan pernah mau mendengarkan orang tua ini, Tommi. Tetapi kali ini, tolong urus Tante kau, adik-adik sepupu kau selama aku di penjara. Pastikan mereka baik-baik saja.” Suara serak Om Liem memecah lengang.

Astaga? Aku menelan ludah.

“Sayangnya kami tidak punya anak laki-laki. Kaulah satu-satunya anak laki-laki di keluarga besar kita. Apapun yang tersisa dari bisnis ini, kaulah yang paling pantas melanjutkan. Senin, otoritas bank sentral akan menutup operasi seluruh cabang Bank Semesta. Senin pula, aku akan menanda-tangani surat pernyataan akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak sepeser pun uang mereka akan dimakan orang-tua ini. Bahkan jika itu termasuk melego bisnis properti, otomotif, seluruh perusahaan kita.” Om Liem menyentuh tanganku.

Ruangan semakin senyap.

tezar
07-04-2011, 10:15 AM
“Kau pernah masuk penjara, Ram?” Om Liem menoleh pada orang yang menjemputku di hotel, orang kepercayaannya di induk perusahaan, tertawa getir, “Aku pernah, Ram. Saat usiaku dua puluhan. Aku masuk penjara selama enam bulan. Bukan masuk penjaranya yang membuatku berkecil hati, melainkan saat aku di penjara, Papa dan Mamanya Thomas meninggal, dan sejak hari itu, Thomas membenciku.”

“Hentikan!” Aku menyergah kasar, mataku panas.

Semua kepala di ruangan terangkat, Tante menatapku.

“Hentikan omong-kosong ini.” Aku tersengal, berusaha mengendalikan nafas, “Tidak akan ada yang masuk penjara malam ini.”

“Ini bukan omong-kosong, Tom. Tidak ada lagi jalan keluar.” Om Liem menatapku datar.

“Kau diam! Biarkan aku berpikir sebentar.” Aku meremas rambutku, berusaha mencerna banyak hal yang terjadi sejak konferensi di London, klub bertarung, dan rumah besar Om Liem.

“Apakah polisi di luar tahu kalau Tante sudah siuman?” Aku bertanya pada orang-orang di dalam kamar.

Dokter menggeleng, “Belum ada yang memberitahu mereka.”

Itu kabar bagus, aku mengepalkan tinju.

“Apakah kondisi Tante stabil?” Aku mendesak memastikan, waktuku terbatas.

Dokter mengangguk.

“Baik, dengarkan aku!” Aku meminta perhatian seluruh orang yang berada di dalam kamar, mataku menatap tajam ke setiap orang, “Kalian semua akan menutup mulut hingga semua urusan selesai.”

Wajah-wajah bingung.

“Kau, ya, kau segera ambil ranjang darurat dari ambulans!” Aku mengacungkan telunjuk pada salah-satu perawat.

“Buat apa?” Dokter memotong perintahku, bingung.

“Segera lakukan, Dok. Suruh dua perawat kau bergegas.” Aku berseru, “Bukankah kau sudah hampir dua puluh tahun menjadi dokter keluarga ini? Bukankah kau dulu salah-satu anak-anak yang disekolahkan Om Liem? Demi semua itu, laksanakan perintahku.”

Dokter menelan ludah. Patah-patah menyuruh dua perawatnya.

“Bilang ke polisi di luar, kondisi Tante Liem semakin parah.” Aku menarik salah-satu perawat itu sebelum keluar dari ruangan, “Kalau mereka bertanya detail, jangan dijawab, dan jangan pernah biarkan mereka mendekati pintu kamar ini. Kau mengerti?”

Perawat itu mengangguk—meski masih dengan wajah bingung.

“Apa, apa yang sedang kau lakukan, Tom?” Om Liem bertanya gugup.

“Menyelamatkan seluruh keluarga ini. Apalagi?” Aku berseru cepat, “Kau, ya kau bantu melepas infus dari Tante Liem. Segera.” Aku meneriaki dua perawat yang tersisa di kamar.

“Apa yang kau rencanakan, Tom?” Om Liem bertanya untuk kedua kali.

“Kita tidak punya waktu untuk penjelasan, tapi jika semua berjalan lancar, setengah jam dari sekarang kita sudah ribuan kilometer dari kota sialan ini.” Aku berkata cepat pada Om Liem, “Dua hari, kita punya waktu dua hari hingga Senin untuk membereskan semua kekacauan. Bank Semesta akan diselamatkan, percayalah, tidak ada selembar pun saham milik perusahaan yang akan dijual. Dan sebelum itu terjadi, kau harus kabur dari mereka. Lari.”

“Aku, aku tidak akan melakukannya, Tommi.” Suara Om Liem terdengar bergetar.

“Tidak ada pilihan. Kau harus lari.” Aku berseru gemas.

“Aku tidak mau jadi buronan, Tom.” Om Liem menggeleng, reflek melangkah mundur.

“Kau harus mau. Astaga, sekarang bukan saatnya membahas prinsip-prinsip basi.” Aku membentaknya, “Turuti semua perintahku, dan semua akan baik-baik saja.” Aku menoleh ke sisi lain , “Ram, siapa nama petinggi kejaksaan dan bintang tiga di kepolisian yang memimpin kasus ini?”

Ram dengan wajah tidak mengerti menyebut dua nama yang sudah ia sebutkan di mobil yang menjemputku dari hotel.

“Nah, bukankah dua nama itu berarti buat keluarga ini?” Aku kembali menoleh pada Om Liem, menyebut nama itu kencang-kencang, “Mereka tidak akan berhenti, percayalah, kau tidak akan dipenjara enam bulan seperti masa lalu, kalau bisa, dua orang ini akan membuat kau dipenjara selamanya, agar tidak ada jejak yang tersisa.”

Pintu kamar didorong dari luar, dua perawat sudah kembali, terburu-buru mendorong ranjang darurat, diikuti beberapa petugas polisi yang ingin tahu.

Aku segera melesat ke depan pintu, menahan petugas yang hendak masuk.

“Kalian tidak boleh masuk.”

“Kami harus tahu apa yang terjadi?” Komandan polisi memaksa.

“Astaga? Apalagi yang ingin kalian tahu,” Aku memasang badan agar mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam, “Nyonya rumah terbaring sekarat, dia butuh segera dibawa ke rumah sakit. Tuan rumah tidak akan kemana-mana, lihat, dengan memakai tongkat, tangkapan kalian tidak akan bisa kabur dari sini, bahkan berjalan seratus meter pun dia tidak akan kuat.”

Petugas polisi saling lirik satu sama lain.

“Kalian akan terus menonton, atau lebih baik menunggu di ruang depan.” Aku melotot, “Percayalah, setelah Nyonya rumah dibawa pergi oleh ambulans, kalian dengan mudah bisa memborgol Tuan Liem. Dan besok kalian akan mendapatkan kenaikan pangkat atas tangkapan hebat ini.”

Komandan polisi terlihat ragu-ragu, aku sudah balik kanan, kasar menutup pintu.

“Kau naik ke atas ranjang dorong.” Aku mendesis.

Om Liem bingung.

“Pasangkan infus dan semua belalai selang di tangannya.” Aku menyuruh perawat yang juga masih bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Aku, aku tidak bisa membiarkan ini, Thom.” Dokter berseru tertahan, sepertinya dia orang pertama yang mengerti apa yang akan kulakukan.

“Kau akan membiarkannya, Dok.” Aku menatapnya galak, meraih stick golf di pojok kamar, “Aku akan memukul siapa saja yang menghalangiku. Kau naik ke atas ranjang.”

Om Liem patah-patah naik, berbaring, aku segera menyuruh dua perawat bekerja di bawah ancaman stick golf. Mereka takut-takut segera menyelimuti tubuh tua itu, memasang masker di wajah, memasang penutup kepala, infus, alat bantu pernafasan, apa saja yang bisa membuat kamuflase.

Adalah penting segera membawa Om Liem kabur. Tanpa tanda-tangan Om Liem, tidak ada satu pihak pun yang bisa membekukan Bank Semesta atau mengambil-alih perusahaan lain. Aku tidak bisa melarikan Om Liem begitu saja dari rumah, melewati belasan polisi yang sejak empat jam lalu tidak sabaran. Aku akan menukar Tante dengan Om Liem. Rencana ini nekad, meski perawat sudah berusaha membuat tampilan Om Liem yang terbaring tidak dikenali lagi dengan selimut dan peralatan medis, jika ada salah-satu petugas polisi yang detail memeriksa, mereka dengan cepat akan tahu. Tetapi dalam situasi panik, darurat, pukul dua dini hari, tetap ada kemungkinan skenario ini berhasil.

“Berjanjilan, Tante akan baik-baik saja setelah kami kabur.” Aku berbisik pada Tante Liem sebelum mendorong ranjang darurat yang di atasnya sudah terbaring tubuh gemetar Om Liem.

Tante masih menatapku bingung. Dan sebelum dia mengucapkan satu patah, aku sudah mengucapkan kalimat terakhir, “Percayalah, berikan aku waktu dua hari, semua kekacauan akan dibereskan.”

Tante menelan ludah, mulutnya kembali tertutup.

“Kalian,” Aku menunjuk empat perawat yang masih gentar melihat stick golf yang kupegang, “Bantu aku berpura-pura seperti situasi darurat. Berteriak-teriak, suruh menyingkir polisi yang berjaga di ruang tengah. Dan kau, Dok, pimpin rombongan paling depan, bertingkahlah seperti dokter yang galak dalam situasi darurat. Kau paham?”

Dokter di hadapanku menelan ludah, aku mengacungkan stick golf tinggi-tinggi.

“Ram, kau tetap tinggal di sini, pastikan kau mengurus Tante. Kalian tahan polisi selama kalian bisa, berbual, karang alasan, bilang Om Liem tiba-tiba sakit perut, ada di toilet, atau bilang Om Liem memanjat jendela, kabur ke taman belakang. Berikan kami waktu lima belas menit menuju bandara, Ram. Pastikan kau membangunkan salah-satu staf perusahaan untuk menyiapkan tiket, paspor dan dokumen perjalanan kami. Segera menyusul ke bandara. Ada penerbangan ke Frankurt, transit di Dubai pukul 3 dini hari, 45 menit lagi. Kita lakukan ini demi Om Liem, orang yang telah membantu banyak kalian selama ini.” Aku mendesis, menatap tajam semua orang dalam kamar.

Mereka balas menatapku tegang. Mereka sepertinya sudah sempurna paham apa yang akan terjadi.

Aku menatap pintu kamar lamat-lamat, lima detik berlalu, menghela nafas, mendesis, “Sekarang atau tidak sama sekali. Semuanya ikut aku!”

Aku mendorong pintu kamar, mulai berteriak-teriak panik.

Dokter yang sedetik terlihat ragu, juga ikut berseru-seru, menyuruh semua orang yang berdiri di ruang tengah menyingkir. Ranjang darurat didorong dengan kecepatan tinggi oleh dua perawat, dua lainnya menyibak siapa saja, membuat petugas polisi rebah jimpah reflek memberikan jalan.

Jangan biarkan, bahkan sedetik sekalipun, jangan biarkan mereka tahu adalah Om Liem yang terbaring di atas ranjang, atau semua rencanaku akan gagal total.



***bersambung

tezar
08-04-2011, 11:09 AM
*******-******* Berkelas - episode 6
by Darwis Tere-Liye Penuh on Tuesday, March 29, 2011 at 5:20pm

Mobil ambulans yang kukemudikan menerobos gerbang halaman rumah Om Liem, sirenenya meraung, belum cukup, aku menambahinya dengan menekan klakson berkali-kali dan berteriak, meninggalkan belasan polisi yang memaki-maki karena mereka terpaksa loncat menghindar. Aku membanting kemudi, berbelok menaiki fly over, lampu ambulans segera hilang di jalanan lengang.

Rencana menukar Om Liem dan Tante sejauh ini berhasil. Tadi, nyaris saja ketahuan, selimut Om Liem tersingkap, memperlihatkan lutut hingga sandal, salah-satu polisi yang curiga menahan, hendak memeriksa, aku segera membentaknya, mencoba mengalihkan perhatian dengan menceracau situasi darurat. Polisi itu menelan ludah, kehilangan fokus beberapa detik—bahkan satu detik amat berharga untuk rencana kabur ini.

Ranjang darurat terburu-buru dinaikkan di belakang ambulans, empat perawat dan dokter ikut naik. Aku menyuruh menyingkir sopir ambulans, mengambil alih kemudi. Mobil segera melesat, pergi secepat mungkin dari rumah Om Liem. Dua menit, aku kembali membanting kemudi, ambulans meliuk menuju pintu tol. Waktuku sempit, paling lama lima belas menit, petugas polisi tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi. Sekali mereka tahu, maka proses pengejaran dimulai.

Aku teringat sesuatu, mengambil telepon genggam dari saku.

“Angkatlah, ayo angkat.” Aku mendesis, tidak sabaran untuk dua hal, nada panggil dan dua truk yang berjalan di depanku, lupakan safety driving, satu tanganku memegang setir, satu tangan lain memegang telepon genggam.

“Maggie, maaf membangunkan kau malam-malam.” Aku langsung berseru, sambil menekan klakson panjang, dua truk di depanku santai sekali di jalur cepat, apa mereka tidak mendengar sireneku.

“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan, Maggie. Situasi darurat. Aku tahu, tentu saja aku tahu sekarang pukul dua dini hari, dan aku tidak sedang mabuk. Kau segera berkemas, aku butuh kau berada di kantor saat ini, ada banyak yang harus dikerjakan. Kau dengar aku, Maggie? Segera, bergegas, atau promosi kau minggu lalu kubatalkan.”

Satu tanganku memutus pembicaraan, satu tanganku segera membanting setir, sialan, ternyata ada mobil lain yang bergerak santai di depan dua truk yang baru saja kusalip. Ambulans yang kukemudikan menyerempet pembatas jalan, membuat baret panjang di sisi ambulans.

Aku mendengus, ambulans kembali stabil, ngebut.

Telepon genggamku berbunyi, dari Ram, aku mengangkatnya.

“Mereka sudah tahu, Thom.” Suara di seberang sana terdengar tercekat.

Astaga, aku berseru, sekaligus menekan klakson, alangkah banyaknya truk kontainer di jalan tol.

“Kami sudah berusaha menahan mereka, Thom, tetapi mereka mendobrak kamar, kau sekarang ada di mana? Masih jauh dari bandara?”

Aku mengumpat dalam hati, baru lima menit, tentu saja masih jauh, yang dekat itu adalah rumah Om Liem di belakangku.

“Kabar baiknya mereka tidak tahu kemana tujuan ambulans, Thom. Semua orang di kamar kompak bilang kau telah mengancam, lantas pergi begitu saja melarikan Om Liem, tidak tahu kau hendak kemana. Polisi mulai menyebar informasi ke seluruh patroli, melakukan pengejaran.”

“Tiket, Ram. Bagaimana dengan tiket dan dokumen perjalanan kami?” Aku memotong.

“Salah-satu staf perusahaan sedang menuju bandara. Semua tiket, paspor dalam perjalanan. Kau tinggal ambil di meeting point pintu keberangkatan.”

“Bagaimana, Tante?”

“Komandan polisi yang jengkel hendak menahan Tante Liem. Mereka juga sempat memukul beberapa orang di rumah. Tetapi tidak usah kau cemaskan, mereka akan bermasalah dengan belasan pasal dalam hukum pidana jika berani menahan Tante Liem. Dia baik-baik saja, dokter lain sedang menuju ke rumah. Yang tidak baik itu polisi, mereka terlihat marah sekali.”

Aku menghela nafas, setidaknya Tante baik.

“Kau suruh salah-satu staf lainnya mengubungi rumah sakit, klinik, apa saja yang buka dua puluh empat jam.” Aku berseru, teringat sesuatu.

“Eh, buat apa?”

“Lakukan saja, Ram. Telepon sebanyak mungkin rumah sakit, laporkan situasi palsu, bilang ada keadaan darurat di sembarang tempat, suruh mereka mengirim ambulans. Aku ingin satu menit lagi, ada belasan ambulans berkeliaran di jalanan kota, itu akan mengelabui polisi yang sedang melakukan pengejaran. Waktuku bukan menit, Ram, tapi detik, jadi bergegaslah.”

Telepon genggam kumatikan. Aku juga harus mematikan sirene ambulans agar tidak menarik perhatian, membanting setir ke kanan, ambulans segera menaiki jalur tol menuju bandara, berpisah dengan barisan truk kontainer menuju pelabuhan peti kemas. Aku melirik penanda kilometer di pembatas jalan tol, bandara masih 20km lagi. Aku menekan pedal gas sedalam mungkin, dengan kecepatan 140km/jam, itu hanya delapan menit.

Sekali ini, jalan tol lengang, menyisakan pendar cahaya lampu di aspal.

Aku menghela nafas, mengusap keringat di pelipis.

Baru beberapa hari lalu aku ceramah panjang lebar tentang sistem keuangan dunia yang jahat dan merusak, tapi sekarang, aku melarikan seorang tersangka kejahatan keuangan. Baru beberapa menit yang lalu aku masih terdaftar sebagai warga negara yang baik, bertingkah baik-baik dan selalu taat membayar pajak, tapi sekarang aku menjadi otak pelarian buronan besar.

Aku menepuk dahi, teringat sesuatu, dengan cepat menekan kembali meraih telepon genggam.

Hingga habis nada panggil, tetap tidak diangkat. Aku mendengus, mencoba nomor kedua, tetap sia-sia, tidak aktif. Masih ada nomor ketiga. Dua kali nada panggil, ayolah diangkat, aku mendesis, lima kali nada panggil, hanya ini satu-satunya harapanku, ayo diangkat.

“Malam, Thom. Kau tidak tahu ini jam berapa? Atau jangan-jangan kau sengaja hendak mengolok-olokku lagi, mengangguku tidurku. Harus berapa kali lagi kubilang agar kau puas? Yang Mulia Thomas adalah petarung terhebat klub, tidak ada yang bisa mengalahkan Yang Mulia Thomas.”

“Bukan soal itu, Randy.” Aku memotong suara mengantuk Randy.

“Lantas hoaaaem apa lagi, Sobat?”

Aku mengutuk Randy yang terdengar amat santai. Dengan cepat menjelaskan situasi, aku butuh akses untuk melewati gerbang imigrasi bandara. Tadi di rumah Om Liem bilang surat penangkapannya efektif sejak kemarin siang, untuk kasus besar, itu berarti seluruh gerbang imigrasi sudah menerima notifikasi pencekalan. Komandan polisi di rumah saat ini juga pasti sedang menghubungi bandara, pelabuhan, terminal, stasiun apa saja yang terpikirkan olehnya sebagai titik melarikan diri.

“Aku tidak bisa melakukannya, Thom.” Randy akhirnya berkata pelan setelah terdiam.

“Kau akan melakukannya, Randy.” Aku berseru galak.

“Ini bisa membahayakan karirku.” Suara Randy ragu-ragu.

“Omong-kosong, kau pernah melakukannya, belasan kali boleh jadi. Sudah berapa banyak buronan yang kalian loloskan ke luar negeri, hah? Bukankah dengan mudah kalian bisa mengarang-ngarang alasan.”

“Yang ini berbeda, Thom.”

“Apa bedanya, Randy.” Aku mulai jengkel, pintu keluar tol sudah terlihat, jarakku dengan bandara tinggal dua kilometer, jika Randy tidak bisa membantu, melewati pintu imigrasi bandara sama saja dengan menyerahkan diri.

“Setidaknya berikan aku waktu setengah jam berkoordinasi dengan petugas imigrasi—“

“Astaga, Randy. Aku butuh sekarang.”

“Aku harus koordinasi dulu, Thom.”

“Segera, Randy. Detik ini juga. Kau sudah berjanji di klub bertarung, jika aku mengalahkan Rudi, maka kau akan melakukan apa saja, termasuk meloloskan buronan negara. Janji seorang petarung, Randy.”

Randy terdiam sejenak di seberang sana, “Baik, Sobat. Berikan aku satu menit, aku akan memberikan kau akses melintasi petugas imigrasi.”

Aku menutup telepon, menerobos pintu tol keluar. Penjaganya berteriak, bilang aku belum membayar, aku hanya bergumam pendek, tidak pernahkah dia melihat ambulans yang terburu-buru? Darurat.

Aku menghentikan ambulans lima belas detik sebelum memasuki gerbang bandara, menyuruh empat perawat dan dokter turun, “Kalian pulang ke rumah masing-masing dengan taksi, tidur, beristirahat, lupakan kejadian ini. Jika nanti ada polisi yang menginterogasi, kalian bilang kalian diancam olehku, di luar itu, tidak tahu dan tidak berkomentar, paham?” Dokter dan empat perawat mengangguk.

Aku menyuruh Om Liem pindah ke bangku depan, infus, belalai selang dan masker yang pura-pura dipasangkan telah dilepas sepanjang perjalanan tol. Om Liem meringis, tubuh tuanya kelelahan, aku sudah menekan pedan gas, memasuki area bandara.

Telepon genggamku berbunyi saat ambulans sudah terparkir di depan pintu gerbang keberangkatan, aku menuntun Om Liem agara bergegas menuju meeting point.

Itu Randy, dia memberikan nomor loket imigrasi yang harus kutuju.

“Terima kasih, Sobat.” Aku tertawa pelan—akhirnya aku tertawa setelah semua ketegangan, “Aku berjanji, demi bantuan ini, lain kali jika bertarung dengan kau, aku tidak akan menghajar kau habis-habisan.”

Randy terdengar mengeluarkan sumpah-serapah. Aku sudah menutup telepon.

Salah-satu staf perusahaan sudah menunggu di meeting point, menyerahkan amplop cokelat besar.

“Semua tiket, paspor Tuan Liem, ada di dalamnya.”

“Kau tidak kesulitan ke sini?” Aku basa-basi bertanya, menghela nafas lega melihat isi amplop.

“Aku manajer hotel bandara, Pak. Sekaligus membawahi loket travel agent. Jadwalku berjaga malam ini. Hotel dan travel agent juga milik Tuan Liem, kami selama ini yang menyiapkan dokumen perjalanan, termasuk menyimpan paspor keluarga Tuan Liem. Jadi sama sekali tidak ada kesulitan.”

Aku mengangguk, menuntun Om Liem memasuki ruangan check-in.

Meski tidak seramai siang hari, aktivitas dini hari bandara tetap sibuk.

Cahaya lampu. Calon penumpang mendorong trolley berisi koper. Meja check-in dengan antrian.

Aku mengangguk lega. Sekali Om Liem duduk rapi di pesawat yang menuju Frankurt, maka butuh berhari-hari bagi polisi untuk mengembalikannya ke Jakarta. Itu lebih dari cukup memberikan aku waktu untuk membereskan PR lain.



***

tezar
08-04-2011, 11:10 AM
Dalam teori ekonomi modern, tingkat suku bunga bank sentral (sering dikenal dengan istilah suku bunga SBI, Sertifikat Bank Indonesia) memegang peranan penting sebagai instrumen pengendali. SBI adalah bunga bebas resiko suatu negara, disebut bebas resiko, karena tidak mungkin simpanan dalam bentuk SBI akan gagal bayar—berbeda dengan tabungan atau deposito bank umum, yang bisa default kapan saja dengan beragam alasan.

Jika bank sentral menetapkan suku bunga SBI, misalnya 8 persen, maka itu menjadi patokan seluruh bank umum dalam menetapkan berapa besar bunga kredit yang akan mereka berikan, juga termasuk patokan bagi leasing, asuransi, dan berbagai perusahaan keuangan lainnya.

Coba cek berapa bunga tabungan kalian saat ini? Paling tinggi hanya 4 persen per tahun. Nah, coba pikirkan logika sederhana ini, bank x menyimpan uang kalian hanya diberikan bunga 4 persen, tapi dia bisa menggunakan uang kalian untuk membeli SBI (menyimpan uang itu di Pemerintah) dengan bunga 8 persen. Jika bank x punya dana tabungan nasabah 100 triliun, kalikan saja dengan selisih bunga 4 persen, maka sambil ongkang-ongkang kaki, mereka bisa untung 4 triliun setiap tahun. Maka jangan pernah aneh dengan berita rasio penyaluran kredit perbankan rendah, fungsi intermediasi perbankan memble, jumlah simpanan SBI terus meroket, come on, kenapa pula kalian harus repot menyalurkan kredit (yang bisa saja macet, menjadi Non Performing Loan), kalau ada cara mudah mendapatkan untung selisih bunga? Bahkan jika anak SD dijadikan direktur utama bank x tersebut, maka bank x tetap akan untung. Siapa yang membayar 4 triliun itu? Pemerintah. Dari mana uangnya? Dari pajak rakyat.

Tetapi ada yang lebih ajaib lagi. Pertanyaannya, bagaimana bank sentral bisa tiba-tiba memutuskan SBI 8 persen? Padahal mereka tahu selisih dengan bunga tabungan bank umum begitu lebar?

Karena mereka diamanahkan oleh undang-undang menjaga stabilitas perekonomian. Stabilitas itu salah-satunya tercermin dari angka inflasi. Misalnya, ketika harga-harga diperkirakan naik, perekonomian tumbuh terlalu cepat, overheating, maka bank sentral mengantisipasinya dengan ikut menaikkan suku bunga SBI. Naiknya suku bunga, secara teoritis, akan membuat orang yang punya banyak uang memilih menabung dibandingkan belanja. Dus, uang beredar berkurang, aktivitas jual-beli menurun, harga-harga jadi turun. Juga sebaliknya, ketika harga-harga diperkirakan terlalu turun, perekonomian melambat, maka bank sentral akan mengantisipasinya dengan menurunkan SBI. Turunnya suku bunga SBI, otomatis akan membuat suku bunga pinjaman bank turun, dana murah, orang-orang berbondong pinjam uang, aktivitas jual-beli naik, perekonomian kembali bergairah.

Dari penjelasan satu paragraf di atas, catat kata pentingnya: perkiraan.

Inilah ajaibnya ilmu ekonomi, inflasi adalah fungsi dari ekspektasi (perkiraan, persepsi). Berapa tingkat inflasi tahun depan? 8 persen? 10 persen? Semua hasil dari perkiraan, antisipasi. Berapa inflasi bulan depan? 0,5 persen? 1 persen? Semua keluar dari kalkulasi erkiraan, eskpektasi.

Ajaib bukan? Kita ternyata selama ini mempercayakan nasib perekonomian dunia, nasib periuk nasi banyak orang, kepada orang-orang yang di kelas diajarkan tentang: ekspektasi. Bukankah itu tidak beda dengan para penyihir, dukun, juru ramal, atau profesi dunia ghaib lain? Sialnya, jika kalian bisa menimpuk tukang ramal jika ramalannya salah (atau malah memilih tidak percaya sama sekali), kalian tidak bisa menimpuk menteri ekonomi atau petinggi bank sentral jika mereka salah mengambil kebijakan, “Ternyata variabelnya lebih banyak dari dugaan kami. Ini bukan salah kami. Siapapun pengambil keputusannya, pasti keliru memprediksi turbulensi ekonomi yang ada.” Omong-kosong.

Profesor penerima nobel ekonomi yang adalah salah-satu dosenku sekaligus menjadi lawan debatku di sekolah bisnis ternama, hanya tertawa mendengar komentarku—dia pastilah terlatih menghadapi mahasiswa model aku. “Itulah menariknya ilmu ini, Thomas. Sejak jaman Nabi Adam, kita selalu tertarik dengan masa depan, berusaha mengintip rahasia langit, berusaha menjelaskan apa yang akan terjadi esok hari. Nah, dengan pendekatan ilmiah, ilmu ekonomi mengumpulkan bukti-bukti empiris yang ada. Pemegang kebijakan ekonomi bisa menyesuaikan akibat yang terjadi dari kontrol yang mereka punya. Bukan urusanku jika ternyata pemegang kontrol itu ternyata orang yang pengecut, korup dan lebih mementingkan pihak tertentu.”

Diskusi ditutup tanpa kesimpulan.

Aku menghembuskan nafas panjang. Aku dan Om Liem sudah duduk rapi di dalam pesawat. Lima menit lalu, petugas imigrasi menatapku datar, layar komputernya pastilah mengeluarkan alarm setelah proses scan paspor Om Liem, kode merah. Tetapi dia tanpa banyak bicara, menekan tombol, mematikan alarm. Seperti tidak ada yang terjadi, menyerahkan paspor kami, berseru, “Berikutnya.”

Proses boarding hampir selesai, sebagian besar penumpang sudah duduk. Pramugari bahkan sudah menutup bagasi di atas kepala.

Persepsi? Aku tiba-tiba memikirkan sesuatu. Apa yang sedang dilakukan polisi saat ini? Mereka pastilah telah menghubungi interpol, mengontak seluruh jaringan yang mereka punya di seluruh dunia. Ekspektasi? Kepalaku terus mengingat diskusi di kelas saat itu. Apa yang sedang dilakukan polisi untuk memburu buronan besar mereka sepuluh tahun terakhir? Tersangka kejahatan keuangan yang sudah mereka pegang tengkuknya, ternyata berhasil kabur dengan mudah.

Aku menghela nafas tertahan. Meremas rambut. Memaki dalam hati.

Tidak, kami bahkan tidak akan melewati loket transit Dubai. Petugas interpol pasti menunggu di sana, dan bersiap menggelandang kami kembali ke Jakarta. Jika aku dan Om Liem tertangkap, urusan semakin runyam, tidak ada celah sama sekali.

Persepsi? Ekspektasi? Aku meremas jemari. Sekarang urusan tidak sesederhana membuat kamuflase Om Liem di atas ranjang darurat. Sekarang, aku harus menciptakan persepsi yang keliru di benak mereka. Kabur ke luar negeri adalah reaksi yang sesuai dengan ekspektasi mereka. Ini bukan pilihan yang baik.

Aku harus membuat persepsi yang menipu. Tidak ada waktu lagi.

Aku bergegas berdiri, berbisik, “Kita turun dari pesawat.”

“Hah?” Dahi lelah Om Liem terlipat.

“Bergegas. Mereka hampir menutup pintu pesawat.”

Aku sudah membantu melepas safety belt Om Liem.



***bersambung

tezar
09-04-2011, 09:58 AM
*******-******* Berkelas - episode 7
by Darwis Tere-Liye Penuh on Wednesday, March 30, 2011 at 7:01pm

“Do you speak english or french?” Aku berdiri, mendekati pramugari yang berjaga di kabin eksekutif, dia sedang bersiap menutup pintu masuk dekat kokpit.

“Both.” Gadis berambut pirang itu tersenyum menawan, gerakan tangannya terhenti.

Aku mengangguk, jika begitu aku akan menggunakan bahasa Perancis.

“Kami harus turun.” Aku berkata dengan intonasi sesopan mungkin, “Saya dokter profesional yang bertugas menemani Tuan ini berobat ke Frankurt. Sayangnya, menurut penilaianku beberapa menit lalu, beliau tidak cukup sehat untuk berangkat, daripada kalian terpaksa mendarat darurat, saya memilih menunda enam atau dua belas jam, penerbangan berikutnya.”

Gadis itu berpikir sejenak, senyumnya masih mengembang.

“Kau pastilah amat menyukai kota Merseilles?” Aku balas tersenyum, mengalihkan perhatiannya. Setidaknya biar dia tidak sempat mengingat bagaimana prosedur baku jika ada kejadian seperti ini.

“Eh, bagaimana kau tahu?” Gadis itu tertarik.

“Bros yang kau kenakan, kalau tidak salah, itu siluet timbul kastil yang indah. Menghadap langsung ke laut Mediterania, bukan? Kau pastilah pernah bermimpi suatu saat menghabiskan bulan madu, atau sekadar berwisata bersama seseorang yang spesial di sana.”

Gadis itu tertawa renyah, malu-malu mengangguk.

“Tetapi kenapa kau hanya memasang bros seindah ini di ujung kerah? Sedikit tersembunyi?”

“Eh, sebenarnya kami dilarang mengenakan aksesoris di luar seragam resmi. Itu pelanggaran.” Dia malu-malu mengaku.

Aku mengangguk, memasang wajah bersimpati, bagaimana mungkin hanya sekadar bros tidak boleh—sambil bergumam dalam hati, tipikal pemberontak peraturan, urusan ini lebih mudah lagi, “Bagaimana mungkin bros seindah ini sebuah pelanggaran?”

Gadis itu memasang wajah setuju.

Aku tersenyum, “Maaf, apakah kami bisa turun?”

“Ohiya. Silahkan, aku pikir sepertinya tidak masalah kalian turun.” Gadis itu memberikan jalan.

Aku mengangguk untuk kedua kalianya, “Terima kasih banyak.”

Om Liem patah-patah dengan tongkat melangkah melewati bingkai pintu pesawat.

“Maaf, saya lupa satu lagi.” Dua langkah dari pintu pesawat, aku dengan perhitungan waktu yang terencana kembali menoleh.

“Eh?” Gadis itu menatapku, gerakan tangannya terhenti.

“Kau bisa menolongku sekali lagi?”

“Iya?”

“Istri Tuan ini amat pemarah dan selalu curiga.” Aku berbisik, pura-pura merendahkan suara, menunjuk dengan ujung siku Om Liem yang terus berjalan di lorong garbarata, “Kalau saja istrinya tahu kami tertunda enam jam, apalagi dua belas jam, orang tua malang itu habis diomeli. Astaga, kau tidak bisa membayangkan bagaimana istrinya marah,” Aku meniru ekspresi galak seorang wanita tua, “Jadi demi istrinya yang pemarah itu, tolong catat di manifes penerbangan kalau kami tetap berangkat.”

Gadis di hadapanku tertawa.

“Kau bisa melakukannya?”

Dia mengangguk.

Aku ikut mengangguk takjim. Melambaikan tangan.

Pintu pesawat ditutup dari dalam. Beberapa petugas ground handling sibuk membantu persiapan take off, aku menjawab pendek saat salah-satu dari mereka bertanya kenapa kami tiba-tiba turun, “Double seat, sialan, sistem buruk kalian membuat kami malu.”

Petugas itu bingung, sedikit gugup memeriksa daftar penumpang di tangannya.

***

tezar
09-04-2011, 09:59 AM
Sebelum meninggalkan bandara, aku membeli belasan lembar penerbangan ke luar negeri sepanjang siang nanti, sengaja kudaftarkan atas nama Om Liem. Jika ada polisi yang memeriksa seluruh maskapai, maka mereka setidaknya akan menemukan sembilan kemungkinan tujuan kami.

Pukul setengah empat pagi, setelah merobek seluruh tiket, melemparkannya ke dalam tong sampah, aku menyuruh Om Liem kembali naik ke atas ambulans. Tidak, kabur ke luar negeri bukan pilihan terbaik. Lagipula aku harus berada di Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini, aku harus menemui banyak orang.

Mobil ambulans melesat meninggalkan bandara, dengan kecepatan tinggi.

Aku tahu tempat terbaik menyembunyikan Om Liem.



***

Jalan tol keluar kota lengang. Ambulans yang kukemudikan melesat dengan kecepatan 140km/jam.

“Jika ini tidak penting, hanya salah-satu lelucon kau, besok-lusa aku akan membalasnya, Thom.” Maggie, stafku yang paling gesit, paling supel, dan paling setia melapor sudah siap di kantor. Mungkin ini rekor paling pagi dia masuk kantor. Kalian pernah masuk kantor pukul setengah lima pagi?

“Kau segera telepon enam-tujuh wartawan suratkabar, majalah, televisi, berita online, yang sering memintaku menjadi narasumber, kolega pers kita.” Aku mengabaikan keluhan Maggie, mulai mendikte apa yang harus segera dia lakukan, “Kau sertakan juga tiga-empat pengamat ekonomi, kawan dekat, yang sering sependapat dengan kita. Minta mereka berkumpul di salah-satu restoran hotel dekat kantor, bilang, kita punya rilis paling rahasia, paling gress tentang kasus Bank Semesta.”

“Jangan tanya detail siapa saja yang harus diundang, Maggie. Ayolah, kau tahu persis harus mengundang siapa. Aku membutuhkan kaki tangan untuk membentuk opini di media massa—meskipun mereka sama sekali tidak merasa telah digunakan.”

Terdengar suara coretan pulpen di seberang sana.

“Aku tadi sudah menelepon Ram, salah-satu stafnya akan mengantarkan setumpuk laporan paling baru tentang Bank Semesta, kau pastikan menyimpan dokumen itu, aku akan mampir ke kantor. Aku juga butuh working paper audit Bank Semesta, harus sudah ada di mejaku sebelum pukul dua belas siang.”

“Mana aku tahu caranya.” Aku sekali lagi mengabaikan keluhan Maggie, “Hubungi kantor auditor, cari partner, manajer atau auditornya, mereka pasti lembur hari Sabtu. Aku tahu itu dokumen confidential, astaga, kau ingin mengajariku soal itu? Nah, kalau tidak, pastikan seluruh working paper audit, terutama tentang debitor, rekening deposito, dan aset Bank Semesta tersedia. Kau juga kumpulkan semua berita, artikel, komentar, bahkan jika ada berita sopir taksi bergumam tentang Bank Semesta selama enam tahun terakhir, catat. Cari di internet, suratkabar, database media massa, gunakan seluruh resources yang ada, termasuk jika informasi itu harus dibeli.”

Maggie mengeluh lagi, bilang dia tidak bisa melakukannya sendirian dan secepat itu.

“Kau bisa, Maggie. Dan inilah poin terpentingnya, kau tidak boleh bilang siapapun. Kau paham?”

“Nah, sekali urusan ini beres, aku berjanji akan memberikan kau dua lembar tiket berlibur. Terserah kau mau kemana dan mengajak siapa.”

Aku memutus pembicaraan, mengabaikan seruan riang Maggie, kembali konsentrasi pada kemudi.

Semburat merah muncul dibalik gunung. Pemandangan indah dari balik jendela ambulans yang melesat cepat, tapi aku tidak memperhatikan. Kami sudah puluhan kilometer meninggalkan kota Jakarta.

“Orang tua ini benar-benar keliru selama ini.”

Aku menoleh, Om Liem sedang menatapku datar. Aku pikir dia tertidur, hanya desis pendingin dan suaraku menelepon banyak orang sejak kami meninggalkan bandara tadi yang terdengar di kabin depan ambulans.

“Dua puluh tahun aku berpikir kau membenciku karena kejadian itu, Tommi. Ternyata aku keliru.” Om Liem menghela nafas perlahan, antara terdengar dan tidak.

“Kau sesungguhnya membenci diri sendiri, bukan?”

Om Liem menatapku lamat-lamat.

“Itu benar sekali, lihatlah kejadian sejak pukul dua dini hari tadi. Kau adalah pemikir sekaligus eksekutor yang hebat, Tommi. Pintar, berani, dan pandai mempengaruhi orang. Tidak pernah terbayangkan akan jadi apa group bisnis keluarga kita jika kau yang menjalankannya. Dia akan menjadi raksasa mengerikan di tangan seseorang seperti kau. Karena itulah kau membenci diri sendiri.”

Om Liem menatap semburat merah yang semakin terang.

“Dua puluh tahun kau pergi dari rumah, berusaha menjauhi kami, tidak ingin terlibat, tapi nyatanya kau belajar di sekolah bisnis terbaik, belajar langsung dari muasal kemunafikan. Kau membenci trik, rekayasa, tipu-tipu tingkat tinggi pemilik konglomerasi, eksekutif puncak perusahaan, nyatanya kau mempelajari itu semua, bahkan menjadi penasehat terbaik mereka. Kau berusaha menjadi anak muda yang idealis, dibasuh suci dengan kematian Papa dan Mama kau, nyatanya kau justeru terlahirkan menjadi seorang yang licin bagai belut, penari hebat dalam pertunjukan rekayasa keuangan modern. Orang tua ini keliru, Tommi, kau tidak pernah membenciku, kau selama ini sebenarnya membenci diri sendiri, berusaha mati-matian menjaga jarak, mengendalikan diri agar tidak menjadi sepertiku. Bukankah begitu, Nak?” Mata Om Liem menerawang jauh.

Aku tidak menjawab, melambaikan tangan, “Sudah ceramahnya?”

Om Liem kembali menoleh padaku.

“Kalau sudah, kau seharusnya sekarang tidur, beristirahat.”

Om Liem menggeleng, “Orang tua ini tidak mengantuk, Tommi.”

“Kalau begitu lebih baik tutup mulut, diam. Aku sedang mengemudi.”

Om Liem tertawa pelan, “Kau mirip sekali dengan Papa kau, Tommi. Selalu terus terang dan jujur meski itu kasar dan menyakitkan. Baiklah, bangunkan aku jika sudah dekat di rumah peristirahatan Opa kau.”

Aku tidak mengangguk, kembali menatap jalan tol yang lengang. Hanya segelintir orang yang tahu tujuan kami, itu tentu termasuk Om Liem—meski aku tidak memberitahukannya sejak tadi.



***bersambung

tezar
09-04-2011, 10:03 AM
*******-******* Berkelas - episode 8
by Darwis Tere-Liye Penuh on Friday, April 1, 2011 at 7:15pm

Bendungan Tiga Ngarai, atau Three Gorges Dam yang membendung aliran sungai Yangtze, China, luasnya lebih dari 1.000 km persegi, itu berarti jika lebarnya 10 km, maka panjangnya 100km, bayangkan besarnya. Dibangun sejak tahun 1994, bendungan ini membuat 1,3 juta penduduk tergusur. Terlepas dari dana pembangunan yang ratusan triliun rupiah, proyek ini juga harus dibayar dengan ribuan desa, ratusan kota, besar-kecil, kuburan leluhur, lahan pertanian, situs arkeologi, hutan, binatang, semuanya terendam oleh proyek bendungan paling besar dan paling ambisius seluruh dunia. Itu semua untuk 20.000 MW listrik, jutaan hektare irigasi persawahan, kontrol atas banjir tahunan di sungai Yangtze, dan simbol dari pembangunan ekonomi dan peradaban besar negara China.

Dalam skala yang lebih kecil, seperduabelas dari Bendungan Tiga Ngarai, adalah Waduk Jatiluhur (secara harfiah waduk berarti kolam). Luas ‘kolam’ ini hanya kurang lebih 83 km persegi. Dibangun sejak tahun 1957, waduk ini adalah yang terbesar di Indonesia. Berapa jumlah penduduk yang harus digusur selama proses pembangunanya? Bayangkanlah sendiri, mengingat lokasi waduk ini termasuk salah-satu lahan subur, area pertanian, dengan penduduk yang padat, itu setara menggusur penduduk seluruh kota Palangkaraya, atau Ambon, atau Palu.

Aku tidak peduli soal penggusuran—toh, penguasa saat itu mungkin sambil mengupil menandatangani surat perintah penggusuran. Yang aku peduli, kalian pernah datang ke Waduk Jatiluhur? Rekayasa tangan manusia membuat lembah itu berubah banyak, dan kabar baiknya, dengan hamparan air luas, Waduk Jatiluhur terlihat indah bukan kepalang.

Mobil ambulans yang kukemudikan memasuki jalan lengang menuju rumah peristirahatan Opa ketika semburat merah matahari memenuhi ufuk timur, kabut masih mengambang di pebukitan, dan permukaan waduk terlihat begitu mengkilat memesona. Aktivitas pegawai bungalow, hotel, bar, restoran, perkemahan, water park, lapangan tenis mulai menyeruak. Nelayan keramba, petani, pekerja, anak-anak sekolah dan penduduk setempat juga mulai terlihat sibuk.

Mobilku terus melaju ke salah satu tepi waduk.

Lima belas tahun lalu, Opa memutuskan membeli tanah seluas dua puluh hektar disudut paling eksotis waduk, lantas membangun rumah kecil yang nyaman dan menyenangkan. Seperti kastil negeri-negeri Eropa yang bukan saja memiliki halaman rumput luas terpangkas rapi, tapi juga halaman belakang berupa danau yang luas. Seperti ranch peternakan, seperti kebun anggur. Waktu aku masih belasan tahun, aku sering datang ke sini, berkemah, memancing, berburu, ngebut dengan speed boat, atau sekadar bengong duduk di beranda dermaga, menatap senja bersama Opa yang pat-pet-pot memainkan alat musik. Lantas Opa akan mulai bercerita, yang ceritanya itu-itu saja, seperti kaset rusak.

Aku pelan menjawil lengan Om Liem, membangunkan, ambulans yang kukemudikan persis memasuki gerbang halaman. Lengang, hanya beberapa tukang kebun yang adalah tetangga sekitar waduk terlihat sibuk menyalakan mesin penyiram otomatis, belasan jumlah selangnya, muncrat tinggi-tinggi, membuat halaman seperti dipenuhi hujan lokal.

“Kita sudah sampai?” Om Liem membuka mata.

Aku tidak menjawab, memarkirkan ambulans di halaman belakang yang menghadap waduk. Sepagi ini, Opa pasti sedang duduk menghabiskan secangkir teh hijau sambil berkutat dengan not-not balok.



***

“Kau tidak sarapan sebentar, Tommi?” Opa menatapku arif, tersenyum.

“Ada banyak yang harus kubereskan.” Aku hanya mengantar Om Liem memasuki halaman belakang, langsung bersiap balik kanan, “Mobilku yang lama masih ada?”

“Tentu saja masih,” Opa tertawa, “Tidak ada yang jahil belajar mengemudi dengan mobil itu, lantas tidak sengaja justeru menenggelamkannya ke waduk.”

Aku ikut tertawa. Opa suka sekali mengenang kejadian lama.

“Opa taruh di garasi, tanyakan pada bujang kuncinya. Ayolah, kita minum teh sebentar, mobil kau itu setidaknya perlu dipanaskan.”

Aku menggeleng, mengangkat pergelangan tangan, “Waktuku tinggal 49 jam 45 menit hingga bank dan kantor-kantor buka pukul 8 hari senin lusa, Opa. Aku harus bergegas kembali ke Jakarta. Titip dia, sudah terlalu banyak kekacauan yang dia buat, pastikan dia tidak menambahkannya lagi satu.”

Opa tertawa lagi, “Baiklah, Tommi. Terlepas dari aku belum tahu apa yang telah terjadi, aku sebenarnya senang sekali melihat kalian berdua beriringan memasuki halaman rumah beberapa menit lalu, terlihat kompak. Kalian bahkan sudah lama tidak bertemu. Hati-hati, Nak, jangan lupa makan.”

Aku mengangguk, balik kanan menuju garasi mobil yang terpisah dari bangunan induk. Saatnya berganti kendaraan yang lebih memadai, aku butuh mobil tercepat untuk kembali ke Jakarta.

Opa adalah kolektor mobil yang baik—meski tampilannya bersahaja. Koleksinya tidak banyak, tapi berkelas. Opa paling suka mobil Eropa, salah-satu koleksinya adalah seri merk mobil yang memenangkan Grand Prix Monaco untuk pertama kali. Salah-satu bujang mengantarkan kunci. Aku melepas cover mobilku, bersiul. Ini mobil seri kesekian dari merk yang sama, Opa mengoleksinya karena legenda hidup formula satu juga punya, mobil kesayangan Opa, saking sayangnya, dia jadikan hadiah ulang tahunku yang ke-17 lima belas tahun silam—perayaan yang justeru tidak kuhadiri, ada ujian sekolah.

Setengah menit, mobil bertenaga itu sudah melesat meninggalkan garasi, melintasi halaman belakang, Opa melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk, menyeringai menatap kasihan Om Liem. Satu jam ke depan, selama menemani Opa sarapan, pastilah Om Liem terpaksa mendengar Opa bercerita sambil manggut-manggut sopan.



***

tezar
09-04-2011, 10:05 AM
“Kau tahu Tommi, usia Opa baru lima belas saat datang dari pesisir China, menumpang perahu penuh tambalan, berlayar seadanya, bersama puluhan perantau yang mencari dunia baru, mencari kehidupan terjanjikan. Kami nyaris tenggelam di perairan Malaka jika tidak ditolong kapal nelayan, hingga akhirnya berhasil merapat di negeri yang sedang mengalami perang revolusi. Di radio-radio terdengar ceramah bersemangat pemuda bernama Soekarno. Dentuman granat dan suara tembakan memenuhi langit-langit kota. Opa bagai lepas dari mulut macan, masuk perangkap buaya.”

“Tetapi Opa benar, Tommi, ini tanah yang dijanjikan. Lima belas tahun berlalu, umur Opa tiga puluh saat menikah dengan Oma, malam pengantin kami dihiasi dengan pidato tentang dekrit presiden, saat itu Opa baru menjejak kehidupan yang baik. Setelah bertahun-tahun menjadi pedagang keliling, buruh seadanya, pembantu juragan besar, Opa akhirnya punya toko tepung terigu kecil di pojokan jalan. Tidak ramai, cukup untuk menghidupi dua anakku. Papa kau, Edward dan paman kau Om Liem.”

Ini dua paragraf standar pembuka cerita Opa. Dan aku yang masih berusia belasan tahun bergegas memasang wajah tertarik—karena setiap selesai cerita, kalau Opa merasa kau telah menjadi pendengar yang baik, dia biasanya memberikan hadiah.

Mobil yang kukemudikan sudah melesat melewati jalanan yang semakin ramai.

Opa bukan pebisnis yang baik. Dia (mengakunya) adalah pemusik yang baik.

Suatu ketika Opa pernah tertawa lebar bilang kepadaku, yang masih bocah 6 tahun, “Kau lihat, aku baru menyentuh klarinet ini dua minggu, tapi sudah menguasai sepuluh lagu. Indah sekali bukan? Tidak kalah merdu dibandingkan Opera Peking.” Paaat-pooot-peeet, “Andaikata Opa punya uang membeli alat musik semasa muda, dan tidak harus bekerja keras, boleh jadi Opa menjadi pemusik China terbesar abad ini.” Opa menepuk dadanya, menunjuk poster opera-operas China yang terpajang di ruang tamu kami. Bagiku suara klarinet Opa berisik, tidak ada indah-indahnya, apalagi dia suka membangunkanku pagi-pagi dengan meniup klarinet kencang-kencang di telinga.

Adalah Papa Edward dan Om Liem pebisnis yang baik. Mereka memiliki garis tangan yang hebat. Umur mereka baru dua puluh tahun saat mengambil alih toko tepung terigu dari Opa. Saat itu, Papa Edward dan Om Liem dengan yakinnya bilang ke Opa, “Kalau hanya menjual bungkusan sekilo-dua kilo tepung terigu, sampai negeri ini mendaratkan pesawat ke bulan, toko ini hanya begini-begini saja. Kami sudah belajar banyak. Sudah tahu banyak. Biarkan kami mengembangkannya.”

Opa Liem menatap mereka berdua lamat-lamat, lantas mengangguk. Maka sejak hari itu Papa dan Om Liem penuh semangat mulai memutuskan berkongsi dengan tengkulak, petugas dan penguasa. Mereka membeli dan menjual tepung terigu setahun dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan selama ini toko tepung terigu Opa bisa menjualnya. Maju pesatlah toko di pojok jalanan itu.

Penduduk kota mulai membicarakan nasib baik Papa Edward dan Om Liem. Dalam pesta-pesta keluarga, meja-meja makan dipenuhi tawa sanjung dan kesenangan. “Astaga, bagaimana mungkin kalian tidak akan sukses?” Tuan Shinpei, pedagang besar dari Jakarta, importir tepung terigu, rekanan Papa dan Om Liem tertawa lebar, “Pagi-pagi tadi kau menandatangani kontrak penjualan denganku. Bilang pagi itu juga akan berangkat ke Singapura mengurus pengapalan. Malam ini, kita sudah bertemu lagi, makan-makan besar? Bagaimana mungkin kau begitu cepat bolak-balik mengurus banyak hal?”

Meja makan dipenuhi tawa.

“Ini anakku, Shinpei.” Papa Edward mengenalkanku dengan bangga.

Aku yang sedang membawa nampan berisi cangkir mendekat.

“Astaga? Sekecil ini sudah pandai sekali bekerja?” Tuan Shinpei menepuk jidat, tertawa.

“Kalau kau tahu berapa gaji yang dimintanya dengan menjadi pelayan semalam, kau akan mengerti kenapa dia sangat pandai bekerja.” Papa Edward ikut tertawa.

“Memangnya apa?”

“Sepeda. Dia minta sepeda.”

Pedagang dari Jakarta itu terbahak, mengacak rambutku.

“Sayang, kau lupa mengancingkan pakaianmu.” Ibu yang duduk di sebelah Papa berbisik, lembut memperbaiki seragam pelayanku. Aku patah-patah menuangkan teko, bersungut-sungut melihat Papa yang masih tertawa.

Lantas apa yang dilakukan Opa kalau semua urusan bisnis dipegang Papa dan Om Liem? Opa berusaha memenuhi takdir bakat besarnya: berlatih musik.

Pertama-tama adalah Piano. Tiga bulan berlalu, “Ini bukan alat musik yang cocok untukku.” Dia menyuruh pelayan membawa piano itu ke atas truk, dijual

Gitar. Baru satu minggu, “Ini terlalu rumit.” Dia menjual gitar itu ke pemulung, yg bersorak riang karena membelinya dgn harga murah sekali.

Biola. “Meski aku terlihat eksotis dengan alat musik ini, tetapi belajar memainkan benda ini tidak esksotis.” Dia bercermin dengan biola di bahu, nyengir, kepala semi-botak Opa terlihat lucu.

Juga harpa, seruling, drum, dan alat-alat musik lainnya. Sampai pemilik toko alat musik di kota kami menggeleng, tidak ada lagi alat musik yang belum pernah dicoba Opa.

“Kau jangan mengejekku, Tommi. Suatu saat aku pasti menemukan alat musik yang tepat, Tommi. Ketika bakat musikku bersinar terang bahkan sebelum aku mulai memainkannya.”

Yang bersinar terang itu bisnis Papa Edward dan Om Liem. Setahun terakhir, Om Liem bahkan memulai sesuatu yang baru. Aku menguping saat Papa dan Om Liem bertengkar.

“Kita belum siap, Liem. Orang-orang sekitar juga belum siap. Cara kau mengumpulkan modal ini terlalu beresiko.” Suara Papa terdengar kencang.

“Justeru itu poinnya. Ketika orang-orang lain sibuk memikirkan bisa atau tidak, terbiasa atau tidak, kita sudah berlari kencang. Aku tidak akan menghabiskan hidup hanya berdagang tepung terigu. Kita tidak akan jadi pengusaha besar disegani banyak orang dengan berjualan terigu.” Om Liem balas berseru.

Malam itu rapat keluarga, Opa, Mama, dan Tante Liem ikut bicara.

Opa yang sejak tadi mendengarkan, meletakkan klarinet, akhirnya berkata, “Cukup, Edward. Dewa bumi memberikan rezeki berkelimpahan utk keluarga kita. Saat terkatung-katung di kapal bocor empat puluh tahun silam, aku tidak pernah membayangkan akan memiliki keluarga sebaik ini.”

Mama dan Tante Liem juga sependapat, “Opa benar. Kita tidak perlu memaksakan diri.”

Empat lawan satu, keputusan diambil.

Om Liem tetap memulai cara baru, meski empat suara jelas-jelas menentangnya.

Aku tidak tahu benar apa nama cara baru itu. Koperasi bukan, bank bukan, simpan-pinjam jauh, hutang-piutang apalagi. Tapi soal ide bisnis canggih, Om Liem nomor satu. Tahun 80-an, saat bank masih hitungan jari, saat akses modal terbatas, Om memasang papan besar bertuliskan: ‘Arisan Berantai Liem-Edward’ di depan gerbang rumah kami.

“Penjelasannya mudah saja.” Begitu Om Liem setiap kali memulai pertemuan di ruang tamu. Hari itu, hari pertama, hanya tiga kolega bisnisnya yang datang, bersedia mendengarkan gagasannya. “Kami butuh modal untuk menggelindingkan bisnis yang lebih besar. Kami akan memulai berdagang gandum, jagung, obat-obatan, semen, lempeng logam, keramik, sabun, semua kebutuhan. Orde lama sudah mati, orde baru tumbuh megah. Negeri ini sedang berlari. Pemerintah punya uang banyak dari minyak, dan mereka butuh barang-barang, apa saja untuk menghabiskan uang banyak itu. Kami akan membeli kapal-kapal, membangun relasi dengan penguasa, petugas, militer yang lebih tinggi, juga mengajak berkongsi dengan kalian. Kami butuh uang. Kalian berikan 100 perak hari ini, maka setahun kemudian akan kami gandakan jadi 150. Kami juga akan membayar bunga uang arisan dari kalian setiap bulan.”

“Bukan hanya itu. Setiap kali kalian berhasil mengajak orang lain bergabung, maka kalian akan mendapatkan bonus tambahan. Semakin banyak rantai yang terlibat dalam arisan ini, maka semakin besar bonus kalian.” Maka, dengan iming-iming uang tumbuh itu, bonus untuk mengajak orang lain, hari berikutnya, belasan orang-orang datang mendengarkan Om Liem.

Sebulan kemudian, bahkan banyak yang tidak aku kenali lagi. Ruang tamu keluarga kami kehabisan kursi. Dan setahun berlalu, sudah hampir empat ratus anggota arisan itu. Membawa uang mulai dari receh saja sampai menyerahkan seluruh tabungan mereka. Mulai dari masyarakat biasa, tetangga kiri-kanan, hingga pejabat dan pengusaha dari luar kota.

Cara baru Om Liem berhasil, dan bisnis perdagangan keluarga melesat cepat. Sampai Papa Edward dan Opa lupa pernah menentangnya. Dua gudang baru dibeli di dekat pelabuhan. Tiga kapal besar melego jangkar setiap minggu. Dan hilir-mudik truk besar. Perhitungan Om Liem tepat, bisnis kami tumbuh, ada banyak orang kaya baru di negeri ini yang hendak membangun rumah-rumah besar, memenuhi rumah-rumah mereka, belanja apa saja.

Waktu itu, umurku enam tahun. Opa masih asyik ber paat-peet-poot di beranda rumah, belajar klarinet. Papa Edward dan Om Liem sibuk dengan bisnisnya. Mama dan Tante Liem sibuk mengurus keluarga. Ketika konspirasi besar, tamak dan bengis itu datang menghancurkan keluarga kami.



***bersambung

tezar
11-04-2011, 03:13 PM
*******-******* Berkelas - episode 9
by Darwis Tere-Liye Penuh on Saturday, April 2, 2011 at 6:03pm

“Hallo, Thomas.” Salah-satu wartawan senior halaman ekonomi suratkabar harian dengan oplah paling tinggi di Indonesia berdiri, menyambutku, diikuti oleh beberapa wartawan lain.

“Maaf terlambat dari jadwal.” Aku menyapa peserta pertemuan di ruang private salah-satu restoran elit kota Jakarta, menarik kursi kosong, bergabung. Sabtu, pukul 09.05. Sisa waktuku tinggal 46 jam, 45 menit hingga hari Senin pukul 08.00.

“Hanya terlambat lima menit, Thom.” Dia tertawa, “Asal yang dijanjikan staf kau lewat telepon benar, ada rilis berita besar, menunggu lima jam kami tidak keberatan.”

Aku balas tertawa, terkendali.

“Astaga, Thom, kau kusut sekali, kau jangan-jangan tidak mandi sejak pulang dari London kemarin sore?” Wartawan televisi nasional gantian menepuk pundakku.

“Boleh jadi. Dia jelas masih memakai kemeja saat di pesawat.”

Hei, aku mengenali suara itu. Julia, lihatlah, gadis dengan predikat wartawan terbaik salah-satu reviewn mingguan itu duduk di salah-satu meja. Terlihat cantik dengan kemeja cokelat.

Aku kali ini tertawa, lepas.

“Saat di pesawat?” Wartawan tabloid ekonomi lain ikut nimbrung percakapan, “Kau satu pesawat dengannya dari London, Julia?”

“Ya, dan itu perjalanan paling menyebalkan selama hidupku.”

Sembilan peserta pertemuan lain sepertinya tertarik dengan kalimat Julia, memasang wajah ingin tahu. Aku melambaikan tangan, masih tertawa kecil, “Come on, kalian kesini bukan untuk mendengar tentang itu bukan? Nantilah, kalau situasinya lebih baik, Julia akan berbaik hati menjelaskan bagaimana mungkin pengalaman pertamanya naik pesawat terbesar, menghabiskan sepiring kaviar, meminta apa saja yang ada dalam daftar menu pramugari, menjadi sebuah perjalanan yang menyebalkan. Sekarang aku akan memberi kalian kabar yang hebat, kalian wartawan, editor, media massa pertama yang mendengarnya. Kabar hebat yang sekaligus mengerikan.”

Peserta pertemuan kembali sempurna menatapku. Satu-dua mengeluarkan alat tulis atau perekam.

Aku tersenyum, menatap peserta pertemuan, Maggie sepertinya mengerjakan PR-nya dengan baik. Dia berhasil mengundang seluruh media massa besar dan berpengaruh. Bahkan bergabung tiga pengamat perbankan, keuangan dan ekonomi nasional yang tulisannya sering mempengaruhi opini publik.

Peserta pertemuan menungguku, gemas melihatku yang tersenyum.

“Otoritas bank sentral akan menutup Bank Semesta.” Aku akhirnya membuka mulut.

Gerakan tangan mereka terhenti.

“Astaga? Kau tidak sedang bergurau, Thom?” Salah satu kepala editor media online menepuk dahi, “Maksudku, walaupun kita sudah lama mendengar Bank Semesta masuk ruang gawat darurat bank sentral, berada dalam pengawasan ketat, kabar ini tetap mengejutkan.”

“Aku tidak bergurau, sumberku valid. Seratus persen yakin. Sama dengan seratus persen aku yakin kalau itu keputusan yang salah. Sama dengan seratus persen aku akan menjadi orang pertama yang menentangnya.” Kalimatku terdengar datar, dengan intonasi terjaga, “Dalam situasi kacau balau dunia, krisis subprime mortgage, institusi keuangan kolaps di mana-mana, menutup Bank Semesta, sama saja membawa mimpi buruk itu dengan pesawat VIP tercepat ke negeri ini. Satu saja bank atau lembaga keuangan kita ditutup, maka bagai barisan kartu remi, yang lain pasti menyusul roboh. Ini jelas bahaya dampak sistemik.”

Akulah orang pertamya yang menyebut dua kata ajaib itu: dampak sistemik. Dua kata yang akhirnya memenuhi langit-langit perdebatan negeri ini berbulan-bulan ke depan, bahkan dalam toilet gedung anggota dewan sekalipun.



***

tezar
11-04-2011, 03:14 PM
“Lehman Brothers rugi hingga 3,9 milyar dolar sebelum mengumumkan pailit 15 September, belum habis kabar mengejutkan itu dibahas di media massa, institusi keuangan Amerika lainnya menyusul. Merril Lynch tumbang, Citigroup, Fannie Mae & Freddie Mac mengalami kesulitan keuangan, bahkan AIG, group keuangan besar dan tua Amerika diujung vonis kematian jika tidak diselamatkan oleh pemerintah. Tidak terbayangkan kekacauan yang terjadi di belahan dunia sana, dan itu tidak berhenti di sektor keuangan. General Motors, Ford, Chrysler mendaftarkan kebangkrutan, puluhan ribu karyawan dirumahkan, tidak terhitung sektor real merumahkan karyawannya, krisis ini nyata, bukan sekadar angka-angka pengangguran, angka-angka pertumbuhan ekonomi nasional yang negatif.

“Kita sedang membicarakan sesuatu yang mengerikan, bahaya dampak sistemik. European Central Bank (ECB) mendefinisikannya sebagai, wide systematic shocks which by themselves adversely affect many institutions or markets at the same time. In this sense, systemic risk goes much beyond the vulnerability of single banks to runs in a fractional reserve system. Saya menyederhanakannya dengan definisi, satu kejadian yang sekali pukul membuat runtuh semua keseimbangan, bahkan bisa membuat hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional—”

“Maaf menyela,” Julia mengangkat tangan—ini sudah yang kedua kalinya dia menyela kalimatku sejak setengah jam lalu, “Semua yang kau sebutkan itu terjadi ribuan kilometer dari kita, fundamental dan situasi perekonomian kita jelas berbeda. Bagaimana mungkin—”

“Julia, aku tahu kau masih punya banyak energi untuk mendebatku sejak kejadian di pesawat,” Aku segera memotong kalimat Julia, “Kau lupa satu fakta kecil, Julia. Dua puluh empat jam lalu, kita masih di London, bukan? Pagi ini kita sedang menghabiskan segela kopi nikmat di Jakarta. Bahkan dunia ini telah terkoneksi secara fisik, Julia. Jarak bukan masalah. Apalagi dalam sistem keuangan dunia, uang yang kau tabungkan di Bank Semesta, anggap saja kau punya tabungan di sana, berputar hingga ke Lehman Brothers dan Merril Lynch. Uang yang dimiliki oleh investor kecil di Surabaya misalnya, berpilin hingga New York bahkan New Delhi. Sistem keuangan dunia lebih rumit bahkan dibanding jaringan internet.

“Dan bicara dampak mengerikan, peduli setan dengan fundamental ekonomi suatu negara. Kau tahu, dua hari setelah Lehman Brothers menyatakan bangkrut, 150 milyar dollar ditarik serentak dari pasar uang Amerika. Jumlah yang setara dengan seluruh hutang nasional kita. Kau tahu berapa total kehilangan aset pensiun Amerika, 1,3 trilliun dollar, itu belum termasuk aset simpanan dan investasi, aset retirement, totalnya nyaris 8,2 trilliun dollar. Kau tahu, selama 2007-2008, penduduk Amerika kehilangan seperempat kekayaan mereka, berapa jumlahnya? Ratusan trilliun dollar. Kita hidup dalam jaringan keuangan yang kait-mengkait, harusnya kau diajarkan soal itu di sekolah bisnis.”

Ruangan private restoran dipenuhi tawa kecil.

Wajah Julia berubah merah-masam, dia masih mengacungkan tangannya, “Tetapi Bank Semesta hanya bank menengah, kau juga tahu itu. Namanya tidak pernah masuk dalam daftar sepuluh besar bank. Menurut data yang kumiliki, jumlah uang yang mereka kelola tidak sampai 4 persen dari seluruh uang perbankan nasional.”

Aku menatap tajam Julia, “Baik. Aku berikan kau satu contoh kecil, Northen Rock Bank. Dari sisi aset, jumlah nasabah, kapitalisasi, NRB, sebenarnya bank swasta kecil di Inggris. Tapi apa yang terjadi? Saat mereka melaporkan kesulitan keuangan, dalam situasi krisis dunia, dengan cepat kejadian ini menjadi sorotan publik seluruh Inggris. Antrian panjang nasabah yang bergegas mengambil uangnya di bank ini menjadi tontonan buruk semua pemirsa televisi. Penduduk Inggris panik, untuk pertama kalinya dalam 140 tahun terakhir, perbankan Inggris kacau balau. Bank of England, bank sentral Inggris akhirnya menasionalisasi NRB, setelah berbagai pinjaman darurat tidak membantu, mereka juga terpaksa melakukan rekapitalisasi di banyak bank swasta lainnya untuk menghentikan kartu remi yang terus roboh tidak terkendali.

“Kita tidak membicarakan kecil atau besar, Julia. Bank yang terletak di pelosok dunia atau di tengah gegap gempita keuangan, sama saja. Kita membicarakan kepanikan, dampak sistemik dalam sistem perekonomian terbuka, membicarakan sektor yang sangat rentan terhadap berita buruk. Kalian wartawan ekonomi bukan? Coba lihat pasar Surat Utang Negara, SUN, kita, yield SUN naik tajam beberapa bulan terakhir, naik hampir 7 persen, padahal setiap kenaikan 1 persen itu berarti beban biaya bunga tambahan sebesar 1,4 triliun dalam APBN. CDS, credit default swap negara kita juga melonjak tinggi, itu berarti pasar dunia menilai country risk Indonesia tinggi. Belum lagi cadangan devisa turun dua digit persentase, rupiah menyentuh level 12.000, astaga, siapa bilang krisis dunia tidak mempengaruhi kita? Temporer? Kita bisa bertahan? Aku tidak yakin. Kita membutuhkan semua energi untuk segera keluar dari pengaruh buruk ini, atau kejadian tahun 1998 kembali terulang.”

“Saya setuju soal data-data itu.” Julia kembali menyela, dia jelas gadis yang tidak mudah menyerah, Julia menunjukkan ipad miliknya—yang pastilah berisi laporan mutakhir perekonomian nasional, “Hanya saja dalam kasus ini, Bank Semesta layak ditutup mereka memang melakukan banyak kejahatan keuangan. Mereka melanggar banyak regulasi—”

Aku melambaikan tangan, “Ayolah, kalimatku belum selesai, Julia. Tentu saja kau punya berita tentang Bank Semesta, rumor kejahatan pemilik bank itu. Tetapi bukankah kalian juga punya data tentang situasi terkini? Indeks saham kita menukik tajam sebulan terakhir, tinggal separuhnya, memangkas nilai pasar puluhan triliun rupiah. Pinjaman antar bank terhenti, kecemasan melanda investor besar hingga retail, dana pensiun dan perusahaan asuransi kehilangan banyak uang, dan jangan lupakan kemungkinan capital flight besar-besaran.

“Semua situasi buruk ini hanya butuh satu saja kabar buruk, satu saja, maka boom, semua meledak, rantai kerusakan telah dimulai. Bank Semesta bobrok, mungkin. Bank Semesta melakukan banyak kejahatan keuangan, boleh jadi. Tetapi menutup bank ini, sama saja dengan membuat kepanikan massal, dan ini jelas bukan sebuah rumor, kemungkinan atau sebuah boleh jadi. Kau mau bertanggung-jawab atas kemungkinan itu, Julia? Otak cemerlang dan analisis hebat kau mau bertanggung-jawab kalau ternyata bahaya dampak sistemik itu benar-benar terjadi? Rush gila-gilaan, belasan bank menengah lain bertumbangan, krisis 1998 terulang dengan skala goncangan lebih tinggi? Kalian, media massa, mau ikut bertanggung-jawab?”

Ruangan private restoran senyap sejenak. Beberapa wartawan menghela nafas.

Aku takjim menatap wajah mereka satu-persatu.

“Apakah keputusan penutupan Bank Semesta sudah efektif, Thom? Sudah keluar surat keputusan misalnya, mengingat belum ada rilis resmi dari bank sentral.” Shambazy, kepala editor media online bertanya, meletakkan alat tulisnya.

“Belum. Tetapi itu seratus persen akan terjadi jika tidak ada second opinion. Kau tahu sendiri, ada banyak pihak yang bersemangat melihat Bank Semesta ditutup—diluar penyidik kepolisian, kejaksaan atau otoritas bank sentral yang sudah tidak sabaran sejak mereka menangani kemungkinan fraud di bank ini setahun lalu. Saya hanya sumber informasi confidential. Saya juga hanya menyatakan pendapat profesional, kalian boleh setuju, boleh juga tidak. Di luar sana, boleh jadi lebih banyak pihak yang emosional dan menganggap bahaya dampak sistemik hanya ilusi. Tetapi jika kalian setuju, saatnya membentuk opini yang berbeda. Masih ada waktu, menjadi headline koran besok misalnya. Atau liputan khusus di televisi nanti sore. Atau sebuah kolom opini yang bernas dan membuka mata banyak orang. Atau artikel pendek di media online kau, Shambazy.

“Desas-desus ini sudah di tangan banyak pihak. Kalian bisa menggalinya lebih dalam pada pejabat bank sentral, menteri, pejabat tinggi, siapa saja. Dengan begitu, setidaknya kalian akan membantu menahan proses keputusan itu dibuat segera, setidaknya kalian memberikan pertimbangan lain, cover both side, sementara itu aku bisa melakukan negosiasi dengan pihak yang akan memutuskan.”

“Kau sudah punya angka-angka, Thom? Maksudku, jika pemerintah akhirnya harus menyelamatkan Bank Semesta, berapa jumlah uang talangan yang harus diberikan?” Wartawan lain bertanya.

Aku terdiam sejenak, menelan ludah, “Belum. Aku belum punya datanya. Tapi aku segera akan punya. Kita harus tahu petanya, bukan? Berapa biayanya. Sebagai catatan, pemerintah Amerika menalangai AIG hingga 150 milyar dollar, itu kecil saja dibandingkan jika seluruh sistem ambruk dan lebih banyak lagi yang harus ditalangi. Bank sentral eropa juga terpaksa membeli milyaran dollar aset bank bermasalah, tapi itu juga kecil dibandingkan kemungkinan buruknya. Kalian bisa mencari tahu lebih detail soal itu.”

Aku melirik pergelangan tangan, sudah pukul 10,15 menit—pertanyaan barusan membuatku teringat sesuatu, aku memerlukan banyak data sekarang.

“Nah, waktuku sudah habis, saya terpaksa pamit. Aku sudah ada janji lain.”

Peserta pertemuan bergumam, hendak bertanya.

“Maaf, aku sibuk sekali. Tidak ada sesi tanya-jawab seperti biasa.

“Tentu saja.” Salah-satu wartawan menyahut, tertawa kecil, “Kami tahu jadwal kau bahkan lebih sibuk dibanding Presiden, Thom.”

Aku ikut tertawa, “Terima kasih sudah datang dan mendengarkan. Maggie yang akan mengurus tagihan restoran. Selamat siang.” Aku melangkah cepat meninggalkan ruangan private restoran.



***

tezar
11-04-2011, 03:14 PM
Aku menuju kantor setelah pertemuan dengan editor dan wartawan media massa.

Maggie dengan wajah kesal, menunjuk tumpukan dokumen di atas meja.

“Kau sudah sortir yang penting atau tidak, bukan?”

“Belum sempat.” Maggie menjawab ringan, “Bukankah kau sendiri yang bilang, bahkan jika ada sopir taksi yang mengigau tentang Bank Semesta enam tahun terakhir, catat, kumpulkan.

Aku memasang wajah setengah tidak percaya, “Bukan itu maksudku, Mag. Kau tidak akan membiarkan waktuku terbuang percuma dengan membaca dokumen tidak penting, kan? Astaga, sudah berapa lama kau jadi stafku? Kalimatku tadi pagi itu tidak seharfiah maksudnya.”

Maggie nyengir.

“Kenapa kau malah tertawa?” Aku melotot.

“Tentu saja sudah aku sortir, Thom.” Maggie tertawa menyebalkan, menatap wajah marahku, “Senang saja melampiaskan bangun pagiku di hari libur ke orang lain.”

Aku hampir menimpuk Maggie dengan salah-satu binder kertas.

“Laporan paling akhir Bank Semesta dari staf Ram ada dalam tumpukan. Working paper audit sedang di-print, sebagian sudah ada fotokopinya. Aku masih menunggu beberapa dokumen penting lain. Nah, yang itu, kau tidak akan percaya, Thom, itu dokumen tentang pengambilalihan Bank Semesta oleh Om Liem enam tahun lalu. Kau pasti akan tertarik membacanya. Jangan tanya bagaimana aku memperolehnya.”

“Kau benar-benar staf yang hebat, Maggie.” Aku menyeringai menatapnya, “Sayangnya aku tidak punya adik laki-laki, boleh jadi sudah kujodohkan.”

“Urus saja perjodohan kau, Thom.” Maggie melambaikan tangan, kembali menatap layar laptopnya.

Aku tertawa, “Aku tidak akan lama di kantor, berapa lama lagi dokumen yang kau print siap?”

“Setengah jam.”

“Baik, aku akan mempelajari dokumen ini di ruanganku sambil menunggu. Dan ada beberapa lagi yang harus kau kerjakan.”

Maggie meraih pulpen dan kertas, bersiap mencatat.

“Kirimkan empat tiket konser minggu depan untuk Shambazy. Siapa nama artis yang mau konser itu? Anak-anak remaja Shambazy pasti suka. Kau juga kirimkan surat rekomendasi untuk wartawan televisi yang ikut pertemuan tadi, kalau tidak salah dia mendaftar short course, tidak akan ada sekolah bisnis yang menolak rekomendasiku. Juga untuk salah-satu pengamat ekonomi, kau berikan undangan forum ekonomi internasional di Bangkok bulan depan, bilang dia jauh lebih layak dibanding Thomas, kita akan membayar biaya perjalanannya. Juga kau hubungi kampus tempat pengamat ekonomi lainnya bekerja, kita akan menawarkan sponsor riset. Sudah kau catat? Dan kau cari tahu hadiah apa yang tepat untuk wartawan dan editor lain.”

“Siap, bos.” Maggie mengangguk.

Aku sudah mengangkat tumpukan dokumen, melangkah menuju ruanganku. Kalian tahu bagaimana cara terbaik menanamkan sebuah ide di kepala orang lain? Lakukan dengan cara berkelas.



***bersambung

tezar
11-04-2011, 03:16 PM
*******-******* Berkelas - episode 10
by Darwis Tere-Liye Penuh on Sunday, April 3, 2011 at 6:48pm

Aku baru saja membuka dokumen yang memuat daftar deposan terbesar Bank Semesta, melingkari begitu banyak data menarik saat telepon di meja kerjaku berbunyi.

“Ada yang ingin menemui kau, Thomas.” Itu suara Maggie.

“Siapa?” Aku tertegun sejenak, ini hari Sabtu. Aku tidak pernah bilang ke siapapun kalau masuk kantor hari ini—meski ada banyak penghuni gedung yang lembur di hari Sabtu.

“Mana aku tahu. Dia tidak bilang.” Maggie menjawab ketus.

“Bilang aku sibuk. Suruh dia datang kembali minggu depan, atau tahun depan.” Aku mencoba bergurau, sepertinya tugas menumpuk yang kuberikan pagi ini pada Maggie membuat mood buruknya kambuh.

“Itu dia, Thom. Percuma. Orangnya sudah menuju ke ruangan kau. Tadi aku berusaha mencegahnya, dia malah melotot galak. Nenek lampir.” Ternyata bukan tugasku yang membuat Maggie kesal.

Pintu ruanganku diketuk.

Aku meletakkan gagang telepon. Apakah hari ini orang mulai lupa sopan-santun bertamu? Baru semalam, Ram dan sopirnya merangsek ke kamar hotel, membangunkan dini hari buta. Sekarang ada lagi tamu yang, gumamanku lenyap, tamu itu bahkan sudah mendorong pintu ruangan.

“Kau bisa saja membohongi wartawan dan editor lain, Thom. Tetapi tidak padaku.” Gadis itu sudah memasuki ruangan, langkah kakinya sigap, menatapku tajam.

“Julia?” Aku menepuk dahi, “Apa yang sedang kau lakukan di kantorku?”

“Mereka boleh saja bodoh, tidak tahu siapa kau sebenarnya, Thom. Tetapi aku tidak, aku sekarang tahu siapa kau.” Julia berhenti persis di ujung meja, menyibak rambut panjangnya, ekspresif melemparkan satu bundel dokumen, “Seluruh resume tentang kau hanya menulis Thomas, bapak-ibunya meninggal sejak kecil, tidak diketahui siapa nama mereka. Thomas, dibesarkan oleh sekolah berasrama sejak usia enam tahun. Sisanya gelap. Thomas, murid paling cemerlang yang dimiliki sekolah, aktif dalam banyak kegiatan, menunjukkan minat yang besar terhadap ekonomi, politik dan psikologi manusia, melanjutkan ke universitas ternama, tapi tidak ada yang tahu riwayat keluarganya, Thomas yang bla-bla-bla.”

Aku masih menatap Julia, setengah bingung kenapa dia ke kantorku?

“Lantas bagaimana kalau kau kupanggil dengan ‘Tommi’, hah?” Julia bersidekap, tersenyum sinis, “Apakah panggilan itu bisa menjelaskan banyak hal? Tommi, cucu laki-laki satunya dari keluarga Liem-Edward. Tommi, keponakan langsung dari Om Liem. Namamu memang tidak ada di mana-mana dalam group besar itu, juga dalam daftar pemegang saham Bank Semesta, tapi jelas kau adalah related party, kesaksian, pendapat profesional, dan sebagainya, menjadi sampah bila itu datang dari pihak terafiliasi. Tidakkah kau diajari soal itu di sekolah bisnis, Tommi?”

Aku menelan ludah, menatap wajah cantik Julia yang seperti habis memenangkan undian berhadiah sebuah pulau pesiar, “Darimana kau tahu?”

“Anggap saja wartawan dengan predikat terbaik ini, sejak turun dari pesawat besar itu, telah mengerjakan PR-nya dengan baik, Tommi. Memasukkan nama kau di mesin pencari internet, percuma, tidak ada sejarah hidup kau. Membongkar seluruh berita-berita lama di pusat dokumentasi kami juga sia-sia, catatan masa kecil kau seolah biasa-biasa saja, sama dengan ribuan lulusan terbaik sekolah bisnis lainnya. Tapi aku bisa memperolehnya, belum pernah aku seantusias ini mengobrak-abrik informasi yang ada, termasuk mengancam pembantu di rumah Om Liem misalnya.”

Aku mengusap dahi, terdiam sejenak, mulai mengerti situasinya, lantas tertawa kecil, “Astaga, Julia. Aku baru tahu kalau sejak dari pesawat itu kau begitu menyukaiku.”

Wajah jumawa Julia terlipat, “Maksud kau?”

“Lihatlah, hanya orang yang begitu menyukaiku yang amat penasaran dengan masa laluku, bukan? Jangan-jangan kau menyukaiku sejak pandangan pertama. Kabar buruk bagi kau, aku tidak pernah percaya cinta pada pandangan pertama.”

“Tutup mulut kau, Tommi.” Julia melotot, berseru kesal.

Aku tertawa lagi, “Aku benar, kau semakin cantik jika sedang marah.”

Julia hampir saja melepas sepatunya, melemparkannya padaku, tapi sedetik dia menarik nafas panjang, berusaha mengendalikan diri, lantas bergaya menarik kursi, duduk di depanku.

“Edisi breaking news kami terbit besok siang, Thom.” Dia menatapku datar, seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya, melupakan marahnya barusan, “Deadline tulisan wawancara itu sore ini. Tetapi aku bisa saja meminta pemimpin redaksi menunggu naskahku hingga detik terakhir sebelum naik cetak tengah malam nanti. Bahkan naskah liputanku tidak perlu masuk ke tangan editor. Bahkan aku bisa meminta perubahan headline dan cover depan. Tidak ada lagi hasil interview kau di pesawat, wajah tampan kau di cover depan. Tidak ada lagi berita tentang krisis dunia, melainkan digantikan dengan liputan yang lebih panas dan aktual.”

Julia diam sejenak, masih menatapku.

“Aku tidak akan main-main lagi, Thom. Kau tahu, sebelum menemui kau di restoran tadi pagi, aku sudah mencari tahu di mana Om Liem. Dia raib. Pihak polisi menolak menjelaskan, mungkin karena mereka malu, sedang berusaha mati-matian memperbaiki kerusakan sebelum masyarakat luas tahu, berusaha sekuat tenaga menutup-nutupi sebelum hari Senin pengumuman tentang penutupan Bank Semesta dilakukan. Tetapi dari salah-satu petugas yang kusumpal dengan uang, aku tahu mereka mengepung rumah Om Liem semalam, dan taipan tua, paman kau itu, kabur seperti orang yang permisi numpang ke toilet. Kau ada di sana tadi malam, bahkan boleh jadi kau lah yang membantu Om Liem kabur. Ini serius, Thom, aku wartawan profesional, aku tidak sakit hati kau olok-olok di atas pesawat itu, tapi jika kau tidak mau bicara terus terang apa yang sedang terjadi, edisi breaking news review kami besok akan berisi wajah Om Liem, buronan dan liputan tentang bobroknya Bank Semesta.

“Wartawan dan editor lain mungkin mengunyah mentah-mentah ceramah kau tadi pagi, tapi aku sama sekali tidak tertarik. Pendapat kau boleh jadi benar, dampak sistemik bisa jadi bukan ilusi, dan bahaya besar sedang mengancam institusi keuangan, bahkan ekonomi nasional, tapi kau tidak dalam posisi pihak independen yang berhak memberikan pendapat. Kau berkepentingan. Jadi sekali lagi, Thom, bicara terus terang padaku, atau media kami akan lebih sibuk membahas tentang bobroknya Bank Semesta, dengan kesimpulan tutup saja segera bank itu, tangkap secepatnya Om Liem dimanapun dia berada, termasuk orang yang membantunya lari tadi malam.”

Julia bahkan tidak menarik nafas untuk menuntaskan kalimat ancamannya.

Aku (yang) menghela nafas pendek. Sebagai pemain yang baik dalam setiap permainan, aku tahu persis situasiku terdesak. Julia menunggu, dan mata hitamnya tidak berkedip sekalipun.

Suara dering telepon di meja kerjaku memecahkan senyap.

“Ada apa lagi, Mag?”

“Situasi darurat, Thom. Security lobi baru saja meneleponku, bilang ada beberapa polisi berpakaian sipil menanyakan lantai dan ruangan kerja kau. Mereka sudah naik lift.”

Polisi? Aku sudah melempar gagang telepon, bergegas menumpuk dokumen yang sedang kubaca, memasukkannya dalam box kecil yang sudah disiapkan Maggie.

“Apa yang terjadi?” Julia berdiri, sedikit bingung.

Mereka ternyata cukup tangguh. Aku tidak menjawab pertanyaan Julia. Aku tahu cepat atau lambat polisi akan mencariku. Selain alamat rumah—yang jarang kutinggali, kantor adalah cara terbaik menemukanku. Tanganku cekatan mengangkat box dokumen.

“Apa yang terjadi, Thom.” Julia berseru sebal didiamkan.

“Aku harus lari, Julia.” Hanya itu jawabanku, bergegas keluar ruangan.

Maggie menyerahkan dokumen tersisa, menumpuknya di atas box.

“Kau akan bilang ke mereka, aku tidak masuk kantor hari ini, tidak tahu-menahu, tidak mengerti.”

Maggie mengangguk, wajahnya tegang.

“Jika mereka terus mendesak, kau telepon pengacara kantor, minta ditemani dalam interogasi.”

Maggie mengangguk, wajahnya berubah pias.

“Tetap berhubungan denganku Mag, kau punya nomor telepon genggamku yang tidak diketahui orang lain. Aku akan terus meminta bantuan dari kau. Paham?”

Maggie mengangguk, berpegangan dengan partisi ruangan, berusaha menenangkan diri. Situasinya dengan cepat berubah menegangkan.

Aku tidak sempat memperhatikan wajah pucat Maggie, aku sudah melangkah keluar dari kantor, berlari-lari kecil di sepanjang lorong menuju lift.

“Thom, apa yang terjadi?” Julia kesal menyusul, berusaha menahan lariku.

Aku hendak menyuruhnya menyingkir, tapi teriakanku tersumbat, segera balik kanan, dengan cepat menyelinap masuk kantor orang lain. Empat polisi berpakaian sipil persis keluar dari lift, melangkah di lorong, mereka pasti bergegas menuju kantorku.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Resepsionis kantor tempatku menyelinap bertanya, tersenyum.

Aku tidak mendengarkan, menatap empat polisi yang melintas di depanku, hanya dibatasi oleh dinding kaca transparan. Sekali saja mereka menoleh, mereka akan melihatku yang sedang berdiri membawa box dokumen.

“Mau bertemu dengan siapa, Pak?”

Aku sudah meninggalkan resepsionis—yang sekarang menatapku bingung. Kembali ke lorong gedung menuju lift. Tidak bisa. Dua polisi berpakaian sipil menjaga pintu lift. Mereka sepertinya belajar banyak dari kejadian tadi malam, tidak meninggalkan celah untukku kabur. Juga di tangga darurat, dua polisi menjaga pintunya. Aku mendesah pelan, kembali menyelinap ke kantor orang, bersembunyi sebentar.

“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?” Resepsionis kembali bertanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Thom?” Julia juga terus bertanya.

Aku menatap wajah ingin tahu Julia, “Kau mau tahu banyak hal, Julia?”

Gadis itu balas menatapku, bingung, tapi dia mengangguk.

“Kau bantu aku keluar dari gedung ini, maka akan kuceritakan semuanya pada kau. Ekslusif. Kau bahkan bisa mendapatkan promosi dari cerita ini.”

Julia berhitung dengan situasi, “Semuanya?”

“Ya, semuanya.”

“Tidak ada yang ditutup-tutupi?”

tezar
11-04-2011, 03:17 PM
“Ayolah Julia. Aku boleh jadi tipikal orang yang tidak kau sukai, menyebalkan. Tapi aku selalu memegang janjiku. Kau akan mendengar semuanya. Terserah kau mau menulis apa setelah itu, dunia ini jelas tidak hitam-putih.” Aku berseru jengkel.

Julia mengangguk. Berpikir cepat, lantas melangkah keluar.

“Mau bertemu dengan siapa, Pak?” Sepertinya resepsionis kantor tempatku menyelinap terlalu banyak menerima pelatihan keramah-tamahan, lagi-lagi dia bertanya dengan wajah penuh senyuman. Tidak merasa aneh melihat kami yang keluar masuk kantornya sejak tadi.

Dan sebelum dia sempat bertanya lagi, mendadak suara alarm meraung kencang, membuat senyumnya terlipat. Kencang sekali. Membahana di langit-langit setiap lantai gedung.

Aku mendongak, bertanya-tanya.

Julia kembali masuk, tersenyum jahat, “Aku baru saja memukul alarm kebakaran gedung, Thom.”

Aku menelan ludah.

Ruangan depan kantor tempatku menyelinap dalam hitungan detik sudah dipenuhi orang-orang yang berlari keluar, berebut—termasuk resepsionis amat ramah itu. Hilang sudah senyum manisnya, dia justeru berteriak paling panik, “Kebakaran! Kebakaran!”

“Bergegas, Thom. Kita bisa kabur dari polisi dalam situasi seperti ini.” Julia sudah mengambil sebagian dokumen dalam box, berlari dalam keramaian menuju tangga darurat.

Jenius. Aku akhirnya menghembuskan nafas, mengangguk.

Sepertinya aku telah menemukan teman setara dalam pelarian ini.



***

Meski hari Sabtu, tetap banyak karyawan yang masuk kantor di gedung dua puluh empat lantai itu. Lobi, parkiran, lorong, tangga darurat, segera dipenuhi orang-orang. Dalam situasi seperti ini, tidak mudah mengenali siapa. Aku melewati dua polisi berpakaian sipil yang bingung melihat gelombang orang berlarian, mereka terpaksa menyingkir. Di lobi ada beberapa polisi lainnya yang berjaga, celingukan, memeriksa, tapi mereka tidak bisa melakukan apapun, selain justeru mengikuti komando evakuasi dari petugas security gedung.

Julia memimpin jalan—aku mendengus dalam hati untuk dua hal. Satu, untuk jelas-jelas aku lebih tahu arah jalan dan tempat parkir mobilku dibanding dia, karena ini gedung perkantoranku, dua, untuk sial, saat berdesak-desakan turun tadi, dengan box penuh dokumen aku terjerambab. Kakiku terkilir. Tidak serius, tapi cukup menghambat kecepatan, membuatku terpincang-pincang menerobos kerumunan.

“Mana mobil kau?” Julia berseru, meningkahi keributan orang yang menonton, orang-orang yang sibuk mendongak, bertanya-tanya di lantai berapa kebakaran terjadi. Suara raungan alarm terdengar hingga jalan, ditingkahi suara sirene mobil pemadam kebakaran milik komplek perkantoran.

Aku menunjuk area parkiran, meraih kunci di saku, sambil satu tangan mengepit box. Mengeluh, dengan tumit kaki yang masih terasa nyilu, aku tidak bisa mengemudi.

“Kau bisa mengemudi?” Aku berseru.

“Tentu saja bisa.” Julia menjawab kasar, tersinggung.

“Eh, maksudku kau bisa mengemudi mobil ini.”

Wajah marahnya segera terlipat, dia mematung sejenak.

Aku sudah melemparkan kunci.

Julia bergumam entahlah, menyeka pelipis, lantas membuka pintu mobil. Aku melemparkan box sembarangan, dokumennya berserakan, ikut masuk, menghempaskan punggung di jok berlapis kulit asli.

Lima belas detik berlalu, kami sudah meninggalkan keributan halaman gedung. Berpapasan dengan mobil pemadam kebakaran lain dengan sirene meraung, baru datang dari gardu pemadam terdekat.

Aku melepas sepatu, meluruskan kaki, berusaha memberikan nafas ke tumitku yang terkilir. Julia menekan pedal gas lebih dalam, meski dia sedikit gugup dengan interior mobil, termasuk sedikit pias dengan betapa bertenaganya mobil yang dia kemudikan—mobil seperti terbanting saat digas, gadis di sebelahku itu cepat menyesuaikan diri. Aku belum bisa menghela nafas lega. Setelah keributan pulih, petugas tahu alarm itu palsu, Maggie tidak akan bisa menahan lama polisi.

Telepon genggamku berdering.

“Kau dimana, Thom?” Suara Ram.

“Aku sedang kabur, dimana lagi?” Aku balas berteriak.

Ram tertawa prihatin, “Maaf, Thom. Aku persis di parkiran gedung kantor kau, hendak memastikan apakah dokumen Bank Semesta yang kukirim sudah diterima staf kau. Astaga, ramai sekali di sini. Kupikir ada kejadian apalah. Om Liem bersama kau, Thom?”

“Om Liem di rumah peristirahatan Opa, Waduk Jatiluhur. Dia aman di sana.”

Ram bergumam sesuatu, syukurlah, atau thank god, aku tidak mendengar jelas kalimatnya.

“Kau sudah terima dokumennya?”

“Sudah, Ram.”

“Sudah kau baca?”

“Astaga, kau dengar, Ram, sekarang bukan waktunya untuk bercakap-cakap. Hubungi aku kalau ada kabar penting saja.” Aku segera mematikan telepon genggam. Menghela nafas panjang, kupikir tadi telepon dari siapa lagi, atau kejutan baru lagi.

“Ini hebat, Thom.” Julia berseru dari belakang kemudi.

Aku menoleh.

Gadis itu seperti lupa kalau dia barusaja mengancamku di ruangan kerja, atau baru saja lari dari polisi yang hendak menangkapku, sekarang wajahnya antusias, tangannya kokoh memegang kemudi.

“Mobil ini ada asuransinya, kan?” Julia balas menoleh, nyengir, “Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak ngebut, Thom. Kalau sampai menabrak sesuatu, aku tidak bisa menggantinya.”

Aku balas nyengir. Mobil melesat menyalip tiga kendaraan sekaligus di jalan protokol Jakarta. Julia tidak bohong, dia pandai mengemudi.

“Sayangnya mobil hebat kau ini tidak ada GPS-nya, Thom. Apa susahnya kau membeli sistem navigasi yang hebat, jadi kita bisa tahu jalan mana saja yang harus ditempuh, tahu jalan mana saja yang macet. Apa gunanya mobil sehebat ini kalau kau tidak bisa ngebut?”

“GPS?” Aku bertanya, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah telah kulakukan.

“Iya, GPS, Thom. Global positioning system, sistem navigasi sekaligus alat tracking. Kau sepertinya bukan anak muda yang suka gadget, Thom.”

Aku mengutuk Julia dalam hati, tentu saja aku tahu apa itu GPS. Pertanyaanku retoris, karena aku sedang mengingat kekeliruaan apa yang telah kulakukan selama kabur semalam.

“Ada dua jenisnya, Thom. GPS untuk navigasi atau tracking. Hari ini, jangankan mobil mahal, truk untuk operasional tambang, truk peti kemas, mobil box kurir, bus, ambulans, bahkan taksi semua dilengkapi GPS. Setidaknya GPS tracking untuk mengetahui posisi mereka di mana, demi efisiensi dan alasan keamanan armada, Thom.” Julia sebaliknya terus menjelaskan, menganggap seringai burukku tanda tidak mengerti.

Aku benar-benar mematung.

“Kemana tujuan kita, Thom?” Julia bertanya, antusias menyalip lagi deretan mobil, dia bahkan berani mengambil marka jalan sebelah kiri, membuat pejalan kaki berteriak mengacungkan tinju.

Astaga, aku sungguh telah melakukan kesalahan besar. Apa kata Julia barusan? Ambulans? Aku tahu GPS tracking. Benda kecil berbentuk chip itu dibenamkan di jendela, pintu atau bagian tertentu mobil, lantas memancarkan sinyal secara kontinu untuk memberitahu posisi mobil. Satelit menangkap data itu, sehingga pemilik mobil, bisa dengan cepat membaca di mana saja armada kendaraan yang mereka miliki berkeliaran di jalan. Aku menepuk dahi. Rumah sakit yang mengirimkan ambulans untuk Om Liem tadi malam pastilah memiliki mekanisme ini. Ambulans.

“Kita sekarang kemana, Thom?” Julia bertanya lagi.

“Tol, masuk pintu tol keluar kota.” Aku mendesis. Suaraku bergetar oleh kecemasan.

Sekali saja polisi mendatangi rumah sakit, sekali saja mereka meminta data posisi ambulans milik mereka yang dilarikan semalam, dengan segera mereka tahu posisi Om Liem.

“Ngebut, Julia!” Aku menyuruh.

“Kau serius?” Julia tertawa.

“Aku lebih dari serius, Julia! Ngebut sebisa kau, jangan pedulikan banyak hal, mobil ini dilindungi asuransi berkali-kali lipat nilainya.”

Julia mengangguk mantap, rahangnya mengeras, dia menekan pedal gas lebih dalam. Seperti peluru yang ditembakkan, mobil yang dikemudikan Julia melesat menaiki fly over, langsung menuju pintu tol.



***bersambung

tezar
12-04-2011, 10:59 AM
*******-******* Berkelas - episode 11
by Darwis Tere-Liye Penuh on Monday, April 4, 2011 at 6:54pm

Julia membanting stir ke kiri, menginjak rem sekuat yang dia bisa, mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi segera terbanting, berdecit panjang—membuat nyilu kuping, roda membuat bekas panjang di jalur darurat tol, hingga akhirnya berhenti sebelum terlempar keluar jalan. Beberapa mobil di belakang yang kaget dengan aksi Julia menekan klakson panjang, mengumpat dari balik jendela.

“Kau gila! Apa yang kau lakukan?” Aku ikut mengumpat.

“Kau yang gila, Thom.” Julia balas berseru, nafasnya tersengal.

Kami baru saja belasan kilometer meninggalkan Jakarta. Masih enam puluh kilo lagi sebelum Waduk Jatiluhur. Sejak dari pintu tol, Julia bertanya, kemana persisnya tujuan kita? Mendesak. Sementara aku berusaha menelepon Maggie, memastikan dia baik-baik saja atau tidak. Kesal karena dia terus bertanya, aku menjawab apa-adanya.

“Aku tidak mau mengantar kau ke tempat persembunyian Om Liem.” Julia dengan nafas tersengal, turun dari mobil, membanting pintu, berjalan ke rerumputan pinggir tol.

“Astaga, Julia, kau pikir kita akan kemana, hah? Pergi ke restoran, lobi hotel, mencari tempat yang cozy untuk interview? Kau bertanya apa yang terjadi, Thom? Lantas aku menjawab, baiklah, Julia, kau dengarkan baik-baik. Begitu, hah?” Aku ikut turun, melangkah pincang mendekatinya.

Tol luar kota ramai-lengang. Satu-dua mobil lewat tidak terlalu memedulikan kami. Hanya mogok biasa—demikian sudut mata penumpang melintas menyimpulkan. Satu-dua malah bergumam, mobil keren-keren ternyata mogok juga.

“Aku tidak mau mengantar kau.” Julia menggeleng.

“Kau harus mengantarku!” Aku berteriak kesal, menunjuk kakiku yang masih pincang.

“Ini berlebihan. Aku tidak mau terlibat melarikan buronan kelas kakap.”

“Kau sudah terlibat, Julia. Persis saat kau penuh dengan rasa penasaran mengaduk-aduk masa laluku. Dan jelas kau sudah menyetir mobil sejauh ini. Kau sudah terlibat. Lagipula bukankah kau sudah bisa menduga sejak awal, aku yang melarikan Om Liem semalam. Mau atau terpaksa, dengan memecahkan alarm kebakaran gedung, kau sudah memutuskan terlibat.”

Julia membungkuk, mendengus, dia masih berusaha mengendalikan diri.

“Ayolah, Julia. Ini tidak buruk. Hei, bukankah wartawan perang bertaruh dengan resiko tertembak saat menyiarkan langsung dari lapangan. Nah, anggap saja kau juga punya resiko disangka terlibat. Lagipula kau bisa mengarang banyak argumen, aku memaksa, kau dibawah ancaman. Sebagai gantinya, aku akan menceritakan semuanya. Kau akan tahu banyak hal.”

Julia berdiri, menarik nafas panjang.

Satu mobil yang melintas melambat, menekan klakson. Aku melambaikan tangan, mengacungkan jempol, semua oke, tidak perlu dibantu. Mobil itu melaju lagi. Sekarang hampir pukul dua belas, meski matahari terik membakar ubun-ubun, bukit hijau menghampar sejauh mata memandang, membuat sejuk suasana. Rerumputan pinggir jalan tol terpangkas rapi, aromanya menyegarkan.

“Aku tidak mau terlibat, Thom.” Julia menggeleng.

“Astaga, kau harus mengantarku. Aku tidak bisa mengemudi dengan kaki pincang.”

Julia menggeleng untuk kesekian kali.

“Baiklah, jika ini yang ingin kau ketahui. Aku tidak akan menutupinya.” Aku meremas rambut, setengah sebal menatapanya, “Om Liem melanggar banyak regulasi, itu benar. Dia ambisius, memanfaatkan banyak koneksi untuk memuluskan bisnisnya, dan begitu banyak kejahatan lainnya, itu benar. Dia jelas *******. Tapi aku baru semalam menyadari kalau ada yang keliru dengan rencana penutupan Bank Semesta. Ada ******* yang lebih jahat lagi di luar sana. Om Liem sudah berjanji akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak akan mengunyah satu perak pun uang mereka. Tapi aku butuh waktu untuk menghukum orang-orang dibalik semua ini. Berikan aku waktu dua hari. Aku punya rencana, kami tidak akan tertangkap. Kau hanya perlu bersabar, membantuku, maka dua hari berlalu, kau akan mendengar seluruh cerita, penjelasan. Bahkan boleh jadi kau bisa merangkaikan sendiri banyak hal tanpa perlu kuceritakan lagi. Percayalah. Setidaknya percayalah dengan Thomas, janji seorang petarung.”

Aku memegang lengan Julia.

“Nah, kau bersedia mengantarku segera ke Waduk Jatiluhur? Waktu kita terbatas, aku khawatir mereka lebih dulu tiba, dan semuanya menjadi berantakan.”

Julia masih menatapku ragu-ragu—bahkan antusiasme mengemudi mobil balap barusan hilang hanya karena kalimat pendekku menjawab pertanyaannya, “Kita ke tempat persembunyian Om Liem.”

Aku menghela nafas, “Baiklah, akan kuceritakan kau sepotong kejadian masa lalu. Kau dengarkan baik-baik. Setelah ini, terserah kau mau membantuku atau tidak. Tapi jika kau memutuskan membantu, ini terakhir kali aku bercerita hingga hari Senin. Setelah ini, jangan banyak bertanya lagi. Kau paham, Julia?”

Gadis itu tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Hanya bersiap mendengarkan.



***

tezar
12-04-2011, 11:00 AM
Dua puluh tahun lebih, di masa silam.

BRAK! Suara keributan di halaman rumah terdengar.

“KAPAN, KOH? KAPAN? SUDAH ENAM BULAN!” Terdengar teriakan marah.

“Iya, kapan? Kalau begini terus, kami lebih baik mengambil semua uang kami.” Seruan-seruan lain menimpali, tidak kalah galak.

Suara Papa yang berusaha menjelaskan. Dipotong lagi. Teriakan-teriakan marah. Mereka memukul-mukul meja-kursi, mulai tidak terkendali.

Aku takut-takut melangkah ke depan. Opa mengikuti di belakangku. Menelan ludah melihat halaman rumah, cepat sekali, ternyata sudah ada puluhan orang berkumpul. Dua kali lebih banyak dibanding setengah jam lalu.

“Bapak-bapak, Liem saat ini ada di pelabuhan. Dia sebentar lagi akan membawa kabar baik. Bunga uang arisan bapak-bapak akan segera kami bayarkan. Juga buat yang ingin sekalian mengambil pokoknya. Akan kami bayarkan semuanya.” Papa berusaha meningkahi seruan marah.

“Kami ingin kepastian sekarang, Koh. Bukan janji-janji lagi. SEKARANG!!”

“IYA!! Muak kami mendengar janji-janji.”

Aku menelan ludah, mengintip dari balik tirai jendela.

Enam bulan lalu, setelah hampir dua tahun bisnis keluarga kami melesat cepat, untuk pertama kalinya, sepulang dari gudang, wajah Om Liem terlipat. Dari sama-samar percakapannya dengan Papa dan Opa, aku tahu, salah-satu kapal kami tertahan di pelabuhan. Petugas bea-cukai menuduh muatan itu ilegal, dan hendak menyitanya. Om Liem berhari-hari mengurusnya, bilang dia mengeluarkan uang besar sekali untuk meloloskan muatan, “Padahal semua dokumen sudah lengkap.” Om Liem mengusap peluh di dahi. “Kau mungkin melupakan beberapa pejabat?” Opa bertanya pelan, mendongak menatap langit-langit. “Tidak, semua pihak sudah mendapatkan bagiannya. Tidak ada yang tertinggal.” Om Liem menggeleng. Mama dan Tante Liem datang menghidangkan ginseng hangat, menghela nafas prihatin.

Dan hanya soal waktu, berbagai masalah datang beruntun. Kapal-kapal itu entah apa pasal, mendadak rusak di perjalanan, pengiriman tertunda berbulan-bulan; ditemukan barang selundupan (kali ini petugas bea cukai meminta uang sogok yang besar sekali), pencurian kargo di pelabuhan (petugas kejaksaan justeru menuduh kami yang mengada-ada), hingga puncaknya, salah-satu kapal kebanggaan keluarga tenggelam (menurut kapten kapal, kejadiannya cepat sekali, kapal tiba-tiba sudah miring).

Tidak terbilang kerugian. Belum lagi uang yang dihabiskan untuk menyumpal petugas, jaksa penuntut terkait kasus-kasus baru yang muncul susul-menyusul. Sengketa lahan gudang (entah kenapa tiba-tiba ada akta tanah kembar), penjelasan atas sekarung benda haram (ganja) di gudang kami. Semua kejadian sial itu membuat bisnis keluarga tersumbat. Maka hanya soal waktu, pembayaran bunga dan bonus untuk peserta arisan tersendat, kerugian menggerogoti modal. Enam bulan berlalu, anggota arisan mulai tidak sabaran, menuntut uang mereka dikembalikan.

“Bapak-bapak, salah-satu kapal kami akan segera merapat di pelabuhan. Liem sedang mengurusnya. Jika barang-barang itu tiba, maka kami bisa segera mendapatkan uang. Harap bersabar.”

“BERSABAR SAMPAI KAPAN, KOH?”

“Setidaknya sampai siang ini. Kami mohon pengertiannya.”

“KENAPA KOKOH TIDAK MENJUAL GUDANG-GUDANG ATAU RUMAH INI SAJA UNTUK MEMBAYAR UANG KAMI?” Seseorang berseru, segera ditimpali teriakan setuju yang lain.

Papa menggelengkan kepala, wajahnya terlihat tegang. Orang-orang yang berkumpul di depan rumah sudah ratusan. Dan semakin lama, semakin terlihat bengis. Bukan hanya anggota arisan yang datang, kabar kesulitan membayar bunga arisan membuat orang-orang lain berkumpul ingin tahu. Juga terlihat sekelompok wajah-wajah garang, aku mengenalinya, mereka preman. Ribut menurunkan papan nama “Arisan Keluarga Edward-Liem”. Berteriak-teriak memanasi situasi.

Apa pula urusan mereka? Bukankah beberapa hari lalu Paman Edward juga bilang, “Sebenarnya hanya segelintir dari anggota arisan yang memaksa uang mereka dikembalikan. Yang lain masih bisa bersabar. Percaya kita bisa mengatasi masa-masa sulit ini.”

Aku menghela nafas lega, lima belas menit kemudian datang dua truk polisi. Mereka bersenjata lengkap. Sigap loncat dari truk. Langsung memblokade depan rumah. Aku tahu komandan pasukannya, Letnan Satu Susdi, dia sering diundang dalam acara pesta-pesta Papa.

“Selamat pagi, Koh.” Letnan polisi itu menyapa Papa. Dia datang ditemani salah-satu pejabat muda kejaksaan kota kami, aku juga kenal, namanya Tonga, juga kolega dekat Papa dan Om Liem. “Situasinya sepertinya memburuk, Koh?” Tonga tersenyum.

Papa mengangguk, menghembuskan nafas panjang.

tezar
12-04-2011, 11:01 AM
“Kau tidak perlu cemas,” Opa mengelus rambutku, “Setidaknya dengan ada petugas, massa tidak akan bertindak nekad. Om Liem kau akan segera membawa kabar baik.”

Aku mengangguk.

“Kau tidak jadi mengantar botol susu?” Opa mengingatkan.

Aku menepuk jidat, segera berlari kecil ke belakang. Mama sempat membantuku menaikkan botol susu ke atas keranjang sepeda, “Hati-hati.” Dan entah kenapa Mama sempat mencium dahiku. Tersenyum lembut. Aku nyengir, segera mengayuh, menerobos kerumunan yang meski semakin keras berteriak, tidak berani melewati barikade petugas.

Sementara di rumah, aku tidak tahu Papa sedang melakukan negosiasi dengan petugas.

“Aku cemas mereka tidak bisa bersabar lagi.” Papa mengusap dahi.

“Tenang saja, Koh. Anak buahku akan menjaga seluruh rumah.” Susdi menenangkan.

“Semua bisa diatur, Koh.” Tonga manggut-manggut.

Papa dan Opa tersenyum kecut. Mereka benar-benar mengandalkan dua orang ini untuk mengurus banyak hal belakangan. Meski semua justeru semakin berlarut-larut dan rumit.

“Aku lihat di antara kerumunan lebih banyak yang bukan anggota arisan.” Papa mengeluh.

“Mereka sepertinya bahkan membawa senjata tajam.” Opa ikut mengeluh.

Susdi tertawa kecil, “Jangan cemas. Paling juga mereka hanya tertarik melihat keramaian.”

Tonga ikut tertawa kecil, “Biasalah. Kokoh harusnya tahu sekali, urusan seperti ini selalu mengundang perhatian.”

Sementara aku mengayuh sepeda, melintasi gang, jauh meninggalkan rumah. Mengantar susu. Aku tidak tahu saat itu dering telepon terdengar di rumah.

Papa sedikit tersentak, “Itu pasti kabar baik dari Liem.”

Semua kepala menoleh, Papa meraih telepon genggam, semua kepala menunggu.

Berbicara sebentar, “Apa?”

Gagang telepon jatuh.

Mama mendekat, “Apa yang terjadi?”

“Ka… kapal itu sudah merapat.” Papa terbata-bata.

“Bukankah itu kabar baik?” Tante Liem bertanya.

Papa menggeleng, “Kapal itu merapat dengan seluruh muatan terbakar.”

Mama berseru pelan, meraih pegangan di dinding.

Susdi bergumam pelan dengan wajah penuh simpati, “Situasi ini rumit sekali, Koh. Sungguh rumit…. Sekali saja massa di luar tahu kabar buruk ini, mereka bisa mengamuk.”

Opa terdiam. Mengusap kepalanya yang setengah botak.

Tonga ikut berkomentar, “Kami ikut menyesal mendengar kabar ini, Koh. Tapi sidang pengadilan tentang barang selundupan dan ganja akan segera dilakukan siang ini. Dengan kabar buruk ini, akan banyak pihak yang berebut menjatuhkan keluarga kalian. Ada banyak petugas yang harus disumpal mulutnya. Celakanya, kalian pasti tidak punya uang lagi.”

Opa semakin terdiam.

“BAKAR!!” Terdengar teriakan dari luar.

“BAKAR!!” yang lain menimpali.

“Apa yang harus kami lakukan?” Papa memegang lutut Susdi.

Susdi dan Tonga terdiam sejenak, menyeringai.

Susdi bergumam lagi, “Anak buahku bisa saja menahan massa. Membubarkan mereka, tapi massa di luar perlu jaminan kalau uang mereka akan dibayarkan.”

Tonga ikut bergumam, “Kami bisa saja menarik seluruh tuntutan, tuduhan. Tapi semua itu butuh biaya.”

“Apa saja… apa saja yang bisa memastikan keluarga kami tidak diganggu. Akan aku tebus.” Papa mulai panik, massa di luar mulai merangsek ke dalam.

Susdi dan Tonga menyeringai, saling lirik sebentar.

“Baiklah, apakah Kokoh bisa menyerahkan seluruh sertifikat rumah dan tanah. Dengan menunjukkan itu pada massa di luar, menjanjikan mereka akan dibayar dengan menjual harta keluarga kalian, mereka mungkin bisa dibubarkan.” Susdi berkata arif.

“Juga surat-menyurat perusahaan, gudang-gudang, kapal. Biarkan kami yang pegang, dengan itu akan terlihat itikad baik keluarga kalian menyelesaikan masalah. Aku bisa membujuk jaksa kepala untuk membatalkan tuntutan. Menghilangkan bukti-bukti.” Tonga ikut berkata bijak.

Papa dan Opa saling tatap sejenak. Mama sambil terisak berusaha bangkit dari jatuhnya.

Lima menit, semua berkas itu sudah masuk ke dalam tas-tas Susdi dan Tonga.

“Sekarang biarkan kami mengurus mereka.” Susdi berdiri, menyalami Papa.

Tonga tersenyum mantap, “Kalian tidak perlu kemana-mana. Semua masalah sudah selesai.”

Mereka melangkah ke halaman rumah. Teriakan-teriakan marah terdengar dari pintu yang setengah terbuka. Sudah hampir dua ratus massa memenuhi halaman.

Aku sungguh sudah jauh sekali dari rumah. Mulai menurunkan satu persatu botol susu pesanan tetangga. Menyapa mereka sambil berlari-lari kecil.

“Lapor Komandan, apa perlu kami memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan massa.” Salah-satu sersan mendekati Susdi dan Tonga.

“Tidak perlu. Perintahkan seluruh anak-buahmu kembali ke markas.” Susdi menjawab santai.

Dahi Sersan polisi itu terlipat, tidak mengerti, “Bukankah kita seharusnya justeru meminta tambahan petugas, Komandan?”

“Tidak perlu, Sersan. Jangankan membayar uang arisan, Keluarga ini bahkan tidak bisa membayar seperak-pun upah kau berjaga-jaga siang ini di rumah mereka. Kapal mereka terbakar di pelabuhan.” Tonga menepuk bahu sersan polisi itu.

Sersan polisi itu terdiam. Tidak mengerti.

Kedua orang itu santai menaiki mobil, perlahan membelah massa yang beringas. Susdi menurunkan kaca, memberikan kode ke gerombolan preman. Tonga di sebelahnya tertawa menepuk-nepuk tas penuh berkas berharga.

“PRANG!!”

Aku mengerem sepeda sekuat tenaga, seekor kucing melintas di gang.

Hari itu, umurku enam tahun.

Hari itu, Papa dan Mama terpanggang nyala api. Rumah besar kami dibakar massa. Opa dan Tante Liem, dibantu tetangga yang berbaik hati berhasil melarikan diri. Om Liem yang kembali dari pelabuhan dua hari kemudian hanya termangu melihat puing-puing. Aku yang pulang dari mengantarku botol susu menangis berteriak-teriak melihat asap mengepul dari kejauhan. Beberapa tetangga mencegahku pulang ke rumah. Masih banyak gerombolan tidak dikenal yang menunggui rumah. Hari itu, keluarga kami kehilangan semuanya.



***

“Kau tahu Julia. Sejak hari itu aku membenci Om Liem. Dialah yang penyebab semuanya. Omong-kosong arisan berantai keluarga Edward-Liem. Aku tidak mau terlibat dengan perusahaannya, tidak mau dekat-dekat dengannya. Aku pergi dari rumah. Tinggal di sekolah berasrama, dengan makanan dijatah, kamar tidur sempit. Aku membencinya dua puluh tahun lebih. Bahkan satu hari lalu aku tetap tidak peduli dengan Om Liem. Aku tahu skandal Bank Semesta. Penyidikan oleh bank sentral, polisi dan kejaksaan. Hancur lebur semua konglomerasi yang dia miliki, aku tidak peduli. Masuk penjara ribuan tahun, aku tidak peduli.

“Tetapi tadi malam, saat orang kepercayaan Om Liem menjemputku di hotel, pukul dua dini hari, di dalam mobil Ram menyebutkan nama petinggi kepolisian dan pejabat kejaksaan yang menyidik kasus Bank Semesta. Aku mengenali nama itu. Nama kedua ******* itu. Kau pernah bertanya padaku, apakah aku anak muda yang pintar, kaya, punya kekuasaan dengan kepribadian ganda? Penuh paradoks? Kau keliru, Julia. Aku adalah anak muda yang dibakar dengan dendam masa lalu. Jiwaku utuh. Seperti berlian yang tidak bisa dipecahkan. Aku selalu menunggu kesempatan ini.

“Apakah hidup ini adil? Papa-Mama ku mati terbakar. Dua ******* itu menjadi orang penting di negeri ini. Satu menjadi bintang tiga kepolisian, hanya soal waktu dia jadi kepala polisi. Satunya lagi jaksa paling penting dan berpengaruh di korpsnya, hanya soal waktu menjadi jaksa agung. Aku kembali, Julia. Sejak tadi malam aku memutuskan kembali ke keluarga ini. Aku akan membalaskan setiap butir debu jasad Papa-Mamaku. Berikan aku waktu dua hari, maka kau bisa menulis semuanya. Aku punya rencana. Aku bukan lagi anak kecil enam tahun yang berlari-lari mengantar susu. Akulah ******* paling besar dalam cerita ini. Jadi apakah kau mau membantuku atau tidak, terserah kau.”

Jalanan tol lengang. Julia menatapku lamat-lamat, tidak menjawab.

Aku menghela nafas pelan, dengan kaki pincang, melangkah perlahan, kembali ke mobil. Di kejauhan, seorang anak terlihat menggembalakan beberapa ekor kambing di lereng bukit menghijau. Suara kambing mengembik terdengar samar di antara lesatan mobil-mobil melintasi jalan tol. Dengan tumit yang masih nyilu, aku akan memaksakan diri mengemudi.

Tetapi ternyata Julia belari kecil meraih lenganku.

Aku menoleh.

“Aku akan membantu kau, Thom.” Gadis itu mengangguk mantap.


***bersambung

Absen, ayo absen, semakin lama, kenapa pada malas ngabsen. Atau jangan2 pembaca serial ini semakin berkurang? Jadi saya tidak perlu memaksakan diri melanjutkannya?

tezar
14-04-2011, 10:05 AM
*******-******* Berkelas - Episode 12
by Darwis Tere-Liye Penuh on Tuesday, April 5, 2011 at 7:34pm

“Kau seharusnya tidak menamparku sekencang itu.” Aku meringis, meraba pipi sebelah kiri yang masih terasa pedas, “Seumur-umur aku belum pernah ditampar wanita.”

“Aku harus sungguh-sungguh, Thom. Biar mereka tidak curiga.” Julia menoleh sebentar, tertawa, lantas kembali konsentrasi penuh, mobil melesat cepat menuju Waduk Jatiluhur.

Tadi saat terhenti sejenak di jalur darurat tol, setelah penjelasan sepotong masa laluku pada Julia, dan dia akhirnya bersedia kembali mengemudi, kami melangkah menuju mobil. Tingga empat langkah lagi dari pintu mobil, tiba-tiba tanpa kami sadari merapat mobil patroli tol. Petugas di dalamnya menekan klakson, lampu di atas kap mobil patroli menyala kerlap-kerlip, mereka parkir persis di belakang mobilku, lantas turun sambil merapikan seragam dan pistol di pinggang.

“Selamat siang.” Dua orang petugas mendekat.

Aku menelan ludah. Sedikit terperanjat dengan kedatangan mereka. Berusaha berpikir cepat bagaimana segera kabur sebelum mereka bertanya-tanya.

“Mobil kalian mogok?” Salah-satu petugas lebih dulu bertanya.

Ini situasi biasa yang rumit. Biasa, karena lazim saja ada mobil yang berhenti di jalur darurat. Aku menggeram, bisa saja aku mengarang mobilku mogok, ada kerusakan, tapi semakin lama kami tertahan, semakin panjang dialog dan cerita, mereka punya kesempatan bertanya hal lain, urusan menjadi rumit. Mereka akan meminta identitas, surat ijin mengemudi, bahkan mulai mengarang-ngarang kesalahan. Lebih sial lagi kalau mereka jadi tahu aku buronan polisi sejak tadi malam.

“Mobil kalian bermasalah? Rusak?” Petugas bertanya sekali lagi, tinggal dua langkah. Yang satu malah mengambil inisiatif melongok-longok memeriksa mobil.

Aku mendesah, terus berpikir mencari alasan. Kami harus segera kabur.

“Dasar lelaki tidak berguna.” Julia sudah berteriak lebih dulu sebelum aku memutuskan mengambil langkah apapun.

“Berapa kali kau ketahuan selingkuh, hah? Berapa kali, Pengkhianat?” Julia berteriak sambil mendorong dadaku, wajahnya marah.

“Eh?” Aku bingung sejena, berusaha menyeimbangkan diri—hampir saja terjatuh.

“Kalau begini terus aku minta cerai saja, cerai!” Julia sudah pura-pura hendak menangis.

Aku menggaruk kepala, dengan cepat mengerti apa yang sedang dilakukan Julia.

Dua petugas patroli saling pandang, menelan ludah, urung bertanya lebih lanjut.

“Aku tidak tahan lagi. Tidak tahan.” Julia berteriak seperti wanita sedang emosi tinggi.

“Kau keliru, Sayang. Aku sudah berubah, lihatlah.” Astaga, entah apa yang ada di kepalaku, sekejap kemudian aku mengikuti mentah-mentah skenario Julia, mulai berakting macam dua pasangan yang sedang bertengkar, berusaha membujuknya agar tenang.

“Kau penipu. Sekali penipu tetap penipu.”

“Sungguh, Sayang. Aku sudah banyak berubah.”

“Kau lelaki pendusta, Fernando.” Julia berteriak parau, dan PLAK! Gadis itu telak menampar pipiku.

Dua petugas patroli bahkan berseru tertahan, sedikit kaget. Salah-tingkah harus melakukan apa.

“Aku akan pergi jauh. Jangan kau ikuti aku.” Julia sudah membuka pintu mobil, masuk.

“Tunggu, Esmeralda.” Aku terpincang, berusaha menyusul.

Tentu saja Julia akan menungguku—meski mobil sudah menderum dinyalakan.

“Tunggu!” Aku masuk ke dalam mobil, menutup pintu.

Sedetik, mobil melesat bagai peluru meninggalkan dua petugas patroli yang hanya bisa terpana.

Menggaruk kepala, saling tatap bingung, dua petugas patroli akhirnya mengangkat bahu, menghela nafas panjang. Bergumam satu sama lain, ternyata mobil keren ini menepi karena penumpangnya, suami-istri bernama Fernando dan Esmeralda sedang bertengkar, tidak ada yang serius. Mereka tidak berselera mengejar, kembali masuk ke dalam mobil patroli, melaju seperti biasa.



***

tezar
14-04-2011, 10:06 AM
“Kaki kau masih sakit?” Julia bertanya, mobil sudah keluar dari pintu tol, memasuki jalanan menuju Waduk Jatiluhur. Setelah sepanjang pagi cerah, sejak sepuluh menit lalu mendung menggelayut malas di langit. Orang-orang berlari kecil, bergegas menyelesaikan urusan sebelum terlanjur hujan deras.

“Sudah lumayan.” Aku meluruskan kaki, melirik pergelangan tangan, hampir pukul dua belas siang. Aku sudah menyelesaikan membaca beberapa bundel dokumen, menandai begitu banyak hal menarik.

Dengan kecepatan tinggi, hanya butuh setengah jam menuju rumah peristirahatan Opa dari tempat kami berhenti di jalur darurat tol.

Tadi Julia menyuruhku menelepon rumah, memberitahu mereka. Saran baik yang sia-sia Opa menolak memasang telepon di rumahnya, “Orang tua ini tidak mau diganggu siapapun.” Demikian jawabnya kalem. Dia juga tidak terbiasa menggunakan telepon genggam. Aku pernah membelikannya telepon genggam paling mutakhir, agar lebih mudah dihubungi. Esok hari, Opa tega menggunakannya untuk mengganjal salah satu kaki kursi santainya. “Nah, dia lebih bermanfaat sekarang, Tommi.” Opa terkekeh, duduk menatap cahaya matahari senja menerpa waduk, melambaikan tangan. Aku hanya bisa mendengus kesal, itu telepon mahal.

Aku juga tidak bisa menghubungi Om Liem, karena dia tidak sempat membawa telepon genggamnya semalam. Aku tidak bisa memberikan peringatan ke rumah itu agar segera menyingkir. Dengan semua kemungkinan terbuka, aku memutuskan menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk mempelajari dokumen yang diberikan Maggie. Ini jelas lebih berguna dibanding bergumam resah menyuruh Julia lebih cepat lagi. Sama halnya ketika kalian terjebak macet, daripada memaki, resah, sebal, yang jelas-jelas tidak akan membuat kemacetan jadi terurai, maka lebih baik membaca sesuatu atau tidur.

“Belok kiri atau lurus?” Julia bertanya.

Kami hampir tiba.

“Terus, hingga habis jalan raya.” Aku menjawab pendek, melempar dokumen.

Mobil yang dikemudikan Julia melambat.

Aku menghela nafas lega. Tidak ada keramaian di depan gerbang pagar. Juga tidak ada mobil-mobil atau polisi yang mengepung di halaman rumah. Lengang. Gerimis semakin deras.

“Langsung ke halaman belakang.” Aku menyuruh Julia terus.

Satu menit, mobil terparkir rapi, aku dan Julia turun, berlari-lari kecil menuju teras belakang.

Tidak ada siapa-siapa di ruangan dapur. Kosong. Bahkan pembantu yang biasanya menyiapkan makanan untuk Opa tidak terlihat.

Aku memandang sekitar, ini lengang yang ganjil. Opa juga tidak ada di ruangan besar tempat dia berlatih musik. Aku menyeka rambut yang basah, hujan seperti ini, boleh jadi Opa sedang tidur. Om Liem boleh jadi juga beristirahat setelah dua puluh jam terakhir tidak tidur.

“Jangan bergerak.” Terdengar suara mendesis.

Langkah kakiku melintasi ruangan tengah terhenti. Juga langkah Julia.

Kami berdua sempurna mematung.

Enam polisi dengan rompi anti peluru, bersenjata lengkap, muncul bagai hantu dari balik lemari, sofa, pot besar, bahkan kerai jendela. Wajah mereka tertutup topeng. Mata menatap tajam, berkilat.

Dua polisi dengan cepat meringkusku, aku terbanting duduk, mereka menelikung tangan, memasangkan borgol. Dua polisi lain juga memegang tengkuk Julia, cepat menguasai situasi sebelum kami sempat bereaksi apapun—bahkan sekadar mendengus.

Lututku terasa sakit menghantam lantai, aku mengeluh sambil mengutuk dalam hati. Bodoh. Seharusnya aku segera kabur sejak menginjak dapur belakang. Rumah ini terlalu sepi. Ada sesuatu yang telah terjadi. Benar-benar bodoh. Tentu saja mereka sengaja menyembunyikan mobil patroli, kendaraan polisi atau apapun di halaman, jika aku melihatnya, aku pasti berputar arah. Setelah tahu lokasi ambulans dari GPS tracking Rumah Sakit, mereka pasti sengaja mengirim pasukan taktis kecil yang tidak menarik perhatian untuk menangkap Om Liem, lantas menungguku kembali.

“Jalan!” Salah-satu polisi kasar menyuruhku berdiri.

Julia hendak protes, tapi moncong senjata terarah ke wajahnya. Membuatnya bungkam.

Aku menelan ludah. Ini berlebihan. Kami bukan teroris, kami juga bukan kriminal seperti pembunuh, psikopat atau kejahatan besar lainnya. Tidak bisakah mereka mengirim pasukan yang lebih ramah.

“Bergegas!” Polisi di belakangku justeru menyodokkan monconh senjatanya.

Aku menahan sakit, meringis.

Mereka menggelandang kami masuk ke salah-satu kamar. Di sana sudah ada Opa dan Om Liem. Nasibnya sama, diborgol. Duduk di kursi rotan.

“Lapor, Bos, semua sasaran telah tertangkap.” Samar-samar aku mendengar percakapan di belakang.

“Kita bergerak sekarang?”

“Tahan dulu. T2 sedang dalam perjalanan, dia sendiri yang akan membawa sasaran, langsung kembali menuju markas, konferensi pers sedang disiapkan.”

Aku menelan ludah, menatap wajah Om Liem yang datar, tertunduk. Opa terlihat tenang, bahkan tersenyum kepadaku. Julia yang terus protes ke polisi yang mendorong-dorongnya, tapi dia tidak bisa berteriak, apalagi menampar polisi macam menampar ‘Fernando’ sebelumnya. Julia berkumur-kumur, bilang dia punya hak membela diri. Sial, polisi justeru tambah kasar mendorongnya.

Satu polisi meletakkan dua kursi rotan. Menyuruh kami duduk. Aku menurut.

“Semua area sudah diamankan, Bos. Delapan yang lain disekap di kamar depan, sepertinya mereka bukan sasaran utama, hanya pekerja biasa.” Polisi yang menyergap kami terlihat bicara dengan seseorang yang masuk ke kamar. Mungkin dia komandan pasukan spesialis ini, berpakaian sipil, rompi anti peluru, kaca mata hitam besar, dan topeng serbu.

“Bagus. Kalian terus berjaga di kamar. Pastikan tidak ada celah mereka kabur.” Orang itu mengangguk, menyibak anak-buahnya, melangkah mendekati empat kursi rotan yang dibariskan di tengah kamar.

Aku mendongak, berusaha mencari tahu.

Orang itu justeru berhenti persis saat kami saling tatap.

Aku tidak mengenalinya, kaca-mata hitam dan topeng serbu membuat wajahnya tidak terlihat.

Lengang sejenak. Orang itu tetap berdiri, diam, lima langkah dariku.

“Kalian berjaga di luar kamar.” Orang itu berseru pada anak-buahnya.

Enam polisi menoleh, bingung. Bukankah mereka tadi disuruh berjaga di sini?

“Bergegas! Ini perintah.” Orang itu membentak.

Enam polisi bersenjata lengkap tanpa menunggu, langsung bergerak ke pintu. Meninggalkan empat kursi rotan dengan empat pesakitan di atasnya.

Lengang sejenak, hujan turun semakin deras.

Komandan polisi itu menatapku, menghela nafas panjang.

Aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Ini benar-benar kejutan, Thom.” Suara galak orang di depanku berubah datar, dia melepas kaca mata hitam dan topengnya, “Aku sama sekali tidak tahu kalau ternyata harus menangkap kau, Thomas.”

tezar
14-04-2011, 10:08 AM
Aku berseru setengah tidak percaya, “Rudi!”

“Ini sungguh kejutan, atau boleh jadi lelucon.” Rudi merapikan rambutnya, wajahnya juga terlihat setengah tidak percaya, “Astaga, kenapa kau ada di sini, Thom? Bukankah kau hanya seorang konsultan keuangan yang baik? Seorang gentleman yang berpendidikan, kaya dan berpengaruh. Menulis banyak kolom di media massa, dianggap anak muda yang berhasil. Semua teman di klub bertarung bilang, kau anggota yang baik, petarung yang hebat, dengan kehidupan yang lurus. Kenapa aku di siang ini, di tengah hujan deras, harus menangkap kau, Thomas? Menangkap salah-satu petarung terbaik klub. Menangkap teman terbaikku selama ini.”

“Kau harus melepaskan aku.” Aku berseru, “Kau harus segera melepaskan aku, Rudi.”—bergegas menurunkan intonasi suara, meski hujan deras membuat percakapan samar, boleh jadi enam anak buah Rudi di luar kamar mendengar.

Rudi diam sejenak, menatapku lamat-lamat.

“Dia,” Rudi perlahan menunjuk Om Liem, “Siapanya kau? Kerabat?”

Aku mengangguk cepat.

“Kau yang membantunya kabur semalam? Kabur begitu saja, seperti anak kecil yang main petak-umpet. Membuat puluhan polisi dan perwira terancam dimutasi ke daerah terpencil.” Rudi bertanya.

Aku mengangguk lagi.

“Astaga, Sobat.” Rudi separuh hendak tertawa, separuh hendak menepuk pelipisnya, “Urusan ini benar-benar celaka. Kau tahu, aku bahkan ditelepon langsung oleh T2 untuk membereskan masalah ini. Bilang pasukan komando khususku harus bergerak cepat, tanpa ampun, dan diotorisasi sah menggunakan apa saja untuk menangkap kalian. Ternyata aku menangkap kau, Thomas.”

“Kau harus melepaskan aku, Rudi.” Aku berseru agak kencang, memotong kalimat Rudi, waktu kami terbatas, jika percakapan salah-satu anak buah Rudi tadi benar, hanya hitungan menit T2 akan tiba di rumah peristirahatan Opa. Aku tahu apa maksud kode T2, T adalah simbol markas besar, dan 2 adalah penunjuk hirarki yang ada.

Rudi mendekatiku, jaraknya tinggal dua langkah.

“Kau keliru menangkap orang, Rudi. Bukan aku penjahatnya.” Aku mendesak.

“Tentu saja semua ini keliru, Thomas. Belasan tahun aku menjadi perwira di kepolisian, aku tahu banyak hal keliru yang dibiarkan terjadi.” Rudi bergumam resah, dia menggelengkan kepala, “Astaga, kau tahu briefing lewat telepon yang diberikan padaku saat menuju tempat ini? Sasaran kalian bersenjata berat, licik dan mematikan. Sepertinya mereka lebih menyuruh kami menembak di tempat dibandingkan menangkap hidup-hidup.”

“Hentikan basa-basinya, Rudi! Kau harus melepaskan kami segera, atau tidak ada waktu lagi!” Untuk kedua kalinya aku memotong kalimat.

“Ini tidak mudah, Thom.” Rudi mengusap wajahnya.

“Kau bisa mengarang kejadian apapun, Rudi.”

“Tentu saja aku bisa. Tapi dengan T2 menuju kemari, ini tidak mudah. Aku bisa membahayakan seluruh karirku demi kau.”

Aku menatap wajah Rudi, kau harus melakukkannya, Rudi.

Rudi menyisir rambutnya dengan jemari, “Kau benar-benar sialan, Thomas. Semalam kau memukulku jatuh di lingkaran merah, membuatku ditertawakan anggota klub, siang ini kau merengek padaku untuk meloloskan kau. Kalau saja kau bukan teman baikku, petarung penuh respek, dari tadi aku justeru hendak meninju wajah sialan kau ini. Berikan aku waktu untuk berpikir.”

“Segera, Rudi! Segera!” Aku mendesis.

“Biarkan aku berpikir, Thom.”

Aku menggelengkan kepala, tidak ada waktu lagi.

“Kau bisa diam dulu tidak, Thom!” Entah kenapa, tiba-tiba Rudi berteriak kencang—yang pastilah kali ini didengar oleh anak-buahnya di luar. Salah-satu dari mereka mendorong pintu kamar.

Dan dalam hitungan sepersekian detik, Rudi sudah meninju wajahku. Telak. Aku terjengkang, kursi rotanku terpelanting, tubuhku berdebam jatuh. Demi melihat itu, Julia berteriak kencang—lupa kalau tadi dia juga menamparku sungguh-sungguh di jalur darurat tol.

Om Liem ikut berseru panik. Opa menghela nafas.

“DIAM, *******! Kau tidak boleh melawan petugas. Jangan pernah sekali-kali.” Rudi sudah berteriak kalap, jongkok, kasar menarik badanku berdiri.

Darah segar mengalir dari hidungku, aku tersengal untuk dua hal, kaget karena tiba-tiba ada bogem mentah menghajarku, dua karena hidungku sakit sekali.

Enam anak-buah Rudi masuk ke dalam kamar, berbisik satu sama lain, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Hujan semakin deras, cahaya kilat membuat terang semesta, guntur menggelegar enam detik kemudian.

“Kau ikuti semua permainannya, Thom. Dan kita lihat, apakah aku bisa meloloskan kau dari sini atau tidak.” Rudi berbisik di tengah suara guntur, tangannya masih menjambak rambutku.

Aku bergumam setengah putus-asa. Permainan apa? Dia jelas tidak sedang berusaha membantuku lolos, dia sedang membalaskan pertarungan tinju kami semalam.



***bersambung

tezar
14-04-2011, 10:12 AM
*******-******* Berkelas

Oleh Tere-Liye

episode 13



Aku berdiri dengan kaki goyah. Belum sempat memasang kuda-kuda, Rudi sudah meninju perutku. Aku melenguh tertahan, kembali terbanting duduk.

“Kau pikir kau siapa berani-beraninya melawan, hah? Jagoan?” Rudi membentakku.

Belum puas dia, badanku yang bertumpukan lutut ditarik lagi. Setengah berdiri, tinju Rudi kembali menghantam perutku. Kali ini aku terkapar di lantai.

Hujan semakin menggila di luar.

Julia berteriak-teriak menyuruh berhenti. Om Liem juga berseru, memohon. Opa menelan ludah. Enam polisi lain justeru menyemangati Rudi, mengepalkan tinju, “Habisi dia, Bos.” “Hajar terus, Bos.” Seperti sedang menonton gulat di layar kaca.

Tetapi dua tinju terakhir Rudi tipu-tipu. Itu tidak sungguhan. Kami adalah petarung sejati, mudah saja berpura-pura. Beda halnya dengan petarung bohong-bohongan di layar kaca, mereka pasti kesulitan disuruh berkelahi benaran. Untuk lebih meyakinkan lagi, Rudi menyambar kursi rotan yang terpelanting, lantas dengan wajah merah, berseru kalap, menghantamkannya ke punggungku. Kursi rotan patah dua.

Julia menjerit, menutup mata. Om Liem kehabisan kata. Opa tertunduk.

Salah-satu polisi sebaliknya, berseru antusias, “Dahsyat, Bos.”

Petir menyambar di luar. Lengang sejenak sebelum gemeretuk guntur panjang. Rudi merapikan rambut, melemparkan sisa kursi rotan, menatap tubuhku yang tergeletak di lantai, lantas berteriak pada dua anak buahnya, “Buat dia siuman kembali, bersihkan darah di hidungnya. T2 tidak pantas melihat sasaran kita seperti ini. Buat dia lebih rapi.”

Tawa senang penonton dilipat, dua polisi bergegas mendekat, meletakkan senjata, membalik badanku yang terkulai, mengambil kunci, membuka borgol tanganku. Inilah permainan yang Rudi maksudkan. Kursi rotan tadi jelas tidak sempurna menghantam punggungku, ujungnya yang lebih dulu mengenai lantai, itu trik biasa di dunia gulat layar kaca. Seolah-olah kena telak, tapi tidak. Seolah-olah kursinya penyok, nyatanya tipu. Lantas pegulatnya akan pura-pura terkapar.

Aku jelas tidak pingsan.

Aku bergerak cepat setelah borgolku lepas, tanganku meraih senjata di lantai, hanya dalam hitungan sepersekian detik, memukulkannya ke dagu salah-satu polisi yang jongkok hendak membersihkan darah di wajahku. Polisi itu yang terkapar sungguhan, satu giginya lepas, temannya yang terkesiap tidak sempat bereaksi, aku lebih dulu meraih kerah bajunya, menariknya mundur, lantas mengacungkan senjata persis ke kepalanya.

“Jatuhkan senjata kalian! JATUHKAN!” Aku berseru serak, “Atau aku pecahkan kepala teman kalian ini.”

Empat polisi lain mematung. Gerakan tangan mereka yang siap menembakku tertahan. Menoleh pada Rudi, meminta pendapat komandan.

“Aku tidak main-main, *******! Aku serius!” Aku berseru galak, tanganku menarik kerah seragam polisi yang kusandera kencang-kencang, dia tercekik, tersengal satu-dua.

Rudi (seolah) menghela nafas tegang, berhitung dengan situasi, lantas melambaikan tangan ke empat anak-buahnya, “Jatuhkan senjata kalian.”

Mereka menurut, perlahan meletakkan senjata di lantai.

“Kau, kemari! Ya, kau!” Aku meneriaki salah-satu polisi yang berdiri hati-hati, menatap penuh perhitungan, “Lepaskan borgol mereka!” Aku menunjuk Opa, Om Liem dan Julia.

“Alangkah bebalnya kau.” Aku melotot marah, senjataku teracung ke depan, menarik pelatuk.

Tiga tembakan menghantam dada polisi yang kusuruh. Dia memakai rompi anti peluru, tembakanku tidak akan melukainya, tapi dengan jarak hanya tiga meter, tubuhnya tidak ayal terpental ke dinding, langsung pingsan.

“Lepaskan borgol mereka, atau kali ini aku akan menembak kepala kalian yang tidak terlindung kevlar.” Aku menatap tiga polisi yang tersisa dengan tatapan dingin.

Salah-satu dari mereka menelan ludah sejenak, lantas buru-buru mengeluarkan kunci borgol. Mendekati Opa, Om Liem dan terakhir Julia.

“Nah, sekarang pakaikan borgol itu ke kalian sendiri.” Aku menyuruh.

“Bukan di dua tangan, bodoh!” Aku membentak, “Kau pasangkan kaki dengan tangan.”

Polisi itu bingung, meski akhirnya menurut.

Dua menit berlalu, tiga polisi yang tersisa terborgol sempurna dengan posisi aneh, duduk menjeplak, kaki kanan menyatu dengan tangan kiri, atau sebaliknya. Aku mendorong polisi yang kusandera, memukulkan popor senjata ke kepalanya—ini balasan karena dia menyodokkan senjata ke lambungku. Polisi itu tersungkur.

Petir menyambar untuk kesekian kali. Guntur menggelegar.

“Kau ikut kami! Berjalan di depan.” Aku menodongkan senjata pada Rudi.

“Segera!” Aku meneriakinya.

Rudi patah-patah dengan kedua tangan terangkat melangkah menuju pintu. Opa dibantu Julia bergegas mengikutiku, Om Liem yang masih tidak mengerti apa yang terjadi ikut melangkah.

Di bawah tembakan jutaan bilur air hujan, rombongan kami menuju dermaga belakang, di sana tertambat satu speedboat. Aku menyuruh yang lain segera naik, Opa menghidupkan mesin speedboat.

“Terima kasih, Sobat.” Aku menolah pada Rudi, melemparkan senjata ke permukaan waduk.

“Kau berhutang besar padaku, Thom.” Rudi mengusap wajahnya. Hujan deras membungkus kami.

“Aku akan membayarnya lunas dua hari lagi, lengkap dengan seluruh bunganya. Kau pegang janjiku, janji seorang petarung.” Aku menyeka ujung bibir yang terasa asin, air hujan membuat sisa darah di hidung mengalir.

“Kau akan kabur kemana sekarang?”

“Astaga, Sobat? Aku pasti tidak akan memberitahu kau.” Aku tertawa, “Kau jelas berada di pihak lawan.”

Rudi mengangguk, nyengir.

Dan sebelum cengirannya hilang, tanganku sudah bergerak cepat, telak meninju dagunya. Tubuh besar Rudi seketika tersungkur di lantai dermaga. Mulutnya berdarah. KO.

“Kau butuh alasan bukan? Nah, bilang pada T2, kau sudah berusaha menangkapku, mengejar habis-habisan, tapi sasaran yang kau kejar memang licik, berbahaya dan mematikan. Dia sekarang pasti paham kalimat yang dia karang sendiri itu saat menemukan kau semaput di dermaga. Sama pahamnya saat menemukan tiga polisi terkapar di kamar, tiga lainnya diborgol seperti posisi pertunjukan sirkus.” Aku sudah loncat ke atas speedboat. Mengambil alih kemudi dari Opa, lantas menekan pedal gas dalam-dalam, speedboat melesat membelah Waduk yang dibungkus hujan deras.

Kilat menyambar membuat akar serabut di langit. Guntur menggelegar.



***

tezar
14-04-2011, 10:13 AM
“Dia siapa?” Om Liem bertanya, badannya sekarang terbungkus pakaian dan handuk kering, meski masih menggigil kedinginan.

“Jangan banyak tanya dulu. Habiskan cokelat panas kau.” Aku mendengus.

Om Liem menghela nafas, mengangguk.

“Julia, perkenalkan, saya Julia, Om.” Julia memperlakukan Om Liem lebih baik, menjulurkan tangan.

“Kau apanya dia?” Om Liem bertanya.

“Teman, Om. Aku wartawan yang pernah mewawancari Thomas.”

“Kau jangan sampai suka dengannya.” Opa nimbrung percakapan, tertawa kecil, mengesai rambut berubannya yang setengah basah.

Wajah Julia bertanya, kenapa.

“Karena sekali kau membuat kesalahan besar padanya, maka sepanjang hidup nasib kau sama seperti Om-nya itu. Tidak pernah dipanggil nama langsung lagi. Benci sekali dia.”

Aku melotot, menyuruh ketiga orang itu bergegas, ini bukan saat yang tepat mengobrol ringan.

Adalah lima belas menit speedboat yang kukemudikan menerobos Waduk di tengah hujan deras. Tidak sulit, aku sudah belajar mengemudi speedboat sejak umur enam belas. Melewati kerambah ikan penduduk, perahu nelayan yang hujan-hujanan, aku akhirnya merapat di salah-satu dermaga salah-satu resort—itu sebenarnya resort milik Opa. Pegawainya tanpa banyak bertanya apa yang telah terjadi, bergegas menyiapkan handuk kering, pakaian ganti, minuman panas.

Pukul dua siang, hujan deras masih membungkus Waduk. Entah apa yang terjadi di rumah peristirahatan Opa, boleh jadi T2 dan pasukannya yang siap menjemput kami sedang marah-marah besar. Rencana konferensi pers menghadirkan buronan besar gagal total. Aku tidak peduli, aku sedang gemas menunggu Opa dan Om Liem memulihkan diri, waktuku terbatas, tinggal 42 jam sebelum pukul 08.00 hari Senin.

“Kita harus segera bergerak.” Aku berseru tidak sabaran.

“Bukankah kau tadi menyuruhku menghabiskan gelas cokelat ini, Tommi?” Om Liem bertanya.

“Dibungkus saja kalau kau mau.” Aku menjawab ketus, “Kita tidak bisa lama-lama, lima belas menit lagi, seluruh jalanan keluar dari Waduk Jatiluhur akan diblokade polisi. Mereka akan memeriksa setiap mobil, mereka sedang marah, mereka akan melakukan apapun untuk menangkap kita.”

Julia mengangguk, memanggil petugas resort, meminta disiapkan mobil.

Aku bertepuk tangan, “Bergegas, Opa!”

Opa menghela nafas panjang, “Orang tua ini mungkin lebih baik tinggal di sini, Tommi.”

Aku menggeleng, “Tidak. Opa harus ikut kemanapun aku pergi. Mereka tidak peduli lagi siapa yang terlibat, siapa yang tidak terlibat. Jangan-jangan mereka sekarang sedang mencari pasal yang bisa menuntut sepuluh tahun pembantu rumah Opa, membantu menyembunyikan buronan misalnya.”

Petugas resort kembali dengan kunci mobil.

Aku beranjak keluar, diikuti Julia yang membantu Opa berjalan, dan Om Liem, yang astaga, menuruti perintahku, menerima gelas plastik cokelat hangat dari petugas hotel.

“Ini mobilnya?” Langkah cepatku terhenti persis di lobi depan resort.

Petugas resort takut-takut mengangguk.

“Hanya ini yang tersedia, Pak. Mobil lain sedang menjemput tamu di Jakarta dan Bandung.”

“Bagaimana mungkin kami kabur dengan mobil ini?” Aku menepuk dahi, setengah tidak percaya.

“Tidak ada mobil lain, Pak. Kecuali Bapak mau menunggu setengah jam lagi.”

Ini sungguh paradoks, lelucon atau entah apalah menyebutnya. Sepanjang pagi aku mengebut memakai mobil balap, sekarang ternyata aku harus berhenti di pit stop resort, berganti dengan mobil box laundry milik hotel. Lengkap dengan tulisan besar di dinding luarnya, “SuperClean. Membersihkan apa saja!”

Aku mendengus kesal, menyuruh petugas hotel minggir dari depanku.



***bersambung

tezar
18-04-2011, 01:52 PM
*******-******* Berkelas - Episode 14
by Darwis Tere Liye on Monday, April 11, 2011 at 5:51pm

Money laundering, pencucian uang, tidak ada bedanya dengan pencucian baju atau celana.

Seharfiah itu saja definisinya.

Dalam dunia keuangan modern, tidak semua pencipta sistem dan pembuat kebijakan adalah penjahat, beberapa dari mereka bahkan memiliki konsen yang luar biasa atas haram dan halalnya selembar uang—terlepas dari fakta boleh jadi yang bersangkutan seorang atheis. Dalam definisi mereka, uang yang baik adalah uang yang didapatkan dari proses transaksi keuangan lazim, layak, masuk akal dan disepakati oleh banyak komunitas sebagai transaksi bersih. Uang yang kotor sebaliknya, adalah uang yang diperoleh dari transaksi keuangan tidak lazim, tidak layak, dan disepakati banyak komunitas sebagai transaksi kotor.

Ada banyak sekali aktivitas ekonomi yang masuk dalam daftar transkasi kotor. Mulai dari yang terlihat (dalam film-film) seperti bisnis mafia, triad, geng, pengedar obat-obatan terlarang, perjudian ilegal, penyelundupan, pencurian, pembajakan, perdagangan ilegal, hingga yang tidak kasat-mata, seperti uang suap, uang korupsi, dan uang tips yang haram.

Para pembuat sistem dan kebijakan keuangan modern telah membuat regulasi yang jelas, uang haram tidak boleh mengotori uang halal. Bukan semata-mata karena mereka patuh terhadap logika kitab suci, atau taat terhadap sepuluh perintah Tuhan, tetapi lebih karena campur-aduk uang haram dan halal jelas merusak keseimbangan. Masuknya uang haram dalam perekonomian yang sah membuat regulator kesulitan memprediksi uang beredar, kesulitan membaca layar penunjuk ekonomi negara.

Karena itulah seluruh negara memiliki Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Amerika misalnya, setiap transaksi di atas 10.000 dollar yang melibatkan perbankan dan institusi keuangan apapun harus melaporkan muasal uang yang terlibat. Mereka juga meneguhkan prinsip Know Your Customer, KYC. Kalian menabung ke bank di atas 10.000 dollar, maka ada kolom dalam slip setoran yang harus diisi, dari mana uang yang ditabungkan berasal—juga di Indonesia, dengan batasan 100 juta ke atas.

Lantas apakah urusannya selesai? Tidak. Upaya pencucian uang terus saja terjadi. Ditutup satu pintu, mereka mencari cara lainnya. Pencucian uang sudah berubah menjadi bisnis tersendiri. Ada banyak institusi keuangan yang menciptakan berbagai produk keuangan pintar, bahkan ada beberapa negara yang sengaja tutup mata dengan sumber uang kalian. Cayman Islands misalnya.

Sesuai undang-undang federal, Amerika mewajibkan setiap warga negaranya yang hendak ke luar negeri dan membawa uang tunai di atas 10.000 melapor pada otoritas bandara. Maka organisasi mafia, mengakali peraturan ini dengan menggaji ratusan orang sebagai ‘turis bayaran’ yang pergi berlibur ke Cayman Islands. Mereka menanggung tiket, akomodasi, lantas memberikan segepok uang 9.999 untuk dibawa pergi. Lolos dari loket imigrasi, tiba di Cayman, uang-uang itu melenggang masuk ke perbankan sana. Dari perbankan Cayman, maka dengan mudah uang itu bergabung dengan siklus uang halal seluruh dunia. Ini cara paling manual. Dan jelas cara ini menciptakan lapangan pekerjaan aneh. Siapa yang tidak mau bekerja sebagai ‘turis bayaran’? Berkali-kali, berkali-kali, berlibur sambil bekerja—organisasi mafia malah akan lebih menyukai jika kalian pergi bersama pasangan berwisata ke Cayman.

Trik ini memang lambat, tapi jauh lebih aman dibandingkan dengan menumpuk jutaan dollar di bagasi jet pribadi, kemudian dibawa langsung. Ada banyak otoritas yang memperhatikan traffic udara, mereka bisa dengan mudah mencegat jet pribadi dengan sepasang F-16 misalnya, menyuruh mendarat bahkan sebelum meninggalkan wilayah udara Amerika.

Kenapa tidak memilih menabung di bank lokal dengan nominal dibawa 10.000 berkali-kali? Bukankah tidak wajib melapor? Sialnya hampir di semua negara yang meratifikasi Undang-Undang Anti Pencucian Uang pasti punya lembaga khusus untuk menganalisis jutaan transaksi perbankan. Transaksi berulang-ulang, meski kecil, memancing alert dari software tercanggih anti money laundering yang mereka miliki. Jauh lebih aman memindahkan uang secara fisik, bukan melewati perbankan. Kecuali jika kalian memiliki jaringan tinggi di perbankan (atau malah memiliki bank itu sendiri) yang bisa membuat kamuflase atas setiap transaksi keuangan jauh lebih mudah.

“Ada banyak. Tentu saja banyak. Tetapi aku tidak ingat detail satu-persatu.” Om Liem menghela nafas, setelah diam sejenak, dia menatap lamat-lamat Julia yang sejak tadi terus bertanya, “Kami tidak bisa menolak uang-uang haram itu masuk ke dalam Bank Semesta.

“Bukankah pengendali utama Bank Semesta ada ditangan Om Liem?” Julia sudah bertanya lagi.

“Tentu saja di tanganku. Tetapi bagi kami, bankir, sepanjang uang itu masuk ke kami, jumlahnya juga banyak, urusan lain bisa dilupakan. Menerima uang mereka, entah itu dalam deposito, layanan private banking, pembelian sekuritas, dan sebagainya, itu juga memberikan garansi keamanan bisnis bagi Bank Semesta, termasuk juga perlindungan pada group bisnis.” Om Liem menatap keluar, hujan membungkus jalan tol.

Lima belas menit sejak meninggalkan Waduk Jatiluhur. Opa sejak tadi memilih tidur-tiduran, dia duduk di depan, di sebelahku yang memegang kemudi, sementara Julia dan Om Liem duduk sembarang di belakang, di antara tumpukan pakaian kotor. Aku mengebut di jalanan tol, di tengah hujan deras. Sekali-dua berpapasan dengan mobil polisi yang melesat cepat.

“Garansi keamanan bisnis? Bisa lebih detail, Om?”

Om Liem mengusap rambutnya yang masih basah, mengangguk, “Uang kotor dari pembalakan hutan misalnya. Kau tidak bisa membayangkan, kemana saja triliunan uang dari penebangan hutan di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi bahkan Papua dicuci bersih dalam sistem keuangan kita. Jumlahnya tidak terbayangkan, karena bahkan uang suapnya untuk perwira tinggi polisi, pejabat setempat, orang-orang berkuasa saja bisa puluhan milyar. Kami setidaknya memiliki belasan rekening milik mereka. Lumrah saja, itu barter, mereka melindungi Bank Semesta dan group bisnis kami dalam setiap kasus, kami melindungi kerahasiaan data dan transaksi keuangan mereka dari intipan banyak orang.”

tezar
18-04-2011, 01:53 PM
“Itu di luar money laundering yang tidak kasat mata. Kau tahu, dari seribu trilyun anggaran negara, menurut ekonom senior, hampir dua puluh persen dikorup dan disalahgunakan. Siapa yang menampung uang itu? Perbankan nasional. Uang suap, sogok, pelicin, bahkan uang pajak yang tidak masuk ke dalam kas negara, puluhan triliun nilainya. Kemana uang itu berlabuh? Perbankan nasional. Kebanyakan orang hanya melihat money laundering dari kegiatan mafia, kejahatan bersenjata. Padahal di luar itu banyak sekali kasusnya. Kami membuka rekening untuk petugas korup, pejabat negara jahat, membuat rekening giro perusahaan fiktif, semua yang mungkin dilakukan. Aku tidak tahu detailnya, kepala cabang dan pimpinan Bank Semesta yang lebih tahu.” Om Liem menghela nafas lagi, diam sejenak, membuat bagian belakang mobil box laundry hotel senyap.

“Ini lucu sekali, bukan?” Om Liem tertawa suram.

“Lucu?” Alis Julia terangkat.

“Lucu, bukan? Konvensi perbankan internasional selalu mengingatkan tentang know your customer, bankir di sini jelas-jelas amat know customer mereka. Tahu persis uang-uang itu dari mana berasal.”

“Astaga, tidak bisakah kau berhenti mewawancarai dia? Ini bukan kesempatan eksklusif interview dengan buronan kelas kakap. Ada urusan lain yang perlu dicemaskan, kita masih lari dari polisi, kapan saja mereka bisa muncul.” Aku menoleh, memotong sebelum Julia kembali bertanya.

Julia mengangkat bahu, “Aku tidak sedang mewawancarai Om Liem, Thom. Kami sedang mengobrol santai di antara tumpukan seprai, gantungan baju, piyama, jas, dan hei, siapa pula yang mau mencuci boneka panda sebesar ini.” Julia menyeringai kecil menunjuk pojok mobil.

“Bicara santai apanya? Kalian jelas bisa mencari topik lain untuk bicara santai.” Aku bergumam, menekan klakson, menyalip dua truk kontainer.

“Topik apalagi, Thom? Ini sudah topik yang pas, membicarakan money laundering di dalam mobil box laundry.” Julia tertawa.

Aku mendengus, tidak berselera memperpanjang percakapan. Melirik pergelangan tangan, hampir pukul tiga sore, waktuku banyak terbuang sia-sia. Kami harus segera menuju tempat persembunyian baru yang aman. Mobil box laundry melesat cepat memasuki tol dalam kota.



***bersambung

tezar
18-04-2011, 01:54 PM
*******-******* Berkelas - Episode 15
by Darwis Tere Liye on Tuesday, April 12, 2011 at 5:35pm

Mobil box laundry merapat ke salah-satu dermaga modern dekat pelabuhan tua Jakarta, Sunda Kelapa. Gerimis membungkus kota. Bilur hujan sejauh mata memandang, kristal di muramnya senja. Julia berbaik hati turun lebih dulu, memberikan payung untuk Opa. Belasan kapal pesiar mewah ukuran kecil mengangguk-angguk perlahan bersama gerakan permukaan laut. Tiang-tiangnya terlihat gagah. Kami berempat berjalan beriringan menuju ujung dermaga, tempat kapal terbesar ditambatkan.

Dermaga sepi, di pos jaga gerbang depan tadi hanya ada dua petugas yang menguap, mengenaliku, tidak memeriksa mobil box, hanya melambaikan tangan padaku. Meski akhir pekan, ini bukan jadwal berlayar yang baik, ombak di perairan utara Jakarta relatif besar. Kapal-kapal pesiar tertambat bisu, tidak ada bedanya dengan villa atau rumah peristirahatan yang kosong. Setelah memikirkan berbagai alternatif sepanjang perjalanan dari Waduk Jatiluhur, inilah tempat paling aman menyembunyikan Om Liem.

Setelah berjalan lima puluh meter, kami tiba di kapal pesiar dengan panjang dua puluh meter, berwana putih, gagah sekali dengan dinding geladak depan bertuliskan PACIFIC. Aku membantu Opa menaiki tangga kapal, Julia di belakang Om Liem. Kami melintasi palka tengah, menuju bagian buritan, langsung menemukan seseorang yang sedang asyik memasak sesuatu di dapur kapal.

“Sore, Kadek.” Aku menyapa.

“Eh, sore, Pak Thom. Kejutan, kenapa tidak bilang lebih dulu pada saya?” Pemuda berusia tiga puluhan, yang bekerja di kapal merangkap lima jabatan sekaligus: kapten, awak kapal, juru masak, tukang bersih-bersih, sekaligus penjaga kapal, menyapaku tertawa, sedikit terkejut.

“Darurat, Kadek. Aku baru setengah jam lalu memutuskan ke sini.”

“Untung saja saya tidak sedang melepas sauh, Pak Thom.” Kadek menggosokkan tangannya ke celemek, menyalamiku.

“Opa juga kemari?” Kadek menyeringai riang, menilik rombongan, “Kebetulan sekali. Saya sedang masak sop kaki sapi, Opa. Hujan terus dari siang, bosan saya. Mengantuk saya. Jadilah masak saja.”

Opa sudah terkekeh, beranjak mendekat.

Kadek adalah peselancar tangguh, otodidak sejak kecil dari menonton turis. Dia juga pandai mengemudi speedboat, jago memasak dan telaten. Aku menemukannya saat menjadi konsultan salah-satu hotel bintang lima di Nusa Dua, Bali. Kami lantas berteman baik. Aku menawarkannya pekerjaan yang tidak mungkin dia tolak. Mengurus kapal pesiar milik Opa. “Kau bebas membawanya kemana saja. Terserah. Mau mengelilingi dunia dengan kapal itu boleh. Sepanjang setiap kali Opa atau aku memerlukannya PACIFIC sudah merapat rapi di dermaga.” Sudah hampir tiga tahun Kadek mengurus kapal itu, kadang berminggu-minggu tertambat di dermaga, kadang berbulan-bulan melepas sauh. Dia pernah sendirian membawanya ke Bangkok, ikut pertandingan selancar. Kadek juga pernah membawa PACIFIC mengikuti race Australia – Maluku, juga race memutari Amerika hingga New York.

“Saya belum merapikan kamar-kamar, Pak Thom? Semua masih berantakan. Harusnya Pak Thom bilang-bilang saya. Bagaimana, saya ijin sejenak, boleh?”

“Tidak perlu, Kadek. Kau akan segera melepas sauh. Aku hanya sebentar saja di sini.” Aku menggeleng sekaligus melirik jam di pergelangan tangan.

“Sebentar saja? Pak Thom tidak ikut berlayar?”

“Tidak. Opa dan Om Liem yang akan ikut. Kau tidak perlu berlayar jauh-jauh, hanya mengitari kepulauan Seribu. Aktifkan telepon genggam satelit kau, aku setiap saat akan menghubungi jika terjadi sesuatu. Hindari bertemu dengan patroli laut yang ada, minimalkan kontak dengan siapapun, tetap mengapung di laut.” Aku mulai memberikan instruksi.

Kadek mengangguk, tangannya kembali mengaduk panci sop, aroma sop hangat menyebar ke seluruh dapur kapal. Inilah yang aku suka dengannya sejak dulu. Dia tidak banyak tanya. Pengalamannya sebagai peselancar, guide, pengajar kursus mengemudi speedboat, juru masak kafe, tukang suruh-suruh dan pekerjaan serabutan lainnya di Nusa Dua, Bali membuat Kadek paham, setiap orang punya urusan masing-masing, urus saja bagian sendiri, sisanya tutup mulut.

“Logistik kau cukup?”

“Cukup, Pak Thom. Untuk seminggu ke depan juga ada. Paling saya butuh mengisi tong air penuh-penuh. Apa saya harus menambah logistik lagi untuk perjalanan jauh, Pak Thom?”

“Tidak perlu. Kau hanya perlu mengapung di kepulauan Seribu hingga Senin pagi. Itu lebih dari cukup.” Aku menoleh, “Kita segera berangkat, Julia.”

“Eh?” Julia yang sedang asyik ikut mengerumuni panci sop Kadek menoleh.

“Ayolah, alangkah terburu-burunya, setidaknya kau menghabiskan semangkok sop kaki sapi yang lezat ini dulu, Tommi. Sudah lama kita tidak makan bersama.” Opa tersenyum, “Sepanjang hari kau juga pasti belum makan.”

Aku menggeleng. Ini bukan acara pesiar seperti biasanya.

“Bergegas, Julia. Ada banyak yang harus kita kerjakan.”

Julia mengangguk.

“Segera lepas sauh, tinggalkan dermaga. Jaga mereka berdua dengan hidup kau, Kadek.” Aku berkata pelan pada Kadek yang mengantar hingga tangga kapal.

Kadek mengangguk.

“Tidak ada yang boleh membawa mereka pergi dari kapal ini kecuali aku. Siapapun itu. Peduli setan jika ada pasukan katak angkatan laut yang mengepung kapal, kau bahkan boleh menggunakan Kalashnikova di kamarku dalam situasi darurat. Mengerti?”

Kadek kali ini menelan ludah. Lantas ragu-ragu mengangguk.

Aku dan Julia sudah berjalan cepat di pelataran dermaga, kembali menaiki mobil box laundry.

Setidaknya hingga besok pagi, aku bisa menitipkan Opa dan Om Liem ke tangan Kadek.



***

tezar
18-04-2011, 01:54 PM
Mobil box laundry meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa, menuju jantung kota.

“Hallo, Maggie.”

“Hallo, Thom. Kau baik-baik saja?” Suara Maggie terdengar kencang, bahkan sebelum kalimatku hilang di ujung speaker telepon genggam.

“Aku baik, Mag. Tidak ada yang perlu kucemaskan.”

“Oh, syukurlah.” Suara gadis itu terdengar amat lega, “Dari tadi aku hendak menelepon kau, tapi urung, khawatir kau tidak dalam situasi baik mengangkat telepon, jangan-jangan kau masih dikejar polisi. Jangan-jangan kau malah sedang di sel polisi.”

“Kau baik, Mag?” Aku memotong.

“Aku juga baik, Thom. Beberapa petugas sialan itu sempat berjaga di kantor selama satu jam, mengiterogasi, bertanya banyak hal, tapi mereka akhirnya pergi, bosan melihat wajah begoku, menganggapku hanya sekretaris tidak berguna, tidak tahu banyak hal.”

Aku tertawa sambil menginjak rem mendengar gurauan Maggie, jalanan kota tidak terlalu ramai, tapi gerimis membuat pengendara sepeda motor kadang tidak terlihat, “Mereka benar-benar keliru kalau begitu. Kau sekarang ada di mana?”

“Di mana lagi, Thom?” Maggie berseru ketus, “Aku di kantor sampai kau mengijinkanku pulang.”

Aku menyeringai, “Kau memang staf nomor satu, Mag.”

“Sudahlah basa-basinya, Thom. Semua kesibukan, tegang, panik ini tidak sebanding lagi dengan dua tiket berlibur yang kau janjikan. Aku akan menuntut lebih.”

Aku mengangguk—meski tentu saja Maggie tidak bisa melihatnya, “Update, Mag. Apapun yang sudah kau peroleh empat jam terakhir.”

Lampu merah, salah-satu perempatan besar kota Jakarta terlihat basah. Motor. Mobil. Ojek payung berlari-lari menyambut penumpang yang turun dari bus. Pedagang asongan. Detik hitung mundur berapa lama lagi lampu merah, terlihat dari balik kaca mobil box laundry.

“Kau sudah membaca koran sore, Thom? Pasti belum, mereka meletakkan berita kemungkinan Bank Semesta ditutup di halaman depan. Sebentar, satu, dua, ya, tiga koran sore melakukannya. Krisis dunia, bla-bla-bla, kondisi terakhir perekonomian nasional, bla-bla-bla, kemungkinan rush, panik bagi nasabah perbankan, bla-bla-bla, sepertinya wartawan dan editor senior yang kita undang melakukan pekerjaannya dengan baik. Aku yakin, besok pagi seluruh suratkabar besar juga akan meletakkan berita ini di headline.”

Aku mengangguk lagi, masih mengamati detik countdown lampu merah.

“Dua situs berita online juga mulai dipenuhi soal ini, Thom. Mereka meletakkannya di baris paling atas, membuat topik diskusi terkait. Sebentar, jumlah hit, sebentar, yaps, masih di nomor belasan sebagai topik paling sering dilihat. Tetapi cepat sekali kenaikan hitsnya, aku pikir besok siang, atau malah besok pagi sudah masuk sepuluh besar berita online yang paling sering diakses, jangan lupa ini masih libur, jadi tidak banyak yang online. Tiket konser itu sepertinya ampuh, Thom.”

Aku mengangguk, masih lima belas detik lagi lampu hijau.

“Kau sudah membaca dokumen pengambilalihan Bank Semesta oleh Om Liem?”

“Belum selesai.” Aku menjawab pendek.

“Ada update menarik, Thom. Aku menemukan sesuatu yang akan membuat kau terkejut. Salah-satu penasehat keuangan saat proses itu dilakukan adalah Erik.”

Mobil di belakangku menekan klakson. Lampu hijau menyala.

“Erik?” Aku berseru, untuk dua hal. Satu untuk nama Erik, dua untuk betapa tidak sabarnya mobil di belakangku, bergegas melepas rem tangan.

“Benar, Erik teman dekat kau. Ada nama lain yang mungkin menarik buat kau. Salah-satu pejabat level menengah bank sentral juga ikut terlibat dalam proses pengambilalihan itu. Mereka menyulap begitu banyak data, bank itu seharusnya ditutup sejak enam tahun lalu.”

Aku sudah tidak mendengarkan penjelasan Maggie lebih lanjut. Ini fakta kecil yang menarik. Nama Erik dan nama pejabat bank sentral itu, aku mengenalnya. Aku bergegas menutup pembicaraan, menyuruh Maggie terus mencari tahu apa yang bisa dia lakukan, “Ya, ya, ya, aku ini memang kacung paling bego kau, Thomas, aku akan menginap di kantor sajalah malam ini.” Maggie berkeluh kesah, tapi aku sudah menutup telepon, membanting setir, mobil berbalik arah seratus delapan puluh derajat, lebih banyak lagi klakson mobil yang marah karena kaget. Aku balas menekan klakson, membuat ramai perempatan. Tidak pernahkah mereka melihat mobil laundry yang terburu-buru mengantar cucian?

“Kita mau kemana?” Julia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan bertanya.

“Kita berpisah, Julia.” Aku menoleh selintas.

“Berpisah?”

“Ya, waktu kita terbatas, kita harus bergerak simultan secara terpisah agar bisa melakukan banyak hal. Kau terpaksa sendirian mengurus janji pertemuan dengan Menteri itu, gunakan seluruh akses yang dimiliki review mingguan.”

Julia menepuk dahi.

“Aku tahu itu tidak mudah, tapi editor senior kalian teman dekat sejak kuliah dengannya. Usahakan pertemuan ini terjadi paling telat besok siang, Julia. Bilang ke staf, ajudan, atau ke beliau langsung, ada isu penting sekali yang hendak dibicarakan review mingguan kalian. Isu yang menyangkut banyak uang milik perusahaan negara. Aku akan mengurus sesuatu yang lebih penting sekarang.”

“Kau mau kemana, Thom?”

“Nanti aku beritahu lewat telepon. Aku harus bergegas. Kau berhenti di mana? Halte depan? Aku tidak bisa mengantar ke kantor kau.”

“Di mana sajalah,” Julia terlihat sebal, “Aku naik taksi saja.”

Mobil box laundry merapat sembarangan.

“Aku berjanji akan segera menelepon kau, Julia. Pastikan pertemuan besok dengan Menteri terjadi.”

Julia mengangguk.

Aku sudah menekan pedal gas. Saatnya aku merakayasa sesuatu yang lebih serius sekarang.



***bresambung (absen ayo pada absen)

tezar
18-04-2011, 01:55 PM
*******-******* Berkelas - Episode 16
by Darwis Tere Liye on Wednesday, April 13, 2011 at 5:30pm

Mobil box laundry merapat ke salah-satu apartemen elit Jakarta.

“Aku sibuk, Thom. Tidak ada waktu.” Suara Erik justeru terdengar santai.

“Omong kosong. Selama ini, aku selalu punya waktu untuk kau, Erik. Bahkan dalam situasi mendesak sekalipun.” Berlari kecil melintasi lobi apartemen.

“Astaga, Thom. Tapi tidak sekarang. Ini hari Sabtu. Libur. Aku sudah hampir sembilan minggu tidak pernah menikmati weekend, bersantai menghabiskan waktu di apartemenku.”

“Itu berarti bagus, jadikan saja genap sepuluh minggu kau terpaksa tidak bisa bersantai.” Memencet angka 7 tombol lift.

“Baik, baik.” Suara Erik terdengar kesal, “Aku bisa menemui kau, tapi setengah jam saja, nanti malam pukul delapan, terserah kau di mana tempatnya.”

“Soal setengah jam, itu bukan masalah, Sobat. Lebih dari cukup. Soal nanti malam, nah itu yang jadi masalah. Sekarang, Erik, kita harus bertemu sekarang.” Pintu lift terbuka, aku melintasi lorong lantai.

“Sekarang? Memangnya kau ada di mana?”

“Lima detik lagi aku menekan bel apartemen kau. Nah, ting-tong.” Aku sudah memukul kasar bel di sebelah pintu jati berukiran itu.

“Eh?” Kalimat Erik terputus oleh suara bel.

Aku memasukkan telepon genggam ke dalam saku.

Wajah Erik muncul di balik pintu beberapa detik kemudian. Dia mengenakan kaos, berkeringat, “Kau gila, Thom. Ada apa sebenarnya?”

Aku melangkah masuk, mengabaikan tampang keberatannya.

Erik sedang latihan squash. Dia sengaja menyulap ruang depan dan ruang tengah apartemen luas dan mewahnya menjadi lapangan squash kecil. Aku dan beberapa teman dekat beberapa kali pernah berlatih bersama. Apartemen luasnya sepi, hanya suara televisi layar lebar terdengar berisik.

“Kau bermain sendirian?” Aku bertanya, melihat sekitar, meraih raket squash yang tergeletak.

Erik mengangkat bahu, “Semua orang sibuk, Thom. Bekerja seperti besok mau kiamat, jadi tidak ada yang mau kuajak latihan. Termasuk kau, tega sekali kau memotong sabtu santaiku.”

Aku melemparkan raket squash ke lantai, meraih remote televisi di atas meja kecil, menaikkan volume, ada liputan breaking news dari salah satu stasiun terkemuka. Pembawa acaranya sibuk melaporkan situasi terakhir di bursa saham Amerika tadi malam. Indeks Dow Jones jebol nyaris 500 poin, itu artinya kapitalisasi saham di sana menguap 4% dalam sehari, setara dengan ribuan trilyun rupiah, angka yang sama yang bisa menyekolahkan satu milyar anak hingga lulus kuliah. Kepanikan sedang terjadi di Amerika, beberapa bank dan institusi keuangan dilaporkan dalam kesulitan besar, menyusul Citibank, Lehman Brothers. Otoritas bank sentral, pejabat senior bahkan pengamat ekonomi peraih nobel memberikan komentar. Wajah-wajah bergegas, wajah-wajah lelah. Siapa lagi yang akan tumbang?

Pembawa acara berpindah ke berita berikutnya, Bank Semesta, bla-bla-bla, sumber terpercaya terakhir menyebutkan Bank Semesta akan ditutup, bla-bla-bla, resiko dampak sistemik di depan mata, bla-bla-bla, apakah krisis dunia akan tiba di Indonesia, aku sudah menekan tombol mute televisi. Bisu.

“Kencangkan lagi volumenya, Thom.” Erik justeru tertarik, dia melangkah mendekat, mendongak ke layar televisi yang tergantung di dinding lapangan squash-nya.

“Tidak penting, Sobat.” Aku menyeringai.

“Kencangkan, Thom. Ini penting setelah begitu banyak kabar sampah tentang kondisi terakhir dunia luar.” Erik berusaha meraih remote dari tanganku.

Aku menepis tangannya, menatap lamat-lamat Erik dengan tatapan dingin.

“Eh, ada apa?” Erik menelan ludah.

“Kenapa kau begitu tertarik dengan Bank Semesta, Sobat? Atau jangan-jangan kau salah-satu diantara begitu banyak orang yang berharap bank itu ditutup saja.”

“Eh, aku?” Erik mengangkat bahu, tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba sinis.

“Ya, kau salah-satunya. Misalnya agar rekomendasi keliru yang sengaja kau berikan enam tahun lalu musnah bersama hilangnya nama Bank Semesta, hah? Tidak ada lagi yang bisa membuktikan kalau seharusnya bank itu sudah ditutup sejak dulu.”

Erik diam, dia sepertinya baru menyadari apa tujuanku datang ke apartemennya.

“Apa maksud kau, Thomas?” Erik menyelidik.

Aku tertawa, “Kau hanya punya waktu setengah jam bukan? Baik. Aku sudah memakainya empat menit, berarti tinggal dua puluh enam menit. Kita akan bicara sambil berdiri seperti ini, atau kau akan berbaik-hati menyuruhku duduk?”

Erik bergumam samar, menyeka peluh di leher, mengangguk, menunjuk kursi.

Aku mengarahkan remote ke arah televisi, sekejap menekan tombol ‘off’.

Apartemen luas Erik lengang seketika.



***

tezar
18-04-2011, 01:56 PM
“Aku tidak mau melakukannya.” Erik menggeleng.

Lima belas menit setelah aku menjelaskan situasi dan menyebutkan permintaan.

“Kau akan melakukannya.” Aku berkata tegas, melempar bundel kertas yang diberikan Maggie tadi siang, “Atau aku akan menyebarkan dokumen ini ke seluruh wartawan yang kukenal.”

Erik menyambar kertas di atas meja, membaca selintas halaman depan, lantas merobeknya.

Aku tertawa, “Percuma, Sobat, aku masih punya master file-nya di kantor. Kau mau kugandakan jadi berapa? Lima belas foto copy? Lima ratus?”

Erik mendengus marah.

“Aku tidak tahu apa-apa, Thom!”

“Omong kosong, Erik.” Aku membentaknya, “Kau adalah penasehat keuangan yang memberikan opini ketika Om Liem mengakuisisi Bank Semesta. Dan teman kau yang di bank sentral itu, bertugas menutup-nutupi semua data, mengamini rekomendasi yang kau buat, sehingga petinggi bank sentral dengan mudah menyetujui proses akuisisi sekaligus merger empat bank kecil. Kalian pasangan yang hebat. Dua penjahat. Bank Semesta seharusnya sudah tinggal nama di papan nisan enam tahun lalu. Kalianlah yang berbusa menjualnya ke Om Liem.”

Erik tersengal, tapi dia tidak bisa berkomentar lagi.

“Santai saja, Sobat. Aku juga sering melakukan rekayasa laporan, mempermanis angka, memperindah tampilan. Semua penasehat keuangan macam kita terbiasa dengan window dressing, manipulasi. Bedanya, kau keliru telah memilih klien Bank Semesta, aku related party bank malang ini, aku berada di pihak dirugikan atas opini kau. Nah, sekarang aku akan berusaha mati-matian menjadikan laporan enam tahun lalu ini sebagai amunisi menghabisi kalian jika kau tidak mau membantuku.”

“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Thom?” Erik mendesis.

“Mudah saja, Sobat.” Aku tersenyum tipis, “Seperti yang tadi saya bilang. Teman kau di bank sentral itu sudah menjadi pejabat penting di sana. Apa mereka bilang, salah-satu bintang dalam hirarki karir bank sentral. Dia mengapalai dan bertanggung-jawab atas semua data, angka dan informasi seluruh pengawasan perbankan. Kita semua tahu, Erik, jika dia bilang A, maka jangankan deputi bahkan gubernur bank sentral juga akan bilang A. Mana sempat deputi gubernur bank sentral mengolah data sendiri, mereka tidak lebih hanya orang-orang berkuasa yang duduk di kursi nyaman. Mereka menerima semua data yang diletakkan di atas meja, tidak sempat melakukan verifikasi bahkan konfirmasi.

“Dalam hitungan jam ke depan, eskalasi kasus Bank Semesta akan bertambah besar, ketika seluruh media ribut mencemaskan tentang dampak sistemik, isu rush, kepanikan, hanya soal waktu komite stabilitas sistem keuangan akan mengundang pihak berkepentingan rapat membahas tentang Bank Semesta. Untuk menghadiri rapat itu, petinggi bank sentral akan membutuhkan data terakhir tentang Bank Semesta, angka-angka, informasi, perhitungan, semuanya.

“Nah, kau hubungi teman baik kau di bank sentral itu, minta agar dia melakukan hal yang sama enam tahun lalu, mempermanis laporan tentang Bank Semesta. Misalnya mempermanis angka talangan yang harus diberikan jika pemerintah memutuskan melakukan bailout. Boleh jadi angka sebenarnya tujuh trilyun, tapi teman kau bisa membuatnya hanya dua trilyun saja. Tujuh boleh jadi membuat komite segera menggeleng, resisten, tapi pembicaraan yang dimulai dengan angka dua, mereka akan manggut-manggut. Angka itu harus segera ada dalam laporan, ada di kepala petinggi bank sentral, dan disebutkan dalam rapat komite. Menjadi basis keputusan pertama mereka.”

“Kau gila, Thom. Dalam situasi seperti ini, mereka pasti akan melakukan verifikasi dan konfirmasi berkali-kali. Mereka tidak bodoh.”

“Aku lebih dari tahu soal itu, Erik. Kau lakukan saja skenarionya. Sekali rapat komite terjadi, teman kau di bank sentral itu boleh-boleh saja merubahnya lagi, bilang angka sebelumnya tidak update, cut-off keliru, tapi sekali rapat komite telah dilangsungkan, sekali mereka terdesak harus segera mengambil keputusan, dan aku sudah menyelipkan kepentingan di beberapa peserta rapat, maka apa bedanya dua trilyun dengan tujuh? Dalam dunia ini, kita telah mengambil keputusan bahkan sebelum keputusan itu terjadi, kita hanya butuh argumen yang cocok saja.”

Erik mengusap wajahnya.

“Apa sebenarnya yang sedang kau rencanakan, Thom?”

“Menyelamatkan Bank Semesta.”

“Kau tidak bisa mempengaruhi begitu banyak orang penting, Thom. Astaga, apakah kau berpikir bisa mempengaruhi menteri keuangan, gubernur bank sentral, bahkan Presiden sekalipun?”

Aku tertawa pelan, meraih sesuatu di atas meja, “Kita lihat saja nanti, Sobat. Sekarang kau urus saja yang kusuruh. Jika teman kau itu sama becusnya seperti enam tahun lalu, aku sudah memegang satu bidak, bank sentral. Dua bidak lain sedang kuurus. Nah, bergegas. Waktuku terbatas. Hubungi teman kau di bank sentral itu, ajak dia segera bertemu, mulai mempermanis banyak hal, atau aku segera mengirimkan dokumen yang kau robek tadi ke semua redaksi koran. Jika itu terjadi, karir kau, dan karir teman kau itu tamat bahkan sebelum Bank Semesta selesai dilikuidasi.”

Erik menghela nafas, menatapku lamat-lamat, “Kenapa kau melakukan ini padaku, Thom?”

Aku sudah berdiri, “Kau tidak mendengarkanku dengan baik. Aku related party Bank Semesta. Namaku boleh jadi tidak tercantum dimana-mana, tapi aku orang pertama yang akan menyelamatkan bank itu. Selamat tinggal, aku harus segera mengurus hal lain. Jangan matikan telepon genggam kau, aku akan menelepon kau kapan saja. Maaf membuat kau tidak bisa bersantai di akhir pekan untuk ke sepuluh kalinya. Dan satu lagi, aku pinjam mobil kau. Diparkir di tempat biasa, bukan?”

Erik bergumam kasar melihat kunci mobilnya yang kupegang. Wajah merahnya menggelembung, tetapi dia tidak berkomentar.

Aku sudah melangkah menuju pintu apartemen.



***bersambung

tezar
18-04-2011, 01:57 PM
*******-******* Berkelas - Episode 17
by Darwis Tere Liye on Thursday, April 14, 2011 at 5:13pm

Aku berganti kendaraan. Mobil Erik jauh lebih pantas dibanding mobil box laundry.

Segera menghubungi telepon genggam Julia.

“Julia, hallo, kau di mana? Suara kau tidak terdengar.” Aku berseru sambil menekan klakson, gerimis sudah raib di jalanan, bergantikan merah langit, sebentar lagi malam datang.

“Aku di konferensi pers, Thom.”

“Julia, bukankah kau seharusnya sedang mencari cara bertemu—“

“Aku sedang ikut konferensi pers, Thom. Kau bisa telepon aku setengah jam lagi.”

“Apa perlunya kau ikut konferensi? Kau tidak sedang meliput berita lebih penting, kitalah yang membuat berita. Kau seharusnya sedang menelepon kontak yang ada, meminta skedul—“

“Aku justeru persis di depan Menteri, Thom. Dia sedang bicara, semua wartawan berebut mengambil posisi paling depan.” Suara Julia terdengar kesal, “Setengah jam lalu ada rilis penting ke seluruh media massa, aku tidak jadi ke kantor, langsung berbelok arah, ada konferensi pers mendadak dari ketua komite stabilitas sistem keuangan. Dia memberikan tanggapan awal atas masalah Bank Semesta yang eskalasi masalahnya naik tajam sehari terakhir. Kalau beruntung, setelah konferensi pers, aku bisa meminta waktu resmi bertemu dengannya. Tidak bisakah kau bersabar? Aku akan melakukan tugasku dengan baik.” Suara sebal Julia masih terdengar dua-tiga kalimat lagi sebelum dia memutus percakapan.

“Besok, Thom. Kita pasti bertemu langsung dengannya, tapi sebelum itu terjadi biarkan aku mengurusnya. Setidaknya mencatat apa yang sedang dia omongkan. Mungkin itu berguna bagi kau.”

Persis satu detik Julia menutup pembicaraan, telepon genggamku berbunyi lagi.

“Kau di mana, Thom?”

Itu suara khas Ram.

“Kabur, kau pikir aku dimana lagi?” Aku menjawab pendek, bergumam, dalam situasi seperti ini Ram masih saja suka berbasa-basi.

Ram tertawa prihatin, “Tentu saja kau sedang kabur, maksudku kau persisnya lagi di mana?”

“Dibalik setir. Mengemudi di jalanan macet Jakarta.” Aku menatap datar keluar jendela, untuk kesekian kali mobilku terhenti di perempatan. Hari Sabtu, tetap saja jalanan kota padat.

“Om Liem bersama kau? Eh, maksudku, aku barusaja mendengar kabar kalau petugas polisi menyergap rumah peristirahatan di Waduk Jatiluhur, aku dengar kalian berhasil kabur lagi. Om Liem baik-baik saja?” Ram segera memperbaiki pertanyaan, sebelum aku kembali menjawab menyebalkan.

“Secara fisik dia baik-baik saja, jika itu maksud pertanyaan kau. Tetapi secara psikis mana aku tahu, untuk orang setua itu, boleh dibilang keajaiban kecil dia tidak terlihat stres, sakit kepala, atau bahkan jantungan dengan semua masalah.”

“Om Liem bersama kau, Thom?” Ram memotong.

“Tidak. Dia bersembunyi di tempat aman.”

“Di mana?”

“Astaga? Kenapa kau ingin tahu sekali?” Aku menekan klakson, menyuruh minggir angkutan umum yang berhenti sembarangan.

“Bukankah kau sendiri yang menyuruhku memberikan informasi ke Om Liem soal kabar terakhir Tante? Lagipula Om Liem hingga Bank Semesta pailit, adalah pimpinan seluruh group bisnis, ada banyak update perusahaan yang harus dia tahu. Dokumen-dokumen yang harus dia tanda-tangani. Surat-surat dan korespondensi dua hari terakhir yang belum sempat dia baca. Aku bertanggung-jawab memastikan itu semua berjalan baik.” Ram terdengar sedikit tersinggung.

“Bagaimana kabar Tante?” Aku memotong kalimat protesnya.

“Tante Liem baik. Dokter sudah mengijinkannya pulang barusaja, bisa dirawat di rumah.”

“Nah, biar aku saja yang menyampaikan kabar baik ini pada Om Liem. Juga urusan pekerjaan, kau suruh salah-satu staf perusahaan menitipkan dokumen, surat, apapun ke Maggie, nanti Maggie yang akan mengirimkanya padaku, itupun jika urusan itu tidak bisa menunggu hingga hari Senin. Situasi berubah, Ram. Aku memutuskan, satu-satunya akses kepada Om Liem adalah aku. Dia sedang bersembunyi di salah-satu rumah miliknya. Tidak boleh ada yang tahu.”

Ram terdengar menggerutu sebelum menutup telepon.

Aku menyeringai, kembali menatap jalanan yang macet.

Aku tahu Ram adalah orang kepercayaan Om Liem belasan tahun terakhir. Dia bahkan ikut keluarga Om Liem sejak kecil, disekolahkan, diberikan kesempatan mengurus bisnis keluarga dan dilatih langsung oleh Om Liem. Tetapi saat ini, satu-satunya orang yang kupercaya adalah diriku sendiri. Bahkan aku tidak mempercayai Om Liem—dalam situasi ini satu-dua kalimat dan tingkah bodoh bisa membuat seseorang (termasuk Om Liem atau Ram) tanpa disengaja telah mengkhianati sesuatu, jadi bukan sekadar soal dapat dipercaya atau tidak lagi.

Telepon genggamku kembali berbunyi.

“Ada berita penting, Thom.”

tezar
18-04-2011, 01:57 PM
“Umur panjang, baru saja kusebut, kau sudah meneleponku, Maggie.” Aku tertawa kecil, sedetik mengingat hal bodoh yang pernah kami lakukan saat masih menjadi mahasiswa sekolah bisnis. Baru saja kusebut nama Maggie pada Ram, dia meneleponku.

Ini sudah menjadi tradisi panjang yang tidak bisa ditelusuri muasalnya. Setiap kali kita habis menyebut nama seseorang, dan tiba-tiba dia muncul, orang-orang tua kita selalu mencontohkan berseru, “Umur panjang.” Kami dulu suka jahil membahas hal-hal seperti ini di tengah pening mengerjakan tugas dari Professor yang bertumpuk. Apa coba hubungannya umur panjang dengan tiba-tiba dia muncul?

“Terima-kasih doanya, Thom. Tetapi aku harap tidak menghabiskan umur panjangku dengan bekerja di tempat kau.” Maggie tidak tertawa, dia fokus, “Berita penting, Thom.”

“Silahkan.” Aku menjawab takjim.

“Gubernur bank sentral dan kepala lembaga penjaminan simpanan malam ini pukul tujuh akan menumpang pesawat keluar kota. Mereka ada jadwal mengisi kuliah umum bersama di salah-satu kampus terkemuka besok pagi-pagi, dan segera kembali ke Jakarta setelah itu. Kau mau kubelikan satu tiket kelas eksekutif agar bisa bersebelahan kursi dengan mereka skedul malam ini atau besok paginya?”

Aku sungguh tertawa untuk sesuatu yang lebih penting sekarang. Ini adalah update paling brilian yang disampaikan Maggie dua belas jam terakhir. Maggie adalah stafku yang paling cerdas, dia berpikir sama sistematisnya denganku. “Bisa dipahami, Thom. Maggie hampir empat tahun menjadi staf kau. Mengikuti ritme, cara, waktu kerja, bahkan pola berpikir kau. Dia berkembang menjadi staf paling mutakhir dan resourcesfull karena kau, Thom.” Itu komentar Theo, teman dekatku sejak suka bicara omong-kosong tentang ‘panjang umur’ di sekolah bisnis. Aku tidak tahu apakah Theo serius, yang aku tahu, Maggie adalah salah-satu amunisi terbaikku.

“Skedul yang mana, Thom? Malam ini atau besok pagi? Aku masih punya pekerjaan lain selain mengurus tiket kau.” Suara ketus Maggie kembali terdengar.

“Segera, Mag, yang malam ini. Kau pastikan ke petugas city check-in agar aku persis duduk di sebelah mereka. Kau emailkan e-tiketnya. Aku segera menuju bandara sekarang.” Aku mengangguk, memutus pembicaraan, melempar telepon genggam sembarangan, lantas tangan kiriku mengganti persneling, membanting setir, menekan klakson panjang, mobil yang kukemudikan berputar tajam. Membuat ‘pak ogah’, pengatur lalu lintas gadungan yang sering mangkal di perempatan, U-turn, atau bagian jalan apa saja yang sering macet terbirit-birit takut kena tabrak.

Hampir pukul enam sore. Warna merah jingga di langit mulai pudar, bergantikan gelap. Waktuku tinggal 36 jam, 15 menit sebelum pukul 08.00 hari Senin.

Mobilku melesat cepat menaiki ramp jalan, menuju pintu tol bandara. Ini kesempatan hebat, mana boleh ditunda hingga besok, jika berhasil, sekali dayung, aku bisa mempengaruhi dua peserta rapat komite stabilitas sistem keuangan sekaligus.



***bersambung

tezar
18-04-2011, 02:05 PM
*******-******* Berkelas - Episode 18
by Darwis Tere Liye on Friday, April 15, 2011 at 5:27pm

Aku masih sempat meminta Maggie mencari data terakhir seluruh aset yang tercatat atas nama Om Liem secara pribadi maupun group bisnis di luar negeri sebelum melintasi garbarata pesawat. Apapun, deposito, tabungan, saham, properti, kapal, kepemilikan klub olahraga, aset bergerak maupun tidak bergerak. Cari semua data, China, Hongkong, Swiss, Inggris, di mana saja Om Liem pernah melakukan investasi. Itu pasti berguna. Maggie bilang dia bisa segera mengusahakannya. Aku mengangguk takjim, memasukkan telepon genggam ke saku jas.

Jas? Tentu saja.

Sebelumnya aku juga sempat mampir ke salah-satu butik di ruang tunggu keberangkatan domestik, membeli satu stel pakaian yang baik, berganti di ruang pas. Sejak tadi malam aku belum berganti pakaian, urusan ini bahkan membuatku belum tidur, belum makan, juga belum mandi. Penjaga butik bingung saat melihatku keluar dari ruang pas dengan pakaian rapi, langsung menuju meja kasir.

“Kau belum pernah melihat pembeli yang langsung memakai baju yang dibelinya?” Aku berkomentar santai, mengeluarkan kartu kredit.

“Eh, bukan itu. Maaf.” Gadis itu salah-tingkah.

Temannya menyikut lengan, menyuruhnya bergegas menyelesaikan transaksi.

Aku juga sempat mampir ke toko buku di sebelah butik itu, mencomot sembarang buku paling mutakhir tentang perbankan, beberapa majalah mingguan ekonomi terkemuka dunia, ditambah suratkabar sore berbahasa Inggris. Hingga akhirnya final call penerbangan ke Yogyakarta terdengar di langit-langit bandara. Tampilanku sudah lebih dari cukup meyakinkan, aku berjalan santai menuju gate enam, menyerahkan boarding pass, lantas melintasi garbarata yang dipenuhi penumpang.

Pramugari tersenyum menyapa, “Seat nomor berapa?”

Aku membalas senyumnya, sambil menyebut nomor kursi.

“Silahkan, Pak Thomas.” Sudah standar baku kelas eksekutif, pramugari menghafal seluruh nama calon penumpang yang lima menit lalu diberikan petugas ground handling.

Maggie benar, dua pejabat tinggi negara itu sudah duduk di kursi masing-masing. Aku persis di seberang mereka, terpisah lorong kecil. Kelas eksekutif yang hanya menyediakan dua belas kursi terisi separuh. Aku duduk dengan rileks, memasang safety belt, lantas membuka koran sore, mulai pura-pura membaca headline besar tentang Bank Semesta.

Dua pejabat di sebelahku membicarakan sesuatu, tertawa terkendali—nostalgia kampus lama mereka sepertinya, tempat mereka besok mengisi kuliah umum. Pesawat mulai memasuki runaway, dalam hitungan detik, pilot menginformasikan pesawat siap take off, aku tetap serius membaca koran sore, tidak peduli gerung pesawat yang terbang, lepas landas.

Peraturan pertama: jika kalian ingin menarik perhatian seseorang (apalagi dua orang) dengan level yang sudah terlalu tinggi dibanding kalian, maka lakukanlah dengan cara ekstrem.

Lima menit, lampu safety belt sudah dipadamkan, pesawat sudah stabil di ketinggian, pramugari yang selalu tersenyum sudah mengeluarkan trolley makanan menu spesial kelas eksekutif.

“*******!” Aku berseru, memukul koran sore berbahasa inggris di tanganku.

Pramugari bahkan hampir saja menumpahkan kopi dari tekonya. Penumpang kabin eksekutif menoleh. Dan karena dua petinggi lembaga keuangan itu persis di seberang lorongku, mereka orang pertama yang melongok padaku.

“Maaf, astaga, maaf aku sungguh tidak bermaksud demikian.” Aku mengangguk penuh penyesalan pada pramugari, menoleh ke sebelah, menatap mereka sambil menggeleng pelan.

“Maaf, aku sedang membaca berita, lihat, astaga, apa yang mereka tulis di koran ini? Bank Semesta harus diselamatkan, omong kosong. Tidak perlu pakar keuangan untuk tahu betapa bobroknya bank ini. Pemiliknya penjahat, maling besar. Enak saja mereka mengambil uang milik rakyat untuk menalangi, mengganti uang orang-orang kaya yang boleh jadi membayar pajak saja tidak pernah.”

Aku menghela nafas, benar-benar menyesal telah memaki di depan orang-orang berpendidikan.

Peraturan kedua: dalam situasi frontal, percakapan terbuka, maka cara terbaik menanamkan ide di kepala orang adalah justeru dengan mengambil sisi terbalik. Untuk sebuah kasus netral, yang boleh jadi orang tertentu sudah memiliki pendapat dan keberpihakan, ketika dia masuk dalam pembicaraan di mana salah-satu pihak terlalu kasar, terlalu menyerang, terlalu naif dan penuh kemarahan, orang yang telah memiliki pendapat dengan cepat bisa jadi mengambil posisi berseberangan tanpa dia sadari—dengan alasan mulai dari tidak mau kalah, ingin terlihat bijak; hingga alasan lainnya.

Sesungguhnya kita semua bereaksi sama dalam setiap percakapan, perdebatan, tidak peduli kalian pejabat tinggi negara, eksekutif perusahaan besar, atau sekadar sopir angkutan umum yang mangkal di perempatan atau pengangguran di kedai kopi.

tezar
18-04-2011, 02:05 PM
Dua petinggi lembaga keuangan itu masih menoleh padaku, menyelidik sejenak. Ini detik yang krusial. Mereka bisa saja sekejap tidak tertarik membahasnya. Urung, berpikir cermat, buat apa menanggapi makian rekan satu pesawat, ada banyak yang harus dipikirkan, urus saja masalah sendiri—peduli amat dengan tampilannya yang meyakinkan, buku keuangan bestseller, majalah terkemuka yang berserak di pangkuan.

Aku harus segera bertindak sebelum dua orang di sebelahku ini kembali sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri.

“Ini benar-benar kacau balau. Seharusnya pemerintah lebih tegas, seharusnya bank sentral sejak enam tahun lalu sudah menutup bank ini. Apa saja kerja mereka selama ini? Lihatlah, ribuan nasabah produk hibrid investasi-tabungan bank ini terzalimi, uang mereka sekarang hilang tidak ada yang mengganti. Andaikata sejak dulu sudah ditutup.” Aku mengusap wajah, memasang wajah amat kecewa.

Nah, dengan kalimatku barusan, aku jelas sudah memecahkan bisul percakapan.

Inilah peraturan ketiga, peraturan paling penting: dalam sebuah skenario infiltrasi ide, jangan pernah peduli dengan latar belakang lawan bicara kalian. Konsep egaliter menemukan tempat sebenar-benarnya. Bahkan termasuk ketika kalian wawancara pekerjaan misalnya, sekali kalian merasa adalah ‘orang yang mencari pekerjaan’, sementara mereka yang menyeleksi adalah ‘orang yang memegang leher masa depan kalian’, maka tidak akan pernah ada dialog yang sejajar, pantas, dan mengesankan.

Aku sudah memulai percakapan itu dengan pembukaan ‘gambit menteri’ dalam pertandingan catur. Maka hanya soal waktu, percakapan seru selama satu jam itu bergulir.

“Tentu saja ini bukan semata-mata salah otoritas pengawas. Dalam sistem paling baik sekalipun, ketika ada individu yang memang sudah jahat dari awal, dia bisa mengakali banyak hal. Usaha preventif, alert peringatan dini, peraturan-peraturan pencegahan, audit berkala, itu semua menjadi sia-sia. Bahkan sebenarnya kita sudah punya peraturan yang melarang kriminal menjadi direksi dan pemilik bank, kita selalu melakukan fit and proper test.” Petinggi bank sentral berusaha menjelaskan dengan arif—meluruskan kalimat kasarku lima menit lalu.

Aku mengangguk mengamini.

“Situasi sekarang rumit, Thomas. Kau boleh jadi benar, kita sudah seharusnya menutup Bank Semesta enam tahun lalu, ketika perekonomian global tanpa riak, eskalasi masalah Bank Semesta juga masih kecil. Sekarang orang-orang bicara tentang dampak sistemik. Bahaya kartu remi roboh. Dalam situasi panik, otoritas bank sentral tidak mungkin membiarkan satu bank jatuh, menyeret bank-bank lain, kami bertanggung-jawab penuh atas situasi itu. Nah, ketika situasi terburuk masih mungkin terjadi, maka lebih bijak mengambil situasi buruk yang paling kecil resikonya.” Lima belas menit berlalu, mereka sudah tahu namaku—demi sopan-santun pembicaraan, aku memperkenalkan diri.

“Tetapi pemiliknya perampok besar, Pak. Dan Bank Semesta, ibarat rumah, adalah rumah perampok besar. Di mana letak rasa keadilannya?” Aku pura-pura masih tidak terima, tiga puluh menit pembicaraan, gelas kopi kedua dari pramugari terhidang.

Pejabat bank sentral tersenyum, menggeleng, “Kau keliru, Thomas. Aku paham apa yang kau maksud, anak muda seperti kau terkadang terlalu emosional. Boleh jadi bank itu adalah rumah perampok, tapi ketika dia terbakar di tengah angin kencang, musim kemarau krisis dunia, kalau kita biarkan sendiri, apinya akan menjalar ke rumah-rumah lain, bahayanya akan lebih besar lagi. Jadi pilihan terbaiknya boleh jadi memadamkan api rumah itu dulu. Urusan menangkap rampok, mengambil harta yang pernah dia rampok, tentu saja harus dilakukan sesuai koridor hukum yang ada.”

Aku menghela nafas, masih hendak membantah.

“Jangan lupakan satu fakta kecil, Thomas.” Kepala lembaga penjamin simpanan ikut menambahkan—dan otomatis dia pasti dalam posisi yang sama dengan pejabat bank sentral, “Kalaupun pemerintah memutuskan memberikan talangan, dana itu diambil dari premi yang dikeluarkan seluruh bank untuk tabungan, deposito dan rekening lainnya milik nasabah. Jadi itu bukan uang rakyat, itu persis seperti premi yang dibayar pemilik kendaraan. Ketika ada satu kendaraan yang meminta klaim rusak, atau bahkan hilang, maka itu diambil dari kumpulan uang premi yang ada. Bukan uang rakyat, Thomas.”

Empat puluh lima menit berlalu, sebentar lagi pesawat mendarat, hanya soal waktu tanda safety belt kembali menyala. Dua petinggi lembaga keuangan itu sempurna sudah ‘menguasai’ pembicaraan, berhasil memberikan pemahaman yang baik kepadaku tentang wisdom dan berhentilah kasar menilai. Kebijakan bukanlah ilmu pasti, sepintar apapun kau.

“Kita tidak tahu. Belum.” Pejabat bank sentral menggeleng takjim, “Boleh jadi besok siang, boleh jadi besok malam ketua komite stabilitas sistem keuangan akan mengundang seluruh pihak. Komitelah yang paling berwewenang memutuskan apakah Bank Semesta akan di-bail-out atau tidak. Situasinya bergerak cepat sekali. Dua hari lalu kita masih merahasiakan banyak hal. Hari ini seluruh media massa seperti sudah tahu rilis terbaru dari kami. Ohiya, rasa-rasanya aku pernah bertemu dengan kau, Thomas?”

Aku ikut tertawa, “Mungkin kita pernah satu pesawat, Pak. Dan Bapak waktu itu juga pernah melihat anak muda yang mengeluarkan makian.”

Mereka berdua tertawa.

Lampu safety belt menyala. Pesawat yang kami tumpangi siap mendarat. Satu-dua kalimat basa-basi penutup percakapan, “Terima-kasih banyak atas pembicaraan yang hebat ini, Pak. Aku jadi memahami banyak hal.” Aku mengangguk. Mereka tersenyum.

Di lorong garbarata turun dari pesawat, gubernur bank sentral sempat menepuk bahuku, “Aku tidak mungkin salah. Aku pernah bertemu dengan kau, Thomas. Kau ikut hadir di konvensi perbankan Jenewa, bukan? Kau *******, eh maksudku anak muda yang berkelas, Thomas. Esok-lusa, siapa tahu jika kau tertarik menjadi pejabat publik, kau bisa menjadi pejabat yang lebih baik, berani, dan taktis dibanding kami. Ini antara kau dan aku saja, dulu waktu masih sibuk mengajar di kampus, kami selalu memanggil mahasiswa paling pintar dengan sebutan *******. Kalimat makian kau tadi mengingatkanku banyak hal.”

Nah, inilah peraturan kelima, terkadang kita butuh keberuntungan, aku tidak menduga kata ‘*******’ itulah kunci terbaik percakapan kami, aku bergegas menggeleng “Tidaklah, Pak. Saya harus belajar banyak mengendalikan emosi bahkan sebelum memikirkan tentang kemungkinan itu.”

Mereka berdua hilang di lobi bandara yang ramai.

Aku bergegas kembali menuju loket penjualan tiket.

“Satu tiket penerbangan ke Jakarta malam ini.”

“Kelas eksekutifnya penuh.”

“Aku harus kembali ke Jakarta segera. Apa saja, tiket bergelantungan, bahkan tiket duduk di toiletnya saja tidak masalah.”

Gadis yang menjaga loket tertegun sejenak.

“Aku hanya bergurau. Kau bergegas.”



***bersambung

tezar
18-04-2011, 02:06 PM
*******-******* Berkelas - Episode 19
by Darwis Tere Liye on Saturday, April 16, 2011 at 4:00pm

Maggie meneleponku sebelum aku naik pesawat penerbangan kembali ke Jakarta. Dia baru saja mengirim email daftar aset milik Om Liem dan group perusahaan di luar negeri. Aku men-download dan membuka file penting itu lewat aplikasi telepon genggam sambil menunggu jadwal boarding.

Teringat sesuatu, aku menjeda proses aplikasi spreadsheet, memutuskan menelepon Ram.

“Kau ada di mana, Thom?” Ram bertanya.

Aku memakinya dalam hati, sepanjang hari, entah dia yang menelepon atau aku, dia selalu saja bertanya hal yang sama. Terlalu pencemas, terlalu selalu ingin tahu, terlalu ingin semua terkendali.

“Aku di luar kota. Dan berhentilah bertanya aku di mana. Semua baik-baik saja, Ram.”

“Luar kota? Apa yang kau lakukan di sana, Thom? Bukankah kau baru dua jam lalu masih mengemudi di jalanan macet Jakarta?”

“Aku tiba-tiba kangen gudeg, Ram. Hanya makan malam saja, sekarang segera kembali.” Aku nyengir, menatap sekitar, ruang tunggu terlihat ramai. Penerbangan terakhir ke Jakarta selalu saja ramai.

“Eh?”

“Lupakan, Ram. Kau bisa membantuku? Ada hal penting yang harus kuurus.” Aku segera fokus pada kenapa aku teringat untuk meneleponnya.

“Tentu, Thom. Apa saja yang kau minta akan kulakukan.”

“Baik. Kau bisa suruh salah-satu staf kau, dia pasti punya daftar seratus pemilik rekening terbesar di Bank Semesta, rekening individu, bukan perusahaan. Suruh dia menelepon seluruh daftar itu, minta segera berkumpul di salah-satu hotel, kau bisa sewakan ruang pertemuan private.”

“Eh, untuk apa, Thom.”

“Laksanakan saja, Ram. Jangan banyak tanya.” Aku menyergah, “Minta seluruh pemilik rekening itu berkumpul pukul sebelas malam ini, tiga jam lagi.”

“Astaga, bagaimana mungkin aku melakukannya?”

“Memangnya kau tidak bisa menyuruh staf kau lembur sekarang? Ini darurat.” Aku memotong. Bahkan Maggie sejak tadi pagi terus berada di posisinya mendukungku. Aku awalnya hendak menyuruh Maggie, tapi dia pasti sedang sibuk mengerjakan urusan lain. Ada banyak staf Bank Semesta yang bisa disuruh.

“Bukan itu maksudku, Thom. Bahkan bisa saja aku sendiri yang melakukan permintaan kau, daftarnya ada di hadapanku sekarang, lengkap dengan kontak mereka. Tapi bagaimana mungkin kau menyuruh pemilik rekening itu berkumpul pukul sebelas malam. Mereka punya kesibukan. Mereka nasabah private banking, yang ada kita yang datang ke rumah mereka selama ini, beramah-tamah.”

“Itu mudah, Ram.” Aku mengusap pelipis, langit-langit ruang tunggu bandara terasa gerah, pendingin udaranya tidak kuasa mengusir hawa panas, “Bilang ke mereka, sistem penjaminan simpanan perbankan kita hanya melindungi rekening di bawah dua milyar. Jika Bank Semesta hari Senin dinyatakan pailit, ditutup bank sentral, maka semua rekening dengan nilai di atas itu akan musnah seperti abu kertas dilempar di udara. Nah, sekarang, terserah mereka, bersedia datang segera pukul sebelas di ruang pertemuan kita, atau mereka akan membiarkan abu kertas itu berserakan di kaki mereka.”

Suara Ram hilang sejenak di seberang sana—bahkan helaan nafas tidak terdengar.

“Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan, Thom?” Ram akhirnya berkomentar.

“Jangan banyak tanya dulu, Ram. Segera lakukan. Dan aku berani bertaruh, mereka akan terbirit-birit datang. Kau segera kirimkan sms padaku hotel yang kau pilih. Nah, itu sudah terdengar pengumuman boarding, aku harus segera masuk pesawat.”

Ram terdengar mengeluh sesuatu.

Aku berdiri, memutus percakapan.

Puluhan penumpang lain juga berdiri, bergegas mengisi antrian di depan petugas.



***

tezar
18-04-2011, 02:07 PM
Satu jam lagi di langit.

Aku melangkah cepat melewati lorong bandara, pukul 21.30, pesawat sudah mendarat beberapa menit lalu. Masih satu setengah jam dari jadwal pertemuan yang kuminta dari Ram, tapi bergegas tiba lebih dulu di tempat pertemuan lebih baik. Menyalakan telepon genggam, Ram seharusnya sudah mengirimkan sms lokasi pertemuan.

Baru saja loading telepon genggam selesai, satu panggilan masuk berbunyi.

Nomor telepon satelit milik Kadek.

“Pak Thom.” Kadek berseru, suaranya setengah panik, setengah lega, “Saya telepon Pak Thom sejak satu jam lalu, tidak masuk juga. Berkali-kali saya coba. Akhirnya.”

“Saya sedang di pesawat, Kadek, telepon kumatikan. Ada apa?” Aku mendahului beberapa penumpang yang asyik bicara sambil mendorong koper bagasi.

“Opa, Pak Thom. Opa semaput.”

Langkah kakiku tertahan.

“Kau bilang apa, Kadek?” Aku menelan ludah, ini berita buruk.

“Opa semaput, Pak Thom. Saya, saya pikir tadi saat Pak Thom dan yang lain tiba, Pak Thom sudah membawa keperluan obat Opa. Di kapal sudah sejak sebulan lalu stok insulin habis. Kadar gula Opa naik tajam, Opa hampir pingsan. Saya sungguh minta maaf, lupa memberitahu, Pak Thom.”

“Posisi kau di mana, Kadek?” Aku memotong kalimat cemas Kadek, sekaligus mengusir selintas pikiran betapa bodohnya urusan ini. Seharusnya aku juga menyadari sejak berangkat dari rumah peristirahatan, tas obat-obatan Opa harus dibawa—semua karena Rudi si boxer sialan, gara-gara pasukan kecil dia aku melupakan detail kecil ini.

“Posisi kau di mana sekarang, Kadek?” Aku mengulang pertanyaan, Kadek tidak segera menjawab.

“Eh, 106 derajat, 23 menit bujur timur, 05 derajat, 59 menit lintang selatan—“

“Bukan itu, Kadek.” Aku berseru kencang, membuat penumpang lain yang memadati lorong menuju lobi kedatangan bandara menoleh, aku mengutuk Kadek dalam hati, dia pastilah sedang tegang mengemudi kapal, dia reflek menyebutkan posisi GPS kapal yang terlihat dari display kemudi, “Kau berapa kilometer lagi dari Sunda Kelapa?”

“Maaf, Pak Thom, sembilan belas kilometer lagi. Saya sudah berusaha secepat mungkin kembali ke dermaga sejak Opa semaput. Saya menelepon, maksud saya, kalau Pak Thom bisa menghubungi dokter Opa, atau siapa saja, menyuruh mereka bergegas ke dermaga, biar Opa segera mendapat suntikan insulin persis kapal merapat.”

“Ya, akan aku lakukan.” Aku menjawab cepat.

“Syukurlah, Pak Thom. Aku akan mengebut sebisa mungkin ke dermaga.”

“Kau jangan panik, Kadek. Tetap terkendali, selalu berpikir jernih. Paham?” Aku meneriakinya sebelum menutup telepon. Suara Kadek segera hilang, dia telah kembali konsentrasi penuh pada kemudi kapal.

Aku mendengus, bergegas membuka daftar kontak di telepon genggam, kakiku juga melangkah cepat menuju lobi kedatangan. Masih satu jam lebih sebelum pukul sebelas malam, jika jalanan kota tidak macet, aku bisa ke dermaga sebelum menuju lokasi pertemuan, memastikan sebentar Opa baik-baik saja. Di mana pula aku menyimpan nomor telepon dokter Opa.

Tidak kutemukan. Jangan-jangan aku tidak menyimpan nomor teleponnya.

Bergegas hendak menghubungi Maggie, dia bisa mencari tahu segera.

Kakiku sudah tiba di lobi kedatangan yang gaduh. Orang-orang berteriak, karton bertuliskan nama, tawaran taksi, semua berkeliaran.

“Jangan bergerak!” Suara tegas dan dingin itu membekukan lobi kedatangan.

Enam, sepuluh, tidak, lebih dari belasan polisi dengan pakaian serbu lengkap sudah mengepungku, mereka bermunculan dari balik keramaian, senjata mereka teracung sempurna padaku.

Aku berdiri termangu. Meneguk ludah.

Sebelum aku sempat bereaksi, bahkan berpikir harus melakukan apa, salah-satu dari mereka telah tangkas menyergap tanganku, telepon genggam terjatuh, aku terbanting duduk, lututku terasa sakit menghantam keramik lobi. Dalam hitungan detik saja, tanganku sudah terborgol.

“Berdiri!” Moncong senjata laras panjang menyodok punggungku.

Aku mengaduh pelan, patah-patah berusaha berdiri.

“Bergegas!” Dua petugas lain sudah kasar membantuku berdiri, tidak sabaran.

Aku menelan ludah.

“Jalan, *******.” Wajah dibungkus kedok itu terlihat dingin, tanpa kompromi.

Aku mengangguk, melangkah menuju arah senjata teracung.

Situasi kali ini jauh lebih serius dibanding di rumah peristirahatan Opa. Bukan karena jumlah mereka lebih banyak, bukan pula karena ratusan mata penumpang yang baru turun, sanak-keluarga atau teman penjemput, sopir taksi, calo, bahkan tukang sapu pelataran bandara sibuk menonton, berbisik satu sama lain. Tetapi karena ditilik dari pasukan ini, setelah dua kali tertipu olehku, mereka bertindak lebih hati-hati dan penuh perhitungan.

Belasan senjata masih terarah padaku, seolah takut aku bisa melepas borgol seperti jagoan dalam film, lantas menggebuki mereka satu-persatu.

“Bergegas, atau kutembak kaki kau.” Salah-satu dari polisi membentak.

Aku menghembuskan nafas. Melangkah lebih cepat. Mereka menggiringku menuju salah-satu mobil taktis yang terparkir persis di depan lobi kedatangan, membuat kemacetan.

Pintu mobil taktis terbuka lebar-lebar.

“Naik.” Popor senjata kembali menyodok perutku.

Aku mengeluh. Tidak, tidak bisakah mereka berhitung dengan situasi? Dengan belasan polisi, aku pasti menuruti semua perintah, tidak perlu dipaksa dengan kekerasan.

Sebaliknya, petugas polisi mendorongku kasar, aku untuk kedua kalinya tersungkur.

“Duduk!” Mereka membentak.

Aku bergumam sesuatu, patuh duduk.

Pintu mobil taktis ditutup segera, berdebam.

Empat polisi mengawalku di dalam, tetap dengan senjata teracung, sisanya berlarian menaiki kendaraan lain. Suara sirene meraung, dengan cepat rombongan mobil meninggalkan bandara. Meninggalkan wajah-wajah ingin tahu yang diterpa semburat cahaya lampu.

Lengang sejenak. Saling pandang.

Kesibukan bandara kembali gaduh dengan lenyapnya suara sirene di kejauhan.

***

tezar
18-04-2011, 02:07 PM
“Selamat malam, Thomas.” Suara berat itu menyapa.

Aku menoleh, ternyata ada orang lain yang duduk di pojok mobil taktis polisi. Dua orang. Remang cahaya lampu jalanan yang menelisik kisi-kisi kaca membuatnya tidak terlihat jelas.

Tetapi aku sungguh mengenal mereka.

Jika saja aku tidak terlatih, tidak ingat situasinya, aku sudah loncat, memukul, menendang, apa saja yang bisa kulakukan pada dua orang di hadapanku. Tidak. Dalam mimpiku, beribu kali aku membayangkan situasi ini. Beribu kali aku menulis jalan ceritanya. Aku selalu membayangkannya dengan penuh kebencian. Tidak, aku akan menunggu saatnya tiba.

Aku menghela nafas pelan. Berusaha terkendali.

“Kau cukup hebat, Thomas.” Tertawa pelan.

“Cukup hebat kau bilang? ******** kecil ini sangat hebat, Kawan. Siapa nama pemimpin pasukan paling tangguh milik kau itu? Rudi? Mudah saja dia menghajarnya. Dan jangan lupa, kemarin malam dia kabur dari penjagaan puluhan petugas kau, permisi menumpang lewat.” Rekan di sebelahnya ikut tertawa.

“Jangan sebut nama pecundang itu di depanku. Mulai besok, pecundang itu bertugas di perempatan lampu merah, menjadi polisi pengatur lalu lintas.” Temannya melambaikan tangan.

Mereka berdua tertawa lagi.

Aku menggerung dalam hati. Berusaha mati-matian tetap terkendali.

“Siapa kau sebenarnya, Thomas?” Mereka bertanya amat ramah, dengan intonasi seperti sedang menyapa teman karib lama.

Aku tetap bungkam.

“Nama kau tidak ditemukan dalam daftar orang-orang kepercayaan Liem, karyawan, staf. Juga dalam daftar keluarganya. Tidak ada. Bahkan nama kau tidak ada di penerima beasiswa, penerima bantuan, pihak terkait, apa saja. Siapa kau sebenarnya, Thomas?”

Aku masih bungkam.

“Jangan-jangan kau bekas agen rahasia luar negeri yang baru saja direkrut Liem untuk membantunya? Hebat sekali kau mengelabui kami.”

Rekannya tertawa, “Hentikan bualan kau, Kawan. Itu berlebihan. Nah, Thomas, siapa kau sebenarnya?”

Aku terus diam, menelan ludah, setidaknya aku diuntungkan satu hal, mereka tidak tahu hubunganku dengan Om Liem. Sebaliknya, aku tahu sekali siapa dua orang di hadapanku sekarang. Suara sirene terus meraung, konvoi mobil polisi terus menyibak jalanan tol yang cukup padat.

“Siapa kau, Thomas. Ayolah, jawab saja pertanyaan sederhana ini.” Suara mereka berubah serius setelah dua menit hanya lengang aku tidak kunjung menjawab.

Aku masih berpikir cepat, memikirkan berbagai kemungkinan.

Splash, suara kecil dan percik api terlihat di tengah remang.

“Kau tahu alat apa ini, Thomas. Ini efektif sekali dalam setiap interogasi. Kau jawab, aku singkirkan alat ini. Kau berbelit-belit, mungkin dua-tiga kali kuhujamkan di dada, leher, atau kepala bisa membuat mulut kau terbuka lebar-lebar.”

Aku menatap jerih alat sentrum di tangan salah-satu dari mereka.

“Aku konsultan keuangan profesional.” Akhirnya bersuara.

Sia-sia, belum habis kalimatku, alat sentrum itu telak menghujam perutku. Rasanya seperti dicabik, seperti disengat, tidak bisa dijelaskan. Aku berteriak, satu persen karena kaget, sisanya karena sakit yang teramat. Membuat ruangan pengap mobil taktis sejenak terasa beku.

“Jawaban yang salah, Thomas.” Mereka menatapku dingin. “Kami lebih dari tahu kau konsultasn keuangan. Spesialis merger dan akuisisi. Lulus dari dua sekolah bisnis ternama luar negeri. Kami tahu itu, bahkan aku punya nama guru kau di sekolah berasrama. Siapa kau sesungguhnya, Thomas?”

Suara itu tidak membentak, tapi itu lebih dari cukup.

Aku tersengal, masih dengan sisa sakit sentrum di perut. Tetapi ada yang lebih sakit, yang membuatku tersengal sesak bernafas. Lihatlah, bayangan kejadian puluhan tahun silam telah sempurna kembali di kepalaku. Botol susu yang tumpah di jalanan. Aku ingat sekali suara dan tatapan mereka.

Semua tetap sama.



***bersambung

tezar
18-04-2011, 02:08 PM
*******-******* Berkelas - Episode 20
by Darwis Tere Liye on Sunday, April 17, 2011 at 8:05pm

“Siapa kau sebenarnya, Thomas?”

“Aku, aku konsultan keuangan profesional.”

“Jawaban yang keliru lagi, Thomas.”

Alat sentrum itu kembali menghujam perutku. Aku menggelinjang, tubuhku gemetar menahan sakit.

“Ayolah, Thomas. Kenapa kau tidak membuat percakapan kita jadi lebih mudah?” Orang yang duduk di hadapanku itu menatap dingin, intonasinya datar terkendali.

Sementara di luar, rombongan mobil polisi berjalan tersendat, keluar pintu tol bandara jalanan macet—sirene galak mereka tidak membantu banyak.

Aku menggerung, kepalaku tertunduk, nafas menderu.

“Siapa kau sebenarnya, Thomas?” Bertanya lagi.

“Aku, aku konsultan profesional.”

“Jawaban yang keliru, Thomas.”

Untuk ketiga kalinya alat sentrum itu menusuk perutku tanpa bisa kucegah—bagaimana aku bisa melawan, dua tanganku terborgol di belakang punggung. Percikan nyala apinya seperti petir kecil yang menyambar tubuh. Rahangku mengeras, gigiku bergemeletuk menahan rasa sakit. Aku bertahan mati-matian tidak berteriak. Satu karena teriakan hanya akan mengundang rasa jumawa dan kesenangan pada mereka, dua, sia-sia juga berteriak di tengah suara sirene yang memekakkan telinga, kalaupun ada yang mendengar di luar sana, siapa pula yang akan peduli.

“Jangan main-main padaku, Thomas. Siapa kau sebenarnya?”

Aku mendongak, menggigit bibir, masih dengan sisa sakit sengatan barusan, menggeleng pelan, “Aku konsultan keuangan profesional.”

Tangan orang itu kembali hendak menghujamkan alat sentrumnya.

Mataku terpejam.

“Cukup, Susdi. Kau akan membuatnya terkapar pingsan, dan kita kehilangan kesempatan untuk segera mengetahui posisi Liem.” Rekan di sebelahnya menahan, “Lagipula, sepertinya dia berkata jujur.”

Aku antara mendengar dan tidak kalimat itu, masih menggerung menahan rasa sakit. Tetapi aku belum pingsan, aku masih lebih dari sadar untuk paham situasinya.

“Percuma.” Aku berkata pelan, dengan suara bergetar.

Dua orang yang duduk di pojok mobil taktis polisi menatapku.

“Percuma kalian memainkan peran polisi baik, polisi buruk, good cop, bad cop.” Aku gemetar, berusaha menegakkan badan dan kepala, berbicara dengan posisi lebih baik, “Percuma…. Jawabanku tetap sama, aku konsultan, konsultan keuangan. Tidak lebih, tidak kurang, aku bekerja profesional.”

Aku berusaha mengendalikan nafas, berusaha bicara lebih lancar, balas menatap mereka di tengah remang, “Om Liem, Om Liem membayarku mahal sekali untuk pekerjaan ini beberapa hari lalu. Menyelamatkan Bank Semesta dan group bisnisnya.”

“Di bayar mahal? Apa maksud kau?” Salah-satu dari mereka bertanya.

“Dia, dia berjanji akan memberikan sepuluh persen dari jumlah yang bisa kuselamatkan. Tidak hanya dari Bank Semesta dan group bisnis lokal, tapi juga dari aset Om Liem di luar negeri.” Aku tertawa kecil, diam sejenak, “Meski hanya sepuluh persen, nilainya triliunan, lebih besar dari yang kalian bayangkan, harga yang mahal sekali. Sebanding dengan resikonya.”

Dua orang itu saling toleh.

“Kalian tidak tahu itu, bukan?” Aku kembali tertawa kecil, “Taipan tua itu jauh lebih pintar dibanding siapapun. Ambil semua kekayaannya, dia masih tetap lebih kaya dibanding yang hilang. Dia menyimpan banyak aset di luar negeri, dan itu di luar daftar pendek yang kalian miliki. Daftar aset yang belum tentu juga puluhan tahun berhasil kalian kuasai.”

“Apa maksud kau?” Rekannya yang tidak memegang alat sentrum agak maju ke depan.

Aku menggeram, berusaha mengendalikan diri, untuk pertama kalinya aku melihat wajah petinggi jaksa ini dari jarak dekat setelah puluhan tahun. Seringai liciknya terlihat jelas.

“Apa maksudku? Aku seorang profesional sejati. Sama dengan kalian. Berapa tahun kalian mengejar Om Liem? Berusaha mengambil alih kekayaannya? Kalian pikir akan berhasil mengambil semuanya setelah Bank Semesta ditutup, asetnya dijual murah?” Aku menggeleng, tersenyum sinis.

“Bebaskan aku, maka aku akan memihak siapa saja yang memberikan bayaran paling tinggi. Om Liem percaya padaku, dia tidak akan curiga sedikit pun jika aku mengkhianatinya.”

“Kau hanya membual.” Orang yang menilik wajahku menyeringai.

“Terserah. Tapi aku punya daftar paling lengkap seluruh aset Om Liem di luar negeri. Daftar yang tidak pernah kalian ketahui, meski mengerahkan polisi atau petugas kejaksaan terbaik sekalipun.”

Mobil taktis polisi lengang sejenak, hanya menyisakan suara sirene yang memekakkan telinga.

Dua orang di hadapanku menimbang sesuatu.

“Aku punya daftarnya. Aku tidak membual.” Aku memecah senyap.

Mereka berdua saling toleh lagi.

“Bebaskan aku, maka aku bisa menjadi orang paling berguna buat kalian.”

“Lantas apa untungnya buat kau?” Orang yang memegang sentrum menyelidik.

“Kalian bisa memberikan dua puluh persen dari aset Om Liem yang kudapatkan. Aku akan bekerja dan setia pada orang yang membayarku lebih mahal.”

Salah-satu dari mereka terkekeh, “Kau naif, Thomas. Buat apa kami memberikan kau dua puluh persen jika kami bisa mendapatkannya gratis.”

Aku menggeleng, berkata dengan suara bergetar, “Tidak, urusan ini tidak sesederhana seperti kalian mengambil akte tanah, surat-menyurat pabrik, gedung dari seseorang, lantas membiarkan mereka terbakar bersama semua bukti-bukti. Aset Om Liem sekarang terdaftar lintas negara, kalian butuh seseorang yang tahu persis caranya.”

Tawa itu tersumpal, menatapku tajam, menyelidik.

Aku pura-pura tidak peduli dengan tatapannya, menganggap kalimatku tadi kosong, bukan menyindir masa lalu, “Percayalah. Aset luar negeri Om Liem itu nyata, jika kita bisa sepakat, aku bisa memberikan daftarnya pada kalian saat ini juga.”

“Mana daftarnya?” Orang yang memegang sentrum mengangkat alatnya.

Aku menggeleng, “Kita harus bersepakat lebih dahulu.”

“Aku bisa memaksa kau memberikannya.” Percik nyala api hanya lima senti dari wajahku.

“Tidak. Aku tidak akan memberitahu sebelum kalian berjanji. Silahkan. Percuma saja kalian siksa aku sampai pingsan atau mati sekalipun. Daftar aset itu akan hilang bersama dengan hilangnya informasi di mana Om Liem saat ini.”

“Omong kosong. Kau akan memberitahu kami.” Tangan orang itu bergerak. Kilat kecil bergemeletuk dari alat di tangannya.

Aku menatapnya jerih, bersiap menerima sentrum berikutnya.

“Cukup, Susdi. Dia benar. Kita tidak sedang berhadapan dengan penjahat kacangan yang bisa kau takuti dengan cara interogasi kuno.” Rekannya menahan tangan itu.

Rekannya bergumam keberatan, tapi tidak protes.

“Baik. Kami berikan dua puluh persen dari nilai aset luar negeri yang bisa kau dapatkan ditambah bonus kebebasan segera.” Orang itu ramah memegang lenganku, “Nah, di mana daftar aset dan Liem saat ini, Thomas?”

tezar
18-04-2011, 02:09 PM
“Bebaskan aku dulu.”

Orang itu terdiam sejenak, mengangguk.

“Baik, lepaskan borgolnya.” Dia meneriaki salah-satu polisi.

Salah-satu petugas meletakkan senjata, meraih kunci borgol, membebaskan tanganku.

Aku menarik nafas panjang. Tiga petugas lain masih mengarahkan senjata mereka ke tubuhku. Secepat apapun aku bereaksi, tidak akan bisa mengalahkan kecepatan peluru. Aku hanya bisa mengurut pergelangan tangan yang sakit, kembali menghela nafas.

“Nah, mana daftar asetnya, Thomas? Dan di mana Om Liem sekarang berada?”

Aku menggeleng, “Soal Om Liem, lebih baik dia sementara dibiarkan bebas, jika kalian menahannya sekarang, kalian tidak akan leluasa mengambil seluruh aset miliknya. Ada banyak petugas lain yang ikut tertarik, belum lagi puluhan wartawan yang ingin tahu. Terlalu banyak yang curiga. Dia bisa ditangkap kapan saja setelah urusan selesai, mudah saja melakukannya.”

Aku diam sebentar, menatap wajah dua orang di hadapanku.

“Soal daftar aset, ada di telepon genggamku. Salah-satu anak buah kalian mengambil telepon itu tadi.”

Orang di hadapanku segera menoleh ke arah empat polisi dengan moncong senapan terarah padaku. Sebelum diperintah, salah-satu dari polisi merogoh saku, memberikan telepon genggam itu.

Aku menyeringai, urusan ini benar-benar berubah kapiran sejak setengah jam lalu, aku ibarat bidak catur yang dikepung benteng dan kuda lawan, tidak ada tempat berkelit selain mengorbankan menteri, senjata terakhir, aku menghembuskan nafas, membuka file spreadsheet yang diemailkan Julia.

Dua orang di hadapanku menunggu tidak sabaran, segera merampas telepon genggam itu persis setelah file itu terbula. Membacanya cepat.

“Isi file ini sungguhan?” Mata mereka berdua membesar.

Aku mengangguk—bahkan daftar awalnya saja pasti membuat siapapun terbelalak.

“Kau memang bisa menjadi orang paling berguna buat kami.” Salah-satu dari mereka terkekeh, senang dengan daftar di tangannya.

Aku tidak berkomentar, menyeka keringat di pelipis.

“Borgol dia kembali.” Dia menyuruh salah-satu petugas.

Aku terlonjak. Apa maksudnya?

“Bawa dia segara ke penjara.” Orang itu berkata tegas.

“Hei, hei.” Aku berusaha melawan, tapi gerakan dua polisi lebih cepat, tanganku segera ditelikung ke belakang, borgol terpasang.

“Kau sudah berjanji akan membebaskanku!” Aku berseru.

“Anggap saja aku suka melanggar janji, Thomas. Selalu menyenangkan melakukannya.” Dia tertawa lagi, “Nah, terimakasih untuk dua hal. Pertama untuk saran kau soal Liem. Kau memang konsultan yang hebat, aku setuju, mungkin lebih baik membiarkan Liem berkeliaran di luar sana sementara waktu. Setelah semua urusan kami selesai, siapapun bisa dengan mudah menangkap orang tua bangkrut. Kedua untuk daftar aset ini, Thomas. Kau baik sekali dengan kami.”

“Kau harus membebaskanku!” Aku berteriak marah, “Kau membutuhkanku!”

“Buat apa lagi? Tidak ada lagi yang bisa kau tawarkan.”

“Kalian, kalian membutuhkan orang yang bisa mengurus aset itu di luar negeri, kalian, kalian memerlukan dokumen-dokumen aset itu, surat-menyurat, aku tahu tempatnya.” Aku berseru panik, menyebutkan apa saja yang terpikirkan.

“Kami bisa mencari orang lain, Thomas. Yang tidak selihai kau dalam urusan kabur atau menipu. Soal dokumen, itu bisa kami cari di setiap jengkal rumah, kantor, properti milik Liem. Mudah saja.”

“Tidak.” Aku bergegas menggeleng, “Dokumen-dokumen itu tidak ada di mana-mana, dokumen itu disembunyikan di tempat yang tidak pernah kalian pikirkan.”

“Ohya? Dan kau tahu tempatnya?” Tertawa, dia menoleh pada rekannya, “Sudah pukul sebelas malam, Susdi, aku ada urusan lain. Kau mau ikut?”

Rekannya mengangguk, melemparkan alat sentrum ke salah-satu polisi, “Kalian kawal dia sampai dijebloskan dalam sel. Sentrum saja sampai pingsan kalau dia terus berusaha kabur.”

Mereka berdua bangkit, memukul dinding mobil, memberi kode ke sopir agar menepi.

Aku menggerung, berteriak, “Kalian membutuhkan aku!”

Mobil taktis berhenti, pintu belakang terpentang lebar-lebar. Dua orang itu melangkah turun.

“Aku tahu tempatnya! Aku tahu di mana dokumen-dokumen itu.”

Mereka tidak mendengarkan, hanya santai melambaikan tangan.

“Dokumen-dokumen itu ada di kapal!”

Pintu belakang mobil taktis sudah berdebam ditutup kembali. Gelap.

Bintang tiga polisi dan jaksa senior itu sudah berpindah ke mobil lain, melesat pergi.

Aku tertunduk dalam-dalam.

Urusan ini kacau balau sudah. Mereka mengambil daftar aset itu, Om Liem pingsan, entah apa kabarnya sekarang, dan jadwal pertemuan jam sebelas malam dengan nasabah besar Bank Semesta gagal total. Dan di atas segalanya, lihatlah, tanganku terborgol, terhenyak duduk tanpa daya di dalam mobil yang melaju kencang menuju sel tahanan polisi.

Aku sungguh butuh skenario ajaib untuk memulihkan semua situasi.



***bersambung

tezar
20-04-2011, 12:38 PM
*******-******* Berkelas - Episode 21
by Darwis Tere Liye on Tuesday, April 19, 2011 at 7:53am

Pukul 02.00 dini hari Minggu. Waktuku tinggal 30 jam lagi sebelum pukul 08.00 hari Senin besok, ketika hari pertama Bank Semesta buka di tengah berbagai kemungkinan yang terjadi: bank itu ditutup, rush besar-besaran terjadi, antrian panjang di setiap cabang, nasabah yang panik, dan boleh jadi ditambah dengan kepanikan nasabah bank lain. Atau kemungkinan kedua, bank itu diselamatkan, pemerintah memberikan dana talangan, memberikan jaminan bahwa seluruh uang nasabah aman.

Aku bergumam kosong, mengusap rambut yang berantakan, menatap sekitar ruangan. Sel penjara ini tidak dingin dan lembab seharfiah dalam cerita-cerita atau film, lampu terang tergantung di langit-langit sel berukuran dua kali tiga, dan udara terasa pengap, gerah. Aku sudah melepas jas, menggulung kemeja sembarangan, melempar sepatu. Satu jam lalu mobil taktis merapat ke salah satu markas polisi, mereka menyuruhku turun, lantas mendorongku kasar memasuki gerbang tahanan. Sipir bertanya, petugas bersenjata menyuruhnya jangan banyak tanya, siapkan sel yang kosong. Sipir mengangguk, bergegas melihat daftar selnya yang kosong, mengambil kunci, lantas memimpin rombongan melewati lorong. Sudah lewat tengah malam, penghuni sel lain kebanyakan sudah tidur. Lengang, hanya menyisakan klotak sepatu yang memantul di lorong penjara.

Borgolku dilepas, salah-satu polisi bersenjata mendorongku dengan telapak sepatunya, membuatku hampir terjerambab ke dalam sel. Mereka menyeringai puas melihatku, tertawa pelan. Sipir mengunci pintu sel. Lima belas detik, balik kanan bersama rombongan itu, meninggalkanku sendirian yang masih kebas dengan banyak hal.

Aku menghela nafas untuk kesekian kali.

Kabar baiknya, tidak banyak nyamuk di penjara ini. Mereka juga punya toilet di dalam sel, bersih, tidak bau. Tempat tidur hotel prodeo ini lumayan, jangan bandingkan dengan kasur busa king size hotel sungguhan, tapi tetap lebih baik dibanding kamar ranjang berasramaku dulu yang dua tingkat, selalu kriut-kriut batang besinya jika penghuni atasnya gelisah dan mengigau.

Aku menghela nafas lagi.

Entahlah apa yang dilakukan Kadek tiga jam lalu saat tiba di dermaga, dan aku tidak ada di sana, juga tidak ada dokter dengan suntikan insulin. Dia seharusnya bisa bertindak cepat dan tenang, ada banyak cara menyelamatkan Opa. Entahlah pula apa yang terjadi di pertemuan nasabah besar Bank Semesta pukul sebelas tadi, seharusnya Ram bisa mengatasinya setelah aku tidak kunjung datang. Maggie, aku mengusap wajah lagi, semoga dia tidak menghubungi telepon genggam itu empat jam terakhir, celaka benar urusan kalau dua ******* yang menyita telepon genggamku menyadari Maggie menyimpan banyak data tersisa. Dan Julia, apakah dia berhasil meminta jadwal audiensi dengan Menteri, aku sungguh melibatkan banyak orang dalam pelarian ini.

Aku menghembuskan nafas kencang. Cukup. Cukup sudah mengenang banyak hal. Memikirkan banyak kemungkinan. Percuma, jangankan mengurus bidak yang paling penting, satu bidak Menteri yang ini saja tidak bisa. Andaikata Julia berhasil, aku tetap tidak bisa bernegosiasi dengan ketua komite stabilitas sistem keuangan, jeruji sel sialan ini tidak bisa kuremukkan dengan mudah.

Aku berdiri. Menyeka telapak tangan dengan ujung kemeja, menyisir rambut dengan jemari. Melemaskan seluruh tubuh. Tidak akan ada yang bisa menolongku. Saatnya membuat keajaiban sendiri untuk lolos dari penjara sialan ini. Dua jam berlalu, pasukan yang menangkapku pasti sudah pergi jauh, mereka tidak akan ikut berjaga di gedung penjara. Dua ******* itu boleh jadi sudah tidur lelap di ranjang empuk masing-masing, dengan mimpi indah tentang menguasai aset Om Liem.

Urusanku hanya dengan petugas penjara yang berjaga malam ini.

“Hei!” Aku memukul-mukul jeruji besi.

“Hei!” Lebih kencang lagi, membuatnya terdengar hingga meja sipir di depan sana.

Satu-dua tetangga selku yang terganggu, mengomel, balas berteriak, menyuruh diam.

“HEI!” Aku tidak peduli.

Suara kelotak sepatu terdengar, dua petugas jaga melangkah cepat menuju selku.

Aku menelan ludah, bersiap. Mereka tinggal lima langkah.

“Apa yang kau inginkan.” Salah-satu dari sipir menyergah galak, ujung pentungannya mengarah padaku.

“Aku ingin keluar dari sel ini.” Aku menjawab santai.

Dua sipir itu melangkah lebih dekat, mata mereka melotot mengancam.

“Aku akan membayarnya mahal sekali, Bos.” Aku balas menatap, menyeringai

Dua sipir itu saling toleh, gerakan mereka yang hendak memukul jeruji sel tertahan. Salah-satu dari mereka bahkan memasukkan pentungan ke pinggang.

“Kami tidak bisa disuap.” Intonasi kalimatnya justeru sebaliknya.

“Ohya? Bagaimana kalau dua? Cukup?” Aku tidak peduli, tersenyum.

tezar
20-04-2011, 12:38 PM
“Dua puluh?” Rekannya menggeleng, tertawa sinis, “Bahkan dua ratus tetap tidak.”

Aku balas tertawa, “Dua M, Bos. Kau terlalu menganggapku rendah. Jangan bandingkan aku dengan pegawai pajak yang kalian tahan dan cukup ratusan juta saja untuk membiarkan dia pergi plesir, atau orang-orang tua pesakitan yang post power syndrom setelah tidak berkuasa lagi, dikejar-kejar penyidik komisi pemberantasan korupsi, hanya puluhan juta sudah kalian pergi biarkan berobat kemanalah. Dua M, Bos. Tertarik?”

Inilah yang akan kulakukan. Ajaib? Tentu saja. Hanya ditempat-tempat ajaiblah hal ini bisa terjadi.

Sepuluh menit negosiasi.

“Ini tidak mudah.” Komandan jaga ikut bernegosiasi di pos jaga. Aku sudah ‘digelandang’ ke sana, biar lebih nyaman bicara—mereka bahkan menawarkan minuman hangat.

“Mudah saja, Bos.” Aku berkomentar santai, bersandar nyaman di sofa, “Namaku bahkan tidak ada dalam daftar kalian, bukan? Hanya tahanan yang dititipkan mendadak. Kalian bisa mengarang, aku kabur, lihai sekali memukuli petugas. Bos besar kalian paling juga hanya marah, dan kalian paling hanya dipindahtugaskan menjadi juru masak, tidak akan dipecat, apalagi dipenjara. Tapi demi dua M, itu resiko yang berharga bukan?”

Mereka berlima berbisik-bisik.

“Bagaimana kau akan membayarnya?” Komandan menyelidik.

“Baik. Ada yang punya telepon genggam? Aku transfer satu M sekarang, sisanya aku transfer setelah aku berada di luar gedung penjara kalian. Setuju?” Aku bersidekap.

Lima menit, dengan telepon genggam pinjaman dari komandan sipir, aku menelepon call center 24 jam, melakukan transfer ke rekening milik komandan.

“Selesai. Nah, kalau kau tidak percaya, kau telepon istri kau sekarang, suruh dia pergi ke ATM, maka dia boleh jadi pingsan melihat saldo rekening yang ada di layar ATM.”

Dasar bodoh, mereka sungguhan melakukan saranku. Aku terpaksa menunggu setengah jam, sementara istrinya, yang pastilah masih memakai daster, mata belekan, terbirit-birit menghidupkan motor yang masih kredit belum lunas, pergi ke ATM terdekat.

Komandan jaga menelan ludah, mendengar laporan istrinya di seberang sana, mematikan telepon genggam, mengangguk padaku, “Bagaimana dengan sisanya?”

“Tentu saja, satu M lagi aku transfer setelah aku bebas, Bos.”

Mereka berbisik-bisik, melirik licik.

“Tidak. Kalian tidak boleh bermain-main denganku.” Aku menatap mereka tajam, “Jika aku tidak menelepon lagi petugas bank lima belas menit ke depan, dana yang barusan kutransfer akan batal dengan sendirinya, itu transfer bersyarat, kembali ke rekening semula tanpa otorisasi lanjutan. Sekarang terserah kalian saja, hilang semuanya, atau kutambahkan satu M lagi setelah aku di luar gedung.”

Komandan sipir diam sejenak, berbisik-bisik.

Aku menunggu, menyeringai.

Komandan sipir mengangguk.

Bukan main, aku sudah setengah bebas, aku tersenyum tipis, berdiri.

“Boleh kuminta telepon genggam kau, Bos?” Aku menunjuk, sebelum beranjak keluar.

Komandan menatapku, hendak menggeleng.

“Ayolah, untuk orang yang sudah mengantongi satu M, kau bisa membeli ratusan telepon genggam seperti ini, bukan?” Aku tertawa. Sebenarnya aku butuh telepon untuk segera menghubungi Kadek, Maggie dan yang lain.

Komandan mengangguk, “Antar dia hingga keluar gedung, pastikan dia mentransfer sisanya.”

“Terima-kasih, Bos. Kapan-kapan aku akan berkunjung lagi, menyapa.”

Dua sipir mengantarku hingga halaman gedung penjara, salah-satu dari mereka bahkan berbaik hati memberikan motornya setelah aku memberikannya jam tangan milikku, “Kau jual, kau bisa membeli dua motor baru.” Dia mengangguk senang. Aku kembali menelepon call center 24 jam. Memberikan perintah pada petugas bank, transaksi beres. Memasukkan telepon ke dalam saku, menaiki motor, mengangguk pada dua sipir yang mengantar untuk terakhir kalinya, lantas melesat meninggalkan bangunan penjara.

Hanya itu. Itulah keajaibannya.

Motor yang kukemudikan membelah jalanan lengang, secepat mungkin meninggalkan markas polisi. Dasar bodoh, jika kalian pemilik rekening eksklusif di bank besar, kalian selalu punya cara untuk membatalkan transaksi. Ini lelucon yang baik, apakah aku orang yang suka mengkhianati janji? Seumur hidupku tidak pernah, aku adalah petarung, janji seorang petarung. Tetapi kali ini, akan aku batalkan sebagian besar transfer tadi, hanya menyisakan dua R saja.

Petinggi kejaksaan tadi benar, ternyata menyenangkan melakukannya.



***bersambung

tezar
21-04-2011, 02:33 PM
*******-******* Berkelas - Episode 22
by Darwis Tere Liye on Wednesday, April 20, 2011 at 5:42pm

Lima menit, jarakku cukup jauh dari markas polisi dan bangunan penjara sialan itu.

Motor yang kukemudikan menepi, aku bergegas menghubungi telepon satelit Kadek, tidak sabaran menunggu nada panggil. Lima kali, tujuh kali, sampai habis, tetap tidak diangkat. Aku menelan ludah. Sekali lagi mengulanginya. Tetap tidak diangkat. Astaga. Gumam cemasku mengambang di langit gelap.

Baiklah, aku loncat ke atas motor, rahangku mengeras, memacu motor secepat yang aku bisa, melesat menuju dermaga modern dekat Sunda Kelapa. Pukul tiga dini hari, jalanan lengang, menyisakan orang-orang yang pulang dari kafe, diskotik dan tempat hiburan lainnya. Selang-seling dengan mobil pickup dan gerobak sayur-mayur yang memenuhi pasar-pasar tradisional, luber hingga ke jalan.

Aku tidak memedulikan kontras yang kulewati, konsentrasiku ada di tangan, mata dan kaki.

Dua puluh menit, dengan kecepatan tinggi motorku melintasi gerbang dermaga. Dua petugasnya yang selalu disiplin berjaga, bergegas berdiri, hendak memeriksa, urung setelah melihat wajahku. Mereka melambaikan tangan, membiarkanku lewat.

Aku tidak menghentikan kecepatan melintasi pelataran dermaga yang licin. Belasan kapal pesiar kecil tertambat, bergoyang anggun. Lampu di sepanjang dermaga menerangi dinding luar dan tiang-tinga kapal. Sisanya lengang, hanya debur ombak memukul dermaga. Angin bertiup pelan, bulan sabit menghias langit. PACIFIC tertambat paling ujung, mataku segera membesar melihat kapal itu. Berhenti persis di buritan, loncat dari motor, dengan cepat naik ke atas kapal.

“Pak Thom.” Kadek yang lebih dulu menyapaku.

Aku sedikit tersengal, menatap ruang tengah kapal tempat biasa berkumpul. Ada Om Liem, tidur di salah-satu sofa, selimutnya berantakan.

“Di mana Opa?” Aku menyergah.

“Easy, Pak Thom, Opa di kamar. Opa baik-baik saja, dia sedang beristirahat, mungkin sedang bermimpi indah dia naik kapal mengungsi dari negeri China puluhan tahun silam.” Kadek nyengir.

Aku menghembuskan nafas lega, mengabaikan gurauan Kadek. Astaga, ini kabar terbaik yang kudengar seminggu terakhir, mengalahkan apapun. Aku menunduk, masih berusaha mengendalikan nafas.

“Selepas menelepon Pak Thom, saya memutuskan untuk segera mencari bantuan.” Kadek berbaik hati menjelaskan dan mengambilkan teko air dari kulkas, “Daripada harus ke dermaga yang masih sembilan kilometer, lima belas menit, saya memilih merapat ke salah-satu kapal besar yang sedang melintas di perairan Kepulauan Seribu, menekan sirene kapal, menyalakan lampu darurat, meminta perhatian mereka. Setiap kapal besar, pastilah membawa obat-obatan.”

Kadek menuangkan air ke dalam gelas, “Tebakan saya benar, Pak Thom, bukan hanya insulin, bahkan di atas kapal itu juga ada dokter yang bertugas. Opa segera mendapat pertolongan.”

Aku menerima gelas air segar dari Kadek, menghabiskannya sekaligus, ikut nyengir lega, “Kau memang selalu bisa diandalkan, Kadek.”

Kadek tertawa kecil, “Bukankah Pak Thom sendiri yang berpesan, saya jangan panik, saya tetap terkendali, saya selalu berpikir jernih. Nah, saya mendapat pencerahan dari pesan itu. Pak Thom lah yang secara tidak langsung menyelamatkan Opa.”

Aku menepuk-nepuk bahu Kadek, menatapnya penuh respek.

“Setelah memberikan pertolongan, dokter kapal itu menyarankan agar kami kembali ke darat segera, Opa butuh istirahat dia bilang. Setelah saya timbang-timbang, benar juga, itu jauh lebih penting dibanding terus mengambang di laut, menghindar dari kejaran orang seperti perintah Pak Thom sebelumnya. Semoga Pak Thom tidak marah melihat kapal ini merapat di dermaga. Dari tadi aku menelepon nomor Pak Thom untuk memberitahukan, sekaligus khawatir Pak Thom menunggu terlalu lama di dermaga dengan alat suntik insulin, tapi tidak ada nada panggil. Telepon genggam Pak Thom mati? Kehabisan batere?”

“Telepon genggamku diambil orang, Kadek. Diambil maling besar.” Aku menjawab sekenanya, “Tentu saja aku tidak keberatan kau kembali merapat, kau selalu mengambil keputusan yang benar.”

Kadek menatapku riang.

“Ngomong-ngomong, kapal besar apa yang memberikan pertolongan? Kapal pesiar Star Cruises?” Aku mengambil teko air di atas mini bar.

Kadek menggeleng, menyeringai, “Bukan, Pak Thom.:

“Kapal kontainer? Atau tanker minyak raksasa?” Aku menebak lagi, sambil mengisi gelas kosong. Itu pastilah kapal besar yang penting hingga punya dokter sendiri.

“Bukan, Pak Thom. Kapal armada tempur angkatan laut. Mereka sedang persiapan latihan perang dua-tiga hari ke depan di Laut China Selatan. Dokter militer yang membantu Opa.”

Astaga, aku hampir tersedak.

Kadek nyengir, “Easy, Pak Thom, mereka tidak tahu siapa Opa. Aku karang-karang saja kalau Opa warga negara Singapore yang sedang melaut dan tiba-tiba jatuh sakit. Dan Om Liem membantu dengan menceracau berbahasa China. Mereka tidak banyak tanya lagi, hanya dokternya yang pandai berbahasa Inggris, jangan tanya bahasa China.”

Aku meletakkan gelas, menggeleng perlahan, entahlah, hendak tertawa atau menepuk dahi. Kadek ternyata jauh lebih lihai dibanding yang kuduga—atau boleh jadi dia sama seperti Maggie, bertahun-tahun bekerja denganku, jadi ketularan akal bulusnya.

Ruangan tengah kapal lengang sejenak.

“Kau sudah kembali, Tommi?” Om Liem menyapa, dia menggeliat di atas sofa, selimutnya terjatuh. Dia sepertinya terbangun oleh percakapan kami.

Aku menoleh, “Sudah bangun kau?”

Om Liem mengangguk.

“Kenapa kau tidak tidur di kamar, hah? Bukankah Kadek sudah menyiapkan kamar?”

“Om Liem tidak mau, Pak Thom. Dia sejak tadi duduk-duduk saja di ruang tengah, hingga ketiduran.” Kadek yang menjawa lebih dulu.

“Sama saja, Tommi. Di kamar aku tidak bisa tidur nyenyak, ada banyak yang melintas di kepala orang tua ini. Lebih baik duduk di sini, di ruangan yang luas.” Om Liem menjawab pelan, “Dari mana saja kau? Terlihat kusut sekali? Seperti habis dipukuli banyak orang?”

“Jangan tanya. Setengah jam lalu aku baru kabur dari penjara. Masih beruntung aku tidak memakai seragam tahanan.” Aku menjawab sekenanya.

Om Liem menatapku sejenak, lantas tertawa pelan, “Orang tua ini sepertinya lebih menyukai kau waktu kecil, Tommi. Dulu kau selalu pandai melucu dan menyenangkan orang tua.”

Aku tidak menjawab, sudah melangkah menuju kamar, hendak melihat Opa.

“Oh iya, tadi ada kabar dari Ram, dia bilang Tante baik-baik saja, sudah boleh pulang ke rumah. Mungkin berita ini bisa mengurangi sedikit dari banyak urusan yang melintas di kepala kau.” Aku sempat menoleh pada Om Liem, sebelum mendorong pintu kamar.

Om Liem diam sejenak, mencerna kalimatku, lantas mengangguk, “Terima kasih untuk kabarnya, Tommi. Sungguh terima kasih. Ini bahkan bisa mengurangi separuh kecemasanku sepanjang hari.”

Aku tertegun sejenak. Seperti bisa menatap wajah Papa dari wajah Om Liem yang sedang terharu mendengar kabar tentang Tante. Wajah seorang Ayah yang selalu menyayangi anak-anaknya—terlepas dari seberapa jahat dia pada dunia. Wajah orang yang selalu kurindukan sejak usia enam tahun.

Om Liem menyeka ujung matanya. Aku bergegas menutup pintu kamar.



***

tezar
21-04-2011, 02:34 PM
Aku tetap berada di kapal hingga pukul lima pagi.

Menelepon Maggie, memastikan dia baik-baik saja. “Aku sedang dalam perjalanan menuju kantor, Thom. Jangan tanya aku pulang jam berapa tadi malam. Hei, kau pakai nomor telepon baru? Hampir saja tidak kuangkat, curiga ada polisi atau malah agen FBI mencariku.” Dia mengomel. Aku mengangguk, tidak berkomentar apalagi bertanya, yang paling penting Maggie tidak terlanjur menghubungi telepon genggamku yang dikuasai oleh dua orang itu. Maggie baik-baik saja.

“Kau bisa mencari kontak ke beberapa orang, Mag? Dan juga beberapa dokumen tambahan yang kuperlukan.” Aku mulai merinci apa yang harus dia kerjakan.

“Astaga, Thom, aku sedang mengemudi, tidak bisakah kau mengirimkan email? Dan asal kau tahu, aku terpaksa memutar jalan, lewat belakang gedung, jalan protokol ditutup, car free day, alangkah banyak sepeda melintas di hadapanku, dengan wajah-wajah riang, berlibur, berolahraga, berkeringat. ” Maggie menyahut sebal.

Aku lagi-lagi mengangguk, tidak berkomentar.

“Baik. Akan segera ku-email, Mag. Terima kasih banyak.” Menutup percakapan.

Semburat merah muncul di kaki langit timur. Matahari terbit. Aku duduk sendirian di geladak depan kapal, Kadek berbaik hati menyediakan segelas kopi panas, beserta peralatan kerja yang selalu tersimpan di kapal. Lima menit aku menulis email untuk Maggie, mengklik tombol send.

Masih terlalu pagi. Tetapi beberapa kapal beranjak keluar dari dermaga, penumpangnya melambai. Hari minggu, ada banyak pemilik kapal yang memutuskan berlayar, meski jarak pendek. Membawa peralatan mancing, atau sekadar bekal makan siang, lantas menuju salah-satu pulau sudah lebih dari menyenangkan. Maggie benar, wajah-wajah riang, berlibur, berolahraga dan berkeringat.

Aku meraih telepon genggam, teringat sesuatu, menelepon Julia.

Suara Julia terdengar serak, dia sepertinya terbangun oleh teleponku.

“Kau tidur jam berapa semalam?” Aku basa-basi bertanya.

Julia tertawa kecil, menguap, “Kau tahu, Thom, terakhir kali pertanyaan ini kudengar, itu berasal dari pacarku dua tahun lalu. Sebulan setelah itu, kami berpisah.”

Aku ikut tertawa, menatap permukaan laut yang beriak pelan, mengkilat oleh cahaya matahari pagi, melanjutkan basa-basi percakapan, “Apa yang terjadi? Dia selingkuh?”

“Tidak, dia tipikal lelaki yang setia. Aku yang bosan, karena setelah itu, dia seperti mendapat inspirasi gila, memutuskan setiap pagi meneleponku, bertanya, kau tidur jam berapa semalam, honey? Apakah tidur kau nyenyak, honey? Mimpi indah? Merusak hidupku dengan menjadi weker.”

Kami berdua tertawa.

“Kau sudah mendapatkan jadwal audiensi dengan Menteri, Julia?” Aku memotong tawa.

Julia terdengar menggeliat, menggerutu, “Tentu saja.”

“Jam berapa?”

“Astaga, Thom, maksudku, tentu saja kau tidak seperti pacarku itu. Aku tahu kau meneleponku hanya untuk memastikan jadwal yang kau minta, tidak lebih, tidak kurang. Sejak dari London aku sudah tahu, kau jelas bukan lelaki yang romantis, kalaupun ada jejak romantisme dalam potongan yang amat kecil di kepala kau, segar kau membuangnya jauh-jauh.”

“Fokus, Julia. Jam berapa?” Aku memotong kalimat Julia.

“Pukul sebelas nanti siang, Sir. Di kantornya. Puas?” Julia berseru.

Aku tertawa, “Terima kasih, Julia. Dan satu lagi sebelum telepon ini kututup, kau jelas keliru, bukankah kubilang di atas pesawat penerbangan dari London, jika kau tertarik tentangku, kita bisa diskusikan hal itu di lain kesempatan, mungkin sambil makan malam yang nyaman.”

Julia mengeluarkan suara puh pelan.

Aku masih tertawa sambil mengucap salam, memutus percakapan.

Aku melirik jam di layar laptop. Sekarang hampir pukul enam pagi, masih lima jam lagi sebelum pertemuan penting itu. Aku kembali menulis email untuk Maggie, teringat kalau semua data paling mutakhir tentang Bank Semesta tertinggal di rumah peristirahatan Opa, meminta Maggie menyiapkan beberapa salinan di kantor. Aku membutuhkannya.

Waktuku semakin sempit, hanya 26 jam lagi sebelum Senin pukul 08.00 besok pagi. Selain pertemuan dengan ketua komite stabilitas sistem keuangan, ada satu bidak super penting yang harus kuamankan. Aku menyisir rambut dengan jemari. Sebelum sore berganti malam, sebelum rapat komite memutuskan, aku harus sudah memastikan bidak super penting ini bisa mengintervensi di detik terakhir.

“Kau mau bergabung sarapan dengan kami, Tommi?”

Aku menoleh. Opa dengan tongkat di ketiak berdiri di pintu menuju geladak, tersenyum.

“Kadek membuat nasi goreng spesial, Tommi. Kau pasti suka. Semakin lama, kupikir masakan Kadek sama lezatnya dengan masakan Mama kau dulu.”

Aku balas tersenyum, mengangguk, melipat laptop, bangkit dari kursi.

Apa salahnya sarapan sebentar bersama Opa. Setelah kejadian tadi malam, rasa cemas Opa tidak tertolong, apa salahnya aku menghabiskan waktu setengah jam untuknya. Besok-lusa, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Entah apakah Bank Semesta dan group bisnis Om Liem hancur lebur, entah apakah Pemerintah memutuskan memberikan dana talangan, Om Liem terpaksa menyerahkan sebagian besar bahkan seluruh sahamnya, setidaknya pagi ini aku punya waktu berharga bersama orang-orang yang juga amat berharga. Sejak Papa dan Mama hangus terbakar bersama rumah kami puluhan tahun silam, hanya Opa dan Tante yang kumiliki.

Kecil sekali keluarga kami. Itupun tetap kecil meski sudah menghitung Om Liem.

Aku membantu Opa melangkah menuju dapur, dan segera aroma masakan Kadek tercium lezat.



***bersambung

tezar
23-04-2011, 01:46 PM
*******-******* Berkelas - Episode 23
by Darwis Tere Liye on Friday, April 22, 2011 at 6:37pm

Suara sendok terdengar diantara lenguh kapal yang meninggalkan dermaga.

“Mereka berdua sudah merencanakan ini sejak lama, Opa.” Aku menatap Opa lurus, “Situasinya sama dengan puluhan tahun lalu. Bahkan nyaris serupa, ada sesuatu yang rasa-rasanya ganjil. Ada potongan yang hilang, tidak pernah terjelaskan.”

Opa balas menatapku, meletakkan sendok, nasi goreng spesial buatan Kadek masih tersisa separuh di atas piring, “Ganjil seperti apa, Tommi?”

“Aku belum tahu, Opa. Yang aku tahu, mereka tidak sepintar itu, walaupun amat berkuasa, mereka juga tidak sekuat yang mereka bayangkan, pasti ada orang lain di belakang mereka.”

Opa menggeleng perlahan, “Aku sudah terlalu tua untuk berimajinasi seperti kau, Tommi. Maksudku, imajinasi dalam artian positif, mengerti kaitan masalah, sambung-menyambung sebuah penjelasan. Aku hanyalah pemain musik amatir. Sejak dulu aku sudah bilang pada Liem dan Papa kau, Edward. Cukup. Keluarga kita sudah lebih dari diberkahi dewa-dewa. Bahkan kapal yang indah ini, tidak terbayangkan waktu aku masih berdesak-desakan di kapal kayu bocor, mengungsi, mencari dunia yang lebih baik. Boleh jadi kau benar, mereka sekali lagi memang hendak berniat jahat pada keluarga kita. Boleh jadi kau juga benar soal ada orang lain di belakang mereka, yang lebih jahat, lebih kuat, menginginkan semua perusahaan keluarga. Maka semua ini seperti tidak ada ujungnya, bukan? Bukankah Liem, Edward, dan aku sendiri juga tamak? Seharusnya kita berhenti sejak arisan berantai itu, seharusnya aku bilang tidak pada Liem sejak lama, maka boleh jadi keluarga kita tetap utuh. Papa kau, Mama kau, boleh jadi bisa duduk di salah-satu kursi, ikut sarapan bersama.”

Meja makan lengang, ombak membuat kapal bergerak pelan. Udara laut di pagi hari terasa kering. Sudah lama sekali Opa tidak ikut berkomentar dalam urusan keluarga, kalimat panjangnya barusan bahkan membuatku menelan ludah, urung bertanya beberapa hal tentang kejadian masa lalu yang mungkin bisa jadi petunjuk masa sekarang.

“Ternyata kau tidak bergurau, Tommi.” Setelah satu menit melanjutkan sarapan, Om Liem yang pertama kali memecah debur ombak, “Kau sungguhan baru saja keluar dari penjara. Apa kabar mereka berdua? Letnan satu Susdi dan jaksa muda Tonga itu?”

Aku tertawa hambar, “Mereka sehat. Bahkan lebih sehat dibanding kau. Tidak ada yang berubah dengan mereka, tapi ibarat foto, warnanya semakin cemerlang, piguranya semakin gagah. Aku amat mengenali suara mereka saat menghujamkan alan sentrum ke perutku.”

Om Liem terdiam, menelan ludah. Opa menghela nafas.

Kami sudah hampir lima belas menit sarapan. Setelah semua duduk di kursi, Kadek membagikan piring nasi goreng yang mengepul, menguar aroma lezat, lantas dia cekatan mengisi gelas dengan teh hangat. Sarapan dimulai. Opa bertanya dari mana saja aku sepanjang malam, aku menceritakan berbagai kejadian, termasuk reuni dengan bintang tiga polisi dan jaksa senior itu.

Satu-dua burung camar memekik nyaring.

“Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita. Di masa lalu, mereka berdua tidak akan pernah berhenti sebelum tujuan mereka berhasil, bahkan dengan cara-cara paling licik sekalipun.” Om Liem bersandar pelan, setelah tawaku reda.

“Ya, kali ini aku sepakat dengan kau. Mereka tidak akan pernah berhenti.” Aku mengangguk, “Dan selain pertanyaan siapa orang kuat di belakang mereka berdua, masih ada hal lain yang perlu dicemaskan.”

Om Liem dan Opa menatapku.

“Ada pengkhianat di antara kita.” Aku berseru datar.

“Astaga? Kau tidak sedang bergurau, Tommi?” Om hampir tersedak.

Aku menggeleng, menatap tajam Om Liem, “Bukankah itu jelas sekali. Kau seharusnya bisa menyimpulkan sendiri. Ada yang memberitahu banyak hal kepada dua orang itu, menjadi mata-mata. Pengkhianat itu boleh jadi orang-orang yang kau percayai selama ini, letnan bisnis yang kau miliki.”

Om Liem menepuk pelipisnya, tidak percaya.

Opa menggelengkan kepalanya, “Kali berlebihan, Tommi. Kau keliru.”

“Aku tidak mungkin keliru, Opa, dan aku tidak pernah berlebihan. Ada pengkhianat di antara kita. Jadi sebelum waktu membuka wujud aslinya, lebih baik semua orang yang ada di kapal ini berhati-hati.”

“Astaga, Tommi, kau membuat situasi semakin rumit dengan berprasangka buruk ke orang-orang yang selama ini dekat dengan keluarga atau perusahaan.” Opa mengetukkan tongkatnya ke lantai kapal, “Kau tidak mungkin menuduh Kadek misalnya, atau Ram, atau siapa saja orang kepercayaan Om Liem.”

Aku menggeleng, “Aku tidak menuduh Kadek, Opa, tentu saja, karena aku tahu persis siapa dia. Tetapi orang lain, orang-orangnya dia, mana aku tahu.”

“Apa alasannya, Tommi? Buat apa mereka berkhianat?”

“Aku tidak tahu, Opa. Mereka tidak perlu alasan besar untuk melakukannya, sedikit janji manis, iming-iming, itu sudah lebih dari cukup bagi seorang pengkhianat bahkan untuk menusuk balik induk semang, orang yang selama ini membantu, memberikan kesempatan, membesarkannya.” Aku menjawab kalimat Opa dengan intonasi datar.

Opa menatapku lamat-lamat, menghela nafas.

tezar
23-04-2011, 01:47 PM
Dapur kembali lengang, menyisakan suara televisi yang samar-samar. Kadek masih dengan celemek di dada sedang menyiapkan menu penutup sarapan, roti kecil yang lezat.

Aku menatap televisi mungil tergelantung di atas tiang.

Mereka sedang menyiarkan berita pagi, liputan Menteri yang dikerumuni banyak wartawan.

Aku meraih remote, tertarik, membesarkan volume televisi.

“Ibu Menteri, kapan komite akan memutuskannya?” Salah-satu wartawan menyeruak, mik terjulur ke depan, lampu sorot kamera bersinar terang.

“Besok pagi, besok pagi. Keputusan diselamatkan atau tidak, semua ada di tangan komite. Kami sedang mengumpulkan banyak data dan informasi, besok pagi baru akan diputuskan apakah rapat komite stabilitas sistem keuangan, apa? Ya?.” Dengan wajah khasnya yang berpendidikan tinggi, Menteri berusaha menjawab santai pertanyaan yang mengepung. Salah-satu wartawan sudah memotong, mendesak.

“Belum tahu. Jika situasinya terus memburuk, kecemasan meninggi, rapat komite bisa dilakukan kapan saja. Kami sudah punya beberapa data, bank sentral bilang setidaknya membutuhkan dana 1,3 trilyun untuk menalangi Bank Semesta. Ya? Tidak sekarang lah, ini pukul sebelas malam.” Menteri tersenyum, terus melangkah, ajudannya berusaha membuka jalan menuju mobil.

Aku bergumam pelan, 1,3 trilyun, sepertinya Erik dan sobat dekatnya di bank sentral melakukan tugas dengan baik. Itu angka pembuka yang baik, lebih rendah dari yang kuminta, 2 trilyun. Angka ini kecil saja dibandingkan resiko dampak sistemik, siapapun akan tutup mata jika angkanya hanya sebesar itu. Nanti malam, atau kapan saja rapat dilaksanakan, Ibu Menteri pasti pening ketika melihat angka yang ada berkali-kali direvisi oleh otoritas bank sentral,—dan situasinya mendesak, kadung harus diputuskan.

“Tidak ada. Tidak ada laporan seperti itu.” Menteri menggeleng, menanggapi pertanyaan berikut, tetap tersenyum meski sepertinya dia bekerja keras sepanjang hari ini, “Bank sentral hanya melaporkan rasio kecukupan modal terus turun beberapa minggu terakhir, melebihi ambang batas yang diperbolehkan, pengelolaan banknya buruk, kesalahan manajemen, tapi kami belum menerima laporan kalau Bank Semesta bobrok, pemiliknya jahat, atau melakukan kecurangan.”

Aku bergumam lagi, sepertinya Erik dan temannya bahkan sekarang terlalu serius mempermanis laporan paling mutakhir Bank Semesta. Layar televisi sejenak masih memperlihatkan belasan wartawan yang terus mendesak, ajudan menteri yang berhasil menyibak kerumunan, Menteri bergegas melangkah masuk ke dalam mobil, pintu ditutup segera, dia melambai meninggalkan halaman depan kantornya. Layar televisi kembali ke pembawa acara.

Aku mengusap rambut dengan telapak tangan. Itu pernyataan menteri tadi malam, setelah konferensi pers yang juga dihadiri Julia. Pembawa acara yang selalu cantik dan tidak beperasaan itu –bahkan dalam berita paling buruk sekalipun dia tetap semangat siaran—sudah asyik berbicara dengan pengamat ekonomi terkemuka, membahas berbagai kemungkinan. Aku sudah memindahkan saluran ke televisi lain, loncat satu per satu, memeriksa headline berita pagi mereka, aku menyeringai tipis, pertemuan kecil dengan belasan wartawan senior dan kepala editor di salah-satu restoran kemarin berhasil. Pagi ini semua orang sibuk membicarakan tentang kemungkinan dampak sistemik.

Koran pagi yang dilemparkan loper ke kapal juga dipenuhi berita sama. Padahal pertanyaan yang paling penting, yang justeru seolah lupa mereka bahas adalah: di mana pemilik Bank Semesta sekarang? Di mana Om Liem. Tidak ada yang sibuk memuatnya, walau sepotong paragraf. Lebih sibuk membahas tentang kalimat sakti: bahaya dampak sistemik. Esok lusa, ketika masalah Bank Semesta meletus bagai bisul bernanah, barulah orang-orang sibuk memuat pernyataan salah-satu pejabat negara yang bilang seharusnya Om Liem segera dijebloskan ke dalam penjara. Dua orang ******* itu sepertinya berhasil melokalisir isu pelarian Om Liem dan kami selama ini menjadi agenda pribadinya saja, belum ada wartawan yang tahu. Mereka leluasa sekali memanfaatkan institusinya demi kepentingan pribadi.

Aku menghabiskan teh di dalam gelas, berdiri, sudah setengah jam, waktuku habis.

“Kau hendak pergi lagi, Tommi?” Opa bertanya.

Aku mengangguk. Ada banyak yang harus kukerjakan.

“Selalu hati-hati, Tommi.” Opa berpesan.

Aku mengangguk, mendekati Kadek.

“Terima kasih atas sarapan lezatnya, Kadek. Aku menitipkan lagi mereka berdua pada kau, hidup mati.” Aku menepuk bahu Kadek, hendak melangkah menuju buritan kapal.

Telepon satelit Kadek lebih dulu berdering kencang, sebelum Kadek menjawab kalimatku. Dia bergegas meraih telepon yang tergantung di dinding. Berbicara sejenak.

“Pak Thom!” Kadek berseru.

Aku yang sudah di ruang tengah kapal terhenti, menoleh, ada apa?

“Ada satu mobil penuh dengan polisi berseragam tempur merapat di pos jaga dermaga.” Kadek berseru, suaranya bergetar, “Mereka mencari Om Liem, Opa dan Pak Thom.”

Astaga? Aku menatap Kadek, memastikan dia tidak sedang mabuk laut.

“Petugas pos jaga bilang mereka sedang berusaha menahan mobil polisi memasuki dermaga, tapi mereka tidak akan bertahan lama. Bagaimana ini, Pak Thom?” Kadek bertanya cemas.

Aku meremas jemari, cepat sekali mereka menemukan posisi kami, sepertinya petinggi polisi itu sudah bangun, dan menyadari tahanannya kabur, “Bergegas, Kadek! Lepaskan ikatan kapal, aku akan segera menghidupkan mesin, memegang kemudi, kita berlayar! Kabur.”

Kadek tidak perlu menunggu diteriaki dua kali, dia melemparkan telepon satelit, berlari tangkas menuju buritan kapal.



***bersambung

tezar
02-05-2011, 10:54 AM
*******-******* Berkelas - Episode 24 (Intermezzo)
by Darwis Tere Liye on Thursday, April 28, 2011 at 9:31am

Usiaku masih sepuluh tahun saat mengantar botol susu untuk terakhir kalinya.

Sepedaku menikung masuk ke jalan menuju rumah, bersenandung riang karena seluruh botol susu yang kubawa habis, ditukar dengan botol kosong oleh tetangga yang membeli. Suara botol beradu di kotak belakang sepeda terdengar bergemerincing, membuatku menyeringai, Mama akan memberiku uang jajan tambahan, aku perlu banyak uang untuk membeli buku-buku yang kusuka.

Sayangnya tidak ada lagi uang jajan dari Mama. Persis habis tikungan, mendongak ke depan, bersiap mengayuh pedal sepeda secepat mungkin seperti yang aku biasakan, ngebut, aku menatap bingung kerumunan, masih enam ratus meter, tapi asap hitam terlihat mengepul tinggi, sirene mobil pemadam kebakaran dan teriakan orang terdengar nyaring bersahut-sahutan. Dan sebelum sempat aku bergumam ingin tahu, sepedaku sudah disambar oleh seseorang.

Aku berseru kaget, hampir terbalik.

“Jangan kesana, Thomas. Jangan kesana.”

Dua, tiga, empat orang sudah menarikku masuk ke dalam gang sempit. Wajah-wajah cemas, wajah-wajah takut.

Aku balas menatap mereka, bingung, apa yang telah terjadi? Kenapa aku tidak boleh pulang? Salah-satu dari mereka justeru menangis, memelukku erat-erat, berbisik tentang, bersabar, Nak. Tuhan sungguh sayang dengan orang sabar.

Sejak hari itu, bagai kapal berputar haluan, kehidupanku berubah seratus delapan puluh derajat.

Terlepas dari ambisi besar Om Liem dan Papa Edward, cara-cara mereka berbisnis yang seringkali tegas dna keras, seluruh tetangga menyayangi keluarga besar kami, terutama Mama. Bagi kebanyakan keluarga yang tinggal di dekat rumah sekaligus gudang tepung terigu kai, Mama adalah segalanya. Mama memberikan mereka pekerjaan, membantu anak-anak sekolah, mengirimkan dokter jika ada yang sakit, memberikan bingkisan setiap hari besar, dan tidak terhitung botol susu serta makanan yang kubagikan.

Merekalah yang mati-matian menahanku sampai malam. Ketika halaman rumah kami benar-benar sepi dari orang. Karena aku terus berteriak, mendesak, bertanya apa yang telah terjadi, dini hari, beberapa tetangga dengan membawa senjata, berjaga-jaga, mengantarku ke sana. Aku hanya bisa jatuh terduduk, menatap gentar puing hitam yang ditimpa cahaya sepotong bulan. Satu-dua bara masih menyala, terlihat merah, terdengar bergemeletuk pelan. Aku membeku.

Aku sungguh tidak menangis, tidak berteriak, hanya menatap kosong sisa rumah dan gudang.

Kejam sekali kehidupan. Kejam sekali orang-orang itu.

Persis saat matahari pagi menerpa kota, setelah tetangga berembug satu sama lain, memastikan Papa dan Mama seratus persen telah meninggal, ikut terbakar, kabar Opa dan Tante yang berhasil lari tetapi tidak diketahui kemana, berusaha menghubungi Om Liem yang juga tidak jelas di mana, apakah masih di pelabuhan, atau entahlah, mereka akhirnya memutuskan mengirimku pergi ke kota lain, ada kenalan yang menjadi pengajar di sekolah untuk anak-anak yatim-piatu. Itu pilihan yang paling aman, karena banyak petugas, dan orang-orang tidak dikenal masih berusaha mencari anggota keluarga kami yang tersisa. Wajah-wajah sangar dan penasaran.

Aku diberikan bekal sekotak roti, tas ransel berisi pakaian, hasil patungan tetangga.

Satu-dua ibu-ibu tetangga memelukku, menangis, berbisik tentang, esok lusa semua akan kembali baik, esok lusa semua akan pulih, janji-janji masa depan. Aku mengangguk datar, bilang, “Thomas akan baik-baik saja, Ibu.” Dan mereka tambah keras menangis. Aku diantar ke stasiun kereta, membawa selembar tiket, duduk rapi, menatap rumah-rumah, bangunan, pohon-pohon berbaris seiring roda baja kereta berderak berangkat.

Satu hari sejak kejadian, aku resmi tinggal di sekolah berasrama.

Meninggalkan jasad Papa, Mama yang menjadi abu.

Pengajar sekolah berasrama menghapus riwayat hidupku. Tidak ada lagi nama keluarga di namaku, hanya satu kata Thomas, isian berikutnya hanya: anak yang ditemukan di jalanan, tidak diketahui Bapak, Ibunya. Mulailah kehidupan baruku. Makan dijatah, tidur diranjang tingkat, berbagi kamar dengan belasan anak lain. Kabar baiknya, sekolah berasrama itu hebat, aku punya teman senasib.

Enam bulan kemudian aku membaca kabar Om Liem dipenjarakan. Beritanya ada di koran, nyempil di halaman dalam, tidak mencolok. Satu tahun berlalu, aku tetap tidak tahu apa kabar Opa dan Tante.

Usiaku dua belas, barulah aku tahu kabar mereka.

Waktu itu aku persis sedang ujian akhir. Guru pengawas bilang ada seseorang yang ingin bertemu, mendesak, mengijinkanku meninggalkan ujian sebentar. Aku berjalan ragu-ragu menuju ruangan kepala sekolah. Dua tahun terakhir, aku selalu cemas bertemu dengan orang asing, jangan-jangan mereka adalah orang jahat yang dulu membakar rumah kami.

Pintu ruangan kepala sekolah dibuka, Tante berdiri dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun. Tante sudah loncat, memelukku erat-erat, menangis. Tante bilang, dia, Opa, bibi, semua yang berhasil lari pindah ke Jakarta, dengan uang tabungan milik Opa, dibantu karyawan gudang yang masih setia, mereka mengontrak rumah dan memulai bisnis baru. Tante menceritakan banyak hal, membuatku terdiam lima belas menit kemudian.

Tetapi aku menggeleng saat Tante mengajakku pulang.

Inilah keluarga baruku sekarang. Sekolah berasrama. Aku akan menamatkan sekolah di sini. Melupakan banyak hal. Lebih dari tiga kali seminggu kemudian, Tante bolak-balik ke sekolah, membujukku. Di kunjungan ketiga, dia datang bersama Opa, bibi, semua orang-orang yang kukenal, berusaha membujuk.

Jawabanku tetap tidak.

tezar
02-05-2011, 10:55 AM
Opa tersenyum, mengacak rambutku yang tidak pernah kupotong sejak kejadian, “Kalau begitu, maka sekali dua berkunjunglah melihat kami, Tommi. Aku akan senang sekali jika kau melakukannya.”

Aku mengangguk mantap. Hanya Tante yang terus keberatan, dia masih terus mengunjungi setiap bulan, membawa pakaian, makanan, apa saja yang membuatku nyaman tinggal di asrama. Bagiku, dia menjadi pengganti Mama yang baik.

Di penghujung tahun ketiga, libur panjang, dengan membawa ransel aku pergi ke rumah Opa. Itu kunjungan pertama. Bukan rumah yang di Jakarta, tapi yang di Waduk Jatiluhur.

“Kau benar-benar berubah, Tommi.” Opa memelukku, amat riang dengan kedatanganku, “Maksudku, lihatlah, kau ternyata telah memotong rambut. Kupikir kau akan terus membiarkan rambut kau tumbuh berantakan sejak kejadian itu.”

Aku tersenyum, menatap wajah Opa yang semakin tua.

Sepanjang hari dia mengajakku melakukan apa saja. Belajar menyetir mobil—aku membuat mobilnya menggelinding masuk ke dalam waduk, belajar mengemudi speedboat, duduk mencangkung di atas kapal nelayan, memancing, atau duduk meluruskan kaki di belakang rumah sambil memainkan klarinet. Tertawa, bergurau, dan tentu saja kebiasaan buruk Opa, menceritakan masa mudanya, persis seperti kaset rusak. Membahas bisnis baru Opa yang maju pesat, sebenarnya dia jauh lebih pandai berbisnis dibanding memainkan alat musik.

Saat ulang-tahunku yang kedelapan belas, Opa menghadiahkan mobil balap itu. Aku tidak datang, bilang sedang ujian akhir. Alasan sebenarnya adalah: Om Liem sudah keluar dari penjara, bergabung kembali dengan keluarga. Aku tidak mau bertemu dengannya. Aku hanya berkunjung ke rumah peristirahatan Opa jika Om Liem tidak ada di sana.

Usia dua puluh dua, satu minggu sebelum keberangkatanku kuliah di sekolah bisnis, Opa memintaku menemaninya pergi ke pelabuhan Sunda Kelapa.

“Ini kapal kau, Tommi.” Opa terkekeh saat melihatku bingung.

Aku menoleh, bolak-balik, wajah Opa, kapal besar yang merapat anggun di dermaga.

“Kau boleh memberinya nama apa saja, Tommi.”

Aku menelan ludah. Opa tidak sedang bergurau, bukan? Opa tertawa lagi. Opa selalu baik padaku. Meski Papa dulu berkali-kali memaksakan pemahaman bahwa tidak ada hadiah untuk Tommi kalau dia tidak bekerja keras di rumah, Opa selalu memberiku hadiah spesial, amat dermawan.

“Berapa usia kau sekarang? Dua puluh dua bukan? Waktu aku seusia kau sekarang, Tommi, aku persis berada di perahu kayu yang sempit dan sedanya. Terombang-ambing melintasi lautan bersama belasan pengungsi, berusaha mencari negeri yang lebih baik.”

Aku mengangguk, Opa sepertinya kembali bercerita tentang masa lalunya.

“Lihatlah, kau jauh bernasib baik, anakku, kau tumbuh menjadi anak muda yang pintar, gagah, penuh kesempatan. Apa nama sekolah bisnis kau itu? Astaga, kudengar hanya orang-orang paling pintar di dunia yang bisa sekolah di sana?”

Aku tertawa pelan, tidak menanggapi gurauan Opa, konsentrasi mengemudi kapal.

“Waktu itu,” Suara Opa terdengar pelan, sedikit bergetar, “Aku tidak takut mati, Tommi.”

Aku menoleh, sepertinya ada yang berbeda dengan cerita Opa kali ini.

“Apa pula yang harus ditakutkan anak muda yatim-piatu, miskin, mengungsi dari perang saudara dan kemiskinan di daratan China sepertiku. Mati boleh jadi pilihan terbaik. Semua orang di dalam perahu nelayan itu juga tidak takut mati. Kami senasib, sepenanggungan. Berjudi dengan masa depan.”

Opa diam sejenak, menatap bintang-gemintang. Kapal yang kukemudikan maju perlahan, membelah ombak, terus menuju perairan Kepulauan Seribu.

“Badai, perahu kayu bocor, melintasi kapal perang Belanda, ditembaki, kehabisan bekal, air minum, semua biasa saja. Itu makanan sehari-hari. Rasa-rasanya tidak ada cerita seram tentang lautan yang membuat kami gentar. Hingga suatu hari, salah-satu nelayan yang membantu kami mengungsi bercerita. Itu sungguh sebuah cerita yang membuat bulu kuduk merinding.”

Aku menoleh pada Opa, membiarkan kemudi terlupakan beberapa detik.

“Aku bahkan masih merinding saat mengingat, Tommi.” Opa mengusap wajahnya.

Di luar kelaziman, aku kali ini benar-benar menunggu kalimat berikut Opa, persis seperti pencinta cerita bersambung di koran-koran yang tidak sabaran.

Sial, Opa ternyata hanya terkekeh, melambaikan tangan, kembali dengan takjimnya menatap gelap yang menyelimuti lautan.



***bersambung

tezar
02-05-2011, 10:57 AM
*******-******* Berkelas - Episode 25
by Darwis Tere Liye on Friday, April 29, 2011 at 6:27am

Usiaku duapuluh empat, kembali dari sekolah bisnis, Opa sudah menunggu di bandara.

“Kita harus merayakan ini, Tommi.” Tubuh kurus tinggi Opa memelukku.

Aku balas memeluknya, bertanya ragu-ragu, “Merayakan?”

Opa mengangguk, menyikut pinggangku, “Tenang saja. Om Liem tidak ikut serta, dia tahu diri. Hanya berdua, kita berlayar menapaktilasi perjalanan Opa puluhan tahun lalu. Dengan kecepatan 30 knot per jam, setidaknya butuh satu-dua minggu, akan menyenangkan, bukan?”

Aku ikut tertawa—untuk kalimat Om Liem tidak ikut. Sejak dulu Opa selalu ingin menghabiskan waktu bersamaku, berusaha menebus hari-hari di sekolah berasrama. Aku mengangguk, tidak ada salahnya. Sudah lebih dari belasan tahun aku tidak pernah libur panjang sungguhan, biasanya segera kembali ke buku-buku, membaca banyak hal, belajar banyak hal—bahkan di hari libur.

Kami melepas jangkar kapal pesiar. Ada dua orang pembantu Opa yang ikut, dua-duanya kelasi, bukan nahkoda kapal sebaik Kadek, tapi mereka jago masak dan berguna menyelesaikan pernak-pernik pekerjaan di kapal.

“Belum ada namanya?” Aku memukul lambung kapal yang bergerak cepat meninggalkan siluet gedung tinggi kota Jakarta yang terbungkus kabut pagi.

Opa tertawa, “Ini kapal kau, Tommi. Kau yang harus memberinya nama.”

Aku memperbaiki anak rambut, angin laut menerpa wajah. Berarti sudah dua tahun kapal ini belum mengalami prosesi melempar botol sejak dikirimkan dari galangan kapal di Eropa.

“Aku tidak punya ide.” Aku menjawab pelan.

“Astaga? Untuk seorang yang berpendidikan tinggi, memberi nama kapal saja kau tidak punya ide?” Opa jahil memicingkan mata, “Kenapa tidak kau beri nama ‘Thomas’, atau nama Papa kau, ‘Edward’?”

Aku menggeleng perlahan.

Ruang kemudi kapal lengang sejenak.

Opa ikut menggeleng pelan, “Seharusnya kita tidak menyebut nama Papa kau dalam perjalanan ini. Maafkan aku yang terlalu riang.”

“Tidak masalah, Opa.” Aku menepuk bahu Opa, “Nanti akan kupikirkan nama yang baik. Sesuatu yang istimewa. Ohiya, aku belum bilang terima-kasih sejak dua tahun lalu, bukan? Terima kasih atas hadiah kapal yang hebat ini. Opa selalu nomro satu.”

Wajah Opa kembali riang.

Menjelang siang, aku membantu dua kelasi memasang layar. Ditambah angin kencang, kekuatan mesin ribuan horsepower, kapal melaju cepat membelah ombak hingga 34 knot, terus ke utara, kecepatan penuh menuju perairan Laut China Selatan. Logistik penuh, peralatan navigasi canggih, dan tentu saja kapal yang tangguh, ini perjalanan yang menyenangkan.

Jika laut sedang tenang, kami makan malam di geladak, beratapkan bintang gemintang. Jika laut sedikit menggila, perkiraan cuaca yang kami terima di layar kapal memberikan peringatan, aku langsung memutar kemudi menuju kota terdekat, mampir di Krabi Island, Thailand misalnya.

“Hebat sekali.” Opa mengusap dahi, menatap keluar kaca jendela yang basah, hujan deras, angin kencang, tapi kapal kami sudah tertambat kokoh di salah-satu resort di perairan Krabi.

Aku menoleh, duduk malas menatap lautan yang gelap.

“Kami dulu bahkan tidak tahu apakah akan badai atau tidak. Hanya mengandalkan naluri nelayan tua di kapal. Sekarang kita bahkan bisa tahu enam jam sebelumnya.”

Aku mengangguk, ternyata ‘hebat’ itu maksudnya. Sambil bersiap memperbaiki posisi duduk, Opa rasa-rasanya akan kembali mengulang cerita lamanya. Aku tidak pernah keberatan memasang wajah takjim mendengarkan.

Tiga hari kemudian, meskipun terhambat badai kecil di Krabi Island, kami tiba di pelabuhan kota kecil daratan China tepat waktu. Opa turun dari kapal dengan menumpang sekoci kecil, dan dia dengan wajah terharu menunjukkan semua potongan masa lalu yang dia ingat.

“Kita bisa terus melalui jalan setapak itu, Tommi. Dulu kami sembunyi-sembunyi melintasinya, pagi buta.” Opa menunjuk jalan yang ramai oleh orang-orang setempat berdagang, “Kau berjalan terus satu jam, nanti kau tiba di stasiun tua, lantas menumpang kereta, dua hari satu malam, kau akan tiba di Beijing, melewati kampung halaman leluhur kita. Kau mau terus hingga ke sana?”

Aku tertawa, menggeleng, “Itu berlebihan, Opa.”

Opa ikut tertawa, mengangguk.

Setelah berjam-jam puas menghabiskan waktu mengunjungi setiap jengkal kenangan masa-lalu, kami berlayar pulang ke arah selatan, melewati rute yang dulu dilakukan Opa.

“Setelah semua sekolah itu, kau akan kemana, Tommi?” Opa mengajakku bicara, di malam kesekian. Purnama menghiasi angkasa, terlihat khidmat dari atas kapal yang terus melaju.

“Bekerja seperti orang kebanyakan.” Aku belum menangkap arah pembicaraan, asyik menatap layar navigasi.

“Maksudku, kau akan bekerja di mana, Tommi? Kau tidak tertarik bekerja di perusahaan keluarga?”

Aku menggeleng. Opa suda tahu jawabannya, buat apa dia bertanya?

“Kau tidak harus bekerja di perusahaan yang diurus Om Liem, Tommi. Kalian bisa mengurus perusahaan yang berbeda.”

Aku tetap menggeleng.

“Kalian sudah lama sekali tidak bertemu, bahkan saling tegur sapa pun tidak.” Opa menghela nafas, menyerah, "Kalau kau bekerja di perusahaan orang lain, untuk anak muda secerdas kau, boleh jadi kau malah membesarkan perusahaan pesaing keluarga, Tommi.”

“Aku akan membuka kantor sendiri.”

tezar
02-05-2011, 10:57 AM
“Oh, itu lebih baik.” Opa senang mendengarnya.

Aku tertawa pelan, “Lebih buruk, Opa. Aku akan membuka kantor konsultan profesional. Nah, boleh jadi aku memberikan nasehat keuangan kepada perusahaan pesaing keluarga.”

Opa menatapku sebentar, lantas ikut tertawa, “Kalau itu sudah menjadi rencana kau, Opa tidak akan memakasa, Tommi. Tapi sekali-dua, itupun jika kau bersedia, bolehlah memberikan nasehat yang baik pada kami, terutama pada Om Liem kau itu. Sejak kembali mengurus bisnis, dia seperti orang kesetanan, melakukan apa saja, penuh ambisi.”

Aku menyeringai, “Tidak ada yang bisa menasehatinya, Opa. Dulu tidak, sekaranng juga tidak.”

Opa manggut-manggut setuju, menatap lurus ke lautan yang tenang sekali, bagai tak beriak, pantulan purnama terlihat elok di permukaan laut, kapal terus melaju stabil, lengang sejenak. Ini hari kesebelas perjalanan kami. Sudah setengah jalan melewati rute pengungsian Opa dulu.

“Aku senang kau tidak tumbuh ambisius seperti Om dan Papa kau dulu, Tommi. Kupikir kau jauh lebih arif, kau lebih mirip denganku.” Opa memecah senyap suara mesin dan baling-baling kapal yang terdengar menderum samar dari balik dinding kedap suara.

“Kejadian menyakitkan selalu mendidik kita menjadi lebih arif. Kau dengan kematian Papa, Mama kau. Dan aku, waktu aku masih muda dulu, menumpang kapal kayu bocor itu, mengungsi dari perang saudara, banyak kebijaksanaan hidup yang kupelajari.”

Aku nyengir, ini untuk kesekian kali Opa mulai bertingkah seperti kaset rusak.

“Aku sungguh tidak takut mati waktu itu, Tommi.” Opa terus bercerita, tidak melihat seringai wajahku.

“Badai, kehabisan bekal, minum air asin, ditembaki kapal Belanda, itu semua makanan sehari-hari. Termasuk cerita-cerita seram tentang legenda lautan, itu tidak mempan.” Opa menghela nafas sejenak, “Hingga suatu saat nelayan senior bercerita. Astaga, itu cerita paling seram yang kudengar, membayangkannya, bahkan setelah berpuluh-puluh tahun aku tetap merinding.”

Lengang lagi sejenak. Aku terus memegang kemudi kapal, menatap lurus.

Opa yang menoleh, menatapku bingung, “Kau sepertinya tidak sepenasaran seperti dua tahun lalu, Tommi? Bukankah dulu kau mendesak ingin tahu?”

Aku tertawa, menggeleng.

Opa terlihat kecewa, “Kau sungguh tidak ingin tahu lagi, Tommi? Padahal aku sudah sengaja benar membuat variasi ini agar kau tidak bosan mendengar cerita masa laluku yang itu-itu saja.”

Aku kembali menggeleng, menatapnya penuh penghargaan, “Bukan itu masalahnya, Opa. Aku selalu senang mendengarnya, itu selalu membuatku paham masa lalu keluarga kita, tahu diri. Tetapi soal kisah seram nelayan itu, aku sudah tahu.”

“Kau tahu? Dari mana kau tahu?”

Aku nyengir, “Dua tahun sekolah di luar, ada banyak yang ingin kupelajari. Termasuk PR itu, aku mencari tahu kemana-mana. Buku-buku, berita, apa saja. Lama sekali aku menemukan penjelasannya. Hingga mendatangi perkampungan nelayan di pesisir, ratusan kilometer dari sekolah bisnis. Satu-dua nelayan tua di sana masih ingat dengan cerita itu.”

Opa terdiam, menyelidik, memastikan apakah aku sungguh-sungguh atau pura-pura saja.

“Lihat, laut tenang sekali. Samudera luas yang bernama Pasifik, ‘Kedamaian’. Semua nelayan amatir, pelaut pemula, selalu menilai lautan setenang dan sedamai ini berkah. Aku tahu cerita itu, Opa. Dan aku tahu, itu bukan sekadar legenda, meski tidak ada penjelasannya hingga hari ini. Aku membuka tumpukan kliping berita, berpuluh-puluh kapal hilang, bahkan bukan hanya yang mengapung di lautan, yang terbang di atas juga hilang, belasan pesawat tempur, belasan pesawat komersil. Aku tahu.”

Opa menelan ludah. Ruang kemudi lengang sejenak.

“Puluhan tahun silam, setelah mendengar cerita itu, Opa takut sekali kalau perahu kayu yang tua, bocor itu tersesat ke sana, bukan? Wilayah paling misterius di Samudera Pasifik. Cemas kalau kapal bukannya menuju tanah terjanjikan di arah selatan, malah bergerak tidak sengaja ke timur, masuk dalam perangkap tenangnya permukaan samudera. Hilang dalam catatan sejarah. Aku tahu, Opa. Tetapi dengan sistem navigasi hebat masa kini, tidak ada nelayan, nahkoda kapal, atau pilot pesawat sekalipun yang cukup bodoh melewati wilayah itu.” Aku menunjuk layar kemudi, tertawa pelan, “Lihat, kita ribuan kilometer dari sana. Terus mengarah ke Selatan, jadi seratus persen aman.”

Opa menghela nafas, “Ternyata kau sudah tahu, Tommi.”

Aku mengangguk.

“Baiklah, aku akan beristirahat. Sudah larut malam.”

Aku tersenyum, Opa beranjak keluar.

“Satu lagi, Tommi.” Opa sempat menoleh sebelum sempurna keluar, “Kau tidak seharusnya meremehkan cerita itu walaupun kapal ini dilengkapi sistem navigasi hebat. Lautan tetaplah lautan.”

“Yes, Sir!” Aku menaruh tangan di kening.

Opa menutup pintu.

Itu pelayaran pertamaku. Sejak hari itu aku memutuskan memberi nama PACIFIC pada kapal pesiar besar hadiah Opa. Kadek bergabung lima tahun kemudian. Aku banyak sekali menghabiskan waktu di kapal ini. Dalam banyak hal, masa-masa pentingku ada di kapal ini.

Belasan tahun kemudian, seperti yang kuduga, kapal ini juga tetap menjadi saksi hebat hidupku. Pertempuran pertama yang kulakukan atas nama masa lalu.



***

tezar
02-05-2011, 10:58 AM
Inilah pertempuran pertama itu.

Persis setelah penjaga gerbang dermaga menelepon, aku meneriaki Opa dan Om Liem agar berlindung di kamar, menyuruh mereka tiarap. Aku terus berlarian menuju ruang kemudi. Kadek sudah lompat ke arah buritan.

Terlambat. Kadek baru setengah jalan melepas ikatan tali-temali kapal, mobil taktis polisi sudah memasuki dermaga—petugas gerbang tidak kuasa menahan mereka lebih lama lagi. Aku yang sudah berdiri di belakang kemudi kapal, bersiap menekan pedal gas sekencang mungkin jika ikatan kapal telah terlepas, melihat belasan polisi berlompatan dari mobil.

“Jangan biarkan mereka lolos!” Komandan mereka berteriak kencang, merobek pagi yang tenang.

Senjata-senjata teracung ke depan, mereka bergerak hati-hati mendekati kapal. Posisi mereka tinggal belasan meter dari buritan.

“Berhenti atau kami tembak!” Komandan menyambar toa, berteriak.

Kadek tidak peduli, dia terus melepas tali.

Tidak akan sempat, aku mengutuk dalam hati. Berpikir cepat, lantas mengangkat kalashnikova yang sempat kuambil di kamar sebelum berlari menyalakan mesin. Aku memutuskan menarik pelatuk senjata sebelum mereka menembak. AK-47 itu teracung sempurna ke rombongan polisi yang siap menyergap.

“Berlindung!” Salah-satu anggota polisi yang melihatnya berteriak kalap.

Belum habis gema teriakannya, senjata serbu yang kudekap telah memuntahkan peluru dengan kecepatan hingga 600 butir/menit, membuat lantai dermaga seperti ditimpa gerimis, semen lantai merekah, berhamburan bersama kelotak peluru.

Belasan polisi itu kalang-kabut mencari posisi berlindung, kembali ke belakang mobil taktis, mereka sepertinya tidak menduga akan menerima sambutan semeriah ini. Komandan polisi berteriak serak, meneriaki anak-buahnya, “Tembak kapal itu! Habisi mereka!”

Aku mendengus, dasar bodoh, aku sama sekali tidak mengincar mereka, aku hanya menyuruh mereka mundur, memberikan kesempatan pada Kadek menyelesaikan tugas.

Jangan lakukan, rahangku mengeras, AK-47 yang kupegang dengan cepat menembaki salah-satu sisi mobil, salah-satu dari polisi yang sudah dalam posisi berlindung berusaha membalas tembakan. Satu lubang berhasil kututup, dua lubang lain muncul, mereka mulai balas menembaki kapal. Dua, tiga peluru menghantam kaca ruang kemudi, berhamburan, aku menunduk, menghindari pecahan kaca. Lebih banyak lagi peluru yang mengarah ke buritan, membuat pekerjaan Kadek terhambat.

Kami kalah jumlah, aku mengepalkan tinju. Polisi sialan ini sungguh tidak menyadari, kalau aku berniat jahat pada mereka, sejak tadi aku bisa menembaki tangki bensin mobil taktis, dan dalam hitungan detik, mereka yang berlindung di balik mobil menjadi kepiting bakar bersamaan dengan meledaknya mobil. Tetapi itu tidak bisa kulakukan. Aku menggeram berpikir keras, aku harus bergerak cepat.

“Naik ke ruang kemudi, Kadek!” Aku berteriak.

Kadek yang masih tiarap di buirtan mendongak, tidak mengerti.

“Bergegas!” Aku menyuruh, “Akan kulindungai kau.”

Senapanku kembali terarah ke mobil taktis, secara spartan menembaki setiap jengkal kemungkinan ada moncong senjata terarah pada buritan kapal.

Kadek bangkit, berlari cepat menuju ruang kemudi, desing peluru balasan menerpa anak tangga, membuat dinding-dinding kapal merekah.

“Pegang kemudinya.” Aku berseru, tanganku masih terus menarik pelatuk senjata.

Kadek membungkuk, memegang kemudi.

Aku mengarahkan laras panjang AK-47 ke arah bibir dermaga, menembaki tiang tempat kapal tertambat. Dua, enam, sepuluh peluru menghantamnya, tiang beton itu roboh, ikatan tali-temali terburai lepas.

Kadek yang mengerti apa yang kurencanakan, segera menekan pedal gas bahkan sebelum tiang beton itu sempurna roboh, dan PACIFIC segera menderum kencang, meninggalkan dermaga.

Kami kabur di bawah rentetan suara tembakan polisi—yang semakin lama semakin samar.

Setengah menit, kami sudah jauh. Aku menyeka pelipis, melemparkan senjata ke lantai ruang kemudi.

“Kau baik-baik saja?”

Kadek tertawa kecil, “Ini seru, Pak Thom. Aku baik-baik saja.”

Aku menyeringai, “Kita berlayar meninggalkan Jakarta, Kadek. Kau arahkan kapal ini ke Manila, Filipina, jaga jarak kau dengan pesisir pantai se-aman mungkin. Aku akan memeriksa Opa dan Om Liem di bawah, termasuk memeriksa kapal, jika semua baik-baik saja, kau antar aku merapat ke salah-satu pulau wisata yang kita lewati, aku akan naik kapal lain kembali ke Jakarta.”

“Siap, Komandan.” Kadek memasang gerakan hormat militer.

Aku sudah bergegas menuruni anak tangga.



***bersambung

tezar
04-05-2011, 10:30 AM
*******-******* Berkelas --Episode 26
by Darwis Tere Liye on Tuesday, May 3, 2011 at 7:54am

Usiaku empat belas tahun saat aku pertama kali mengunjungi Opa. Libur panjang sekolah, membawa ransel kecil di punggung, aku menumpang angkutan umum dari sekolah berasrama.

Malam terakhir di sana, aku dan Opa berdua menghabiskan waktu dengan duduk santai di beranda belakang, menonton televisi, acara kesayangan Opa. Acara quiz, tiga layar terpentang lebar menutupi hadiah, satu peserta yang maju ke babak bonus menghadapi situasi ‘hidup-mati’, membawa pulang hadiah besar atau kembali dengan tangan hampa. Dialah finalis quiz.

“Satu di antara tiga layar ini adalah sebuah mobil mewah terbaru.” Pembawa acara memasang wajah sumringah, menunjuk layar televisi besar yang segera menayangkan bentuk dan rupa mobil itu.

Penonton di studio bertepuk tangan antusias. Wajah finalis quiz menyimpul senyum.

“Satu lagi adalah seekor sapi perah yang gemuk.” Pembawa acara tertawa.

Penonton di studio ikut tertawa.

“Ayolah,” Pembawa acara mengangkat bahu, “Saya tidak bergurau. Sungguhan seekor sapi. Kami menyediakan truk besar untuk membawanya pulang nanti.”

Penonton di studio tertawa lagi, finalis quiz manggut-manggut tertawa pelan.

Aku ikut tertawa, meletakkan garpu ke atas piring—pembantu rumah Opa memasak menu lezat untuk menemani malam santai. Di sekolah berasrama jangankan menonton, televisi satu pun tidak ada di sana. Terlepas dari fakta itu, aku segera mengerti, pantas saja Opa suka menonton acara quiz ini, menarik. Lihat, Opa sudah terkekeh di sebelahku.

Pembawa acara mengangkat tangan, menyuruh penonton di studio diam sejenak, musik latar terdengar lebih cepat, “Nah, sayangnya, pemirsa di rumah dan hadirin di studio, satu layar lagi, tentu saja, menutupi sebuah kotak sampah.” Layar televisi besar segera menunjukkan kotak sampah berwarna kuning yang sering kalian lihat di trotoar jalanan.

Penonton di studio tertawa—meski tidak sekencang soal sapi tadi.

Finalis quiz tersenyum—meski senyumnya sekarang terlihat kecut.

“Baiklah, mari kita bermain, kau pilih layar yang mana, Kawan. Satu, dua, atau tiga?” Amat bergaya pembawa acara menawarkan kesempatan pertama pada finalis.

Permainan babak terakhir telah di mulai.

Lima menit berlalu tegang. Finalis memilih layar satu.

“Kau yakin?”

Finalis quiz mengangguk.

“Baik kita kunci layar satu.”

Hadirin distudio bertepuk-tangan menyemangati.

“Kalau begitu, tolong dibuka layar nomor dua, layar yang tidak dia pilih.” Pembawa acara memberi perintah. Layar dua segera tergulung ke atas.

Aku terpingkal bersama Opa, juga bersama penonton di studio—sampai melupakan wajah super tegang finalis yang merangkai doa. Di balik layar dua, sungguhan seekor sapi gemuk terlihat gelisah. Moncongnya diikat rapat, seorang peternak handal sejak tadi berdiri di sebelah mengelus-elus pundaknya, agar dia diam dan tidak membuat pertanda ada seekor sapi di balik layar dua.

“Bukan main. Mari kita lupakan sapi perah barusan. Permainan ini semakin menarik.” Pembawa acara menghela nafas.

“Tersisa dua layar, Kawan. Satu adalah mobil mewah terbaru. Satu lagi adalah kotak sampah berwarna kuning.” Pembawa acara mengangkat tangan ke atas, memberi tanda.

Penonton di studio kembali hening. Wajah finalis semakin tegang.

“Kau sudah memilih layar nomor satu. Apakah kita akan membuka layar nomor satu sekarang?”

Penonton berseru-seru antusias, mengangguk.

Pembawa acara tertawa, menggeleng takjim, “Kita buat acara ini lebih menarik.”

Penonton justeru semakin berseru-seru antusias.

“Saya tidak tahu layar mana yang menyembunyikan mobil mewah itu, Kawan. Percayalah. Hanya Tuhan dan beberapa orang di belakang studio yang tahu. Bahkan keputusan di mana mobil itu berada, baru dilakukan beberapa menit sebelum babak bonus. Nah, karena saya tidak tahu, semua orang di sini juga tidak tahu, aku akan memberikan kau kesempatan menukar pilihan. Tetap di layar nomor satu? Atau pindah ke layar nomor tiga?”

Aku menelan ludah. Benar-benar melupakan makanan lezat di atas piring—padahal makanan di sekolah asrama tidak pernah selezat ini, mataku sempurna tertuju ke layar kaca.

“Tetap di layar satu atau pindah ke layar tiga, Kawan?” Pembawa acara mendesak, mengulangi pertanyaan ke sekian kali, sudah dua menit berlalu tanpa keputusan.

“Pindah.” Terdengar jawaban mantap. Tetapi itu bukan jawaban finalis quiz, itu suara Opa di sebelahku.

Aku menoleh, menatap wajah Opa yang terlihat begitu yakin.

“Kalau kau dalam situasi seperti ini, maka kau akan pindah, Tommi.” Opa menjawab santai.

“Bagaimana Opa tahu?”

“Pindah saja. Insting.”

“Tapi Opa tidak tahu di mana mobilnya, bukan?”

tezar
04-05-2011, 10:31 AM
“Karena itulah. Ketika tidak ada yang tahu, permainan berjalan adil dan sebagaimana mestinya, maka seorang penjudi ulung, seorang petaruh berpengalaman akan memilih pindah.”

“Kenapa?” Aku mendesak.

Opa terkekeh, “Mana Opa tahu, Tommi. Itu hanya naluri, sekadar insting seorang petaruh.”

Waktu itu, umurku baru empat belas, aku tidak paham naluri dan insting yang dikatakan Opa—meski aku tahu sekali, sejak memutuskan mengarungi lautan, mengungsi dari tanah kelahirannya, Opa tumbuh menjadi pelaku bisnis yang hebat, petaruh sejati.

Aku baru tahu penjelasan itu di sekolah bisnis.

Salah seorang guru besar, yang bisik-bisik mahasiswa bilang dia adalah penjudi ulung di Texas—pekerjaan sampingan selain akademisi, memberikan kasus yang sama. Tiga kotak di depan kelas, di manakah yang berisi selembar tiket pesawat?

Profesor itu menunjukku, memintaku bermain.

Aku menyeringai, di bawah tatapan puluhan pasang mata peserta mata kuliah Matematika Bisnis tingkat lanjutan yang antusias, aku sembarang menunjuk kotak. Hanya permainan memperebutkan tiket, bukan hidup mati seperti peserta quiz sepuluh tahun lalu yang aku tonton bersama Opa.

Profesor mengangkat kotak lain yang tidak kupilih, kosong. Tertawa, “Nah, Thomas, sekarang tinggal dua kotak tersisa. Kau akan tetap memilih kotak sebelumnya, atau kau akan pindah?”

Ruangan kelas menjadi sedikit tegang.

Saat itulah, ilham pengetahuan itu masuk ke kepalaku, Opa benar sekali, maka aku dengan santai bilang, “Pindah.”

Ruangan besar kelas kami dipenuhi seruan.

Profesor mengedipkan matanya, menyuruh mereka diam.

“Kenapa kau memilih pindah, Thomas?”

Aku tertawa pelan, mengusap wajah. Entah bagaimana caranya, aku paham seketika teori berjudi Opa. Bukan karena naluri, melainkan karena setelah sepuluh tahun berlalu, belajar banyak hal, berada dalam kelas yang mengagumkan ini, penjelasan itu datang sendiri di kepalaku, sungguh bukan insting

Penjelasannya amat sederhana. Ada tiga kotak, maka itu berarti kemungkinan kalian memenangkan pertaruhan adalah 33,3%, alias sepertiga. Itu kemungkinan yang rendah, bahkan di bawah 50%, permainan ‘ya’ atau ‘tidak’. Ketika aku memilih salah-satu kotak, lantas profesor di depanku membuka kotak lain yang ternyata kosong, maka kemungkinanku sekarang adalah 50%, bukan? Apakah aku akan pindah? Ingat rumus ini: jika kalian tetap di pilihan sebelumnya, maka variabel baru yang hadir dalam permainan, kesempatan merubah pilihan menjadi sia-sia. Jika kalian tetap di pilihan pertama, dengan dua kotak tersisa, kesempatan kalian untuk menang sesungguhnya bukan 50%? Melainkan tetap 33,3%, karena kalian tetap memilih kotak yang sama dari tiga kotak sebelumnya.

Pindah! Lakukan segera, tutup mata. Dengan demikian, maka kalian memasukkan variabel baru dalam permainan, berapa kesempatan kalian menang? 50%? Tidak, kalian menjadikannya 66,6%. Ada tiga kota dalam permainan, dan kalian diberikan kesempatan memilih dua kali. Apakah kalian otomatis akan memenangkan permainan? Tentu tidak, masih ada 33,3% kemungkinan kalah. Tetapi kemungkinan 66,6% jauh lebih baik. Aku tidak akan seperti peserta quiz yang keukeuh sekali dengan pilihan awal, resisten sekali merubah pilihan. Aku memilih pindah.

Ruangan kelas lengang sejenak setelah penjelasanku.

Profesor menatapku tajam, “Kau yakin, Thomas?”

Aku tersenyum simpul. Ini mata kuliah Matematika Bisnis tingkat lanjutan, aku sama sekali tidak berjudi, aku menggunakan logika. Tentu saja teori ini hanya berlaku jika lawan bermain kalian tidak curang. Kalau pembawa acara quiz tahu di mana mobil itu berada, maka dia bisa menipu peserta dengan membujuk-bujuk, memanipulasi kalimat-kalimatnya, hingga peserta terkecoh.

“Buka saja, Prof.” Aku tertawa.



***

Tidak ada pertaruhan hidup-mati di meja judi, semua soal persentase dan logika. Maka jika di meja judi saja tidak ada, apalagi di dunia nyata.

Tidak ada skenario russian roullette dalam kehidupan nyata. Kita selalu saja punya kesempatan untuk memanipulasi situasi, bertaruh dengan sedikit keunggulan.

Orang China bijak jaman dulu bilang, tempat yang paling aman justeru adalah tempat paling berbahaya, dan sebaliknya tempat yang paling berbahaya, justeru adalah tempat yang kalian pikir paling aman. Itu benar sekali. Ahli strategi perang mahsyur China itu, ketika menemukan pertama kali kalimat bijak ini boleh jadi tidak dibekali dengan ilmu Matematika tingkat lanjutan, tapi dia jelas memiliki pengalaman panjang, naluri serta insting seperti yang dikatakan Opa sepuluh tahun lalu.

“Putar haluan, Kadek.” Aku berteriak, berlari-lari kecil menaiki anak tangga.

“Ya, Pak Thom?” Kadek menatapku bingung, kami sudah belasan kilometer meninggalkan dermaga yacht Sunda Kelapa, kabur dari polisi yang membabi-buta menembaki kapal.

“Kita kembali ke Jakarta.” Aku menjawab dingin.

Kadek menelan ludah.

“Lakukan saja, Kadek.” Aku mengangguk yakin.

Lima menit lalu aku memastikan Opa dan Om Liem baik-baik saja. Seluruh kapal juga baik, mesin, sistem sanitasi, air, gudang, logistik dan sebagainya baik. Lima menit berpikir cepat, tidak, lari ke Manila hanya membuat situasi semakin buruk.

Aku akan mengambil mata dadu terbaik dalam pertarungan ini. Kembali ke Jakarta.

Profesor sekolah bisnis menepuk bahuku setelah kelas usai, ruangan besar lengang, “Kau muridku yang paling birllian, Thomas. Tidak sekadar soal logika, tapi gesture wajah, senyuman, bahkan tatapan mata yang berkelas. Itu tiket pulang pergi ke Texas, Thomas. Kalau kau mau, kau bisa bergabung bersamaku menaklukkan kasino-kasino besar di sana. Kita bertaruh dengan kemenangan di tangan. Kau bisa membawa pulang ratusan ribu dollar dari kunjungan singkat dua hari di sana. Mau?”

Aku tertawa, “Aku harus mengerjakan paper dari Anda, Prof.”



***bersambung

kalau kalian tetap tdk paham logika permainan tiga kotak, maka jgn membantah lewat komen kalian, apalagi bilang tdk mungkin, sama saja, dll, kalian hanya akan mempermalukan diri sendiri.

tezar
06-05-2011, 02:47 PM
*******-******* Berkelas -- Episode 27
by Darwis Tere Liye on Friday, May 6, 2011 at 9:56am

“Pak Thom naik apa? Kita tidak punya kendaraan di dermaga.” Kadek mensejajari langkahku, bergegas menyerahkan S&W, aku menyuruhnya mengambil revolver itu dari kamar.

PACIFIC sudah sempurna merapat—di bagian dermaga lain. Dari geladak kapal, sebenarnya dengan binokuler bisa terlihat tidak ada polisi yang berjaga di dermaga semula kapal tadi tertambat, tapi aku memutuskan merapat di bagian lain.

“Aku naik taksi, Kadek.”

“Taksi?” Kadek menyeringai.

Aku menoleh, sambil memasang revolver di pinggang, “Naik apalagi? Aku menelepon call center mereka lima menit lalu, salah-satu mobilnya segera ke dermaga.”

“Pak Thom akan berperang dengan naik taksi?”

Aku tertawa kecil, “Aku tidak pergi berperang, Kadek. Ini hanya untuk berjaga-jaga.”

Melambaikan tangan pada Opa dan Om Liem yang berdiri di balik jendela kamar dengan tirai tersingkap. Berjalan cepat ke tempat taksi terparkir rapi, membuka pintu, menghempaskan badan di jok mobil, menyebut alamat kantorku—tujuan pertama pagi ini, aku harus mengambil salinan dokumen Bank Semesta dari Maggie.

“Bergegas. Semakin ngebut kau, semakin banyak tips yang kuberikan.”

Sopir taksi mengangguk senang. Ditilik dari gurat wajah mudanya, jelas dia bosan dengan aturan main harus mengendarai kendaraan hati-hati dan nyaman, belum lagi sticker di pintu mobil, laporkan ke nomor telepon ini jika pengemudi ugal-ugalan. Aku merestuinya, dia segera menekan pedal gas, sambil membanting setir, taksi berbelok, meluncur cepat meninggalkan dermaga yacht.

Lima menit, mobil sudah melintas di tol, lengang, minggu pagi, langsung menuju pusat kota.

Aku meraih telepon genggam, saatnya menghubungi beberapa orang.

“Astaga, Thomas! Kau dari mana saja?”

Ram, adalah orang pertama, dan aku sedikit menyesal menghubunginya lebih dulu.

“Aku menelepon kau sejak pukul sepuluh tadi malam, Thomas. Telepon genggam kau tulalit. Berkali-kali, berkali-kali, kau membuatku terjebak serba-salah menghadapi puluhan nasabah Bank Semesta. Wajah-wajah cemas, meminta penjelasan, bahkan mereka berteriak-teriak marah tidak sabaran. Mereka minta segera kepastian, ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kau gila, Thom, kemana kau sebenarnya tadi malam, aku tidak bisa menangani mereka sendirian. Setengah jam lebih aku berusaha menahan mereka, bersabar, menyuruh mereka menunggu hingga kau datang. Sial, jangankan hidung dan dahi kau, telepon genggam kau mati.”

“Rileks, Ram.” Aku menyela sebelum kalimat keluhan (sekaligus laporan) Ram tidak berkesudahan dan berlebihan, “Kita bisa meminta mereka kembali berkumpul, re-schedule, aku akan menjelaskan situasinya, ini hanya soal pertemuan yang tertunda.”

Ram tertawa kecil, prihatin, “Tidak perlu, Thom. Tanpa disuruh, mereka sudah berkumpul. Pagi ini sudah separuh nasabah besar datang ke kantor pusat Bank Semesta, mendesak bertemu dengan Om Liem. Ini hari minggu, Thom, tapi mereka datang dengan wajah seperti Senin yang menyebalkan. Berdiri di depan kantor, terus menyuruh satpam membuka pintu.”

Aku menelan ludah, itu kabar terbaru di luar dugaan. Berpikir sejenak.

Melirik jam di dashboard taksi. Pukul 07.45, masih tiga jam lagi janji pertemuan dengan menteri. Aku harus bergerak cepat, waktuku tinggal 24 jam sebelum tenggat besok Senin, pukul 08.00 pagi.

“Baiklah, ini menjadi lebih mudah, Ram. Bilang ke mereka, aku akan tiba di kantor lima belas menit lagi. Kita bahas segera masalah ini. Kau juga minta nasabah besar lain bergegas datang.”

Aku mematikan telepon genggam sebelum Ram sempat berkomentar. Menjulurkan kepala ke depan, menyebut gedung tujuan baru, kantor Bank Semesta.

Sopir taksi tidak banyak bertanya, hanya mengangguk, matanya konsentrasi penuh ke depan.

Menekan nomor telepon kedua, Erik. Nada tunggu lama, sial, tidak diangkat-angkat. Aku hampir menutup telepon, bersiap mengumpat dalam hati, jangan-jangan dia masih tidur lelap.

“Hallo, siapa?” Suara menguap.

tezar
06-05-2011, 02:47 PM
Aku nyengir, “Siapa? Sayangnya mungkin aku orang yang paling kau hindari sejak kemarin, Kawan.”

Benar, belum habis kalimatku, Erik sudah mendengus.

Aku tertawa pelan, setidaknya Erik jadi seratus persen bangun mendengar suaraku.

“Kau mau apalagi? Ini hari minggu, tidak bosannya kau mengganggu waktu istirahatku. Aku sudah melakukan yang kau minta. Pejabat bank sentral itu mengalah, dia mentah-mentah mengerjakan apa yang kau suruh, mempermanis laporan. Entah dari mana dia memperoleh angka talangan dua trilyun, dan dia menghapus seluruh laporan rekayasa dan kejahatan keuangan Bank Semesta di seluruh laporan-laporan sebelumnya. Asal kau tahu, mungkin setitik pun tidak lagi tersisa kode etik, integritas, kejujuran, dan sebagainya di hati dia gara-gara permintaan kau.”

Tawaku bungkam, wajahku sedikit mengeras, “Jangan bicara soal kode etik, integritas dan kejujuran, padaku Erik. Ini masih terlalu pagi untuk ceramah. Kita sama-sama tahu, untuk orang-orang seperti kita, kehormatan adalah omong-kosong. Boleh saja kau presentasi tentang good governance, patuhi regulasi, sesuai standar prosedur, membual pada setiap klien, tapi sejatinya kita hidup dari bisnis hipokrasi.”

Erik di seberang sana menelan ludah, terdiam oleh kalimat tajamku.

“Lupakan. Aku menelepon kau hanya untuk bertanya, kau punya nomor telepon ‘putra mahkota’.” Aku menyela lengang sejenak.

“Putra mahkota?”

“Siapa lagi? Salah-satu anggota klub bertarung kita, Erik, junior petinggi partai besar, anak orang paling penting di negeri ini. Kau punya nomor teleponnya?”

“Buat apa?” Erik bertanya ragu-ragu.

“Aku mau mendaftar jadi kader partainya. Siapa tahu bisa bantu-bantu bazar sembako atau berjaga di pos periksa kesehatan gratis.”

“Eh?”

“Berhentilah bertanya, Erik.” Aku menyumpahi Erik dalam hati, “Aku harus menguasai seluruh bidak jika ingin memenangkan permainan ini, menyelamatkan Bank Semesta.”

Erik diam sebentar, helaan nafasnya bahkan terdengar hingga langit-langit taksi.

“Nomor teleponnya langsung, Erik. Bukan nomor kontak sekretaris, ajudan, staf ahli, apalagi orang-orang penjilat di sekitarnya. Aku harus berbicara langsung dengannya.” Aku mengingatkan sebelum Erik menjawab.

“Baik, Thom. Akan kukirimkan business card-nya beberapa detik lagi.”

“Nah, itu baru teman yang baik.”

“Kau berhutang banyak sekali padaku untuk ini semua, Thom”

Aku tertawa, “Tenang saja. Aku akan membayarnya lunas, kau bahkan bisa sekaligus menagih bunga-bunganya setelah hari Senin, Kawan. Asumsi aku masih hidup dan bebas berkeliaran di kota ini.”

Aku menutup pembicaraan, membiarkan dahi Erik terlipat mendengar kalimat terakhirku.

Taksi terus menyalip apa saja di depannya. Sepuluh menit lagi kantor pusat Bank Semesta. Aku menarik nafas dalam-dalam, kalimatku tadi kepada Erik tidak bergurau, dengan situasi yang terus serius jam demi jam, ada banyak kemungkinan buruk di hadapanku, termasuk yang terburuk sekalipun.

Aku menghembuskan nafas, baiklah, telepon ketiga pagi ini.

“Hallo, Thom. Bukankah kau baru dua jam lalu meneleponku, ini membuatku tersanjung, kau amat perhatian padaku,” Suara Julia terdengar renyah, “Tapi kalau kau bertanya apakah aku sudah bersiap-siap menuju kantor Menteri, aku bahkan sudah di gedungnya. Berkumpul bersama belasan wartawan lain yang mencari tahu kabar terakhir. Semoga jadwal pertemuan kita tidak dibatalkan di detik terakhir, banyak sekali orang yang ingin menemui beliau dalam situasi seperti ini.”

Aku nyengir, memutuskan tidak bertanya soal itu.

“Kau memang wartawan terbaik review terkemuka, Julia.” Memuji.

Julia tertawa, “Sepertinya tiga hari lalu, di atas pesawat, kau bahkan melihatku sebelah mata pun tidak, Thom. Aku tidak lebih anak SMA yang baru belajar ekonomi, bukan.”

“Hei, semua orang berubah pikiran, Julia. Lagipula, kalau kau ingin sebuah hubungan berhasil, entah itu pertemanan, atau lebih dari itu, maka kau harus terbiasa menyesuaikan diri, selalu berubah.” Aku ikut tertawa. Setelah kejadian ditembaki satu pasukan polisi tadi pagi, bergegas kembali ke dermaga, naik taksi, menelepon Ram dan Erik, percakapan pendek dengan Julia sepagi ini membuatku lebih santai, dengarlah suaranya yang riang—lupa kalau kemarin siang kami diborgol bersama.

“Kau tidak sedang menggodaku dengan mengatakan kalimat itu, bukan?”

Aku menyumpahi Julia dalam hati, “Tidak mudah menggoda gadis seterus-terang kau, Julia. Nah, kau pagi ini tidak memakai rok dan blouse seperti di pesawat, bukan?”

“Eh? Memangnya kenapa?”

“Karena aku tidak menjamin kebersamaan kita hari ini akan nyaman seperti pasangan pergi berwisata, Julia. Boleh jadi seperti kemarin siang, ngebut, tangan diborgol, mulut dibekap, dibanting duduk.” Aku nyengir.

“Kalau hanya itu, tidak masalah, Thom. Aku pandai berakting, lebih dari adegan telenovela, malah.” Suara Julia masih terdengar santai.

Aku mengusap dahi, membiarkan Julia riang sejenak, “Ini tidak lagi sekadar urusan fernando-esmeralda, Julia. Sepagi ini saja, setelah menelepon kau tadi pagi, aku sudah dikejar polisi. Mereka membabi-buta menembaki kapal. Om Liem, Opa, tiarap di lantai kabin. Aku harus membalas menembaki mereka agar bisa lolos.”

“Astaga? Tetapi kau baik-baik saja, bukan?” Julia berseru, suaranya berubah cemas, “Eh, maksudku tentu saja kau baik-baik saja, kau meneleponku dengan suara santai.” Bergegas menganulir.

“Terimakasih sudah bertanya kabarku, Julia.” Aku tertawa, “Kau amat perhatian kepadaku, jarang sekali ada gadis yang berseru mencemaskanku, padahal tiga hari lalu dia sepertinya bahkan bersedia menimpukku dengan piring kaviar.”

Julia bergumam sebal, “Kau memang pria yang suka membalas, Thomas.”

“Aku tidak membalas, Julia, aku hanya meniru sikap ketus dan sinis dari seorang gadis. Kau harusnya kenal sekali siapa dia, aku baru kenal dia tiga hari terakhir.”

Julia mendengus.

“Nah, semoga kau tidak memakai rok dan blouse hari ini, Julia, jadi bisa lebih gesit berlari. Sampai bertemu pukul sebelas.” Aku segera menutup percakapan.

Mobil taksi sudah keluar dari tol, langsung menuju kantor pusat Bank Semesta.

Aku harus mengurus nasabah besar, pemilik tabungan dan deposito individu dengan nilai puluhan milyar, nasabah yang paling terancam jika Bank Semesta ditutup, tidak sepeserpun uang mereka akan kembali. Sekali mereka bersepakat, urusan dengan putra mahkota dan yang lainnya akan lebih mudah.



***bersambung

tezar
10-05-2011, 08:56 AM
*******-******* Berkelas - Episode 28
oleh Darwis Tere Liye pada 09 Mei 2011 jam 9:56

episode 28



“PRANG!!”

Guci berusia ratusan tahun, salah-satu ornamen sederhana—tapi super antik dan mahal, di ruangan rapat lantai 1 Bank Semesta menghantam dinding. Hancur berbeling-beling.

Ruangan besar hening sejenak setelah suara bising yang mengejutkan.

“Kami mau uangnya kembali!” Salah seorang nasabah yang barusaja melempar guci berharga itu, ditilik dari wajah dan bentuk badannya dia pastilah pernah mengikuti dinas kemiliteran menatapku galak.

“Ya, kami mau uangnya kembali.” Nasabah lain berseru menimpali.

“Benar.” Teriakan nasabah lain ikut terdengar. Mengangguk-angguk dengan tampang masam.

“Kami juga ingin bertemu dengan Om Liem, sejak tadi malam kami ingin mendengar penjelasan langsung darinya, bukan staf ahli, orang kedua, wakil, atau apalah kalian menyebutnya.” Salah-satu nasabah di barisan belakang berseru pelan.

“Iya, kami ingin bertemu Om Liem. Dia harus mengembalikan seluruh uang kami.”

Aku menghembuskan nafas jengkel, menggeleng.

Urusan ini sama saja, di pinggiran pasar induk yang becek dan bau, maupun di ruangan dengan lantai keramik mahal dan bergorden beludru; entah para pedagang buah dan sayur meributkan kembalian, maupun nasabah kelas kakap dengan tabungan milyaran, semua orang bertingkah sama, melupakan kesabaran jika urusannya tentang uang.

“Baik!” Aku berseru tegas, berjalan cepat menuju sudut ruangan, kasar menyambar guci antik lain, “Nah, kau lemparkan juga yang ini! Lemparkan semau kau!”

Aku membentak, melotot.

Nasabah setengah baya, berbadan kekar itu terdiam, bingung menatapku.

“PRANG!!” Aku yang lebih dulu melemparkan dua guci mahal itu menghantam dinding cermin dekat proyekot. Suara potongan guci yang hancur beserta serpihan cermin berderai menimpa lantai.

Gumaman puluhan nasabah besar Bank Semesta segera bungkam, mereka sempurna menatap ke arahku.

“Kalian lemparkan semua guci di ruangan ini, kalian rusak semuanya, bahkan gedung besar ini kalian hancurkan, percuma, itu tidak akan mengembalikan uang kalian!” Aku berseru, balas menatap wajah-wajah tidak sabaran.

“Sekali Bank Semesta ditutup oleh Pemerintah, tidak ada sepeser pun uang nasabah diatas dua milyar akan selamat, percuma kalian teriak, marah, demo membakar ban di depan Istana, sia-sia, maka berhentilah bertingkah kekanak-kanakan, mari kita bicara baik-baik.”

Ruangan besar kembali senyap.

Aku menahan nafas.

Pertemuan ini sebenarnya berjalan sesuai dugaanku. Persis aku masuk ruangan, mereka sudah berteriak marah, dan lebih marah lagi saat aku mulai bicara tentang kemungkinan Bank Semesta ditutup. Lima menit berlalu, hanya soal waktu salah-satu nasabah akan berusaha meninju wajahku, pertemuan menjadi gaduh, jadi aku harus bergerak cepat.

Adegan melempar guci tadi sepertinya kurang lugas dan meyakinkan, maka aku mencabut revolver di pinggang. Beberapa nasabah berseru tertahan melihat senjata itu teracung, dua-tiga malah reflek melangkah mundur. Aku tidak peduli, melangkah maju, menyerahkan pistol itu ke tangan nasabah setengah baya berbadan kekar yang berdiri paling dekat.

“Nah, kau tembak saja kepalaku, uang kau tetap tidak akan kembali!” Aku berkata datar dan tajam, memasangkan gagang pistol ke dalam tangannya.

“Ayo, tembak saja!” Aku menyuruh, mengarahkan tangan yang memegang pistol ke kepalaku, moncong S&W itu persis di dahiku sekarang.

Wajah-wajah tidak sabaran itu dengan cepat berubah menjadi pias. Nasabah ibu-ibu menutupi wajahnya dengan tas bermerk atau kedua belah telapak tangan, jerih. Satu-dua malah berteriak panik, berseru ‘jangan’ atau ‘hentikan’.

“Tembak saja!” Aku justeru membentak.

Setengah menit senyap.

Dia menggeleng, menghembuskan nafas.

Tangannya yang memegang pistol terkulai.

Tatapan galak itu telah luntur, delapan menit sejak pertemuan dimulai, aku akhirnya menguasai situasi. Ini rekor terlamaku mengendalikan sebuah pertemuan.

“Kami hanya ingin uang itu kembali, Pak Thom.” Nasabah setengah baya berbadan tegap itu berkata pelan, “Saya lama sekali mengumpulkannya, itu uang pensiun saya setelah berpuluh tahun menjadi tentara. Uang sekolah anak-anak yang masih remaja, biaya makan kami, biaya berobat. Pak Thom pastilah tahu, pensiunan tentara, meski jenderal sekalipun tidak memadai.”

Nasabah lain mengangguk—meski tidak bergumam ribut lagi.

“Baik, kalau demikian, kita bisa bicara baik-baik sekarang.”

Aku memasang kembali revolver ke pinggang, menatap wajah-wajah di sekitarku dengan tatapan pura-pura bersimpati—peduli setan dengan rasa simpatiku, di ruangan ini, banyak sekali nasabah yang tidak masuk akal bisa memiliki deposito puluhan milyar, termasuk pensiunan jenderal di depanku ini.

“Nah, seperti yang telah kusampaikan dalam kalimat pembuka pertemuan kita tadi, aku adalah konsultan keuangan profesional. Aku ditunjuk mewakili Om Liem untuk melakukan negosiasi dengan otoritas yang memutuskan apakah Bank Semesta ditutup atau tidak sebelum pukul 08.00 besok pagi Senin.” Memasang wajah tegak, menatap seluruh peserta pertemuan.

“Kabar buruknya, bapak-bapak, ibu-ibu, menurut perhitungan serta penilaian profesionalku, Bank Semesta bahkan seharusnya ditutup enam tahun lalu. Titik. Kabar baiknya, urusan ini sudah terlanjur rumit dan memiliki implikasi luas, tidak pernah lagi sesederhana enam tahun silam. Lagipula, sebagai orang yang dibayar pihak bank, aku jelas orang pertama yang menentang penutupan Bank Semesta. Aku akan melakukan apa saja untuk mencegah Bank Semesta pailit.”

“Kenapa kita bertemu di sini? Dalam situasi tidak jelas, panik, serta marah? Karena aku butuh bantuan kalian. Apa yang aku butuhkan? Sederhana saja. Kalian jawab pertanyaan ini, dalam situasi darurat, dengan kemungkinan seratus persen uang kalian hilang, apakah kalian akan memilih kehilangan seluruh uang itu atau bersedia mengorbankan sepertiga darinya sebagai biaya penyelamatan?”

Aku diam sejenak, membiarkan puluhan nasabah kelas kakap mencerna kalimatku.

“Kalian kehilangan semua, atau sepertiga, pilih yang mana?” Aku mengulang pertanyaan itu setelah mereka saling menoleh, bergumam pelan, mulai mengerti situasinya.

“Tetapi buat apa uang yang sepertiga itu, Pak Thom?”

Aku tertawa prihatin, “Untuk menyumpal semua pihak, apalagi?”

Mereka terdiam.

“Jika itu terjadi, jika Bank Semesta akhirnya diselamatkan komite stabilitas keuangan nasional, itu jelas akan menjadi skandal perbankan terbesar di negeri ini. Semua pihak, terutama media massa, LSM, lembaga, individu yang masih memiliki integritas akan menuntut dilakukan penyelidikan, diusut tuntas. Nah, sebelum itu terjadi, kita harus menyumpal sebanyak mungkin pihak terkait. Pejabat pemerintah, partai politik, petinggi institusi, kroni, teman, kolega, bahkan bila perlu pengurus organisasi olahraga, apapun itu, semakin banyak yang menerima kucuran uang haram itu, maka jangankan melakukan penyidikan secara sistematis dan besar-besaran, menggerakkan satu pion petugas penyidik saja mereka tidak kuasa. Seluruh penjara di negeri ini penuh jika komisi pemberantasan korupsi berani mengutak-atik kasus penyelamatan Bank Semesta.”

“Aku butuh banyak uang untuk melakukannya, bapak-bapak, ibu-ibu. Nah, kalian bersedia menyerahkan sepertiga deposito atau tabungan, atau sebaliknya, kalian bersedia kehilangan semuanya. Putuskan segera, sebelum Pemerintah mengetuk palu. Sekali Bank Semesta ditutup, tidak ada lagi rekayasa yang bisa aku lakukan. Kalian punya waktu setengah jam untuk berdiskusi, aku harus segera pergi, waktuku sempit. Selamat pagi.” Aku balik kanan, meninggalkan keributan yang segera meruap di ruangan.

“Ram, kau pimpin mereka berdiskusi.” Aku menepuk bahu Ram, “Kabarkan segera padaku apapun keputusan mereka.”

Ram mengangguk, bergegas mensejajari langkah kakiku keluar ruangan rapat. Suara bising peserta pertemuan segera memenuhi langit-langit. Satu-dua berseru soal semua ini tidak masuk akal, menyesal telah menabung di Bank Semesta. Satu-dua menangis, mungkin sedih membayangkan uangnya hilang. Tetapi lebih banyak yang mengangguk menyetujui kalimatku, mulai berkumpul dan membahas solusi yang kutawarkan, solusi paling masuk akal bagi mereka.

Aku sudah tidak mendengarkan, sudah pukul sembilan, dua jam lagi jadwal pertemuanku dengan Menteri, aku harus singgah sebentar ke kantor mengambil salinan dokumen Bank Semesta dari Maggie.

Saat itulah, saat aku melintasi pintu, berjalan cepat menuju lobi luas gedung, seseorang telah menungguku. Rambutnya menguban, tubuhnya gempal pendek, wajah khas seperti Opa.

Tersenyum hangat, “Tommi, apa kabar?”

Aku mendongak, menelan ludah. Hanya sedikit orang yang tahu nama panggilan masa kecilku, Tommi, apalagi sejak rumah dibakar puluhan tahun lalu, nama kecil itu hanya diketahui Opa, Om Liem dan Tante. Siapa orang tua ini?



***bersambung

tezar
13-05-2011, 01:32 PM
*******-******* Berkelas -- Episode 29
oleh Darwis Tere Liye pada 11 Mei 2011 jam 13:52

episode 29



“Tidak terbayangkan, Nak. Sungguh tidak pernah berani kubayangkan, bahkan dalam mimpi paling liar orang tua ini sekalipun, kalau kau ternyata selamat dari kejadian puluhan tahun silam. Kupikir hanya Liem, istrinya dan Opa yang selamat, ternyata kau juga selamat.” Orang tua dengan tongkat di tangan itu merentangkan tangannya, dan tanpa bisa kucegah, sudah memelukku takjim.

Aku masih menelan ludah. Berdiri menerima pelukan, mengingat-ingat wajahnya.

Dia melepaskan pelukan, menatapku datar, tersenyum, “Kau dulu masih kecil sekali, Tommi. Setinggi ini. Berpakaian seperti pelayan, berlari-lari kecil membawa nampan berisi gelas air minum dan makanan saat pesta keluarga diadakan. Apa kata Edward, Papa kau, tentu saja dia mau bekerja keras, Shinpei, dia digaji mahal sekali, aku lantas bertanya, mahal? Papa kau menjawab, sebuah sepeda baru, Shinpei. Seperti baru terjadi kemarin sore pesta meriah itu, beberapa bulan sebelum rumah dan gudang kalian dibakar massa mengamuk.”

Aku akhirnya ingat sudah.

Bukan karena orang yang sedang memegang bahuku itu menyebut namanya sendiri, tapi karena aku juga sempurna kembali mengingat masa lalu itu. Tuan Shinpei, orang ini adalah rekanan Papa dan Om Liem jaman berdagang tepung terigu dulu. Salah-satu pengusaha besar yang kudengar tahun-tahun terakhir memiliki bisnis properti hingga negeri tetangga.

“Lihatlah, anak kecil berpakaian pelayan itu sekarang sudah berubah menjadi harimau gagah. Astaga, Nak, aku melihat sendiri bagaimana tadi kau mengendalikan puluhan nasabah kakap yang marah, itu amazing, mengagumkan, Tommi. Kemana saja kau selama ini? Aku tidak pernah mendengar kau dalam rapat perusahaan milik Om Liem dan Opa. Kau sekolah di business school ternama? Dikirim Liem belajar magang di perusahaan raksasa Amerika? Disiapkan sebagai penerus bisnis keluarga? Atau jangan-jangan kau diam-diam sedang membangun imperium bisnis sendiri? Dengan kemampuan kau tadi, itu mengerikan, Nak, tidak akan ada satu pesaing pun yang berani melawan kau.”

Aku untuk pertama kalinya membalas kalimat Tuan Shinpei dengan tersenyum terkendali, menggeleng, “Aku hanya membuka kantor konsultan keuangan skala kecil, Tuan Shinpei.”

Dia menggeleng, “Jangan panggil aku Tuan Shinpei, Tommi. Kau panggil saja Om Shinpei, keluarga kalian sudah seperti keluargaku sendiri.” Tuan Shinpei diam sejenak, mengangguk-angguk, “Ohiya, apa kau bilang tadi? Konsultan keuangan? Aku baru ingat, aku pernah melihat wajah kau sekali dua di majalah atau review ekonomi Hongkong terkemuka. Tetapi aku tidak menduga kau adalah Thomas yang itu. Aku baru tahu beberapa menit lalu, menatap wajah kau mengingatkanku pada Edward. Orang tua ini tinggal di Hongkong, Tommi, tidak tahu banyak urusan bisnis di Jakarta. Bahkan sebenarnya aku baru tiba tadi malam. Perjalanan mendadak yang cukup melelahkan untuk orang setuaku.”

Aku mengangguk sopan, melirik pergelangan tangan, lima menit aku tertahan di lobby gedung Bank Semesta, kalau saja orang tua ini bukan Tuan Shinpei, aku sudah ijin pamit segera, pertemuan super penting menungguku pukul sebelas. Tapi mengingat dia adalah teman dekat Papa dan Om Liem aku memutuskan basa-basi sebentar.

“Perjalanan mendadak? Keperluan bisnis?” Aku bertanya, mencomot sembarang pertanyaan.

Tuan Shinpei mengangkat bahu, “Iya, perjalanan bisnis mendadak, Tommi. Tidak kebetulan aku datang kemari. Ke gedung megah bank yang nyaris kolaps milik Liem. Aku terdaftar dalam nasabah besar Bank Semesta, tadi malam aku dihubungi untuk segera berkumpul.”

Alis mataku sedikit terangkat.

“Tentu saja namaku tidak ada dalam daftar yang kau pegang. Tetapi setidaknya ada lima nama nasabah lain yang mewakili depositoku secara tidak langsung.” Tuan Shinpei menjelaskan tanpa diminta, “Urusan ini rumit sekali, bukan, semua uang nasabah terancam hangus tanpa sisa. Aku sebenarnya pernah dihubungi Liem enam bulan lalu, dia bahkan pernah datang ke Hongkong tiga bulan lalu, mendiskusikan jalan keluar Bank Semesta, sayangnya bisnis properti milikku juga sedang bermasalah, aku tidak bisa membantu banyak. Ini situasi rumit kedua yang harus dihadapi Liem setelah cerita lama tentang arisan berantai itu, bukan?”

Lobby luas tempatku berdiri berhadapan-hadapan dengan Tuan Shinpei dan dua ajudannya meski lengang dari lalu lalang orang tetap berisik, suara perdebatan di ruangan rapat terdengar hingga lobby.

Aku mengangguk, teringat percakapan dengan Om Liem sebelum melarikan diri dengan kamuflase ambulans dua malam lalu. Aku pernah bertanya apakah Om Liem telah meminta bantuan kolega bisnisnya, siapa saja, termasuk dari Tuan Shinpei. Tetapi aku baru tahu pagi ini kalau Tuan Shinpei juga memiliki dana di Bank Semesta.

“Kau sepertinya punya rencana hebat, Tommi?”

“Rencana hebat?”

“Iya, apalagi, rencana hebat menyelamatkan Bank Semesta?” Tuan Shinpei bertanya, menyelidik dengan mata berkerut.

Aku menggeleng perlahan, “Tidak ada rencana hebat. Hanya rencana nekad.”

Tuan Shinpei terkekeh prihatin, “Jangan terlalu merendah, Tommi. Kau pastilah yang terbaik dari ribuan konsultan keuangan yang ada, bukan. Wajah kau ada di halaman depan majalah Hongkong, itu pasti jaminan. Dan lebih dari itu, kau pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkan bisnis keluarga, bukan? Bahkan termasuk mati sekalipun. Mereka punya lawan tangguh sekarang.”

Aku terdiam, menelan ludah, sedetik, aku seperti merasa ada yang ganjil dengan percakapan ini.

“Ini kabar baik. Tentu saja kabar baik.” Tuan Shinpei mengangguk-angguk, tidak terlalu memperhatikan ekspresi wajahku, “Jadi aku tidak usah mencemaskan banyak hal lagi, bukan? Kehilangan sepertiga jelas lebih baik dibanding semuanya. Itu rumus baku bagi pebisnis ulung. Mengorbankan sebagian, demi keuntungan lebih besar. Mundur dua langkah, untuk maju bahkan lari ribuan langkah. Kau pasti lebih dari paham tentang itu. Nah, bisa kau ceritakan apa yang sedang kau rencanakan, Tommi?”

Aku menggeleng sopan.

“Tentu saja kau tidak boleh bercerita.” Tuan Shinpei tertawa kecil, “Atau kau bisa memberitahuku, Liem sekarang berada di mana? Sejak tadi malam aku berusaha mencari tahu, tentu juga puluhan nasabah lainnya ingin tahu.”

“Om Liem ditempat yang aman.”

“Tempat yang aman?”

Aku lagi-lagi menggeleng sopan, tapi tegas. Lobby luas gedung Bank Semesta masih lengang dari lalu-lalang orang. Suara berisik di ruangan rapat mulai terdengar pelan, Ram sepertinya melakukan apa saja untuk mengendalikan diskusi.

Sejenak aku saling beradu tatapan mata dengan Tuan Shinpei.

“Baiklah, Tommi. Orang tua ini sepertinya terlalu cemas, terlalu ingin tahu. Kau sepertinya sedang terburu-buru. Waktu yang tersisa sempit sekali, bukan? Kau boleh meninggalkanku sekarang.” Tuan Shinpei menepuk-nepuk bahuku, “Aku akan bergabung ke ruangan rapat bersama nasabah lain. Setidaknya aku tidak perlu mencemaskan nasib Bank Semesta sekarang, termasuk nasib uangku, nasibnya sudah ada di tangan orang yang tepat. Aku hanya perlu mencemaskan hal lain.”

“Mencemaskan hal lain?” Aku bertanya.

Tuan Shinpei menyeka pelipis, menatapku sambil tersenyum, “Apalagi selain mencemaskan kau, Tommi. Apapun yang sedang kau lakukan, itu pasti berbahaya. Hati-hatilah, Nak. Apa kata pepatah bijak orang tua dulu, musuh ada di mana-mana, maka berhati-hatilah sebelum kau bisa memegang kerah lehernya. Senang bertemu kau lagi, Tommi.”

Tuan Shinpei sudah melangkah menuju ruangan rapat sebelum aku basa-basi menjawab kalimatnya, dua ajudannya ikut bergerak. Suara tongkat mengetuk lantai keramik terdengar berirama.

Aku menelan ludah. Rombongan Tuan Shinpei sudah menghilang di balik pintu ruangan rapat.

Aku melirik pergelangan tangan, mengumpat dalam hati, waktuku terbuang hampir setengah jam. Aku harus segera menuju kantor, mengambil salinan dokumen dari Maggie. Jadwal audiensiku dengan Menteri satu setengah jam lagi. Aku berlari-lari kecil melintasi lobby luas gedung Bank Semesta.



***bersambung

tezar
13-05-2011, 01:33 PM
*******-******* Berkelas -- Episode 30
oleh Darwis Tere Liye pada 13 Mei 2011 jam 10:59

episode 30



Taksi yang kutumpangi dari dermaga yacht masih setia menunggu.

“Kita ngebut lagi, Pak?” Pengemudinya bertanya, menyeringai.

Belum hilang anggukanku, belum genap menyebut tujuan berikutnya, mobil sudah melesat meninggalkan pelataran parkir gedung Bank Semesta.

Hari minggu, jalanan protokol lengang.

Telepon genggamku berbunyi saat aku merebahkan punggung, berusaha rileks sejenak. Nama Erik terpampang di layar telepon genggam. Aku menggerutu, sejak tadi aku menunggu nomor kontak yang akan dikirimkan Erik.

Mengangkat telepon, setengah berseru, “Kau butuh berapa lama lagi untuk mengirimkan business card putra mahkota, Erik?”

“Sabar, Thomas.” Erik berkata santai.

“Astaga, waktuku terbatas.” Aku mulai jengkel.

“Aku harus melewati beberapa prosedur sebelum memberikan nomor kontaknya, Thom. Kau tahu, ini tidak seperti memberikan nomor telepon artis idola atau pengarang kesayangan, atau nomor telepon therapis langganan kau. Lagipula, kabar buruknya, dia tidak otomatis mengangkat setiap telepon yang masuk. Nomor kau tidak dikenali, mau kau telepon belasan kali, jangan harap dia angkat, dilirik pun tidak.” Erik menjawab dengan logika.

Aku terdiam sejenak. Benar juga.

“Nah, kabar baiknya, aku barusaja menelepon dia lima menit lalu, bilang ada teman klub petarung yang ingin menghubungi, membicarakan sesuatu yang amat penting. Dia bersedia kau hubungi, tapi tidak lewat telepon, Kawan, riskan sekali melakukan pembicaraan sensitif lewat telepon, dia menyediakan waktu untuk pertemuan langsung. Kabar baik, bukan?” Erik tertawa.

Aku mengepalkan tinju. Senang mendengarnya.

“Ini jelas lebih baik, Erik. Terima kasih banyak. Kau memang teman yang baik.”

“Berterima kasih saja tidak cukup, Thom, kau harus mencium kakiku.” Erik masih tertawa, “Meminta jadwal pertemuan dengan putra mahkota tidak pernah mudah. Aku harus meyakinkannya berkali-kali kalau kau akan membicarakan sesuatu yang penting sekali.”

“Di mana pertemuannya?” Aku mengabaikan kalimat Erik dan tawanya, bergegas memastikan.

“Nanti sore pukul empat di Denpasar. Dia dan petinggi partai politiknya sedang di sana, urusan partai, membuka munas, musda atau apalah.”

Aku menghembuskan nafas, “Tidak bisakah dia ke Jakarta, Erik. Jadwalku ketat sekali sebelum besok pagi kantor buka.”

Erik tertawa menyebalkan, “Kau gila, Thom. Kau pikir dia klien, teman kantor, atau siapalah yang bisa kau suruh-suruh selama ini. Esok-lusa, boleh jadi kau melihatnya di televisi sedang pidato kenegaraan, dan kita tidak bisa lagi memanggil namanya langsung tanpa sebutan Bapak.”

Aku menelan ludah, “Aku hanya bergurau, Erik. Kau tidak pernah mengerti sarkasme, entah itu dirapat-rapat, atau bahkan dalam percakapan telepon sekalipun. Aku bisa ke Denpasar nanti sore pukul empat, itu hanya perjalanan dua jam. Terima-kasih sudah membantuku.”

“Simpan saja terima-kasih kau sekarang, Thom, aku akan menagihnya diwaktu yang tepat, permintaan yang tepat, dan harga yang mahal.” Erik nyengir.

“Aku akan membayarnya. Pegang janjiku.”

“Great. Adios, Kawan.”

“Sebentar, Erik,“ Aku mencegah Erik menutup telepon, teringat sesuatu, “Tadi kau bilang tidak mudah bertemu dengannya, lantas bagaimana kau hanya butuh waktu lima menit untuk meyakinkan dia?”

“Itu gampang, Thom. Aku tiru mentah-mentah trik kau selama ini. Kubilang, orang ini, yang meminta jadwal bertemu, hendak menyumbang sepuluh milyar untuk dana partai. Brillian, bukan? Dia bahkan lupa untuk bertanya siapa nama kau. Nah, selamat berlibur, jangan lupa bawa sunblock atau papan selancar kau. Selamat bertemu bertemu dengannya, Thom. Ingat, kau harus sopan, dia amat sensitif, maklumlah, anak muda yang tiba-tiba kejatuhan bulan, kekuasaan besar di tangan, banyak sekali penjilat di sekitarnya, salah-salah kata, moodnya bisa rusak, dan kau kehilangan kesempatan. Kalau dia bukan anak siapalah, paling juga sedang keringatan mengepit map lamaran kerja, atau gugup mengerjakan lembar ujian psikotes.” Erik tertawa, menutup telepon.

Aku mendengus pelan, lelucon yang buruk.

Mobil taksi terus membelah jalanan lengang.

Telepon genggamku berbunyi lagi saat aku baru saja rileks meluruskan kaki.

“Kau dimana, Thomas?” Suara Julia, sedikit terdengar panik.

“Aku di taksi, menuju kantor, hendak mengambil berkas. Lantas baru ke tempat kau. Ada apa?”

“Tidak ada waktu lagi, Thomas. Kau harus segera ke sini. Jadwal pertemuan kita dimajukan satu jam. Ajudan menteri baru memberitahuku beberapa detik lalu.”

“Kau yakin?” Aku melirik jam di dashboard taksi, itu berarti tiga puluh menit lagi

“Bergegas, Thomas!” Julia menjawab jengkel, “Atau hanya aku yang akan menemuinya, melakukan wawancara basa-basi sesuai skedul.”

“Tetapi berkas itu penting, Julia. Itu akan membuat perbedaan.”

“Peduli amat dengan berkas itu. Kau suruh siapa saja mengantarnya. Aku tidak bisa menelepon kau lama-lama, lobi gedung ini semakin ramai, sepertinya semua wartawan berebut ingin tahu apa yang sedang terjadi, ada staf khusus Istana yang datang, mobilnya baru merapat, dia sepertinya juga akan bertemu Menteri, teman wartawan lain sudah berlari-lari mengerubungi, aku juga harus mendengar apa yang dia katakan.”

Percakapan telepon diputus.

Baiklah, kepalaku melongok ke depan, menyebut tujuan baru pada sopir taksi.

“Lebih ngebut, Pak?” Pengemudi bertanya polos.

“Terserah kau saja.” Aku menjawab pendek.

“Siap, Pak.”

Taksi dengan cepat meliuk, menyalip dua mobil sekaligus.

Aku menekan nomor telepon genggam Maggie, aku harus meminta Maggie mengantarkan dokumen itu. Tanpa salinan dokumen yang disiapkan Maggie, aku tidak bisa membujuk Ibu Menteri. Kalian tidak akan pernah bisa membujuk wanita berhati baja itu, aku mengenalnya bahkan sejak kuliah. Satu-satunya cara meruntuhkan sebuah keteguhan sikap atas kejujuran dan integritas hidup hanyalah dengan mengurung dia dengan dua pilihan. Hanya dua pilihan, tidak lebih, tidak kurang. Dua pilihan yang sama-sama sulit. Maka ketika skenario itu terjadi, konteksnya menjadi berubah, yaitu: pilihan paling rasional atas dua kemungkinan terburuk.

Dan adalah salinan dokumen yang dipegang Maggie kuncinya.



***bersambung

tezar
23-05-2011, 03:07 PM
*******-******* Berkelas -- Episode 31
by Darwis Tere Liye on Thursday, May 19, 2011 at 12:40pm

episode 31



Lobi gedung ramai oleh ‘lalat’ pencari berita. Tetapi tentu saja mereka tidak peduli dengan taksi yang kutumpangi merapat, mereka menunggu pejabat penting. Aku menyeringai, melintasi lobi tanpa gangguan. Seandainya mereka tahu akulah yang sedang berusaha mati-matian menskenariokan banyak hal terkait Bank Semesta, memegang kunci informasi penting, mungkin mereka akan saling sikut, saling dorong mengepungku. Apa kata Opa dulu, di dunia ini, urusan penting dan tidak penting hanya terlihat dari kulit luarnya saja. Orang terkadang lupa, orang-orang di sekitarnya yang selama ini terlihat biasa saja dan sederhana, justeru adalah bagian terpenting dalam hidupnya.

Lupakan kebijaksanaan Opa, aku harus bergegas menemui Julia. Sejak tadi dia menunggu.

Dari gumaman kuli tinta, menuju lift, aku tahu isu tentang rapat komite stabilitas sistem keuangan hanya menunggu waktu digelar, staf Istana sudah hadir, petinggi bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan dalam perjalanan pulang dari luar kota—dari mengisi jadwal kuliah umum. Juga beberapa petinggi bank besar milik negara, pejabat tinggi, anggota komite telah dihubungi.

Aku menekan tombol lift. Pintu lift membuka. Melangkah masuk. Sendirian. Menatap wajah di dinding. Aku menyisir rambut dengan jemari, merapikan jas yang kukenakan, menepuk debu di celana gelap. Mengangguk, semua sudah oke.

Lift mendesing naik, lima belas detik lengang. Kontras dengan di luar tadi.

“Akhirnya kau tiba tepat waktu, Thom.”

“Eh?” Aku menelan ludah.

Wajah dan suara Julia sudah menungguku persis ketika pintu lift terbuka, lantai ruangan Menteri. Julia berseru dengan wajah cemas, dia sepertinya sejak tadi berdiri di lorong lift.

“Beliau sudah datang lima belas menit lalu, Thom.” Julia tidak memberikanku kesempatan bernafas, bergegas melangkah menuju meja resepsionis yang dijaga beberapa petugas keamanan—yang sejauh ini berhasil menghalau siapa saja yang hendak masuk ruangan Menteri.

“Sebentar, Julia. Kita tidak bisa menemui beliau sekarang. Aku harus menunggu Maggie. Ada dokumen penting.” Aku mengingatkan, masih berdiri di lorong.

“Tidak akan sempat, Thom. Ajudan Menteri sudah mengingatkan dua kali, jika kita tidak segera masuk ruangan, jadwal kita dibatalkan.”

“Dua menit, Julia! Ayolah, kita tunggu dua menit.”

“Thomas, kita tidak punya waktu bahkan untuk satu menit.” Wajah Julia terlihat menyebalkan, dia sudah berdiri di depan meja resepsionis, ujung lorong, berseru, ditonton petugas keamanan, “Kau tidak tahu apa yang telah dilakukan pemimpin redaksi review kami untuk mendapatkan jadwal audiensi sepenting ini. Aku masuk duluan kalau kau tidak mau.”

Aku menggeleng. Percuma aku masuk dalam sebuah ‘pertempuran’ tanpa amunisi.

Kabar baiknya, sebelum Julia berseru jengkel, masuk sendirian ke dalam ruangan, atau melemparku dengan tasnya, suara teng pelan berbunyi, pintu lift di belakangku terbuka.

Maggie dengan nafas tersengal datang membawa dokumen.

“Aku tidak terlambat, bukan?” Maggie bertanya cemas.

Demi melihat wajah bergegas Maggie, aku sungguh tertawa lega, “Kau tidak pernah terlambat, Mag. Kau sudah seperti pahlawan super hero yang menyelamatkan dunia, selalu datang tepat waktu”

Maggie menghembuskan nafas, “Syukurlah. Ini dokumennya, Thom. Semua ada di sana.”

Aku memeriksa sebentar, mengangguk.

“Eh, kau bersama Nenek Lampir itu?” Maggie berbisik, menunjuk.

Aku mendongak, menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjuk Maggie.

Aku seketika tertawa, menatap Julia yang masih berdiri menunggu di depan meja resepsionis. Maggie pastilah masih sebal karena kemarin Julia merangsek ruanganku, tidak bisa dia cegah.

“Astaga, bahkan wajahnya sekarang tetap sama seperti dia menerobos kantor kemarin. Judes, tidak berperasaan, tidak sabaran. Benar-benar Nenek Lampir.” Maggie bergumam.

“Dia wartawan, Mag, begitulah kelakuannya.” Aku tersenyum pada Maggie, “Nah, terima kasih untuk dokumen ini. Kau bisa segera kembali ke kantor, aku memerlukan beberapa bantuan lainnya, aku harus ke Denpasar nanti sore, ada pertemuan penting pukul empat. Kau bisa bantu menyiapkan perjalanan, juga menghubungi beberapa orang lagi dan beberapa informasi penting.”

“Baik, baik,” Maggie mengusap wajahnya, memasang wajah pura-pura kecewa besar, “Nasib sekali menjadi staf kau, Thom. Bertahun-tahun hanya disuruh mengurus tiket pesawat, kurir dokumen, mengumpulkan informasi, dan remeh-temeh lainnya. Sementara Nenek Lampir tidak jelas yang baru kau kenal kemarin itu kau ajak bertemu dengan Menteri.”

Maggie menekan tombol lift.

Aku tertawa lagi, “Kau lupa kalimatku barusan Mag, kau adalah super hero. Julia hanya Nenek Lampir.”

Pintu lift terbuka.

“Ya, ya, super hero remeh-temeh. Bye, Thom. Salam buat Nenek Lampir itu. Semoga dia tidak naksir kau, kalau kejadian, aku bisa menjadi pesuruh rendahannya kelak.” Maggie sudah masuk ke dalam lift.

Aku mengabaikan gurauan Maggie, melangkah menuju meja resepsionis.

Petugas memberikan kartu pengenal, untuk ketiga kalinya mengingatkan jadwal kami di dalam hanya tiga puluh menit. Aku mengangguk, mengenakan kartu pengenal, itu lebih dari cukup.

“Staf kau itu tadi bilang apa?” Julia bertanya saat kami melangkah menuju pintu ruangan Menteri, sambil merapikan pakaiannya.

“Dia bilang kau Nenek Lampir.” Aku sengaja menjawab lurus.

“Apa?” Dahi Julia terlipat.

“Iya, dia bilang kau Nenek Lampir.” Aku melambaikan tangan.

“Dasar sialan!” Julia bahkan terhenti sejenak.

“Beliau sudah datang lima belas menit lalu, Julia. Kita tidak punya waktu bahkan untuk satu menit membahas tentang Nenek Lampir. Kau tidak tahu apa yang telah dilakukan pemimpin redaksi review untuk mendapatkan jadwal audiensi sepenting ini, bukan?” Aku terus melangkah

Wajah Julia terlihat merah-padam, berbisik ketus, “Kau memang lelaki pembalas, Thomas. Dan staf kau tadi juga mewarisi sikap buruk itu.”

Aku hanya nyengir, mendorong pintu. Inilah pertemuan penting kedua setelah kemarin sore aku sengaja satu pesawat dengan gubernur bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan. Bidak kedua dalam permainan penting ini.



***bersambung

tezar
23-05-2011, 03:09 PM
*******-******* Berkelas -- Episode 32
by Darwis Tere Liye on Friday, May 20, 2011 at 7:54am

episode 32



Ruangan Menteri, untuk seseorang yang disebut salah-satu wanita paling perkasa di Asia menurut majalah terkemuka itu, terlihat sederhana. Aku dan Julia (yang masih berusaha memulihkan tampang masam karena dipanggil Nenek Lampir) terus melangkah menuju meja kerjanya. Menteri sudah berdiri sejak melihat kamu masuk, wajahnya datar, tanpa senyum—siapa pula yang bisa tersenyum dengan gejolak krisis dunia.

“Selamat pagi.” Dia lebih dulu menjulurkan tangan, sikap khas seorang gentleman—meski jelas dia seorang woman.

Aku mengangguk takjim, berjabat-tangan, memperkenalkan diri. Julia menyusul kemudian.

“Maaf kami terlambat beberapa detik.” Basa-basi.

“Tidak masalah.” Menteri mengangguk, berkata cepat dengan intonasi tegasnya, “Walaupun terlambat adalah terlambat. Tidak ada bedanya terlambat beberapa detik dengan terlambat beberapa jam, bukan. Tetapi lupakan saja, silahkan duduk.” Menteri menunjuk sofa simpel berwarna gelap di ruangannya. Meja kecil di depan sofa dipenuhi tumpukan berkas.

Aku menelan ludah tanggung, benar-benar tipikal pejabat tinggi yang suka berterus-terang.

Julia melirikku—lirikan yang jelas menyalahkanku.

Telepon di meja kerjanya berbunyi—menyelamatkan situasi kebas barusan. Menteri mengangguk kepada kami, meminta ijin sejenak, dan sebelum kami balas mengangguk dia sudah melangkah cepat ke meja, mengangkat gagang telepon, dan sekejap sudah terlibat percakapan seru berbahasa Inggris mengenai situasi terakhir krisis subprime mortgage di luar sana. Aku sungguh berusaha tidak menguping—karena meskipun aku seorang *******, itu melanggar etika manapun, tetapi Julia dengan senang hati menulis beberapa kalimat penting yang terdengar lantang. Aku menyikut Julia. Dia mengangkat bahu, memasang wajah tanpa dosa.

“Itu dari salah-satu analis dana moneter internasional, IMF.” Ibu Menteri sudah kembali, beranjak duduk di hadapan kamu, “Kolega dekat, dia berbaik hati memberikan briefing kabar terbaru. Ohiya, tidak masalah bukan, kalau wawancara kita diseling oleh pekerjaan, satu-dua telepon? Susah sekali menyisihkan waktu tiga puluh menit dalam situasi seperti sekarang.”

Aku dan Julia (tentulah) mengangguk—kompak, berbarengan.

“Ini situasi rumit, kalian lebih dari tahu. Tadi malam ketika Shambazy menelepon, meminta jadwal audiensi mendadak, saya sebenarnya keberatan, sayangnya, aku tidak pernah bisa menolak permintaan Shambaz, dia teman baik sejak kuliah, ketua senat kami.”

“Aku baru tahu kalau Pak Shambaz pernah jadi ketua senat.” Julia memotong sopan.

Ibu Menteri memperbaiki posisi duduk, “Dia bukan sekadar ketua senat. Tetapi Shambazy tidak pernah tertarik bekerja menjadi birokrat, lebih memilih berkarir menjadi wartawan, lebih nyaman dan tenang mengomentari banyak hal. Tidur lebih nyenyak. Menjadi Menteri yang berdedikasi penuh tidak pernah sesederhana seperti masa lalu. Stres, tekanan politik, kritik, hujatan, sorotan media massa, itu makanan sehari-hari.”

“Tetapi Ibu terlihat selalu segar.” Julia memuji—basa-basi yang keliru.

Ibu Menteri menanggapi pujian itu dengan tersenyum tipis, “Kau tidak akan bertanya tentang trik tampil segar dan cantik seperti wartawan lain dalam jadwal wawancara sepenting ini, bukan?”

“Eh?” Julia menelan ludah, kikuk.

“Tentu tidak, Bu.” Aku tertawa sopan, menyikut Julia agar diam, bergegas memperbaiki situasi, untuk seseorang yang amat berpengaruh, suka berbicara lugas, percakapan basa-basi bisa merusak, “Tetapi karena rekan kerjaku sudah terlanjur, bolehlah kutambahi satu lagi pemanis awal pembicaraan, aku pikir Ibu dulu pastilah seorang pemain bola kasti yang pintar berkelit.”

“Bola kasti?” Menteri bertanya balik.

“Ya, bola kasti. Di bawah ada puluhan wartawan dengan wajah tidak sabaran menunggu Ibu sejak tadi pagi, nah, tidak ada satupun diantara mereka yang punya ide kalau ternyata yang ditunggu sudah berada di ruangan kerjanya. Itu pastilah trik berkelit yang hebat seperti pemain bola kasti yang berlari menghindari terkena bola, bukan.” Aku memasang wajah sungguh-sungguh.

Ibu Menteri sejenak diam, lantas tertawa renyah, “Bola kasti, astaga, itu sungguh pemanis awal percakapan yang orisinil. Kau jelas bukan wartawan kebanyakan. Siapa nama kau tadi?”

“Thomas, Bu.” Aku tersenyum.

“Ya, Thomas, itu mudah saja kalau kau sering diburu wartawan, tidak perlu trik istimewa. Ada beberapa pintu masuk di gedung ini, kau tinggal parkir mobil di luar, berjalan kaki seperti orang kebanyakan, menyelinap lewat pintu belakang, beres. Dan ngomong-ngomong soal bola kasti, waktu SD, saya pemain yang buruk sekali, Thomas. Berkali-kali kena timpuk bola, menjadi sasaran teman lelaki yang lebih besar. Hei, siapa pula diantara kita yang tidak pernah main bola kasti sewaktu kecil? Padahal bolanya itu untuk bermain tennis lapangan, bukan.”

Kami menghabiskan lima menit pertama untuk nostalgia. Sepertinya itu menjadi selingan yang menarik bagi Ibu Menteri dibanding dipuji terlihat selalu cantik dan segar.

“Rapat komite akan diadakan sore ini, segera setelah semua anggotanya berkumpul. Kalian wartawan pertama yang mendengar konfirmasi ini.” Ibu Menteri menjawab pendek pertanyaan pertama Julia, wawancara telah dimulai, lima menit kemudian.

“Belum tahu. Rapat akan dilakukan marathon sepanjang malam hingga keputusan diambil. Ini boleh jadi salah-satu proses pengambilan keputusan yang melelahkan.” Jawaban atas pertanyaan kedua Julia.

“Seandainya Bank Semesta tidak diselamatkan, apakah Pemerintah sudah siap mengatasi—?”

“Saya tidak suka berandai-andai,” Ibu Menteri memotong kalimat Julia, sambil memperbaiki posisi duduknya, “Bahkan keputusan mengenai Bank itu saja belum diambil.”

“Tetapi situasi terburuk bisa terjadi, bukan? Mengingat situasi di luar semakin buruk menyusul tumbangnya beberapa lembaga keuangan besar.” Julia mendesak sopan.

“Soal situasi di luar semakin memburuk, itu benar, terlepas dari kau sepertinya ikut menguping briefing dari staf dana moneter internasional tadi. Tetapi perekonomian kita berbeda dengan mereka. Catat ini, fundamental perekonomian kita jauh lebih tangguh, baik dibandingkan dengan negara luar, maupun dibanding saat krisis menghantam kita satu dekade silam. Pertumbuhan ekonomi sesuai target, surplus neraca perdagangan mencatatkan rekor, sistem berjalan stabil, kebijakan fiskal optimal, semua terkendali, semua lebih mature.”

“Tetapi kemungkinan rush, dampak sistemis yang dikhawatirkan media massa dan pengamat ekonomi dua hari terakhir? Bukankah itu sinyal berbahaya.”

“Sepertinya tidak ya, situasi kita jauh berbeda.” Ibu Menteri menjawab ringan.

“Bukankah indeks saham tumbang seminggu terakhir?”

“Itu masih reaksi yang wajar. Siapa yang tidak ingin bergegas melepas sahamnya? Apalagi sebagian besar pemodal di bursa datang dari dana asing. Mereka cepat pergi dalam situasi ini, menjual rugi. Tetapi pemodal lokal kita masih wait and see, masih membeli saham.”

“Atau nilai tukar yang bergerak cepat, terus melemah?” Julia tidak mudah mengalah.

“Itu juga reaksi normal, semua mata uang dunia bergerak fluktuatif. Pihak bank sentral punya penjelasan lebih baik. Tetapi menurut saya tetap saja situasi masih terkendali.”

“Jika demikian, apakah Ibu Menteri memilih membiarkan Bank Semesta ditutup?” Aku akhirnya ikut bertanya, tidak sabaran dengan prosesi wawancara Julia, saatnya langsung ke topik paling penting.

tezar
23-05-2011, 03:10 PM
“Rapat komite baru dimulai nanti sore, Thomas.” Ibu Menteri melambaikan tangan, gerakan khasnya, “Sudah kukatakan dua kali. Kau termasuk pelupa untuk orang semuda kau.”

“Ibu benar, baru nanti sore. Tetapi kita terkadang telah mengambil keputusan bahkan sebelum keputusan itu dibuat. Rapat, diskusi, dengar pendapat, itu terkadang hanya proses mencari argumen, alasan sebuah keputusan, bukan memutuskan itu sendiri.” Aku berkata dengan intonasi datar terkendali, menatap lurus ke arah wajah Menteri.

Ruangan menjadi lengang sejenak.

Ibu Menteri balas menatapku, tersenyum tipis, “Kau memang tidak seperti wartawan kebanyakan, Thomas.”

“Apakah Ibu sudah memutuskan?” Aku tersenyum, memastikan.

“Baiklah. Tetapi bagian yang ini off the record, pastikan kalian tidak mengutipnya dalam berita. Kau bertanya apakah saya secara personal, memilih membiarkan Bank Semesta ditutup? Justeru saya akan bertanya balik, apa untungnya bank itu diselamatkan? Dalam teori ekonomi modern, pemberian subsidi, penetapan harga tertentu, pengenaan kebijakan fiskal untuk melindungi sebuah industri, dan sebagainya, adalah merupakan pilihan terakhir. Kita selalu membiarkan pasar bekerja sendiri, apa-adanya. Banyak orang bilang saya penganut neolib, bukan? Kaki tangan kapitalis. Terserah. Tetapi mereka lupa, mengendalikan perekonomian sebuah negara besar, membutuhkan disiplin tinggi, konsistensi, teori serta pengetahuan yang memadai. Kita tidak sedang bicara di lapak becek, sambil tertawa santai. Saya bertanggung-jawab penuh memastikan perekonomian negara dengan penduduk 240 juta orang berjalan baik.

“Apa untungnya menalangi Bank Semesta bagi Pemerintah? Bukan sekadar angka dana talangan dua triliun—pihak bank sentral baru saja merevisi angkanya, bukan pula soal uang itu lebih baik diberikan untuk membangun ribuan sekolah, misalnya, bukan pula tentang kabar kalau pemilik bank melakukan kejahatan dan manipulasi keuangan—meskipun di laporan bank sentral tidak disebutkan, tetapi lebih karena apakah keputusan menyelamatkan Bank Semesta sesuai dengan disiplin, konsistensi kebijakan keuangan Pemerintah selama ini. Bank itu kolaps, berarti pasar telah melakukan seleksi alam. Selesai. Kalian seharusnya paham sekali, ada prinsip-prinsip dalam pengelolaan perekonomian nasional yang harus dipegang teguh, jika tidak, maka omong-kosong bicara good governance, reformasi birokrasi, dan sebagainya itu.”

Aku menelan ludah. Sejak awal aku sudah tahu, jika keputusan urusan ini terserah Ibu Menteri, Bank Semesta tidak akan pernah membuka kantornya lagi, tidak ada matahari esok untuk bank milik Om Liem. Pemberian dana talangan di luar kelaziman yang dipahaminya.

“Nah, apakah akan terjadi rush besar-besaran Senin besok jika Bank Semesta diumumkan pailit? Bahaya dampak sistemik terjadi? Sistem keuangan nasional ikut kolaps? Itu sepertinya harus mendengarkan pendapat anggota komite lainnya. Kau boleh jadi benar, terkadang keputusan telah dibuat sebelum kita memutuskan. Tetapi rapat komite nanti sore jelas adalah proses pengambilan keputusan, bukan mencari argumen. Sejauh ini, saya tidak akan mendahului proses itu dengan preferensi pribadi.” Menteri untuk ketiga kalinya memperbaiki posisi duduk.

“Bagaimana dengan nasabah besar yang harus kehilangan uang kalau Bank Semesta ditutup?” Julia bertanya setelah lengang sejenak.

“Itu resiko mereka. Semua orang seharusnya tahu, lembaga penjamin simpanan kita hanya menjamin tabungan hingga batas tertentu.”

“Ada ratusan nasabah—“

“Tentu saja akan ada ratusan, bahkan ribuan nasabah yang kehilangan uang, tapi bukan nasabah kecil yang dijamin Pemerintah. Ada banyak hal yang harus kami cemaskan, dan jelas itu bukan nasabah kelas kakap, apalagi nasib pemilik bank yang bangkrut.” Menteri menjawab datar.

Ruangan lengang lagi sejenak. Sudah hampir dua puluh menit berlalu.

Baiklah, sudah saatnya, aku mengambil dokumen yang tadi diantarkan Maggie, aku mengeluarkan selembar kertas dari dalam amplop cokelat, menyodorkan pada Menteri.

“Apakah Ibu pernah membaca data ini dalam laporan-laporan tentang Bank Semesta.”

“Ini apa?” Ibu Menteri menerimanya.

“Daftar deposito perusahaan negara di Bank Semesta.” Aku menjawab pendek, membiarkan sebentar Menteri melihat cepat dokumen itu.

“Apakah ini valid?” Terdengar helaan nafas samar dibalik pertanyaan Menteri—meski wajahnya tetap berusaha tenang dan datar.

“Lebih dari valid, aku mendapatkannya dari pihak internal Bank Semesta.” Aku menjawab lugas, “Seperti yang Ibu lihat sendiri, setidaknya ada delapan perusahaan negara yang menaruh deposito bernilai ratusan milyar di Bank Semesta. Nah, tadi Ibu bertanya padaku, apa untungnya bagi Pemerintah menalangi Bank Semesta? Ibu bisa menyimpulkannya sendiri.”

Ruangan besar itu kembali lengang. Aku sengaja memasang wajah menunggu komentarnya setelah melihat dokumen itu. Boleh saja wanita tangguh ini memilih disiplin dan konsisten, memegang teguh prinsip-prinsipnya, tapi dengan dokumen ini, maka situasinya hanya menjurus dua hal buruk. Biarkan Bank Semesta pailit, maka seluruh deposito delapan perusahaan negara bernilai nyaris satu triliun akan hangus. Kerugian itu akan dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan negara, tidak bisa ditutup-tutupi. Maka dengan cepat, media massa memburu penjelasan. Siapa yang telah memberikan otorisasi menyimpan deposito di bank bermasalah, siapa yang harus bertanggung-jawab. Lingkaran setan masalah ini sama runyamnya dengan pilihan menyelamatkan Bank Semesta.

“Saya tahu, cepat atau lambat, urusan ini tidak pernah sesederhana itu.” Kali ini aku mendengar jelas helaan nafas Menteri, “Saya tidak menemukan data ini dalam laporan bank sentral. Astaga, banyak sekali uang perusahaan negara disimpan di sana.”

Ruangan kembali lengang.

“Saya minta maaf kalau dokumen itu menambah tekanan baru bagi Ibu dalam mengambil keputusan.” Aku berkata sesopan mungkin, berlagak ikut simpati.

“Terima kasih, Thomas. Tanpa dokumen inipun, cepat atau lambat situasinya semakin rumit.” Menteri perlahan meletakkan selembar kertas itu di atas meja, “Sayangnya waktu wawancara kita telah habis, ada banyak pekerjaan yang harus saya tuntaskan.”

Aku dan Julia mengangguk.

Menteri berdiri, “Saya antar kalian ke pintu keluar.”

Kami melangkah menuju pintu depan.

“Salam buat Shambazy.” Menteri berjabat-tangan dengan Julia.

“Dan kau, Thomas, kau tidak cocok menjadi wartawan. Kau bukan tipikal komentator dan penonton seperti Shambaz, kau adalah pemain, pemain kasti yang hebat, tukang timpuk anak-anak perempuan yang lebih kecil.” Menteri menyalamiku, tertawa.

Aku ikut tertawa sopan.

Pertemuan itu telah selesai.



***

“Dari mana kau dapat ide tentang bola kasti itu?” Julia bertanya saat lift meluncur turun.

“Maggie. Dia menuliskan hasil googling-nya dalam kertas lain di dokumen yang dia antar tadi. Berguna, bukan? Detail super kecil seperti itu.”

“Maggie? Staf kau yang memanggil aku Nenek Lampir?” Wajah Julia terlipat.

Aku tertawa, melirik pergelangan tangan, pukul 09.45. Aku masih punya waktu tiga jam sebelum jadwal penerbangan nanti sore.

“Kau sekarang kemana?” Julia bertanya lagi.

“Beberapa pertemuan kecil lagi sebelum nanti sore berselancar di Bali.”

“Berselancar di Bali?”

Aku mengangguk, menatap angka-angka penunjuk lantai di dinding lift, “Kau mau ikut?”

Alis Julia terangkat, “Dalam urusan seperti ini? Kau bergurau atau serius, Thom?”

“Mengajak kau berselancar ke Bali? Tentu saja aku serius, Julia. Itu bisa jadi pengantar yang baik sebelum kita makan malam bersama di tepi pantai misalnya.”

Julia melotot sebal.

Aku tertawa, “Aku harus menemui seseorang di Denpasar pukul empat sore. Itu pertemuan paling penting dari semua skenario, Julia. Kau seharusnya bisa menyimpulkan sendiri dari percakapan tadi, walaupun aku menyerahkan dokumen yang lebih mengenaskan tentang deposito perusahaan negara di Bank Semesta, wanita tangguh itu, boleh jadi tetap akan memilih disiplin dan konsistensinya. Dia kukuh. Dia tidak akan menalangi Bank Semesta sepeserpun. Aku membutuhkan bidak lain untuk memastikan keputusan rapat komite sebaliknya.”

“Kau akan bertemu siapa di Bali?” Julia bertanya.

Pintu lift sudah terbuka sebelum aku sempat menjawab. Lobi gedung langsung terlihat ramai dan bising. Pejabat tinggi bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan (yang kemarin sore satu pesawat denganku) telah tiba dari luar kota, dikerubuti wartawan.

“Bergegas, Julia.” Aku sudah melangkah cepat, berusaha menyelinap pergi.


***bersambung

tezar
25-05-2011, 09:48 AM
*******-******* Berkelas -- Episode 33
by Darwis Tere Liye on Wednesday, May 25, 2011 at 6:46am

episode 33-intermezzo



“Injak rem-nya, Tommi.” Opa yang duduk di sebelahku berseru, mengingatkan.

“Eh?” Aku menoleh, menelan ludah, sedikit gugup.

“Injak rem-nya, Tommi! Remnya!” Opa berseru lebih kencang.

“Sudah, Opa! Sudah kuinjak remnya.” Aku balas berteriak, panik, mobil yang kukemudikan bukannya melambat, malah semakin cepat menuruni halaman belakang rumah.

“Remnya, Tommi, astaga, kau justeru menginjak gas-nya!”

“Sudah kuinjak! Mobilnya tidak bisa berhenti! Eh, sebenarnya remnya yang mana, Opa?”

“Yang tengah, Tommi! Injak remnya.” Opa berseru panik, dengan cepat menyambar kemudi, berusaha membanting mobil ke kanan.

Terlambat, mobil melaju terlalu kencang, sedetik sudah menghantam gundukan taman. Mobil kodok klasik itu seperti kodok sungguhan melompat. Aku terhenyak, terbanting, kepalaku membentur kemudi, suara klakson terdengar nyaring tidak sengaja terkena dahiku. Opa yang berusaha membantu mengendalikan mobil mengaduh tertahan, siku kiriku menghantam wajahnya. Urusan semakin kapiran, lepas gundukan tanah, menerabas barisan bunga bougenvile yang segera porak-poranda, mobil tidak terkendali terus meluncur ke bibir waduk.

Dan sebelum kami bisa melakukan apapun, mobil berdebum loncat ke dalam air, dengan cepat tenggelam. Gelembung udara menyeruak permukaan air.

“Keluar, Tommi! Cepat keluar dari mobil!” Opa menggerutu, berteriak—dengan masih meringis menahan sakit dan kaget. Berusaha membuka daun pintu, terkunci, macet.

Aku lebih cepat, sudah mendorong pintu mobil sebelah kanan, mobil sudah separuh tenggelam di sisiku, segera berenang ke sebelah Opa, membantunya menjebol pintu.

Adalah dua menit berkutat, Opa berhasil keluar, aku menyeretnya ke tepi Waduk.

“Dasar anak ceroboh, kau hampir membuat kita celaka. Untuk kesekian kalinya.” Opa bersungut-sungut, badannya basah kuyup, nafasnya tersengal.

Aku tertawa, membungkuk, memegangi pahaku yang nyeri terhantam entahlah tadi.

“Kau jangan pernah memintaku mengajari mengemudi lagi.”

“Ini seru, Opa. Hebat.”

“Omong kosong, kau membuat mobil klasikku tenggelam di waduk.” Opa berseru sebal

“Namanya juga kodok, Opa.” Aku nyengir.

Opa mengacungkan tinju, marah.

“Kemarin lusa kau menabrakkan speedboat, kemarinnya lagi kau mematahkan kail kesayanganku, belum terhitung kaca jendela rumah yang pecah, anjungan dermaga somplak, atap genteng pecah. Aku tidak mau lagi mengajari kau apapun. Kau sama seperti Papa kau dulu. Perusak nomor satu.” Opa mendengus, mendorong pelan bahuku, menyuruh menyingkir, lantas melangkah ke beranda rumah.

Aku mengibaskan rambut, tertawa lagi.

Tetapi Opa bergurau, setelah ditertawakan Tante yang hari itu juga datang ke rumah peristirahatan, kami berganti baju kering, menghabiskan kue lezat buatan Tante di beranda belakang, Opa sudah lupa urusan mobil kodok itu. Staf rumah peristirahatan mengontak pemilik alat berat, belalai pengeduk tanah itu tiga jam setelah kejadian sudah terjulur ke waduk, beberapa penyelam mengikat mobil di dalam air, berusaha menariknya keluar.

“Kau besok mau melakukan apa lagi, Tommi?” Opa bertanya, kami asyik menonton proses evakuasi mobil kodok.

“Belajar mengemudi lagi, Opa.”

“Astaga!” Opa menepuk jidatnya, “Tidak mau. Kau jangankan menyentuh mobilku, berada dekat dengan garasi saja tidak boleh, setidaknya hingga berusia delapan belas.”

“Kau membantu Tante masak saja, Tommi. Akan kuajari membuat kue-kue. Siapa tahu berguna saat kau kembali ke sekolah.” Tante ikut bicara, duduk di salah-satu kurs santai, menyeduh teh hijau.

Opa terkekeh, “Ide bagus, lebih baik kau belajar memasak saja. Resikonya lebih kecil.”

Aku memonyongkan bibir, “Bukankah Opa sudah berjanji akan mengajariku apa saja?”

“Enak saja, janji itu batal dengan sendirinya kalau kau merusak sesuatu.” Opa melambaikan tangan, menunjuk mobil kodoknya yang mulai ditarik keluar dari permukaan waduk. Orang-orang berseru memberi aba-aba, belalai penciduk tanah itu sedikit bergetar.

Kami kembali asyik menonton.

Tetapi lagi-lagi tentu saja Opa bergurau, esok pagi-pagi kami sudah asyik belajar menembak.

Opa meminjamiku pistol tua, memberikan penutup telinga, lantas kami sibuk dar-der-dor di halaman kanan rumah yang disulap jadi tempat latihan tembak dadakan.

Itu untuk kedua kalinya aku berkunjung ke rumah peristirahatan Opa, liburan sekolah, usiaku belum genap lima belas. Opa semangat menyusun jadwal agar aku betah, membuatku melupakan banyak hal, apalagi untuk sekadar bertanya tentang kejadian masa lalu. Aku tidak keberatan, lagipula aku tidak tertarik membahas kenangan buruk itu.

“Dari mana Opa belajar menembak?” Kami sedang beristirahat, duduk di dermaga, betis terendam di dinginnya air waduk.

“Kalau kau bertanya demikian, berarti kau mau bilang orang tua ini termasuk jago menembak, Tommi.” Opa tertawa senang.

Aku nyengir.

“Otodidak, Tommi. Tidak ada yang mengajari orang tua ini.”

“Mengemudi speed? Merawat mobil?” Aku menguap, berusaha mengisi sesuatu dengan percakapan.

“Itu juga otodidak, Tommi. Sama seperti bermain musik, meski itu satu-satunya yang Opa tidak berbakat sama sekali,” Opa tertawa.

“Berbisnis?”

“Ya, sama seperti berbisnis. Mana ada sekolah bisnis di jamanku masih muda, aku lulus sekolah rakyat pun tidak. Semuanya dipelajari sendiri. Dicoba, gagal. Dicoba, gagal lagi. Terus saja kau lakukan. Lama-lama kau tahu sendiri bagaimana seharusnya, trik terbaik, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Itu adalah sekolah terbaik. Apa kata bijak itu? Pengalaman adalah guru terbaik.”

Aku mengangguk, “Aku akan menjadi otodidak seperti, Opa.”

Opa mengacak rambutku, “Itu bagus. Sepanjang kau punya semangat untuk itu, kau bisa ahli dalam banyak hal tanpa harus duduk di kelasnya.”

Kami diam sejenak, sebuah perahu nelayan melintas, beberapa penumpangnya melambai. Opa balas melambai.

“Hanya saja, esok lusa, dunia akan berubah banyak, Tommi.” Opa menatap hamparan permukaan waduk yang kembali lengang setelah perahu tadi pergi, kabut turun membungkus pebukitan.

“Hari ini, misalnya, semua pebisnis seperti Opa memilih hidup susah untuk mengumpulkan modal. Menahan diri untuk belanja, agar tabungan cukup untuk memperbesar bisnis, bersabar, konsisten, hati-hati. Esok lusa, orang-orang lebih memilih meminjam uang di bank, menerbitkan surat utang, atau jenis hutang-hutang lainnya. Tidak sabaran, mengambil resiko. Dan saat dia gagal membayar hutangnya, maka dia akan menutupnya dengan pinjaman yang lebih besar.”

Aku mengangguk—meski belum mengerti kalimat Opa. Aku baru tahu saat mengambil kuliah, di kelas-kelas manajemen keuangan modern, kalian akan dicekoki dengan dogma: meminjam lebih baik daripada mengeluarkan modal sendiri. Secara teoritis, ‘pengungkit’-nya lebih besar.

“Hari ini, misalnya juga, semua pebisnis hanya mengurus preman-preman, pungutan-pungutan dari pejabat rendahan, tikus-tikus busuk kelas bawah, makelar murahan. Esok lusa, bahkan anggota dewan terhormat menjadi calo, tidak beda dengan calo tiket di stasiun kereta. Pejabat tinggi menjadi penghubung, dan tidak terhitung aparat keamanan yang seharusnya melindungi, siap menggebuk bisnis kita jika tidak mendapat bagian.”

Aku lagi-lagi hanya mengangguk.

“Nah, semoga kalau kau nanti otodidak, kau akan lebih hebat dibanding Opa. Situasi kau berubah, masalah kau juga berubah. Dicoba, gagal, dicoba lagi, gagal lagi, jangan pernah putus asa, mengeluh, apalagi berhenti dan melangkah mundur. Kau mewarisi darah seorang perantau, mewarisi tabiat seorang pejuang tangguh, Tommi. Tidak terbayangkan, ribuan kilometer Opa kau ini menaiki perahu kayu tua, bocor—”

“Tante memanggil kita.” Aku memotong kalimat Opa.

“Eh?” Opa menoleh ke beranda belakang, dia tidak mendengar apapun.

“Opa tidak mendengar suara Tante?”

Opa menggeleng, tidak mengerti.

“Kata Tante, makan siang sudah siap. Tommi duluan.” Aku sudah lompat berdiri, dan sebelum Opa menyadarinya, aku sudah berlari-lari kecil melintasi dermaga, kakiku yang basah membentuk barisan jejak telapak kaki.

Opa menggerutu, meneriaki dasar anak tidak tahu sopan-santun.

Aku tertawa, sudah mendorong pintu belakang. Sepagi tadi saja, Opa sudah dua kali bercerita tentang perahu nelayan bocor itu. Tiga kali bahkan belum tengah hari, itu berlebihan.



***

tezar
25-05-2011, 09:48 AM
Opa benar.

Tanpa kita sadari, dalam hidup ini, potongan-potongan kecil menjadi tempat kita belajar sesuatu dengan efektif. Misalnya, anak kecil belajar mengendarai sepeda, hanya karena teman bermainnya membawa sepeda, dan dia iseng mencoba, orang-tuanya terpesona saat tahu anaknya sudah bisa mengendarai sepeda. Dalam kasus lebih ekstrem, anak kecil usia tiga-empat tahun, dibiarkan sendirian menonton acara televisi yang mengajari membaca, dan dia fokus memperhatikan—entah bagaimana konsentrasi itu datang, orang-tuanya terpesona saat tahu anaknya bisa membaca tanpa pernah diajari.

Ada banyak momen-momen spesial ketika kita belajar sesuatu. Termasuk saat kita sudah remaja atau tumbuh dewasa. Kata Opa, melakukan perjalanan, bertemu dengan banyak orang, membuka diri, mengamati, mencoba sendiri, memikirkan banyak hal, adalah cara tercepat belajar. Kau bisa jadi tukang kayu yang baik jika berhari-hari mengunjungi lapak tukang kayu yang sedang sibuk membuat meja, kursi, pintu, dan sebagainya. Kau juga bisa menjadi tukang las, tukang cat, pembalap, penembak, penjahat, atau apapun jika kau menghabiskan waktu bersama orang-orang dengan profesi itu. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadarinya, menghabiskan hari dengan rutinitas itu-itu saja tapi pengetahuannya tidak berkembang. Bagaimana mungkin, misalnya, kau setiap hari menumpang kereta, tapi kau tidak pernah tahu bentuk ruangan masinis, Opa terkekeh, “Kalau kau otodidak yang baik, kau bahkan sudah bisa mengemudikan kereta, Tommi.”

Aku belajar banyak hal dari kunjungan singkat ke rumah peristirahatan itu setiap liburan sekolah. Tidak sempurna otodidak, Opa mengajariku dengan cara uniknya. Apa saja, termasuk keahlian kecil yang kadang buat apa pula kupelajari.

“Esok lusa, kau akan tahu apa gunanya, Tommi.”

Aku mengangguk, aku selalu percaya kalimat Opa.

Dua puluh tahun berlalu, hari ini, di lobi parkiran gedung Kementerian yang ramai, setelah menemui Menteri yang kukuh itu, berlari-lari kecil bersama Julia, kalimat itu menemukan konteksnya.

Telepon genggamku berbunyi. Langkah kaki melamban, dari layar telepon genggam aku tahu Maggie yang menelepon.

“Hallo, Maggie, cepat sekali kau sudah meneleponku? Kau sudah di kantor? Tiketnya sudah siap? Atau ada sesuatu yang hendak kau laporkan.”

“Hallo, Thomas."

Langkah kakiku sempurna terhenti.

"Sepertinya kami terlalu meremehkan kau.” Tertawa fals.

Julia hampir menabrakku, menggerutu, wajah sebalnya bertanya, siapa yang menelepon.

“Kau punya waktu lima belas menit, Thomas. Menyerahkan diri, kami menunggu di kantor kau yang mewah ini. Atau staf kau yang begitu cekatan ini esok-lusa sudah bergabung dengan penghuni penjara perempuan, ah, itu tidak seru, bagaimana kalau dengan sedikit intrik licik, kujebloskan saja ke penjara laki-laki, bagian tahanan khusus untuk para penjahat, pembunuh, dan pengedar obat-obatan terlarang. Ide bagus bukan? Sepertinya gadis kau ini tidak akan bertahan satu hari.”

Aku membeku.



***bersambung

tezar
26-05-2011, 11:34 AM
*******-******* Berkelas -- Episode 34
by Darwis Tere Liye on Thursday, May 26, 2011 at 5:16am

episode 34

disclaimer: kalian dilarang meniru, menggunakan, atau bahkan sekadar iseng memanfaatkan pengetahuan di episode ini dalam kehidupan nyata, saya tidak bergurau menulisnya.



“Kau diajarkan tentang Socrates di sekolah?” Opa bertanya takjim.

Aku mengangguk, “Itu salah-satu pelajaran favoritku, Opa.”

“Oh ya?” Opa tertawa, “Tetapi apakah guru kau bilang kalau Socrates, orang bijak, filosof, penemu banyak pengetahuan itu mati bunuh diri?”

Aku menggeleng, menelan ludah.

Itu jadwal ketiga kalinya akau ke rumah peristirahatan, Opa mengajakku ke kebun miliknya dekat waduk Jatiluhur, mengenakan topi bambu, bersepatu boot, santai berjalan di bawah rimbun pohon durian, mangga, alpukat, nangka dan sebagainya.

“Tentu saja tidak.” Opa menepuk bahuku, “Itu akan merusak imajinasi kalian tentang orang hebat itu. Tetapi adalah fakta, ia bunuh diri dengan racun hemlock.”

Aku menyeka keringat di pelipis, sejak tadi pagi, saat Opa meneriakiku agar bangun, tertawa menyiramkan air di kepalaku—kami semalam tidur terlalu larut karena terlalu asyik memancing di waduk, aku sudah menebak-nebak Opa akan mengajariku apalagi pagi ini.

“Indah bukan?” Opa menunjuk serumpun bunga di semak belukar.

Aku tidak menggeleng, juga tidak mengangguk. Insting remajaku menebak, bunga ini pasti ada hubungannya dengan kematian Socrates.

“Itulah water hemlock, Tommi. Bunga dan batangnya aman kau kunyah, tapi akarnya, yang dipenuhi getah, amat berbahaya. Inilah salah-satu tumbuhan paling berbahaya di dunia. Socrates yang agung, mati setelah menelan racun hemlock. Tubuhnya kejang-kejang, lantas maut segera datang. Mengerikan, bukan?”

Bulu kudukku berdiri. Aku menghela nafas.

Opa sudah melangkah ringan, berpindah ke bagian lain kebun, seperti sedang mengajakku berjalan-jalan di lorong Mall.

“Nah, itu pohon strychnine. Tidak lazim kau dengar. Tetapi Cleopatra, memaksa pelayannya memakan biji buah pohon ini, untuk mengetahui apakah biji pohon ini cara terbaik untuk bunuh diri. Racun pohon ini terkenal sekali, Tommi, disebut brucinne, beberapa cerita legendaris menyebut-nyebut racun burcine. Kembali lagi ke Cleopatra tadi, kabar baiknya, setelah melihat pelayannya meninggal dengan cara yang amat menyakitkan, Cleopatra berubah pikiran. Kabar buruknya, dunia ini memang aneh sekali dalam kasus tertentu, Cleopatra memilih racun ular untuk bunuh diri. Dia mati dengan memasukkan tangannya ke dalam keranjang ular berbisa.”

Astaga, aku paham sudah apa pelajaranku pagi ini. Opa mengajakku mengenal begitu banyak racun. Inilah sesi paling senyap. Aku lebih banyak diam, menatap wajah tua Opa yang terlihat riang. Aku tidak memikirkan dari mana Opa tahu banyak hal, karena jelas, dengan pengalaman hidupnya, meski Opa tidak pernah sekolah, pengetahuannya luas dan membekas, aku lebih memikirkan, buat apa aku diajari soal ini. Ini berbeda dengan belajar mengemudi speedboat, menembak, atau menyetir mobil.

Awalnya hanya bunga, pohon atau tanaman yang memang tidak lazim, tidak pernah kudengar, dan langka tumbuh di iklim tropis, tetapi semakin siang, Opa mulai menunjuk jenis tanaman yang sejatinya banyak sekali berada di halaman rumah kebanyakan. Aku menelan ludah, bahkan satu-dua, jenis tanaman itu dihidangkan di meja makan.

“Kau pernah makan singkong mentah-mentah, Tommi?” Opa menyeringai.

Aku buru-buru menggeleng.

“Jangan pernah lakukan. Beberapa jenis singkong, ketela pohon, atau apalah orang menyebutnya mengandung racun sianida dengan kadar yang lebih dari cukup untuk membunuh kau.” Dengan suara perlahan, Opa menjelaskan.

“Masa-masa itu, ketika kehidupan semakin sulit, banyak orang-orang kampung yang mencari tumbuhan yang bisa dimakan dalam hutan. Kemarau panjang, paceklik, gagal panen, tidak ada bantuan, mereka memakan apa saja yang bisa dimakan. Di beberapa tempat disebut gadung, aku akan menyebutnya ubi kayu hutan saja, jika kau tidak becus memasaknya, tidak cukup matang prosesnya, maka satu keluarga penuh, atau seluruh kampung bisa binasa dalam satu malam.”

Aku bergidik, teringat tadi pagi Tante menghidangkan cake dari ketela pohon.

Opa tertawa, “Tenang, Tommi, kalau kau masak dengan benar, racun sianida-nya akan hilang bahkan tidak semua orang tahu kalau singkong itu berbahaya. Kita tidak akan bisa berjalan-jalan dikebun lagi jika Tante kau salah memasaknya.”

Itu sungguh bukan gurauan yang menarik. Aku perlahan menghembuskan nafas.

Persis saat matahari di atas kepala, terik membakar ubun-ubun, Opa melambaikan tangan, mengajakku kembali ke rumah peristirahatan. Aku lebih banyak diam saat Opa mengemudi mobil.

“Kau tidak suka pelajaran hari ini, Tommi.” Opa berkata takjim.

Aku bergumam antara terdengar dan tidak.



***

tezar
26-05-2011, 11:35 AM
Dua puluh tahun berlalu sejak pelajaran itu.

“Ada berapa orang di atas sana?” Aku bertanya cepat.

“Setidaknya enam orang, Pak Thom.” Satpam kantor menjawab ragu-ragu, “Mungkin juga lebih, aku tidak sempat menghitung. Mereka baru tiba setengah jam lalu, berseragam taktis dan bersenjata, beberapa memakai topeng, mereka langsung menerobos meja depan, jangankan menahannya, bertanya saja kami tidak berani.”

Aku mengusap dahi, urusan ini serius sekali. Itu pasti rombongan sama yang tadi malam menangkapku. Seharusnya aku segera menyuruh Maggie menyingkir, bekerja dari lokasi alternatif yang lebih aman. Dengan telepon genggamku dipegang bintang tiga itu, maka soal waktu mereka bisa menyisir satu per-satu orang kepercayaanku, dan Maggie jelas ada di urutan pertama.

“Apakah mereka yang kemarin menyergap kita di waduk Jatiluhur?” Julia bertanya cemas—sepertinya sakit hati dibilang Nenek Lampir menguap cepat oleh situasi ini.

Aku mengangguk cepat, “Mereka juga orang yang sama yang telah menembaki kapal Opa tadi pagi di dermaga yacht.” Melirik jam di pergelangan tangan, meski jadwalku super ketat, aku sungguh tidak bisa membiarkan Maggie ditangkap, tadi dari parkiran gedung kementerian, mengambil alih kemudi mobil Julia, kami ngebut di jalanan protokol ibukota, tiba dua menit lebih awal dibanding tenggat waktu yang diberikan oleh penelepon, suara fals yang amat kukenal. Segera merapat di gerbang belakang kantor, bertanya pada satpam yang berjaga—yang justeru lebih dulu melaporkan situasi.

“Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Pak Thom?” Satpam kantor bertanya, cemas.

“Mereka menggeledah kantorku.”

“Menggeledah kantor, Pak Thom? Memangnya ada apa di sana? Ada bom?”

“Mana aku tahu. Mereka sekarang menahan Maggie.”

“Ibu Maggie yang cantik dan baik hati itu? Aduh!” Satpam kantor kontan mengeluh.

Aku mengabaikan wajah terlipat satpam.

“Apa yang harus kita lakukan, Pak Thom?”

“Aku belum tahu, dan berhentilah bertanya, kau tidak membantu situasi dengan pertanyaan itu.” Aku menjawab ketus, biarkan aku berpikir dulu.

Bagaimana aku bisa menyelamatkan Maggie dari sana? Dengan jumlah polisi lebih dari setengah lusin, jangankan menyelamatkan Maggie, mendekati lantai kantorku saja tidak mudah. Sejak ngebut tadi aku sudah memikirkan skenario, buntu. Tidak ada celah. Jangankan Maggie yang sendirian, dijaga oleh setengah lusin pasukan, kami berempat, aku, Julia, Opa dan Om Liem kemarin sore bahkan tidak bisa kabur jika tidak ada bantuan Randy.

Telepon genggamku berbunyi.

Nomor telepon Maggie.

“Hallo, Thomas. Kau butuh berapa lama lagi, hah?” Suara berat itu langsung bertanya, intonasinya tidak main-main.

“Aku masih dalam perjalanan—”

“Waktu kau habis, Thomas.”

“Aku perlu waktu untuk tiba di kantor. Ayolah, lima belas menit lagi. Aku pasti datang.” Aku berseru, mengucapkan apa saja yang terpikir di kepala, termasuk kemungkinan menunda-nunda, memperlambat.

“Sayangnya, aku tidak punya waktu selama itu, Thomas. Jika, lima menit dari sekarang kau tidak menampakkan hidung di ruangan kantor ini, staf kau yang cekatan ini sudah terlanjur dibawa ke penjara, dan tidak akan ada lagi jalan kembali untuknya.” Pembicaraan diputus.

Aku berseru jengkel, hampir membanting telepon genggam, hei, tidak bisakah dia bicara lagi sebentar, bernegosiasi. Dasar tabiat pengecut. Dia seharusnya tidak melibatkan orang lain dalam urusan ini—apalagi Maggie.

“Bagaimana?” Julia bertanya cemas.

Sebuah motor bebek pengantar pizza melintasi gerbang satpam.

“Kau tidak akan menyerbu langsung ke atas, bukan?” Julia bertanya panik saat melihat tanganku bergerak ke arah revolver di pinggang, di balik jas rapi.

“Aku akan menyerbu mereka. Kita lihat saja akan seperti apa.”

“Kau gila, Thomas. Kau kalah jumlah. Dan sejak kapan kau pintar menembak?” Julia berteriak.

“Pak Thom? Apa yang akan Pak Thom lakukan?” Satpam gerbang juga reflek melangkah mundur, jerih melihat revolver di tanganku—beruntung hari minggu, pintu masuk gedung perkantoran sepi, keributan kecil ini tidak menarik perhatian siapapun.

Motor bebek pizza yang barusan melintas sudah parkir rapi. Petugasnya sambil bersiul, menenteng kantong plastik besar berisi kotak pizza lezat.

Aku sudah melangkah cepat.

“Tunggu, Thomas.”

Aku tidak mendengarkan Julia.

“Kau benar-benar kehilangan akal sehat, Thomas. Kau sama saja bunuh diri.”

Aku sekarang bahkan berlari-lari kecil, membiarkan Julia mengejarku.

Sekejap, aku sudah mencengkeram kerah baju petugas pengantar pizza, mengacungkan pistol, berkata tegas, “Ikut denganku, segera!”



***

Dalam hitungan detik, aku mendapatkan ide itu.

Opa benar, tidak ada pengetahuan yang tersia-siakan, termasuk tentang pengetahuan racun sekalipun. Kalian tahu, di sekitar rumah, di halaman, di trotoar, terkadang tumbuh tanaman yang sangat beracun tanpa kita sadari. Bunga terompet mekar tidak berbilang di taman gedung perkantoran. Indah. Tetapi apakah ada karyawan yang sering berlalu-lalang tahu kalau bunga itu amat berbahaya.

Aku menyeret petugas pengantar pizza itu berjalan ke toilet lantai dasar gedung, menyuruhnya melepas baju seragam pengantar pizza. Dia takut-takut, nanar melihat revolver, mulai melepas baju dan celana. Aku melemparkan pistol ke Julia, mengganti pakaianku dengan cepat.

“Hei, sebentar!” Aku meneriaki pengantar pizza yang hendak lari terbirit-birit setelah pertukaran baju selesai.

“Untuk kau! Cukup untuk mengganti pizza dan seragam kerja kau.” Aku melemparkan gumpalan uang yang kutarik dari dompet.

Dia takut-takut mengambilnya di lantai toilet.

“Sekali saja kau cerita tentang kejadian ini, bahkan dalam mimpi kau pun aku akan datang. Hei, kau dengar?”

Pengantar pizza itu sudah mendorong pintu toilet, berlari cepat menuju motornya, melintasi gerbang, membuat satpam menatap heran, sejak kapan pengantar pizza ini berganti pakaian jas rapi?

Aku menyuruh Julia memetik beberapa bunga terompet di taman gedung perkantoran, gadis itu, yang mulai mengerti, berlari cepat seperti mengejar informan berita setimpal hadiah pullitzer.

“Kandungan aktifnya adalah atropine, hyoscyamine dan scopolamine, zat penghilang kesadaran. Kau bisa meninggal jika overdosis.” Aku menjawab cepat pertanyaan Julia, seberapa berbahaya, sambil memeras bunga terompet yang diberikan Julia.

Julia menelan ludah, wajahnya pias.

“Kau tidak sungguh-sungguh, Thomas?”

“Aku lebih dari serius. Sekali saja mereka tidak sopan menyentuh Maggie, aku akan membunuh mereka semua.” Aku menjawab dingin, sekarang memotong bunga itu kecil-kecil, menjadikannya topping.

Julia berpegangan ke pintu toilet.

Sempurna sudah. Potongan bunga terompet sudah bergabung. Tersamar seperti bagian dari resep lezat pizza. Aku memasukkan kembali dua pizza ukuran jumbo itu ke dalam kotak, meletakkannya dalam kantong plastik, memasang topi khas pengantar pizza, memasang kaca mata besar bundar milik pengantar pizza tadi, menyamarkan tampilan, “Kau tunggu di sini, Julia. Jika lima belas menit aku tidak turun, kau beritahu satpam depan untuk menelepon siapa saja, meminta bantuan.”

Julia kehilangan komentar, dia mencengkeram pintu toilet.

Aku sudah bergegas menuju lift.

Entah siapa yang memesan pizza ini, tidak penting. Aku akan membawanya langsung menuju ruangan kantorku, bilang ada kiriman pizza untuk penghuni ruangan itu, meninggalkannya.

Apakah mereka akan tertarik mengunyahnya? Waktuku sekarang adalah detik, aku menekan tombol lift. Keliru atau benar, berhasil atau gagal rencana ini sekarang hanya soal detik. Aku akan memikirkan cara terbaik agar setengah lusin lebih anggota pasukan itu tertarik memakannya sepanjang lift bergerak naik.



***bersambung

tezar
04-06-2011, 10:13 AM
*******-******* Berkelas -- Episode 35
by Darwis Tere Liye on Wednesday, June 1, 2011 at 11:14am

episode 35



Keliru, mereka sama sekali tidak tertarik mengunyah pizza yang kubawa.

Pintu lift lantai lima terbuka, aku melangkah layaknya seorang pengantar pizza yang baik, bergegas masuk ke ruang resepsionis kantorku.

Segera, dua dari petugas berseragam taktis langsung menghadang.

“Pagi, bos. Saya hendak mengantar pizza ke dalam.”

"Kau tidak boleh masuk!” Salah-satu dari mereka mengangkat tangan, menunjuk lorong, menyuruhku pergi. Tangan satunya mengangkat senjata mesin otomatis, teracung padaku.

“Eh?” Aku pura-pura bingung, memastikan nama perusahaan yang ditulis dengan batu pualam di belakang meja resepsionis, “Bukankah ini kantor Thomas & Co, ada karyawannya yang memesan pizza, aku harus mengantar ke dalam.” Dan aku, seperti gaya pengantar pizza yang terburu-buru, mengabaikan dua petugas itu, melangkah menuju pintu di sebelah meja resepsionis.

“Kau tidak boleh masuk!” Salah-satu dari mereka membentak, sigap loncat, tangannya yang terlatih dengan cepat mencengkeram kerah seragam pizzaku.

Sial! Aku menelan ludah, sedikit tercekik.

“Eh, aku, aku tahu ruang kerja yang memesan pizza ini, bos. Biar kuantar ke dalam langsung, tidak akan lama. Mereka sudah biasa pesan.” Aku berusaha mengangkat tinggi kotak pizza, menunjukkannya, memasang wajah seperti tersiksa oleh cengkeraman kasar itu.

Petugas yang memegang kerahku sedikit melonggarkan genggaman tangannya demi cicit suara kesakitanku, “Tidak ada yang memesan pizza kau! Tidak ada siapa-siapa di dalam sana.”

“Ada yang pesan, pak, eh bos.” Aku menunjukkan sekilas resi pesanan, “Aku sungguh harus mengantarkannya tepat waktu, atau mereka berhak menerima pizza gratis karena terlambat dan pizzanya terlanjur dingin. Gajiku akan dipotong manajer gerai, belum lagi dia akan marah-marah.” Aku membungkuk, menghembuskan nafas, pura-pura tersengal dan pias oleh kejadian barusan.

Petugas itu menoleh temannya, meminta pendapat.

Temannya mengangkat bahu. Tangannya terus siaga memegang senjata—terarah padaku.

“Baik. Sekarang kau serahkan pizzanya, biar kami yang bawa ke dalam.”

“Eh, aku harus mengantarnya sendiri, pak bos.” Aku buru-buru menggeleng. Aku harus masuk ke dalam, aku harus melihat sendiri posisi Maggie, dan seberapa banyak mereka yang sedang menahan Maggie.

“Sama saja!” Petugas itu berseru kesal, dia mulai tidak sabaran lagi melihat wajahku, “Kau tinggal bilang di mana meja pemesan pizza ini. Biar aku yang antar. Kau tunggu di sini saja.”

Aku berpikir sejenak, berusaha mencari akal untuk bernegosiasi diijinkan masuk.

Petugas itu sudah merampas kantong plastik besar berisi kotak pizza di tanganku.

“Di mana meja pemesannya?” Mendesak, menatap galak.

“Eh, Ibu Maggie. Mejanya paling pojok.” Aku terbata-bata menjawab.

Petugas itu melangkah dengan cepat.

Aku ikut melangkah masuk, mengiringinya.

“Astaga.” Petugas menoleh, tangannya bergerak cepat, senjata mesin otomatisnya terangkat, larasnya menahan dadaku, “Alangkah susah memberi perintah pada kau. Tunggu di luar aku bilang berarti kau tunggu. Atau kau tidak akan pernah bisa lagi mengantar pizza walau sekotak kecil jika kutarik pelatuk senjata ini.”

Aku menahan nafas. Mata kami bersitatap satu sama lain.

“Maaf, pak, eh, bos. Maaf.” Aku menelan ludah, mengangkat tangan, perlahan melangkah mundur.

Setidaknya satpam gerbang belakang gedung perkantoran benar. Jumlah mereka enam. Meski berpura-pura gentar menatap senjata, sebelum melangkah mundur, aku sekejap bisa melirik dengan jelas ujung ruangan. Maggie didudukkan di salah-satu kursi, tangannya diborgol. Empat petugas berada di sekitarnya, berjaga penuh. Bintang tiga polisi itu terlihat santai menikmati pemandangan jalanan kota yang lengang dari dinding kaca, dua tangannya di saku celana, dia tidak memperhatikan keributan kecil dua petugasnya yang berjaga di meja resepsionis dengan pengantar pizza.

“Apalagi yang kau tunggu, hah? Pizza kau sudah kuletakkan di atas meja pemesannya.” Petugas yang membawa kotak pizza kembali.

“Eh.” Aku menggaruk kepala, melonggarkan topi seragam, “Biasanya mereka memberiku tips, bos.”

“Apa kau bilang?” Dia membentak, melotot.

“Eh, tips, pak bos. Biasanya ada.” Aku masih berusaha melirik kesana-kemari, memastikan apakah masih ada petugas lain yang berjaga di lokasi berbeda.

“Lupakan tips kau. Segera menyingkir dari sini.” Dia mendorongku kasar, “Dan jangan pernah cerita pada siapapun apa yang kau lihat.”

Petugas yang satunya mendekat, bersiap memukulkan popor senjata jika aku tidak segera pergi.

Aku mengangguk. Baiklah, tidak ada yang bisa lagi kulakukan. Dengan situasi seperti ini, jangankan menyelamatkan Maggie, mendekatinya saja aku tidak bisa. Segeram apapun aku, segemas apapun, termasuk ingin meninju petugas yang sekarang kasar sekali menusuk-nusukkan laras senjatanya ke perut, aku tidak punya pilihan selain pura-pura pergi. Setidaknya aku tahu persis Maggie baik-baik saja, dia tidak diperlakukan kasar. Sesuai skenario, aku hanya bisa menunggu. Dan berharap, setengah lusin polisi berpakaian tempur ini akan mengunyah pizza dengan topping spesial bunga terompet.

Aku perlahan melangkah keluar.

Sayangnya skenario itu gagal total. Jangankan memakan, mereka menyentuh kotaknya pun tidak.



***

tezar
04-06-2011, 10:14 AM
Lima menit yang dijanjikan bintang tiga polisi itu berlalu.

Aku menunggu tegang di lorong lift, di balik tanaman hias besar, di dekat pintu menuju tangga darurat. Mengintip ke arah kantorku, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda pizza itu disentuh oleh mereka. Dua petugas yang berjaga di meja resepsionis kantor tetap siaga, berjaga-jaga atas segala kemungkinan.

Bintang tiga polisi itu membuktikan ucapannya, dia akan membawa Maggie pergi jika aku tidak menunjukkan batang hidung sesuai tenggat yang diberikan. Lima menit berlalu, dia bahkan tidak perlu repot-repot lagi berusaha meneleponku. Dia berteriak memberi perintah pada empat anak buahnya untuk segera membawa tahanan. Mereka bergerak. Senjata-senjata teracung, Maggie disuruh berdiri.

Dari balik tanaman hias, aku mendengar bentakan-bentakan menyuruh Maggie segera melangkah, suara mengaduh tertahan Maggie. Tanganku mengepal, situasi semakin serius. Kalau saja hendak menurutkan emosiku, saat ini juga aku akan menyerbu ruangan. Tapi itu tidak bisa kulakukan. Julia benar, itu hanya bunuh diri, dan aku bisa membahayakan Maggie secara tidak langsung.

Maggie melangkah patah-patah keluar. Dua petugas di meja resepsionis bergabung mengawal, seperti sedang mengawal penjahat besar paling berbahaya.

Bintang tiga polisi itu melangkah santai di belakang.

Aku mendongak, menatap langit-langit lorong. Apa yang harus kulakukan sekarang? Nafasku sungguhan tersengal, tegang, mencengkeram paha, berusaha mengendalikan diri.

Rombongan itu sudah menuju lift. Satu-dua kali Maggie didorong agar berjalan lebih cepat.

Tanganku mengepal keras. Hanya hitungan detik, dan Maggie sudah dibawa pergi entah kemana. Aku tidak akan pernah bisa lagi menyelamatkannya.

Rombongan itu beberapa langkah lagi menuju lift.

Aku kehabisan kesabaran, sekarang atau tidak sama sekali, aku siap lompat dari persembunyian, berlari menyerbu rombongan itu.

“Psst!”

Seperseribu detik. Bisikan pelan itu membuat gerakanku tertahan.

“Psst!”

Aku menoleh. Kejutan besar.

Adalah Rudi, si boxer sejati klub petarung. Kepalanya muncul di balik pintu tangga darurat dua langkah di sebelahku.

“Ikuti aku, Thomas. Waktu kita terbatas.” Dia tersenyum, matanya bersinar meyakinkan.

Aku menelan ludah, tertahan menoleh pada Rudi sejenak, menoleh lagi ujung sana, rombongan yang membawa Maggie sudah persis di depan lift.

“Cepat, Kawan. Atau staf kau yang cantik itu tidak punya kesempatan lagi.” Wajah Rudi hilang dibalik pintu darurat, suara kakinya yang menuruni anak tangga terdengar berderap dibalik pintu.

Aku mengusap wajah. Tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa tiba-tiba Rudi muncul dan menawarkan bantuan. Aku menoleh ke ujung lorong, salah-satu polisi menekan tombol ke bawah. Menunggu lift terbuka.

Baiklah. Pilihanku terbatas. Aku bergegas membuka pintu darurat, dengan cepat menyusul Rudi yang sudah satu lantai di bawah. Aku loncat ke pegangan tangga, dengan bantalan paha, meluncur.

“Jangan banyak bertanya dulu, Kawan.” Rudi menoleh, tertawa.

“Anggap saja aku sakit hati hanya bertugas mengatur lalu lintas di perempatan.”

Aku menelan ludah, kami sudah tiga lantai turun dengan cepat.

“Dari dulu aku selalu berharap bisa bertarung bersisian bersama kau, Thomas.” Rudi memicingkan matanya, “Itu pasti akan seru. Tetapi Theo dan pendiri klub petarung terlalu konservatif. Aku sudah mengusulkan berkali-kali agar kita membuat jenis pertarungan baru di klub. Dua lawan dua, misalnya. Atau empat lawan empat. Itu jelas lebih seru, bukan?”

Kami tinggal satu lantai lagi tiba di lantai lobi gedung.

Rudi mendorong pintu darurat, keluar, berlarian di lobi yang lengang, “Nah, inilah kesempatan besarnya. Dua lawan enam. Ini akan menjadi pertarungan hebat, Thomas. Pertarungan legendaris.”

Aku menelan ludah, dari tadi tidak berkomentar, terus mengikuti langkah kaki Rudi.

“Kita masuk dengan cepat, Kawan. Seperti angin puyuh.” Rudi mengatur nafas, menatapku yakin, “Lima detik pertama adalah segalanya.”

Aku akhirnya paham. Kami sudah berdiri persis di depan pintu lift lantai lobi. Aku mendongak, menatap petunjuk posisi lantai, lift masih bergerak turun, dua lantai lagi.

“Kau pasti tahu, senjata mesin otomatias yang mereka pegang tidak akan berguna dalam pertarungan jarak pendek. Ruangan lift terlalu sempit untuk mengambil ancang-ancang menembak. Kita akan menyerbu masuk persis pintu lift terbuka, kita langsung beradu punggung, Thomas. Kau urus tiga atau empat petugas, aku urus tiga yang lainnya.” Rudi bersiap-siap, mengenakan kedok di kepala, hanya terlihat matanya saja sekarang, dia memasang posisi bertinju.

Aku ikut memasang posisi, gigiku bergemeletuk oleh sensasi pertarungan, tanganku mengepal sempurna membentuk tinju, bedanya tidak ada sarungnya di sana sekarang.

Rudi benar, ini akan jadi pertarungan hebat.

“Pukul bagian badan yang mematikan, Thomas. Jangan mengasihani lawan kau. Aku tahu, dalam setiap pertarungan klub, kau bukan tipikal petarung pembunuh, kau kadang berbaik hati. Tetapi enam polisi yang akan kita hadapi ini terlatih untuk membunuh, aku tahu persis, mereka mantan anak buahku, jika kau tidak segera melumpuhkan mereka, maka mereka dengan senang hati melakukannya lebih dulu. Ingat, Thomas, satu kali pukulan yang mematikan. Tidak akan ada kesempatan tinju kedua atau ketiga”

Aku mengangguk. Lobi gedung yang lengang hanya menyisakan dengus nafas kami, tegang.

“Bersiap, Kawan. Bel ronde pertama sekaligus terakhir akan terdengar!” Rudi mendesis.

Cengklang! Lift berbunyi pelan, tanda lift sudah tiba di lobi.

Pintunya bergerak membuka. Amat perlahan rasa-rasanya.

Enam petugas bersenjata langsung terlihat. Satu bintang tiga polisi yang berdiri bersandar.

Maggie yang persis di tengah.

Aku dan Rudi sudah lompat masuk, bahkan sebelum pintu sempurna terbuka.

Lihatlah! Kami sudah bertarung puluhan kali di klub.

Tetapi ini sungguh pertarungan paling hebat yang pernah kulakukan. Kami seperti penari mahsyur yang sedang ekstase menari mengikuti gerakan tangan dan kaki, atau seperti konduktor orkestra yang sedang memimpin pertunjukan dengan segenap sensasi, atau seperti pelukis besar yang setengah sadar mencampur warna, menumpahkannya di kanvas, corat-coret penuh irama, membuat karya agung.

Master-piece.

Tanganku sudah bergerak cepat dalam ketukan pertama, satu tinju menghantam dagu salah-satu polisi. Tubuhnya terbanting, kepalanya menghantam dinding lift, senjatanya terlepas. Rekannya berteriak, “Awas!” belum hilang kata awas itu di langit-langit lift yang terasa sempit karena ada tujuh orang ada di dalamnya, tubuh polisi itu sudah menghantam dinding lift, Rudi meninju pelipisnya.

Aku dan Rudi adalah petarung terbaik klub, beringas menghabisi lawan, dua detik kemudian, dua polisi lain menyusul terkapar, salah-satu polisi itu terduduk, tanpa sengaja menarik pelatuk senjata mesin di tangannya, rentetan peluru melukis atap lift, lampu terburai, cermin pecah berderai, suara tembakan yang memekakkan telinga, aku dan Rudi menunduk, tanganku mendorong Maggie agar tiarap.

Tembakan terhenti, polisi itu sudah terkapar pingsan.

Aku lompat dengan cepat, meninju dagu polisi yang tersisa, pukulan yang mematikan. Petugas itu melenguh kesakitan, giginya rontok, keluar bercampur darah dan ludah. Rudi dalam waktu yang sama, sudah menghajar polisi lainnya, menghantam leher, polisi itu sejenak berdiri, lantas roboh tanpa suara.

Pertarungan selesai di detik kelima belas.

Rudi dengan cepat memegang kerah bintang tiga polisi yang sejak tadi termangu menatap kejadian super-cepat, ibarat menonton kereta shinkansen yang sedang melintas di hadapannya. Sekejap, enam anak buahnya sudah terkapar, tumpang tindih di ujung kakinya.

“Kau bahkan tidak layak untuk menerima tinjuku.” Rudi menggeram, mendorong bintang tiga itu jatuh terduduk. Meloloskan pistol di pinggang petinggi polisi itu. Membuang isi pistol, peluru berkelotakan di lantai lift.

“Ayo, Thomas, bawa staf kau pergi!” Rudi menoleh padaku, sembarang melemparkan pistol kosong.

Aku mengangguk, mencari kunci borgol di salah-satu pinggang petugas.

Membuka borgol Maggie, lantas membantunya berdiri. Wajah Maggie pias, tangannya gemetar tidak terkendali, matanya basah, dia menangis ketakutan, tetapi dia baik-baik saja.

Aku memapah Maggie keluar dari lift. Rudi berjalan di belakangku.

Lobi gedung lengang.

Jam besar yang diletakkan di salah-satu dinding lobi berdentang sebelas kali.

Kami sudah melangkah keluar, Julia menyusul bergabung dari toilet.



***bersambung

Prima
09-06-2011, 11:58 AM
owh tere liye itu cowo ya.... aku kirain dari dulu cewe lho... :-D

BundaNa
05-11-2013, 10:38 PM
*******-******* Berkelas -- Episode 36
by Darwis Tere Liye on Wednesday, 24 Juni 2011 pukul 8:00

episode 36


“Hallo, Mag.” Aku tersenyum, kepalaku melongok ke jok belakang, menyerahkan sekotak tissu—kuambil sembarang dari dashboard mobil yang dikemudikan Rudi dengan cepat, “Nampaknya situasi kau buruk sekali, Mag. Sembab, menangis, kotor, rambut berantakan, baju kusut. Kau persis seperti gadis ditinggal tanpa kejelasan bertahun-tahun, atau setidaknya, dalam level paling rendah, seperti pembaca cerbung yang berlama-lama tidak jelas menunggu lanjutan cerita.”

“Jangan ganggu dia dulu, Thom.” Julia mendorong kepalaku, menyuruh kembali ke posisi di jok depan sambil mencemooh kotak tissu. Julia mengambil tissu basah—yang jelas lebih baik—dari tasnya.

Maggie tidak berkomentar, menerima tissu dari Julia, bilang terima-kasih pelan, lantas menyeka wajahnya yang cemong karena tersungkur di lift yang hingar bingar oleh pertarungan dan tembakan senjata lima belas menit lalu. Sementara Rudi di sebelahku seperti besok matahari terbit dari barat, terus memacu kecepatan mobil, meninggalkan gedung perkantoran.

“Tetapi terlepas dari situasinya, harus kuakui kau tetap staf-ku yang paling cantik, Mag.” Aku masih berusaha memastikan Maggie baik-baik saja—dengan caraku sendiri.

“Astaga, Thomas, tidak bisakah kau berhenti mengganggunya.” Julia melotot, menepuk-nepuk ujung kemeja putih Maggie, membersihkan debu.

Aku menyeringai, menatap Julia yang siap mendorong badanku kembali.

“Sana!” Julia mengacungkan telunjuknya.

Aku mengangkat bahu, tetap melihat Maggie yang sekarang mengelap tangannya yang luka.

“Hanya lecet, bukan? Kalau sampai membekas, kau tidak bisa lagi memakai baju lengan pendek, Mag. Bekas lukanya akan terlihat mengerikan.”

Julia hampir memukulku dengan kotak tissu, tetapi Maggie lebih dulu berkomentar, “Aku baik-baik saja, Thom.”

“Kau tidak sedang berbohong, bukan? Tidak sekadar menyenangkan atasan?”

“Aku baik-baik saja, Thom. Sungguh. Aku tadi menangis karena kaget dan takut. Kau tidak pernah menulis deskripsi pekerjaan seperti ini saat merekrutku dulu, aku pasti segera minta kenaikan gaji, Thom. Dan soal staf paling cantik, omong kosong, karena seluruh staf kau memang laki-laki.” Kalimat Maggie terdengar sengau, sisa kaget dan gentarnya, dia memperbaiki rambutnya yang berantakan, memasang ikat rambut dari Julia.

Nah, aku akhirnya tertawa lebar, itu baru Maggie yang kukenal. Kalau dia sudah menyebut-nyebut pekerjaan, gaji, dan sebagainya berarti dia memang baik-baik saja.

“Tadi…. suara tembakan tiba-tiba membuatku takut sekali.” Maggie menghela nafas, suaranya sedikit tercekat, “Di dalam lift yang sempit dan bergetar, kaca berhamburan, percikan nyala api dari lampu yang pecah, delapan orang berkelahi. Semua kacau balau. Tidak ada yang mendengarkan teriakanku.”

Aku menelan ludah. Gerakan tangan Julia terhenti.

“Saat tiarap, aku sempat berpikir semua akan berakhir di lift, ada peluru yang mengenaiku, darah mengalir, mati…. Kakiku bahkan masih gemetar sekarang.” Maggie menyeka wajahnya sekali lagi dengan tissu basah, “Aku takut sekali….”

Kabin mobil lengang sejenak. Maggie hendak menangis lagi.

“Kau salah-satu wanita tangguh yang pernah kukenal, Mag.” Julia membesarkan hati, “Tidak semua orang bisa bertahan di dalam lift dengan kejadian seperti itu, bahkan aku tidak yakin bisa pergi dari sana tanpa ditandu, pingsan.”

“Terima-kasih.” Maggie sejenak menatap Julia, tersenyum lebih baik.

Julia balas tersenyum, mengangguk.

Aku nyengir, “Kalian sekarang terlihat akrab sekali. Kau seperti lupa saja, dua jam lalu Maggie masih memanggil kau Nenek Lampir, Julia.”

Julia kali ini sungguhan melemparku dengan kotak tissu.

---------- Post Merged at 09:38 PM ----------

Lima belas menit lalu, Rudi memimpin rombongan keluar dari lobi kantor, dia berlari menuju parkiran, mengambil mobilnya. Aku dan Julia memapah Maggie naik ke atas mobil. Dalam situasi seperti ini, aku tidak sempat menyusun rencana cadangan, Rudi yang segera menekan pedal gas bertanya: kemana, aku menjawab sekenanya, pelabuhan yacht. Itu satu-satunya tempat aman. Setidaknya hingga semua urusan selesai, Maggie bisa bersembunyi di sana bersama Opa, Om Liem, dari kejaran petinggi kepolisian itu.

“Depan belok kiri atau kanan, Thom?” Rudi menyikutku.

Aku kembali memasang posisi duduk, meletakkan kotak tissu di dashboard. Mobil yang dikemudikan oleh Rudi memasuki gerbang pelabuhan. Hanya butuh lima belas menit, aku pikir, Rudi menyetir sebaik dia menghajar anggota klub dalam sebuah pertarungan—terlepas dari mobil yang dia bawa.

Hari minggu, hampir pukul dua belas siang, dermaga terlihat ramai.

Beberapa kapal pesiar melepas sauh, satu-dua dipenuhi pencinta memancing, satu-dua oleh sosialita kelas atas yang bosan menghadiri pesta, atau kongsi bisnis penuh kelicikan, beberapa lainnya tidak jelas benar siapa saja penumpangnya. Di dermaga ini tidak ada yang peduli aktivitas orang lain, lebih tidak peduli dibanding komplek mahal yang kenal tetangga sebelah pun tidak. Itu menguntungkan, tidak ada yang memperhatikan mobil yang merapat di dekat PACIFIC.

“Tidak usah dibantu, Julia. Aku bisa sendiri.” Maggie menolak halus.

“Kau yakin?” Suara Julia terdengar rasa-rasanya seperti menganggap Maggie saudara kembarnya saja sejak kejadian di lift. Aku tertawa tipis, melangkah menuju tangga kapal—Julia mengacungkan tinjunya padaku.

Maggie tersenyum meyakinkan, mengangguk, dia lebih dari sehat untuk naik kapal tanpa dibantu.

“Pak Thom? Cepat sekali kembali? Ada apa?” Kadek langsung menyambut saat kepalaku melongok pintu kabin belakang.

“Ada peserta baru yang ikut mendaftar.” Aku menjawab santai.

“Eh, peserta baru?” Kadek menatap bingung, dia masih memakai celemek masak. Bisa dimaklumi, sebentar lagi jadwal makan siang, aroma masakan tercium lezat dari dapur kapal pesiar.

Opa dan Om Liem menyusul di belakang Kadek, membuat kabin belakang sedikit ramai.

“Kenalkan, itu Maggie, salah-satu stafku di kantor. Yang satunya—”

“Aku tahu dia.” Opa terkekeh pelan, memotong, “Sejak kemarin sore diborgol bersama-sama di rumah peristirahatanku, kau sepertinya tidak terpisahkan lagi dari Tommi, Nona.”

Julia mengangguk sopan, “Selamat siang, Opa.”

“Bukankah dia polisi?” Om Liem ragu-ragu menatap Rudi yang terakhir kali masuk.

“Iya, dia memang polisi.”

“Astaga?” Kadek seperti bersiap lari mengambil Kalashnikova di dapur.

“Dia di pihak kita sekarang. Setidaknya hingga detik ini.” Aku melambaikan tangan.

Kadek masih ragu-ragu.

“Kalian seperti habis berkelahi?” Opa menyelidik.

Aku tertawa pelan, tidak menjawab. Lima menit yang terlalu lama, aku harus bergegas.

“Aku harus segera pergi, Opa.” Aku mengangguk kepada Opa, lantas menoleh, memegang bahu Kadek, “Maggie akan tinggal di sini hingga semua jelas, dia peserta baru yang harus kau jaga. Julia—”

“Aku tidak akan tinggal di sini, Thom.” Julia memotong kalimatku, “Aku tidak perlu bersembunyi. Dalam situasi seperti ini, tidak akan ada yang terlalu bodoh menangkap wartawan, lagipula aku tidak tersangkut apapun sebelumnya. Aku harus kembali ke kantor, ada laporan penting yang harus kuketik. Kau masih butuh amunisi tambahan untuk pembenaran penyelamatan Bank Semesta, bukan?”

“Terima-kasih, Julia. Aku akan menghubungi kau jika ada sesuatu.”

Julia mengangguk.

“Kau hendak pergi lagi, Tommi? Tidak bisakah kau makan siang bersama sebentar? Kadek sedang memasak bebek panggang lezat.” Opa menyela, selalu suka dengan acara makan bersama.

Aku menggeleng, melirik pergelangan tangan, “Aku harus mengejar jadwal penerbangan, Opa. Ada ikan besar yang harus kutangkap.”

“Ikan besar?” Opa diam sejenak, tersenyum, “Baiklah, kalau begitu kau harus hati-hati, Tommi. Jika ikan itu terlalu besar untuk ditangkap, jangan sampai joran kail kau terlanjur patah, apalagi sampai kau terseret jatuh ke dalam air.”

“Aku tidak akan menangkapnya dengan kail, Opa. Aku akan menombaknya dengan bergaya, dia tidak akan lolos.” Aku balas menatap tatapan Opa yang penuh makna.

Om Liem yang mengerti maksud percakapan kami menghela nafas perlahan, dia bijak, memutuskan tidak ikut berkomentar, khawatir aku akan menyuruhnya tutup mulut.

“Aku akan menjaga Maggie, percayakan saja, Pak Thom.” Kadek berjanji.

Aku menepuk lengannya, “Kau selalu bisa kuandalkan, Kadek.”

Saatnya aku pergi, menoleh Rudi, “Kau bisa mengantarku ke bandara, sekarang?”

Rudi tertawa, “Kenapa tidak. Itu mungkin lebih seru dibanding mengatur perempatan lalu lintas.”

Aku dan Rudi melangkah menuju dermaga.

“Sebentar, Thom.” Suara pelan Maggie menahan langkahku.

“Ada apa?”

Maggie menarik kertas terlipat dari saku celananya.

“Tiket kau ke Denpasar. Kau harus membawanya.”

Aku tersenyum lebar, menatap Maggie penuh penghargaan, “Terima-kasih, Mag. Kau tahu, tanpa bantuan kau, aku tidak akan bisa melakukan apapun dengan baik.”

Aku loncat dua-tiga menuruni anak tangga kapal.

Rudi sudah menghidupkan mobilnya.