View Full Version : BP Migas dibubarkan oleh MK
spears
14-11-2012, 11:20 AM
wow..kasian ya karyawan2nya. mau dikemanain?(tp klo karyawan2nya dialihkan ke pertamina malah bersyukur kali ya..hehehe)
jadi inget kasus departemen penerangan dulu.
btw, pertanyaan gw;
1. sebenarnya kewenangan BP-Migas ini apa sih? apa bedanya sama Kementerian ESDM?
2. awal dibentuk, BP Migas ini tujuannya untuk apa? dan dibawah pemerintahan siapa?
3. kenapa?kenapa?kenapa dibubarinnya?
danalingga
14-11-2012, 11:24 AM
Tujuannya buat jadi mafia energi tapi legal. ::ungg::
spears
14-11-2012, 11:26 AM
dijelaskan dong secara komprehensif. disertai contoh2 ::ungg::
danalingga
14-11-2012, 11:34 AM
Wah, kalo itu nunggu yang lain aja. *duduk di pojokan, makan popcorn*
BundaNa
14-11-2012, 11:35 AM
BP MIGAS adalah perusahaan Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi.
1. kewenangan BP MIGAS itu:
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) adalah sebuah badan hukum milik negara yang dibentuk melalui Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dua regulasi ini memberikan mandat kepada BPMIGAS untuk melakukan pengendalian dan pembinaan terhadap kegiatan Kontrak Kerjasama atau Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contracts) di industri hulu migas. Saat ini BPMIGAS mengawasi sekitar 300 Kontraktor Kontrak Kerjasama yang beroperasi di seluruh nusantara.
sumber (http://bpmigas.experd.com/)
Semestinya BP MIGAS dibawah menteri ESDM ya?
2. tujuannya?
Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan kontrak kerja sama dengan semangat kemitraan untuk menjamin efektivitas dan efisiensi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menjadi mitra yang proaktif dan terpercaya dalam mengoptimalkan manfaat industri hulu minyak dan gas bumi bagi bangsa dan seluruh pemangku kepentingan serta menjadi salah satu lokomotif penggerak aktivitas ekonomi Indonesia.
3. Kenapa dibubarin? Karena dianggap menggerogoti kedaulatan negara
Pengamat perminyakan Kurtubi menilai keberadaan BP Migas selama ini justru telah menggerogoti kedaulatan negara. Sebab, BP Migas mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan perusahaan asing secara business to government (B to G).
saus (http://www.jpnn.com/read/2012/11/13/146840/BP-Migas-Dinilai-Hanya-Gerogoti-Aset-Negara-)
karyawannya gimana ya? banyak banget lho karyawannya...di Cepu, penguasa kota Cepu ya karyawan BP MIGAS
"Kami berharap pengganti tugas BP Migas diserahkan kepada lembaga semacam Badan Koordinator Kontraktor Asing (BKKA). Lembaga ini bisa di bawah Pertamina. Tidak perlu khawatir, Pertamina tidak akan memonopoli karena tetap ada swasta atau kontraktor asing. Namun, pengaturannya tidak akan memihak asing seperti yang dilakukan BP Migas," tegas Ugan di sela-sela pertemuan serikat pekerja Pertamina di Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (13/11).
Pembubaran BP Migas tersebut, lanjut Ugan memang harus disambut baik, tetapi langkah ke depan harus tetap dikawal agar jangan sampai ada kesalahan kedua.
"Kami tidak mau BP Migas bubar, nantinya akan ada lembaga yang kedudukannya sama dengan BP Migas. Itu tidak akan ada artinya dan mengulang kesalahan kembali. Prinsipnya adalah, jangan sampai lembaga yang nantinya dibentuk tetap proliberalisme. Inilah yang akan kami kawal," tandasnya.
sambel (http://www.metrotvnews.com/ekonomi/news/2012/11/14/113803/Karyawan-Pertamina-Kawal-Pembubaran-BP-Migas)
itsreza
14-11-2012, 01:46 PM
fungsi dan tugas BP MIGAS, monitoring dan controlling bisa dicakup oleh ditjen migas KESDM.
karena kontrak kerjasama seharusnya dibuat antara investor dengan pemerintah yang diwakili
menteri ESDM. Dianggap melampaui kewenangan karena bisa membuat kontrak dan bertindak
mandiri. Dibubarkan atas hasil judicial review MK untuk UU Migas.
danalingga
14-11-2012, 01:52 PM
Ini berarti apa BP Migas yang mengebiri pertamina
sehingga tidak punya sumur minyak sendiri ya?
jojox
14-11-2012, 01:55 PM
Kisah BP MIgas Ini kalo dibikin film, kontroversial banget, bakalan keren dan menarik sekali,
dan hampir gak ada resiko untuk political repercussions, alias cukup happy ending.
The Godfather mahh...lewat. Dari birokrat, local government, private MNCs, pengacara, pemuda ormas, aparat, yudikatif, kontraktor BUMN, semua elemen ada dan citizenry bermain bagus, rapi, well-organized, portfolio kinerja dan output, highly resourceful. This is the real endonesian oil gangsta shite ::ngakak2::
Plotnya kata cerita mbah2 itu dulu BP Migas buat menekan MNCs, mau proyek di indo di palak dulu, ngeluarin minyak keluar indo dipalak jg. Intinya, profit dan sebagian memang masuk negara (karena rohnya memang patriotik super nasionalis). 30an % untuk operasional dari total revenue jutaaan US dolar per minggu. Sisanya baru masuk negara. B A Y A N G K A N ...dulu. Keliatan low profile, tapi gembrot petrol-dollar ini. Akhirnya kesandung satu ayat UUD yang menajiskan prakteknya.
Aslinya gak jauh beda dengan praktek Pemerintahan Venezuela, premanisme a la Chavez. Cuman kali ini blunder di sisi hukum yang notabene konyol dan bias, karena implikasi kebijakan MK tidak mempertimbangkan secara proporsional nilai sosial, ekonomi, kerjasama, etika, lingkungan ketimbang moral dan hukum. Output dan sumbangsihnya ke kas negara GILA banget banyaknya, tali kasih ke pejabat yah memang tidak merata, condongnya kiblat ke MNCs memang selalu ada sesuai hukum supply-demand. Tpi urusan kesejahteraan rakyat itu bukan tupoksi dan wewenangnya BP Migas, itu urusannya Kemenko/lembaga yg lain. BP MIgas cuman supply duit ke negara, kok kena pasal mengenyangkan perut rakyat, menaikkan income per capita, mensupport GDP, mengentaskan kemiskinan. WTF >???? HALO Endonesiah? Ciyuz ? MK pasang jebakan betmen yang irrelevant, dan gw jd merasa bego dibuatnya.
Opini gw mah, coba kalo BP Migas tidak terlalu rakus dan serakah ngurusin 300an kerjasama duit panas, coba CSR 3-8% aja wis ke masyarakat, kerjasama dengan yang mentereng dan educated dikit seperti....hmm...Muhammadiyah? Memang gak bisa bikin semua orang happy,
tapi kalo gagal memperhitungkan om Dien Syamsudin, itu bego. Dan Mungkin ceritanya lain, dan masih bisa cari pensiunan sampai 2014.
opi77
14-11-2012, 03:47 PM
BP migas itu masuk itungan BUMN gak sich???....
gue juga gak ngerti kenapa bisa dibubarin...dan kayanya gampang amat bubarin BP migas...
cha_n
14-11-2012, 04:04 PM
fungsinya apa sih? apa g tumpang tindih ama esdm ?
tuscany
15-11-2012, 05:38 AM
Masih belum jelas aku soal BP Migas ini. Di koran-koran baru secara headline, belum in depth news.
cha_n
15-11-2012, 07:52 AM
sama. kayaknya musti dibaca serius, jadi blm sempet. intinya aja ada ga sih
ga_genah
15-11-2012, 08:19 PM
Kisah BP MIgas Ini kalo dibikin film, kontroversial banget, bakalan keren dan menarik sekali,
dan hampir gak ada resiko untuk political repercussions, alias cukup happy ending.
The Godfather mahh...lewat. Dari birokrat, local government, private MNCs, pengacara, pemuda ormas, aparat, yudikatif, kontraktor BUMN, semua elemen ada dan citizenry bermain bagus, rapi, well-organized, portfolio kinerja dan output, highly resourceful. This is the real endonesian oil gangsta shite ::ngakak2::
Plotnya kata cerita mbah2 itu dulu BP Migas buat menekan MNCs, mau proyek di indo di palak dulu, ngeluarin minyak keluar indo dipalak jg. Intinya, profit dan sebagian memang masuk negara (karena rohnya memang patriotik super nasionalis). 30an % untuk operasional dari total revenue jutaaan US dolar per minggu. Sisanya baru masuk negara. B A Y A N G K A N ...dulu. Keliatan low profile, tapi gembrot petrol-dollar ini. Akhirnya kesandung satu ayat UUD yang menajiskan prakteknya.
Aslinya gak jauh beda dengan praktek Pemerintahan Venezuela, premanisme a la Chavez. Cuman kali ini blunder di sisi hukum yang notabene konyol dan bias, karena implikasi kebijakan MK tidak mempertimbangkan secara proporsional nilai sosial, ekonomi, kerjasama, etika, lingkungan ketimbang moral dan hukum. Output dan sumbangsihnya ke kas negara GILA banget banyaknya, tali kasih ke pejabat yah memang tidak merata, condongnya kiblat ke MNCs memang selalu ada sesuai hukum supply-demand. Tpi urusan kesejahteraan rakyat itu bukan tupoksi dan wewenangnya BP Migas, itu urusannya Kemenko/lembaga yg lain. BP MIgas cuman supply duit ke negara, kok kena pasal mengenyangkan perut rakyat, menaikkan income per capita, mensupport GDP, mengentaskan kemiskinan. WTF >???? HALO Endonesiah? Ciyuz ? MK pasang jebakan betmen yang irrelevant, dan gw jd merasa bego dibuatnya.
Opini gw mah, coba kalo BP Migas tidak terlalu rakus dan serakah ngurusin 300an kerjasama duit panas, coba CSR 3-8% aja wis ke masyarakat, kerjasama dengan yang mentereng dan educated dikit seperti....hmm...Muhammadiyah? Memang gak bisa bikin semua orang happy,
tapi kalo gagal memperhitungkan om Dien Syamsudin, itu bego. Dan Mungkin ceritanya lain, dan masih bisa cari pensiunan sampai 2014.
waduh...
otakku lemot bangat
ga ngerti...
bisa sedikit diperjalas ga...
jojox
17-11-2012, 12:22 PM
sejarahnya gini, seperti wamen esdm jg sempat utarakan di tvri, lusa kemarin.
masa orde baru, ada semacam (Badan) unit regulator khusus industri migas seperti BP Migas, dibentuk di bawah struktur organisasi PERTAMINA.
Namanya pun mirip. 1970an, 1980an, indo sempat kebanjiran produksi minyak hingga 1,6an juta barel, sedang konsumsi odong2 dalam negeri
cuman 300an ribu. Makanya, indo sempat layak dan aktif di OPEC (expor = $$$). Industri berkembang ke expansi gas smpai hari ini,
target pasar expor internasional, target produksi 2011an ini aja 930an ribu. Unit ini rada problematis dan kinerja semrawut karena
dinilai kurang gertakan, peran dan kontribusi minim thdp pasar migas internasional. Kompetensi Pertamina masih cupu berhadapan dg corporate asing
yg luar biasa gede pengaruhnya (gerombolan big 9 oil companies). Sekarangpun banyak jg tantangan dan problem pertamina, tpi gak bisa serta merta
dimanjakan terus gara2 statusnya sebagai BUMN. Bnyak bocor dari pipa sampai akuntabilitasnya.
Kalau bagus, SDA yg dikuasai bisa lebih dari 47an% sumur produksi. UUD bilang SDA dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat.
Tapi prakteknya SDA dikuasai untuk dijual kembali ke swasta/privatisasi.
Nah, BP migas dibentuk kemudian, bukan di bawah BUMN/Pertamina. Di bawah koordinasi kementerian ESDM.
Perannya mengatur industri di level kebijakan strategis. Orang2nya jg kebanyakan dari PERTAMINA dari unit lama itu.
Misinya sama, meningkatkan pendapatan negara dengan mengatur/meregulasi/me-deregulasi pasar sebagai bentuk intervensi pemerintah alias tuan tanah. Mainin supply-demand. Percaya atau tidak, fenomena fix pricing terjadi. Kalau BUMN pan kasih dividen, tpi BP migas langsung kerjasama bagi hasil dari ladang/sumur migas di seantero jagad indo. Istilahnya dia tukang jaga loket masuk. operasionalnya sedikit, sisanya setor kas negara. ini multi-billion industri, inget. bukan kek jaga parkir doang. ini putaran duitnya kenceng bngt. Basah? YOI, mas bru.
muncul gugatan yang berujung pada pembubaran BP migas ini, dengan dalih kesejahteraan rakyat, karena duit2nya yg masuk itu di-kemana-kan?
aslinya cuman itu doank titik permasalahannya. Dugaannya, ini cuman politik persaingan gak cuman antar institusi/lembaga, perorangan, ataupun parpol.
Ya, BP Migas tidak selalu pro Pertamina. Ya, BP migas condong pada pelanggan setia yg nota bene berbendera asing. Tapi, tidak, BP migas tidak bertanggung jawab langsung atas kesejahteraan rakyat. Kalau ini bagian dari reformasi birokrasi yang lebih transparan, upaya good governance, dan menuju perbaikan efisiensi kementerian esdm, oke lah. Sekarang, yah normalisasi institusi dengan mengembalikan bentuk, wewenang, tupoksi ke kementerian induk (ESDM) yah solusi paling wajar, natural, skenario A, standard lah. Suatu saat di rumah Jero Wacik, harusnya ada tumpengan utk ini...:ngopi:
BundaNa
17-11-2012, 12:30 PM
Panjang bener penjelasan lo jox, intinya satu yax, saingan ::ngopi::
cha_n
17-11-2012, 03:16 PM
tapi secara aturan gimana ? harusnya emang dibawah pemerintah dong. masa pengaturan begini yang mengelola swasta (bp migas)
itsreza
17-11-2012, 05:12 PM
bukan tumpengan, tapi tiup lilin dong ::hihi::
@chan, BP migas kan perpanjangtanganan pemerintah, sebagai regulator
badan regulator idealnya di posisi netral, antara pemerintah dan swasta.
spears
18-11-2012, 11:53 AM
hmmm..gw tarik kesimpulan, kalau BP Migas dan ESDM ini bagaikan KPK dan polri ya??
sbnrnya, memang BP-Migas nggak perlu ada kalau ESDM kinerjanya yg efisien.
trus, ada kabar terbaru apa soal karyawan2 BP Migas??
katanya karyawannya kurang lebih 1200 orang, 600 diantaranya pegawai kontrak dan 600nya adalah pegawai tetap.
danalingga
18-11-2012, 03:03 PM
@Jox: berarti sekarang pengennya pengatur migas yang juga bertanggung jawab sama kesejahtraan rakyat kali.
BundaNa
18-11-2012, 06:12 PM
Berita jawa pos hari ini, begitu keluar keputusan MK ekspor migas terhenti. Segala kegiatan pengeboran, reparasi, serta operasi produksi juga terhenti sejak keluar keputusan tsb.
Menurut wamen ESDM, gegara situasi tersebut, negara terancam kehilangan pendapatan sekitar 1 trilyun per harinya. Untuk menyelamatkannya negara harus mempertahankan kepercayaan investor, mesti ada langkah cepat supaya kegiatan migas kembali normal.
Tindakan yg paling cepat adalah memanfaatkan tenaga yg tersedia di eks BP MIGAS, begitu kata wamen.
Nah lho...bukan blunder kan?
member ::KM:: ada tuh yang kerja di BP Migas..
:ngopi:
BundaNa
18-11-2012, 09:45 PM
^fere ya? ;D
pasingsingan
18-11-2012, 10:13 PM
btw, pertanyaan gw;
1. sebenarnya kewenangan BP-Migas ini apa sih? apa bedanya sama Kementerian ESDM?
2. awal dibentuk, BP Migas ini tujuannya untuk apa? dan dibawah pemerintahan siapa?
3. kenapa?kenapa?kenapa dibubarinnya?
1. kewenangan BP-MIGAS adalah mewakili pemerintah untuk melakukan pengendalian dlm hal
pengadaan/lifting migas untuk kepentingan nasional, serta melakukan kontrak kerjasama
dng pihak lain dng pola PSC (production sharing contract),dng kata lain kontrak bagi hasil
berdasarkan wilayah kerja/blok yng disepakati dalam consession contract, kontrak konsesi ini
biasanya jangka panjang (minimal 20 tahun)
2. dibentuknya BP-MIGAS berdasarkan UU 22/2001, yng didalamnya mengatur /memisahkan
peran/fungsi Regulator, Operator dan Distributor. Kelahiran UU:22/2001 ini ditengarai oleh
banyak pihak sbg Undang2 yang cacat sejak lahir (saat perumusannyapun penuh kontroversi)
spiritnya liberalisasi, sehingga peran Negara minimalis/terkebiri. Maklum, menjelang kelahirannya
situasi ekonomi negara sedang dilanda krisis, sehingga aroma IMF sbg donatur sangat kentara
dlm nafas Undang2 tsb.
contoh : salah satu pasalnya mengatakan bhw, penetapan harga Migas,
diserahkan kpd persaingan usaha yng sehat a.k.a mekanisme pasar
...... negara suruh jadi penonton??
3. Kenapa dibubarin?
Ya karena spiritnya bertentangan dng undang2 diatasnya (UUD 45)
yakni, sesuai amanah pasal: 33/UUD 45, Negara punya kuasa penuh
sbg pemilik sekaligus pengatur dan penyelenggaraan bisnis migas secara hakiki.
Contoh lagi: PLN megap2 kekurangan pasokan gas, kenapa Negara tidak berdaya?
krn secara kontraktual tdk ada kewajiban bagi PSC untuk memberikan sebagian
bagiannya untuk mendukung kebutuhan gas domestic. Klopun bersedia memberikan
tentu minta diberlakukan harga pasar internasional, jelaslah PLN tdk sanggup membelinya
akibatnya, PLN dipaksa mengkonsumsi BBM yng harganya 2x lipat harga gas domestik.
Alih2 TDL terus membumbung dari waktu ke waktu, efeknya? …. rakyat lage rakyat lage
yng harus terima nasib dlm menanggungnya. ::takmungkin::
Dampak dari UU:22/2001 secara sengaja jg mengkerdilkan peran BUMN (baca pertamina)
Sesuai disain UU tsb, Pertamina disejajarkan dng PSC. Hampir tdk ada keistimewaan apapun
sbg penyandang gelar Badan Usaha Milik Negara. Ironinya, dulu Pertamina sbg integrated
Oil & Gas Company (explorasi, produksi, distribusi berada dlm satu atap) kini malah dipecah-
belah (unbundling), explorasi sbg bisnis unit sendiri, pengolahan sendiri dan distribusi sendiri
akibatnya, Pertamina menjadi semakin tdk efisien (baca lemah daya saingnya).
Banyak pengamat yng mencium bhw unbundling tsb jg sbg bagian dari strategi busuk
spirit "Liberalisme Ekonomi", dimana tdk menghendaki adanya monopoli Negara dlm hal
tatakelola bisnis komoditi strategis suatu bangsa. Disamping melemahkan daya saing,
strategi Unbundling jg akan memudahkan untuk diprivatisasi (baca diperjual belikan)
Adalah aneh ada Undang2 yng justru menghendaki agar Badan Usaha Milik Negara
menjadi kerdil dan terpasung di negerinya sendiri.
Sebagai insan migas negeri tercinta, saya pribadi se7 dan sangat mendukung agar
UU:22/2001 SEGERA DIBONGKAR TOTAL ….. jgn sepotong-sepotong, nanggung
Hidup MK ….. hidup KSPMI, selamatkan NKRI dari bahaya NEOLIB ::itrocks::
BundaNa
18-11-2012, 11:54 PM
^pentolan BP MIGAS nongol, gak kangen cepu, mbah? ::hihi::
spears
19-11-2012, 12:16 AM
oohh begitu..thx mbah pasing penjelasannya. quota gw hari ini dah abis ngasih ijo2.
lagian, gw harus mencerna kata2 mbah pasing dulu
startsmart
19-11-2012, 02:32 AM
Gimana ? masih ada yg mau dukung Sri Mulyani Gank jadi Presiden RI? ::hihi::
tuscany
19-11-2012, 03:02 AM
Emang keluarnya UU ini pas zaman SM jadi Menteri?
startsmart
19-11-2012, 03:04 AM
Emang keluarnya UU ini pas zaman SM jadi Menteri?
pas jaman Megawati dimana Budiono adalah menjadi mentri kordinator (penesehat) ekonominya.
Sri Mulyani dan Budiono itu kan satu majikan...
tuscany
19-11-2012, 03:26 AM
Nggak terlalu jauh apa nariknya ke Sri Mulyani? Beloknya ampe 2 kali, gan.
Kementerian mana sih yang ngajuin UU ini dulu? Nah orang ini nih - menterinya - yang patut ditelisik lebih jauh.
pasingsingan
19-11-2012, 08:40 AM
2001
- presidennya Megawati
- mentri ESDM-nya Purnomo Yusgiantoro (kini Menhan)
- meneg BUMN-nya Laksamana Sukardi
banyak hal yng konyol diperiode ini
beberapa kebijakan salah arah (baca kejeblos)
atau sengaja menjebloskan diri krn iming2 pinjaman IMF
- Beberapa BUMN diprivatisasi (baca dijual, sehingga Negara kehilangan kontrol)
- LNG Tangguh dijual dng sangat murah ke Sempra Energi, bahkan lebih murah dari
harga gas domestik, kini diupayakan re-Negosiasi yng hasilnya masih alot (gak jelas) :sad:
BundaNa
19-11-2012, 09:47 AM
Eh, tapi bukannya BP MIGAS ada sejak orba ya?
Ronggolawe
19-11-2012, 10:08 AM
ngga bund...
BP Migas itu produk reformasi :)
BundaNa
19-11-2012, 10:10 AM
Jaman gwe TK udah ada MIGAS di cepu. Mbah pasing pernah dinas di cepu kan?
pasingsingan
19-11-2012, 10:22 AM
Mbah pasing pernah dinas di cepu kan?
bentul
itu PPT-MIGAS bun
Pusat Pelatihan Tenaga Migas
secara struktur kelembagaan berada dibawah dirjen Migas (kementrian ESDM)
BundaNa
19-11-2012, 10:25 AM
Ooo...salah ya? ::hihi::
Yang sekarang soalnya exxon sih -_-
pasingsingan
19-11-2012, 10:34 AM
yee ..... salah lage
PPT-MIGAS sekarang sudah berubah menjadi semacam sekolah tinggi kedinasan
sebangsa STT Telkom atau IPDN gitulah, tapi maseh tetap dibawah kontrol ditjen Migas
Exxon-Mobile mah kontraktor pemegang konsesi lapangan Cepu dan sekitarnya
yng ribut2 kemaren (baca tarik ulur soal penetapan formula bagi hasilnya)
BundaNa
19-11-2012, 11:00 AM
^maksud gwe mbah, dulu cepu ngetopnya karena ada MIGAS (yg gwe pikir BP MIGAS itu) sekarang orang taunya cepu dijajah exxon
[Ikut ngeles] ::hihi::
Ini sebenarnya yg salah itu aturannya (UU) atau lembaga/institusi-nya (BPMIGAS) sih?
Kalau aturannya, untuk sementara saya hanya bisa komentar: berarti yg gebleg ya yg membuat/mengesahkan aturan.
Kalau institusinya? Ya, saya setuju. Biar bagaimanapun, dan dgn berbagai alasan apapun (meskipun ini bisa kita bahas kemudian), pada intinya BPMIGAS telah gagal mengemban tugas utamanya dari negara dlm hal meningkatkan pendapatan negara melalui produksi migas. Titik.
Yg saya ndak sepakat kalo hal ini diutak-atik-gatuk dgn soal2 tudingan BPMIGAS sbg antek asing kek, mafia energi lah, sarang KKN, merongrong kekayaan negara, memberangus kemajuan (perusahaan) anak bangsa, konspirasi ini konspirasi itu, dan tudingan2 gaya hiperbola yg lain. Teori ini terlalu tinggi dan ndak terjangkau oleh akal saya yg awam.
Mudah2an aja kejadian ini jgn menjadikan kembali ke aturan jaman rikiplik (Orba). Setelah sekian lama ndak pernah dengar lagi istilah raja minyak, sekarang yg sering saya denger malah istilah raja tambang (terutama batubara). Akankah muncul kembali raja2 minyak melengkapi para raja tambang yg ada di negeri ini? Akankah negeri ini dikuasai oleh sekelompok raja2 kecil yg "menjajah bangsa sendiri"? Saya ndak rela!
Eh..., Lapindo sekarang gimana ya kabarnya? Denger2 katanya dah mau mulai eksploitasi lagi ya? Hmmm...bener2 bangsa pemaaf. Atau pelupa?
Nasionalis? ::arg!::
:ngopi:
tuscany
19-11-2012, 01:34 PM
Purnomo Yusgiantoro sekarang jadi Menhan toh? Kontroversi lagi soal RUU intelijen. Kalo sampe di MK kan lagi ncetak rekor ntar dia. ::bwekk::
->Spears
1. sebenarnya kewenangan BP-Migas ini apa sih? apa bedanya sama Kementerian ESDM?
Mewakili pemerintah c.q. Kementerian ESDM c.q. Dirjen Migas dalam:
- Menilai, mempertimbangkan, memilih, menunjuk dan menandatangani Kontrak Kerja Sama (K2S atau PSC) migas dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S).
- Memonitor, mengontrol, mendorong kinerja K3S
2. awal dibentuk, BP Migas ini tujuannya untuk apa?
Ujung2nya, untuk meningkatkan produksi migas dus meningkatkan pendapatan negara.
dan dibawah pemerintahan siapa?
Megawati. Dan dibentuk oleh pemerintah (melalui PP sesuai amanat UU) dan (bertanggungjawab) dibawah Kementerian ESDM c.q. Dirjen Migas.
3. kenapa?kenapa?kenapa dibubarinnya?
Katanya, katanya, katanya keberadaannya melanggar amanat UUD.
hmmm..gw tarik kesimpulan, kalau BP Migas dan ESDM ini bagaikan KPK dan polri ya??
Ya beda lah.
sbnrnya, memang BP-Migas nggak perlu ada kalau ESDM kinerjanya yg efisien.
Selama sumber daya migas dikelola dgn sistem kontrak (K2S ato PSC seperti saat ini), maka keberadaan sebuah lembaga (apapun bentuk dan namanya) tetap diperlukan sebagai wakil pemerintah. Jika tidak, itu justru akan "merendahkan" pemerintah dgn memposisikan sejajar dgn perusahaan/swasta (kontraktor).
Hal ini berbeda dgn sumberdaya minerba (mineral dan batubara) yg saat ini dikelola dgn sistem perijinan (IUP). Dulu dalam minerba pun pernah diberlakukan sistem kontrak, disebut Kontrak Karya untuk mineral non batubara dan Kontrak Kerja untuk batubara. Ini yg membuat pemerintah "ndak berkutik" kalo berhadapan dg, misalnya, Freeport krn posisi mereka sejajar/setara (jadi inget VOC nih). Masih mendingan di batubara (waktu itu) krn pemerintah masih ada "bumper" (yg mewakili) yaitu waktu itu oleh PTBA (ini BUMN yg sekarang udah listed di IDX).
***
->Bundana
BP MIGAS adalah perusahaan Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Ndak tepat disebut sebagai perusahaan, Bund.
Semestinya BP MIGAS dibawah menteri ESDM ya?
Secara institusi: Ya. Sudah.
3. Kenapa dibubarin? Karena dianggap menggerogoti kedaulatan negara
Pengamat perminyakan Kurtubi menilai keberadaan BP Migas selama ini justru telah menggerogoti kedaulatan negara. Sebab, BP Migas mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan perusahaan asing secara business to government (B to G).
Kalo pake bahasa hukum saya no comment. Saya ndak mudeng.
Kalo pake bahasa "awam" (common sense), menurut saya ini memang agak pelik. Karena kekayaan alam adalah milik negara (G), maka yg namanya kontrak itu ya pasti ada unsur G-nya, ndak mungkin kontraknya dibuat bussiness to bussiness (B to B) kecuali di level SUB-kontrak. Keberadaan BPMIGAS menurut saya justru bisa mensiasati persoalan ini dimana meskipun mewakili pemerintah tapi BPMIGAS sendiri adalah sebuah entitas bisnis shg kontraknya bersifat "se-olah2" menjadi B to B antara BPMIGAS dgn K3S. Dalam hal ini posisi G menjadi tidak terekspose sehingga G ndak perlu "merendahkan diri" posisinya menjadi sejajar dgn B (K3S).
Ataukah ada alternatif lain yg lebih baik? Dikembalikan ke BUMN seperti yg dulu terjadi ketika hal itu dipegang oleh Pertamina? Sami mawon! Kalo BUMN itu mewakili pemerintah ya sama aja kontraknya jadinya tetap G to B.
di Cepu, penguasa kota Cepu ya karyawan BP MIGAS
Masak sih Bund?
Tindakan yg paling cepat adalah memanfaatkan tenaga yg tersedia di eks BP MIGAS, begitu kata wamen.
Nah lho...bukan blunder kan?
Terlepas dari persoalan konstitusi, kedaulatan negara, ideologi, dan jargon2 muluk lainnya, menurut saya membubarkan sebuah lembaga yg mengelola kekayaan negara dgn omset sekitar Rp 1 trilyun/hari hanya dgn ujug2 se-konyong2 simsalabim melalui sebuah "ketukan palu" tanpa upaya2 konsolidasi dari pihak2 yg terlibat langsung, itu adalah sebuah BLUNDER!
Nasi udah menjadi bubur. Keputusan MK bersifat mutlak dan mengikat. Udah ndak bisa diganggu gugat lagi.
Mudah2an aja orang2 eks BPMIGAS cukup legowo untuk mau turun tangan menanggulangi masalah2 yg mungkin terjadi pasca pembubaran ini sebelum dibentuk UU yg baru dgn...SEGERA!
Hmmm...btw saya kok malah mencium aroma adanya pihak yg bermain dibalik kejadian ini. No...no, maksud saya bukan MK (Mahfud cs) maupun para pengusulnya (Din Samsudin cs). Kayaknya ada "tukang kipas" dibelakang yg mendorong Din dan Hasyim Muzadi maju ke Mahfud.
Eh, tapi bukannya BP MIGAS ada sejak orba ya?
Pasca reformasi, Bund. Cuman reformasinya memang agak kebablasan menurutku.
***
->Danalingga
Ini berarti apa BP Migas yang mengebiri pertamina
Ya, konotasi negatifnya mengebiri. Konotasi positifnya menghindari praktek monopoli.
sehingga tidak punya sumur minyak sendiri ya?
Sampai saat ini Pertamina adalah K3S yg paling banyak (meskipun bukan paling besar) memiliki sumur migas dibandingkan K3S yg lain.
***
->Opi77
BP migas itu masuk itungan BUMN gak sich???....
Bukan BU (Badan Usaha), tapi BH (Badan Hukum).
gue juga gak ngerti kenapa bisa dibubarin...dan kayanya gampang amat bubarin BP migas...
Ho'oh. Sama.
***
->Chan
fungsinya apa sih? apa g tumpang tindih ama esdm ?
Mestinya sih ndak tumpang tindih krn dah ada porsi fungsi masing2 yg diatur dalam perundangan, meskipun (dalam pelaksanaannya) resiko seperti itu tetap ada.
Bahkan secara lembaga, BPMIGAS berada dibawah ESDM c.q. Dirjen Migas. Memang, secara hukum, BPMIGAS "langsung berada dibawah" (baca: dibentuk oleh) pemerintah melalui PP (bukan PerMen atau KepMen).
Atau, ini sekedar wacana ngawur2an, kenapa ndak dibentuk kementerian terpisah aja ya, yaitu Migas yg posisinya setara ESDM dan dibawah Menko yg sama?
Akan tumpang tindih? Ndak juga, setidaknya bisa aja diatur supaya ndak tumpang tindih. Toh saat inipun term migas sudah dibedakan/dipisahkan dgn mineral shg di ESDM ada, diantaranya, Dirjen Migas dan Dirjen Minerba.
Eh lalu kenapa sekarang namanya ESDM ya? Kenapa ndak diganti aja dgn misalnya ESDB (Energi dan Sumber Daya Bumi)?
Oops...sori, namanya juga wacana ngawur2an... ;D
tapi secara aturan gimana ? harusnya emang dibawah pemerintah dong. masa pengaturan begini yang mengelola swasta (bp migas)
Sudah kok, dan BPMIGAS bukan swasta. Dalam status K2S, BPMIGAS langsung mewakili pemerintah. Dalam operasional, BPMIGAS dibawah koordinasi pemerintah c.q. Menteri c.q. Dirjen.
***
->Jojox
Sekarang, yah normalisasi institusi dengan mengembalikan bentuk, wewenang, tupoksi ke kementerian induk (ESDM) yah solusi paling wajar, natural, skenario A, standard lah.
Ya, itu memang solusi paling standard dimana soal migas langsung dikelola oleh Dirjen Migas dibawah ESDM. Ini analoginya seperti pengelolaan pajak oleh Dirjen Pajak dibawah Menkeu, tanpa perlu adanya "BP Pajak". Ini sekedar analogi aja lho.
Dan itukah solusi idealnya? Justru bakalan tambah runyam kalo menurut saya! Akan semakin ndak transparan dan ndak terekspose oleh masyarakat. Semakin rawan KKN dan kongkalingkong dgn para "tikus politik" (dari eksekutif maupun legislatif)! Ndak apa2 sih kalo BPK dan KPK mau nambah kerjaan pengawasan dan itu dilakukan dgn bener2, tegas n transparan.
So, menurutku solusinya tetep aja dibutuhkan adanya sebuah lembaga tersendiri untuk mengelola migas. Ini akan menjadi lebih terekspose shg semua mata bisa mengawasi kinerja lembaga tsb.
Kalo memang UU yg kemarin plus produknya (BPMIGAS) dianggap salah dan gagal ya tinggal direvisi aja. Dan revisi UU ini harus dilakukan secepatnya.
***
->Pasingsingan
Ehmmm...kalo mau mengomentari yg ini kayaknya saya mesti ngasah Kyai Sigar Penjalin dulu nih... :)
:ngopi:
^fere ya? ;D
bukan bun, orangnya udah nggak pernah nongol dimari,
kemarin2 sempet nongol bentar trus ngilang lagi.. ;D
3. Kenapa dibubarin?
Ya karena spiritnya bertentangan dng undang2 diatasnya (UUD 45)
yakni, sesuai amanah pasal: 33/UUD 45, Negara punya kuasa penuh
sbg pemilik sekaligus pengatur dan penyelenggaraan bisnis migas secara hakiki.
Kenapa yg dipersoalkan hanya pasal2 yg menyangkut industri hulu bahkan sangat spesifik menyangkut eksistensi BPMIGAS tok?
Contoh lagi: PLN megap2 kekurangan pasokan gas, kenapa Negara tidak berdaya?
krn secara kontraktual tdk ada kewajiban bagi PSC untuk memberikan sebagian
bagiannya untuk mendukung kebutuhan gas domestic. Klopun bersedia memberikan
tentu minta diberlakukan harga pasar internasional, jelaslah PLN tdk sanggup membelinya
akibatnya, PLN dipaksa mengkonsumsi BBM yng harganya 2x lipat harga gas domestik.
Alih2 TDL terus membumbung dari waktu ke waktu, efeknya? …. rakyat lage rakyat lage
yng harus terima nasib dlm menanggungnya. ::takmungkin::
Kan udah ada DMO (domestic market obligation) kang? Dan ini setahuku, CMIIW, bahkan diatur khusus dalam PP (?) tersendiri lho soal DMO ini. Jumlahnya 25% dan harganya diatur oleh pemerintah.
Memang dalam pelaksanaan katanya hal ini (DMO 25%) ndak berjalan mulus. Ya tinggal dibenahi aja pelaksanaannya. Ato kalau memang angka 25% dianggap kurang ya perlu direnegosiasikan untuk dinaikkan.
Btw kalo soal PLN bukannya karena lebih ke persoalan distribusinya aja Kang? Dan setahu saya kalo soal ini udah masuk wilayah hilir (BPH MIGAS). CMIIW.
Dampak dari UU:22/2001 secara sengaja jg mengkerdilkan peran BUMN (baca pertamina)
Sesuai disain UU tsb, Pertamina disejajarkan dng PSC. Hampir tdk ada keistimewaan apapun
sbg penyandang gelar Badan Usaha Milik Negara.
Ya, peran Pertamina sbg "regulator" memang diambil-alih oleh BPMIGAS. Sampai disini menurut saya ndak ada masalah. BPMIGAS juga milik negara lho.
Ironinya, dulu Pertamina sbg integrated
Oil & Gas Company (explorasi, produksi, distribusi berada dlm satu atap) kini malah dipecah-
belah (unbundling), explorasi sbg bisnis unit sendiri, pengolahan sendiri dan distribusi sendiri
akibatnya, Pertamina menjadi semakin tdk efisien (baca lemah daya saingnya).
Banyak pengamat yng mencium bhw unbundling tsb jg sbg bagian dari strategi busuk
spirit "Liberalisme Ekonomi", dimana tdk menghendaki adanya monopoli Negara dlm hal
tatakelola bisnis komoditi strategis suatu bangsa. Disamping melemahkan daya saing,
strategi Unbundling jg akan memudahkan untuk diprivatisasi (baca diperjual belikan)
Adalah aneh ada Undang2 yng justru menghendaki agar Badan Usaha Milik Negara
menjadi kerdil dan terpasung di negerinya sendiri.
Sebagai insan migas negeri tercinta, saya pribadi se7 dan sangat mendukung agar
UU:22/2001 SEGERA DIBONGKAR TOTAL ….. jgn sepotong-sepotong, nanggung
Hidup MK ….. hidup KSPMI, selamatkan NKRI dari bahaya NEOLIB ::itrocks::
Setuju. UU-nya memang mesti dibongkar TOTAL jgn setengah2! Dan harus SEGERA!
:ngopi:
purba
19-11-2012, 11:56 PM
Kalo pake bahasa "awam" (common sense), menurut saya ini memang agak pelik. Karena kekayaan alam adalah milik negara (G), maka yg namanya kontrak itu ya pasti ada unsur G-nya, ndak mungkin kontraknya dibuat bussiness to bussiness (B to B) kecuali di level SUB-kontrak. Keberadaan BPMIGAS menurut saya justru bisa mensiasati persoalan ini dimana meskipun mewakili pemerintah tapi BPMIGAS sendiri adalah sebuah entitas bisnis shg kontraknya bersifat "se-olah2" menjadi B to B antara BPMIGAS dgn K3S. Dalam hal ini posisi G menjadi tidak terekspose sehingga G ndak perlu "merendahkan diri" posisinya menjadi sejajar dgn B (K3S).
Ataukah ada alternatif lain yg lebih baik? Dikembalikan ke BUMN seperti yg dulu terjadi ketika hal itu dipegang oleh Pertamina? Sami mawon! Kalo BUMN itu mewakili pemerintah ya sama aja kontraknya jadinya tetap G to B.
Nah ini ane juga pengen paham. Kalo masalahnya kontrak (punya kekuatan hukum), ya gak bisa negara terikat kontrak karena negara punya kedaulatan penuh yg tidak dibatasi oleh apapun*. Dari sudut ini ane bisa paham kalo MK membatalkan UU Migas tsb (sehingga BPMIGAS pun bubar) karena kedaulatan adalah hal esensial dari suatu negara.
*Karena kedaulatannya, Indonesia bisa saja menyerang Malaysia tanpa ada hukum yg dilanggar.
startsmart
20-11-2012, 01:05 AM
2001
- presidennya Megawati
- mentri ESDM-nya Purnomo Yusgiantoro (kini Menhan)
- meneg BUMN-nya Laksamana Sukardi
banyak hal yng konyol diperiode ini
beberapa kebijakan salah arah (baca kejeblos)
atau sengaja menjebloskan diri krn iming2 pinjaman IMF
- Beberapa BUMN diprivatisasi (baca dijual, sehingga Negara kehilangan kontrol)
- LNG Tangguh dijual dng sangat murah ke Sempra Energi, bahkan lebih murah dari
harga gas domestik, kini diupayakan re-Negosiasi yng hasilnya masih alot (gak jelas) :sad:
8 tahun lalu pernah ada yg menceritakan padaku siapa itu ginanjar kartasasmita, kunto mangkubroto..
Purnomo Sugiantoro, SBY, Kunto Mangkubroto... adalah tiga sejoli yang harus di waspadai... termasuk Budiono, Sri mulyani dan siapa ajalah pejabat yg pro liberalisme benar2 harus di waspadai... mereka agen2 asing...
3 tahun yg lalu aku tdk percaya omongan temanku bagaimana cara asing merusak perusahaan2 negara... sampai akhirnya terbongkar niatan busuk bakrie yg menyusupkan kaki tangannya di telkom hendak membuat sebuah kebijakan korup karena merencanakan membeli Esia dengan segala masalah (utang)nya sayangnya tdk jadi karena keburu terekspose..
pasingsingan
20-11-2012, 02:27 AM
Ini sebenarnya yg salah itu aturannya (UU) atau lembaga/institusi-nya (BPMIGAS) sih?
Kalau aturannya, untuk sementara saya hanya bisa komentar: berarti yg gebleg ya yg membuat/mengesahkan aturan.
Gw sependapat dng pihak2 yng menentang keberadaan UU:22/2001
menilik kronologi dan latar belakang kelahirannya disinyalir tidak beres.
ada campur tangan asing (baca IMF) dalam tahap disain-nya.
Kalau institusinya? Ya, saya setuju. Biar bagaimanapun, dan dgn berbagai alasan apapun (meskipun ini bisa kita bahas kemudian), pada intinya BPMIGAS telah gagal mengemban tugas utamanya dari negara dlm hal meningkatkan pendapatan negara melalui produksi migas. Titik.
ini dapat dimaklumi, krn BP-Migas kan bukan entity bisnis?
sehingga timbul keruwetan spt misal:
bgmn BP Migas mengelola bagian pemerintah?
tentu butuh broker kan?, wong dia bukan entity bisnis
bicara broker ostosmastis tak terlepas dari fee n insurance to?
nah, dari situlah mulai ribet urusannya (buntutnya inefisien)
Blom lagi urusan perijinan yng terkait dng explorasi lapangan baru
Jaman orba, segala *****-bengek urusan perijinan cukup melalui pertamina
kini, PSC dilepas sendiri berhadapan dng puluhan deret meja aparat birokrasi
yng panjangnya membentang dari daerah hingga pusat. Akibatnya?, muncul
sengketa n hambatan dimana-mana, lihat kasus JOB Petrochina di Tuban misalnya.
Hal semacam itulah yng menggagalkan target pencapaian lifting.
Disisi laen, bertele-telenya aneka ragam urusan n perijinan tentu akan
membengkakkan biaya operasional PSC yng ujung2nya akan dilemparkan
kedalam keranjang “cost recovery”, pada gilirannya jg akan dikembalikan
ke Pemerintah sbg penanggung biaya tsb (buntutnya inefisien)
Yg saya ndak sepakat kalo hal ini diutak-atik-gatuk dgn soal2 tudingan BPMIGAS sbg antek asing kek, mafia energi lah, sarang KKN, merongrong kekayaan negara, memberangus kemajuan (perusahaan) anak bangsa, konspirasi ini konspirasi itu, dan tudingan2 gaya hiperbola yg lain. Teori ini terlalu tinggi dan ndak terjangkau oleh akal saya yg awam.
Gw jg tidak sepaham dng subyektifitas berlebihan semacam itu
Perlu dicamkan bhw, keberadaan BP migas adalah amanah UU:22/2001
Mudah2an aja kejadian ini jgn menjadikan kembali ke aturan jaman rikiplik (Orba). Setelah sekian lama ndak pernah dengar lagi istilah raja minyak, sekarang yg sering saya denger malah istilah raja tambang (terutama batubara). Akankah muncul kembali raja2 minyak melengkapi para raja tambang yg ada di negeri ini? Akankah negeri ini dikuasai oleh sekelompok raja2 kecil yg "menjajah bangsa sendiri"? Saya ndak rela!
tidak semua UU produk orba jelek
soal istilah raja minyak bukan monopoli era orba saja di
diera reformasi jg ada raja minyak tuh, arifin panigoro misalnya
arb konon jg mulai menggeluti minyak lho ::managuetahu::
Eh..., Lapindo sekarang gimana ya kabarnya? Denger2 katanya dah mau mulai eksploitasi lagi ya? Hmmm...bener2 bangsa pemaaf. Atau pelupa
Nasionalis?
nah lo!
terakhir katanya dideclare sbg “force major”, cmiiw
klo dlm klausal kontrak umum, segala bentuk kerugian akibat force major
ditanggung oleh bohir-nya (cq Pemerintah) sesuai konsep UU:22/2001 lho ya ;)
jojox
20-11-2012, 11:26 AM
lihat stakeholder matrix lah dan mari analisa realistis aje,
"follow the money-trail", siapakah yang paling diuntungkan dengan sikon galau seperti ini?
fenomena kebijakan dan keputusan publik tidaklah akan menjadi produk harafiah sebenernya.
Selalu ada "skenario" tertentu dengan agenda yang beragam dan jauh dari roh sejatinya, jauh dari common sense.
Harga sebuah demokrasi nih, kudu kontroversi.
Gw bakalan lebih ter-heran-heran lagi kalo keputusan MK ini dianulir/dibatalkan. Itu akan memupuk persepsi kemudahan jual-beli kepentingan dan keputusan hukum. Jdi, gosip dan rumornya musti distop, konspirasi gotong-royong terus berjalan, publik tidak harus tahu semua detailnya, and thanks to MK, the buck stops here. ::ngakak2::
Selamat datang Capitalista Government 2.0 ::bye::
->Pasingsingan
Ini dapat dimaklumi, krn BP-Migas kan bukan entity bisnis?
Kita berbeda persepsi disini kang. Saya memang ndak gitu paham soal bahasa/terminologi hukum. Apakah krn bukan berbentuk Badan Usaha maka BPMIGAS ndak bisa disebut sbg entitas bisnis? Oke saya asumsikan begitu.
Konsekuensinya...
Kalo mandangnya begitu maka soal gagalnya target lifting minyak bukan hanya "dapat dimaklumi" tapi memang "HARUS dimaklumi". Tapi ini jadi aneh kalo kita lihat banyaknya orang yg tereak2 (ini fakta yg terjadi lho) menyalahkan BPMIGAS krn target pemerintah dalam lifting migas ndak terpenuhi.
sehingga timbul keruwetan spt misal:
bgmn BP Migas mengelola bagian pemerintah?
tentu butuh broker kan?, wong dia bukan entity bisnis
bicara broker ostosmastis tak terlepas dari fee n insurance to?
Ya, itu juga konsekuensi dari hal diatas. Ada plus-minusnya.
Plusnya adalah akuntabilitasnya relatif lebih terjaga. Selama 10 th keberadaan BPMIGAS saya ndak pernah denger isu yg signifikan (dari BPK maupun KPK) soal BPMIGAS nilep bagian dari pemerintah.
Ini beda dgn jaman Pertamina dulu yg banyak disinyalir sarat dgn korupsi yg mengakibatkan bagian pemerintah ndak masuk kas negara tapi ditilep oleh "oknum2" Pertamina plus jadi jarahan para politisi. Pertamina saat itu memang ibarat sapi perah yg lagi gemuk2nya.
nah, dari situlah mulai ribet urusannya (buntutnya inefisien)
Itu minusnya. Memang mau ndak mau akan ada cost tambahan. Soal efisien ato inefisien mestinya harus ada itungan2nya dgn hal diatas (mengamankan bagian pemerintah).
Blom lagi urusan perijinan yng terkait dng explorasi lapangan baru
Jaman orba, segala *****-bengek urusan perijinan cukup melalui pertamina
Disini semakin jelas perbedaan cara pandang kita. Kakang menempatkan BPMIGAS se-mata2 ndak lebih dari sebuah "lembaga birokrasi", dan menafikan unsur "(entitas) bisnis" sama sekali.
Kalo cara pandangnya begitu, menurutku, tanpa harus melihat soal konstitusional-inkonstitusionalnya UU 22/2001 pun, keberadaan BPMIGAS memang ndak perlu alias mubazir. Ngapain repot2 dibentuk pake PP segala apalagi UU khusus. Cukup dibentuk semacam unit kerja (task force) di Dirjen Migas aja buat ngurusin K2S dan berurusan dgn K3S. Ini cukup dgn KepMen, bahkan ndak perlu Permen apalagi PP.
kini, PSC dilepas sendiri berhadapan dng puluhan deret meja aparat birokrasi
yng panjangnya membentang dari daerah hingga pusat. Akibatnya?, muncul
sengketa n hambatan dimana-mana, lihat kasus JOB Petrochina di Tuban misalnya.
Eranya udah beda kang, ndak bisa dibandingin dgn dulu kayak gitu. Ato kita mau balik ke era lama dimana pusat bisa seenaknya thd daerah, misalnya, main serobot lahan orang dgn dalih untuk kepentingan negara? Dulu sih daerah cuman bisa manggut2 aja, paling2 sambil menggerutu doang. Sekarang bisa ngamuk Kang.
Eh, kayaknya disini juga ada kejanggalan. Kok kesannya jadi malah K3S (termasuk asing?) yg ngeluh dgn keberadaan BPMIGAS? Bukannya katanya mereka (K3S asing) yg justru diuntungkan dgn adanya BPMIGAS?
Hal semacam itulah yng menggagalkan target pencapaian lifting.
Weee...ntar dulu duong. Diatas kakang barusan ngomong soal eksplorasi lapangan baru, tapi skarang ujug2 langsung dikaitkan dgn soal lifting.
Memangnya udah berapa lama BPMIGAS berdiri? Berapa waktu yg dibutuhkan oleh K3S dari mulai eksplorasi, nemu cadangan, bikin rencana pengembangan, lakukan tahap pengembangan (infrastruktur), nyari pembeli, dan akhirnya melakukan lifting scr komersial? Apakah cukup 10 tahun waktu yg dibutuhkan? Ya ndak fair lah kalo dinilai dari situ.
Disisi laen, bertele-telenya aneka ragam urusan n perijinan tentu akan
membengkakkan biaya operasional PSC yng ujung2nya akan dilemparkan
kedalam keranjang “cost recovery”, pada gilirannya jg akan dikembalikan
ke Pemerintah sbg penanggung biaya tsb (buntutnya inefisien)
Apa benar itu faktor utama penyebab membengkaknya cost recovery selama ini? Menurutku bukan itu deh.
Saat ini sumur yg berproduksi itu mayoritas sumur2 tua yg udah melewati masa peak produksi. Akibatnya diperlukan upaya2 lebih untuk bisa mengangkat migas dari perut bumi. Ibaratnya, kalo dulu dgn biaya operasional sekian bisa ngangkat minyak sebanyak 1000 barel misalnya, maka saat ini (dgn kondisi sumur tua) dgn cost yg sama memang bisa mengangkat 1000 barel tapi...minyaknya cuman 200 barel, sisanya yg 800 barel adalah air/residu. Artinya untuk nyedot sejumlah minyak yg sama dibutuhkan cost yg berlipat. Oops...sori kok saya mbalah jadi ngajarin ya hehe... Kakang sbg orang lapangan pasti lebih tau lah soal enhanced oil recovery ini...
Menurutku itulah komponen utama penyebab meningkatnya cost recovery. Kalo soal "biaya siluman" terkait birokrasi sih, meskipun kalo ini ada, tapi ndak signifikan lah besarannya. Kalo terlalu mencolok bisa kena jerat KPK lho...
Lagi pula aturan cost recovery sekarang udah sangat ketat dgn munculnya PP baru dua tahun lalu. Ndak sembarangan semua cost bisa di-recovered. Ini membuat kebakaran jenggot K3S sampe2 mereka lewat asosiasi (IPA) secara resmi udah mengajukan judicial review ke MK juga lho.
So, meskipun penyimpangan soal cost recovery ini ndak mungkin nihil sama sekali, tapi setidaknya saat ini hal tsb semakin bisa dieliminir.
***
Untuk poin2 yg lain ndak perlu saya kutip supaya ndak terlalu melebar. Intinya, saya sangat2 setuju bahwa UU 22/2001 adalah sebuah produk yg "cacat secara substansial" (inkonstitusional) yg harus segera dirombak total. Soal siapanya bagi saya ndak terlalu penting. Jangankan IMF, ibaratnya seandainya itu bikinan "setan gundul" pun ndak akan saya persoalkan sepanjang substansinya bener. :mrgreen:
:ngopi:
pasingsingan
20-11-2012, 05:02 PM
3. Kenapa dibubarin?
Ya karena spiritnya bertentangan dng undang2 diatasnya (UUD 45)
yakni, sesuai amanah pasal: 33/UUD 45, Negara punya kuasa penuh
sbg pemilik sekaligus pengatur dan penyelenggaraan bisnis migas secara hakiki.
Kenapa yg dipersoalkan hanya pasal2 yg menyangkut industri hulu bahkan sangat spesifik menyangkut eksistensi BPMIGAS tok?
Krn yng dikabulkan MK hanya sebagian pasal, sebagian lainnya tidak/belom
Pdhl keinginan pemohon adlh UU:22/2001 dicabut/dibatalkan secara keseluruhan.
Kan udah ada DMO (domestic market obligation) kang? Dan ini setahuku, CMIIW, bahkan diatur khusus dalam PP (?) tersendiri lho soal DMO ini. Jumlahnya 25% dan harganya diatur oleh pemerintah.
Betul ada DMO
tapi soal harga kan diserahkan mekanisme pasar?
a.k.a persaingan usaha yng sehat , itulah bahasa indahnya dlm UU:22/2001
Memang dalam pelaksanaan katanya hal ini (DMO 25%) ndak berjalan mulus. Ya tinggal dibenahi aja pelaksanaannya. Ato kalau memang angka 25% dianggap kurang ya perlu direnegosiasikan untuk dinaikkan.
Persoalannya bukan terletak pada 25% atau 50%-nya
Tapi ketika daya beli gas domestik masih dikisaran 3-5 USD/mmbtu
sedangkan dipasar internasional sudah dilevel 9-12 USD/mmbtu
Ya forget it lah urusan kebutuhan gas domestic, even PLN dah sesak napas
sang PSC tentu lebih bernafsu menjual keluar to?, itulah hukum dagang di
Lalu dimana kedaulatan/kemandirian negara dibidang energy klo sudah begitu?
Btw kalo soal PLN bukannya karena lebih ke persoalan distribusinya aja Kang? Dan setahu saya kalo soal ini udah masuk wilayah hilir (BPH MIGAS). CMIIW.
betul,
sy jg heran, klo BP Migasnya dah dideclare illegal
knp BPH-nya blom dibredel jg yak, pdhl kan satu paket tuh?
Dampak dari UU:22/2001 secara sengaja jg mengkerdilkan peran BUMN (baca pertamina)
Sesuai disain UU tsb, Pertamina disejajarkan dng PSC. Hampir tdk ada keistimewaan apapun
sbg penyandang gelar Badan Usaha Milik Negara.
Ya, peran Pertamina sbg "regulator" memang diambil-alih oleh BPMIGAS. Sampai disini menurut saya ndak ada masalah. BPMIGAS juga milik negara lho.
Betul,
keduanya emang bertindak on behalf of state
bedanya, BP Migas bukanlah entitas bisnis (B)
sehingga memiliki bbrp kelemahan spt yng sy ilustrasikan diposting terdahulu.
Nah ini ane juga pengen paham. Kalo masalahnya kontrak (punya kekuatan hukum), ya gak bisa negara terikat kontrak karena negara punya kedaulatan penuh yg tidak dibatasi oleh apapun*. Dari sudut ini ane bisa paham kalo MK membatalkan UU Migas tsb (sehingga BPMIGAS pun bubar) karena kedaulatan adalah hal esensial dari suatu negara.
Itulah intinya pur
Even Pemerintah dah ambil alih peran regulator, yng tadinya sesuai UU: 8/1971
dikuasakan ke Pertamina, kemudian sesuai UU: 22/2001 diberikan kpd BP Migas
Justru disitulah pangkal tolak perubahan skema bisnis dari B to B menjadi G to B,
pdhal skema model G to B dah banyak ditinggalkan oleh negara2 penghasil migas
mengingat posisi Negara rawan gugat/tergadai. Eh, diera reformasi kok malah kita pakai?
Keunggulan pola B to B, dimana jika terjadi sengketa perdata
taroklah spt pertamina misalnya, jika sampai kalah berperkara
lantaran ketololannya dlm menjalankan bisnis, maka maseh punya
deviden atau asset untuk dijadikan jaminan. Sehingga muka Negara
atau kedaulatannya tidak terusik. LAH klo BP Migas yng kalah berperkara?
emangnya BP Migas badan usaha?
Ingat kasus teluk Mexico?
akibat sumur minyak blow out, BP (British Petroleum) dituntut ganti rugi atas
pencemaran teluk mexico melalui Mahkamah Internasional, ujungnya BP harus
rela menguras koceknya kl 30jt pound, cmiiw. Tapi, yng dituntut kan bukan
pemerintah Inggrisnya?
Sebagai pengganti fungsi BP Migas pasca dibubarkan oleh MK
badan/entitas spt apa yak yng sekiranya tdk bertentangan dng UUD45?
Terkait dng hiruk-pikuk tsb, muncul wacana yng sungguh menggelikan.
Bgmn klo dibentuk badan usaha baru, yng jelas jgn dikembalikan
ke pertamina katanya. Maksudnya mau bikin pertamina-II yak pak?
Lalu apa bedanya .......... *&@$%*??? :gebuk:
Oke, lupakan soal alm BPMIGAS dan mari kita melihat ke depan... ::bye::
Yup, saya setuju kalo fungsi itu dikembalikan ke Pertamina. Ndak perlu membuat BUMN baru krn itu justru ndak efisien dan malah2 bisa mengesankan bahkan beneran menimbulkan persaingan ndak sehat antar kedua institusi tsb nantinya.
:ngopi:
danalingga
20-11-2012, 07:31 PM
Setuju kembalikan ke Pertamina.
Itulah yang membuat besar Petronas (denger2 sih).
pasingsingan
20-11-2012, 09:42 PM
Ini beda dgn jaman Pertamina dulu yg banyak disinyalir sarat dgn korupsi yg mengakibatkan
bagian pemerintah ndak masuk kas negara tapi ditilep oleh "oknum2" Pertamina plus jadi jarahan para politisi.
Pertamina saat itu memang ibarat sapi perah yg lagi gemuk2nya.
disamping gemuk susunya jg bancar banget, siapa yng gak pengen glendotan coba?
ibarat lumbung padi, pertamina era orba memang banyak tikusnya, sehingga
perannya sbg PSO pun (Public Service Obligation) juga mengecewakan
nah, untuk mengamankannya, semestinya ya tikusnya saja yng dibasmi
bukan lumbungnya yng dibakar…… jian koplak tenan ::takmungkin::
Untuk poin2 yg lain ndak perlu saya kutip supaya ndak terlalu melebar. Intinya, saya sangat2 setuju
bahwa UU 22/2001 adalah sebuah produk yg "cacat secara substansial" (inkonstitusional) yg harus segera
dirombak total. Soal siapanya bagi saya ndak terlalu penting. Jangankan IMF, ibaratnya seandainya itu
bikinan "setan gundul" pun ndak akan saya persoalkan sepanjang substansinya bener.
meski setan gundulnya minta sarat, agar tiap malam jum’at kliwon tuan rumah
harus menyediakan kembang 7 rupa dan ayam hitam cemani 7 ekor, dengan dalih
supaya iklim investasi menggairahkan bangsa gendruwo, thetek’an, ilu2, banaspati? :-?
Setuju kembalikan ke Pertamina
tetapi harus transparan dan dng kontrol yng ketat, serta
jgn biarkan pertamina salah kelola n jadi perahan regim lagi.
Itulah yang membuat besar Petronas (denger2 sih).
yup, bentul
di era 80-an engineer2 Petronas (kini dah pada jadi key person) mengikuti
pelatihan n magang di pertamina, dan sangat boleh jadi mereka mengcopas
blue print (baca prinsip2 pengembangan) bisnis pertamina.
Kini, petronas lebih bersinar dibanding gurunya, dan bahkan sudah berani
kurang ajar mendirikan SPBU dihalaman rumah gurunya ….. tanya kenapa? #-o
danalingga
20-11-2012, 10:02 PM
tetapi harus transparan dan dng kontrol yng ketat, serta
jgn biarkan pertamina salah kelola n jadi perahan regim lagi.
Yup tentu saja mbah.
Dan pimpinan pertamina sekarang (mbak karen)
sepertinya cukup terpercaya dan mumpuni.
Ya mudah2an aja setelah 10 tahun "disapih" itu justru bisa jadi pengalaman berharga bagi Pertamina untuk bisa lebih tangguh di masa mendatang...
disamping gemuk susunya jg bancar banget, siapa yng gak pengen glendotan coba?
ibarat lumbung padi, pertamina era orba memang banyak tikusnya, sehingga
perannya sbg PSO pun (Public Service Obligation) juga mengecewakan
nah, untuk mengamankannya, semestinya ya tikusnya saja yng dibasmi
bukan lumbungnya yng dibakar…… jian koplak tenan ::takmungkin::Wacana plus guyonan seperti itu memang pernah marak pada saat itu. Membasmi tikusnya memang pilihan yg paling tepat dibandingkan pilihan konyol dgn membakar lumbungnya, tapi masalahe...: Lha tikuse waktu itu sekti2 je Kang?!
Akhirnya yg dibasmi cuman tikus2 pithinya, sedangkan tikus2 wiroknya dipisahkan dibuatin "kandang" tersendiri dibiarin toh ntar lama2 juga mati sendiri...
Itu "rumor" salah satu alasan unbundling yg dilakukan thd Pertamina waktu itu.
meski setan gundulnya minta sarat, agar tiap malam jum’at kliwon tuan rumah
harus menyediakan kembang 7 rupa dan ayam hitam cemani 7 ekor, dengan dalih
supaya iklim investasi menggairahkan bangsa gendruwo, thetek’an, ilu2, banaspati? :-?
Ya kalo mereka beneran dateng kan lumayan bisa dingu buat nyari pesugihan... :mrgreen:
:ngopi:
pasingsingan
21-11-2012, 03:06 PM
disamping gemuk susunya jg bancar banget, siapa yng gak pengen glendotan coba?
ibarat lumbung padi, pertamina era orba memang banyak tikusnya, sehingga
perannya sbg PSO pun (Public Service Obligation) juga mengecewakan
nah, untuk mengamankannya, semestinya ya tikusnya saja yng dibasmi
bukan lumbungnya yng dibakar…… jian koplak tenan
Wacana plus guyonan seperti itu memang pernah marak pada saat itu. Membasmi tikusnya memang pilihan yg paling tepat dibandingkan pilihan konyol dgn membakar lumbungnya, tapi masalahe...: Lha tikuse waktu itu sekti2 je Kang?!
Boleh jadi saat itu ya begitu kondisinya (baca serba tdk berdaya).
Tapi sbg entitas bisnis (badan usaha) itu kan bukan maunya pertamina?
maunya pertamina seh, sbg National Oil Company ya sehat n terus berkembang
sehingga dapat menjadi andalan n kebanggaan anak bangsa.
Akhirnya yg dibasmi cuman tikus2 pithinya, sedangkan tikus2 wiroknya dipisahkan dibuatin "kandang" tersendiri dibiarin toh ntar lama2 juga mati sendiri...
Itu "rumor" salah satu alasan unbundling yg dilakukan thd Pertamina waktu itu.
Betul,
krn saat itu blom ada alat penjerat/obat tikus merek KPK
coba sekarang?, impor minyak mentah satu gendul aja
bejibun yng sorotin.
Soal pertamina dipreteli (unbundling), itu jg dampak dari UU:22/2001
dng dalih “persaingan usaha yng sehat dan berkeadilan”, maka
pertamina yng tadinya solid (terintegrasi dari hulu hingga hilir)
harus dipecah-belah, agar mudah dikontrol n efisien katanya.
Pdhl dibalik itu justru melemahkan pertamina, krn dengan begitu
menjadi mudah diprivatisasi atau diakuisisi.
Apalagi yng tersisa dinegeri ini klo SDA-nya dah banyak tergadai,
BUMN-nya dah banyak yng terjual?
Iblis jajalanat ...... NEOLIB :gebuk:
Betul,
krn saat itu blom ada alat penjerat/obat tikus merek KPK
coba sekarang?, impor minyak mentah satu gendul aja
bejibun yng sorotin.
Dulu sih rumornya dikandanginnya di PEP, sedangkan yg dianggap masih "bersih" ditaruhnya di PHE. Ya mudah2an aja, kalo rumor itu bener, PEP sekarang sudah mulai bersih dari mereka.
Trus kalo bener nanti dikembalikan ke Pertamina kira2 mau dicantolin kemana yak? Kebanyakan pendapat sih mengusulkannya ke PHE aja. Tapi saya kok agak kurang sreg ya, apa ndak akan muncul konflik kepentingan tuh soale PHE kan yg lebih banyak keluar berhubungan dgn (kontraktor) asing...
Soal pertamina dipreteli (unbundling), itu jg dampak dari UU:22/2001
dng dalih “persaingan usaha yng sehat dan berkeadilan”, maka
pertamina yng tadinya solid (terintegrasi dari hulu hingga hilir)
harus dipecah-belah, agar mudah dikontrol n efisien katanya.
Pdhl dibalik itu justru melemahkan pertamina, krn dengan begitu
menjadi mudah diprivatisasi atau diakuisisi.
Apalagi yng tersisa dinegeri ini klo SDA-nya dah banyak tergadai,
BUMN-nya dah banyak yng terjual?
Ya itu memang udah sotomatis dgn adanya dua badan pengelola (BP n BPH). Untuk kedepannya tinggal pinter2nya Pertamina aja mengintegrasikan kedua sektor tsb.
Dari sini saya malah mikir apa ndak sebaiknya fungsi regulator itu dicantolinnya ke induk Pertaminanya aja. Secara fungsional sih bisa aja itu nanti dipecah jadi dua (hulu dan hilir) asal yg terpenting secara struktural harus masih satu atap untuk memudahkan koordinasi dan integrasi kedua sektor tsb.
Iblis jajalanat ...... NEOLIB :gebuk:
Kalo itu termasuk jenis "setan impor" yak? ::toeng2::
***
Eh ini dah OOT ndak ya? Ntar mbalah keno semprit ciloko aku...::elaugh::
:ngopi:
DPR Tetap Pertahankan Sistem ala BP Migas di RUU Migas
Vicky Anggriawan
27 Nov 2012 12:55:47
Jakarta, Aktual.co — Dalam Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas), DPR RI akan tetap pertahankan sistem Badan Hukum Pelaksana yang mengurusi kegiatan Hulu Migas seperti sistem BP Migas.
Hal tersebut dikatakan oleh Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Heru Nuryanto saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Erman Rajagukguk, Jakarta, Selasa (27/11).
"Kita sejalan dengan gagasan Profesor Erman, jadi kalau UU Migas nanti di-judicial review lagi yah silakan, tapi hak kita sebagai DPR RI untuk membuat UU," terang Bambang Heru di Gedung DPR RI.
Menurutnya, dengan sistem BP Migas seperti dalam UU Migas No 22 tahun 2001 akan lebih mengamankan aset-aset negara. Pasalnya jika terjadi dispute dengan KKKS dengan tuntutan di Mahkamah Arbritase, maka aset negara tak akan bisa disita.
"Namun jika Badan tersebut berada di birokrasi, maka aset negara dapat disita oleh asing jika terjadi dispute," tutupnya.
Sementara itu ditempat yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Fachri Hamzah, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan BP Migas adalah keputusan genit, pasalnya MK dalam keputusanya selalu mengikuti keinginan masyarakat.
"Ketuanya kan ingin mencalonkan diri sebagai Presiden, jelas keputusan-keputusanya mengikuti keinginan masyarakat," imbuh Fachri.
DPR gemblung! ::doh::
:ngopi:
jojox
29-11-2012, 03:30 PM
hehehe... fight another day lah, kalao kate Bapak Gangsta Dunia:
"War comes and goes, but my soldier stays e t e r n a l " - TUPAC
Sementara Bapak Neolib Endonesiah Boediono pun mulai kasih warning:
Economy harmed by politics: VP
Linda Yulisman, The Jakarta Post, Jakarta | Headlines | Thu, November 29 2012, 10:58 AM
Vice President Boediono warned on Wednesday of the “unproductive political processes” that may deter the government from introducing necessary policies to cushion the nation from global economic uncertainties. Boediono said Indonesia should remain alert and be prepared for the worst by retaining its political and economic stability.
Tpi aslinya, seseorang harus meragukan statement dari anggota DPR itu merepresentasikan keputusan/perspektif dari Komisi.
Dan, masih banyak prosesnya sampai Agenda Paripurna. :ngopi:
cha_n
29-11-2012, 03:51 PM
gemblung... tapi aku pikir dpr bertahan dengan uu lama soalnya otaknya ga pada nyampe buat uu baru yang bener
Ternyata ndak salah kalo di posting pertama saya langsung bilang "...berari yg gebleg ya yg membuat/mengesahkan aturan..."
Meskipun sebenarnya bagi saya ndak penting2 amat dgn persoalan SIAPA-nya... MK kek, DPR lah, Pakar Hukum, Mahfud, Bambang Heru, Erman Rajagukguk, Budiono, Gangsta, Neolib, setan gundul setan gondrong,...HIV! Hemang Inyong Vikirin! ;D
Bagi saya yg terpenting adalah: SUBSTANSI-nya.
DPR Tetap Pertahankan Sistem ala BP Migas di RUU Migas
Vicky Anggriawan
27 Nov 2012 12:55:47
Jakarta, Aktual.co — Dalam Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas), DPR RI akan tetap pertahankan sistem Badan Hukum Pelaksana yang mengurusi kegiatan Hulu Migas seperti sistem BP Migas.
Hal tersebut dikatakan oleh Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Heru Nuryanto saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Erman Rajagukguk, Jakarta, Selasa (27/11).
"Kita sejalan dengan gagasan Profesor Erman, jadi kalau UU Migas nanti di-judicial review lagi yah silakan, tapi hak kita sebagai DPR RI untuk membuat UU," terang Bambang Heru di Gedung DPR RI.
Menurutnya, dengan sistem BP Migas seperti dalam UU Migas No 22 tahun 2001 akan lebih mengamankan aset-aset negara. Pasalnya jika terjadi dispute dengan KKKS dengan tuntutan di Mahkamah Arbritase, maka aset negara tak akan bisa disita.
Ya udah tinggal kumpulin aja semua yg merasa pakar2 hukum, ahli tata negara, nasionalis, neoliberalis,...asal jgn para oportunis aja,...lalu sama2 duduk bareng (sambil berantem tonjok2an juga boleh kok!) menggodok RUU Migas yg baru. Gitu aja ribet! ::doh::
Saya sih cuman mau ikutan duduk2 nunggu...OUTPUT-nya.
"Namun jika Badan tersebut berada di birokrasi, maka aset negara dapat disita oleh asing jika terjadi dispute," tutupnya.
Lha yg ngusulin Badan tsb berada di birokrasi itu emangnya sapa? Sapi?! ::hihi::
Sementara itu ditempat yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Fachri Hamzah, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan BP Migas adalah keputusan genit, pasalnya MK dalam keputusanya selalu mengikuti keinginan masyarakat.
"Ketuanya kan ingin mencalonkan diri sebagai Presiden, jelas keputusan-keputusanya mengikuti keinginan masyarakat," imbuh Fachri.
Haiyah komen apaan lagi neh... Emangnya komentar sampeyan (Fachri) itu ndak genit pakde?! ::arg!::
Sebelll...! ;D
***
Anyway...
Menurutku fungsi dan keberadaan badan/lembaga regulator tetap diperlukan, entah apa bentuk dan namanya nanti. Tapi jgn berada di birokrasi (Dirjen Migas misalnya) krn itu justru semakin mengekspose posisi G didalam kontrak (K2S) dimana Dirjen Migas merupakan Aparat Negara. Lha kalo berbentuk Badan Hukum (BPMIGAS) aja dianggap bermasalah apalagi kalo selaku Aparat Negara (Dirjen)... ::doh::
Dan kalo memang nanti diputuskan harus dibawah BUMN menurutku sebaiknya dicantolin aja ke Pertamina ndak usah bikin BUMN baru. Saya sebenarnya ndak menabukan adanya lebih dari satu BUMN dlm industri yg sama dlm hal ini migas. Tapi mendirikan BUMN baru hanya sekedar untuk menampung Badan tsb menurut saya itu tindakan "maksa dan konyol". Saya ndak setuju hal2 yg hanya bersifat ad-hoc n terkesan tambal sulam.
Yang terpenting, harus dibuat garis pemisah yg tegas antara peran pemain dgn peran regulator. Ide bodoh2annya (common sense), misalnya, Badan tsb jangan sampai "diumpetin di ketiak" (baca: dijadikan satu secara fisik dgn berkantor di kantor pusat) Pertamina, tapi mesti memiliki gedung kantor sendiri misalnya. Selain menyangkut persoalan birokrasi bagi pelaku industri (K3S), ini juga menyangkut akuntabilitas publik dimana akan memudahkan pengawasan oleh komponen2 bangsa,...BPK, KPK, DPR, aparat hukum, pers, bahkan masyarakat luas bisa sama2 bareng2 pelototin tuh kinerja Badan tsb.
:ngopi:
nerve_gas
05-12-2012, 09:54 PM
Oke, lupakan soal alm BPMIGAS dan mari kita melihat ke depan... ::bye::
Yup, saya setuju kalo fungsi itu dikembalikan ke Pertamina. Ndak perlu membuat BUMN baru krn itu justru ndak efisien dan malah2 bisa mengesankan bahkan beneran menimbulkan persaingan ndak sehat antar kedua institusi tsb nantinya.
:ngopi:
maksudnya kaya BPPKA jaman dulu?
apa gak aneh tuh? wasit merangkap sebagai pemain?
Setuju kembalikan ke Pertamina.
Itulah yang membuat besar Petronas (denger2 sih).
pasingsingan
06-12-2012, 07:49 AM
@234:
anggota dewan sekarang ini (khususnya komisi-VII)
banyak yng gak kapabel dibidang MIGAS
LAH, ketuanya aja Sutan Batuganal ::doh::
pernah ada isu miring dari sohib yng kerja di TOTAL
saat si Sutan berkunjung ke eropa (prancis)
eh, dia mampir ke kantor TOTAL
ujung2nya minta tambahan sangu katanya
sungguh memalukan anak bangsa.
tampang preman, mental pengemis kok bisa jd anggota dewan :gebuk:
maksudnya kaya BPPKA jaman dulu?
Ya, dgn catatan2. Kayaknya posting saya sebelum ini (ada dalam tiga paragraf terakhir) secara umum sudah cukup menjelaskan. Dasar pemikirannya ada disitu.
Atau ada alternatif lain yg lebih baik? Adakah alternatif lain selain berbentuk/dibawah BUMN? Silahkan para pakar2 hukum tata negara duduk bareng menggodok hal tsb. Saya sih hanya coba soroti secara pragmatis dan logisnya aja.
apa gak aneh tuh? wasit merangkap sebagai pemain?
Ya. Dan Petronas juga melakukan "keanehan" spt itu. Dan anehnya, Petronas nyontek dari Pertamina. Lebih anehnya lagi, Petronas (dinilai) berhasil.
Lalu apakah kita harus gantian ikuti sistem yg dipakai Petronas? Menurutku tidak harus, tapi juga tidak tabu.
Ini soal sikon dan timing aja. Untuk kedepannya menurut saya ndak ada salahnya kalo nanti ada lebih dari satu BUMN dlm industri migas. China, contohnya, dinilai berhasil dgn Petrochina dan CNOOC-nya, demikian juga dgn India, dll.
Sekali lagi, itu tidak harus tapi juga bukan berarti hal yg tabu. Ini yg mestinya udah dipikirkan jauh kedepannya oleh "bapak2 yg terhormat di Senayan", jgn cuman dgn keputusan2 ad-hoc sekedar menggenapi masa kerja 5th mereka aja ato ngincer kursi 5th berikutnya.
***
-> Pasingsingan
Ndak usah jauh2 lah kang, lihat aja omongan Bambang Harun yg ini...:
Menurutnya, dengan sistem BP Migas seperti dalam UU Migas No 22 tahun 2001 akan lebih mengamankan aset-aset negara. Pasalnya jika terjadi dispute dengan KKKS dengan tuntutan di Mahkamah Arbritase, maka aset negara tak akan bisa disita.
"Namun jika Badan tersebut berada di birokrasi, maka aset negara dapat disita oleh asing jika terjadi dispute," tutupnya.
Ini terlepas dari pro-kontra pembubaran BPMIGAS dan saya pribadipun masih melihat adanya celah (loopholes) dlm Keputusan MK kemarin, tapi menurutku komentar Bambang tsb justru menunjukkan ya segitulah kira2 kapabilitas dari anggota Komisi VII secara umum.
Lhah baru sekali ketemu dengar pendapat dgn satu profesor (Erman Rajagukguk) aja langsung keluar komentar kayak yak2o begitu. Itu kan menunjukkan si Bambang itu ndak paham substansi (boro2 esensi) dari keputusan MK kemarin. Joko Sembung nguntal golok! ::arg!::
Bahkan aku ndak yakin komentarnya itu bersumber dari pernyataan Erman, setidaknya dgn melihat kapasitas Erman sbg seorang profesor hukum. Jgn2 si Bambang gemblung itu mbalah tidur pas acara dengar pendapat, ato kalo melek pun sambil mainan gadget liat gbr bokep. ;D
:ngopi:
jojox
06-12-2012, 02:15 PM
Setuju itu, BPMIGAS fungsi-nya WASIT dan bukan PEMAIN.
Fenomena alih fungsi, inkoherensi, overlapping, dan redundansi di birokrat itu problem2 klasik reformasi administrasi yang saya lihat di banyak tempat, pusat maupun daerah, bidang2 tertentu dan strategis gak cuman terkait energi&SDA. Kl secara kebijakan, itu menuntut banyak unit khusus menangani issue dan permasalahan spesifik maupun cross-cutting. Makanya, birokrat strukturnya jadi gembrot. Tpi dari sisi good governance dan efisiensi, idealnya, seperti KEMEN PAN gemborkan, tubuh birokrat tuh kudu yang ramping, atletis, tangguh dan bergairah. Yes, we have an obese bureaucracy. ::ngakak2::
Pernah berkali-kali, menjumpai SKPD bentuknya Badan kebijakan yang menyalurkan bantuan sosial. Harusnya itu kerjaan dan wewenang dinas teknis. Hal2 kek gini lah yang sarat kepentingan egosektoral. Diundang rapat aja jarang datang, atau disposisi org yang blas gak kompeten. Masih mending itu dilaporkan ke atasan, kalau ndak, ntar diundang rapat lagi, dijamin sering blank/roaming. ::doh:: Ini realitanya.
So, memang industri kebijakan publik itu proses panjang, harganya mahal, dan belum tentu sukses tepat sasaran, dibuat sengaja ada loopholes dan gap di pelaksanaannya nanti. Disitulah, kesempatan untuk bermanuver swasta dan pemain kunci lainnya.
Iya, masalahe wasite itu mau ditaroh dimana? Kemarin ditaroh sebagai Badan Hukum (BPMIGAS) dianggap inkonstitusional, sekarang mau ditemplokin ke Badan Usaha (Pertamina) dianggap membuka peluang main curang...
Atau mau ditaroh langsung di lembaga birokrat (langsung di Kementrian ESDM ato melalui Dirjen Migas) aja? Menurutku ini justru akan membuka peluang untuk diporotin oleh birokrat2 itu sendiri termasuk birokrat2 diatasnya, bahkan malah birokrat2 dibawahnya (daerah). Apalagi dgn kondisi birokrasi kita yg masih gembrot2 itu, plus predikat sebagai salah satu negara terkorup, jgn harap lagi ada yg namanya transparansi.
Dan yg terpenting lagi sih asal jgn sampe "Presiden FIFA turun ke lapangan jadi wasit" kayak kasus Freeport dimana kontraknya langsung ditandatangani oleh presiden. Jadinya ya pantes aja Freeport ngelunjak lha wong CEO-nya aja sejajar dgn Presiden NKRI. Udah kayak VOC aja tuh. ::toeng2::
***
Anyway...
Pe-er DPR (baca: Legislator) dalam RUU Migas yg baru itu mestinya banyak banget bukan cuman berkutat di persoalan BPMIGAS (baca: industri hulu). Bahkan yg banyak dirasakan dampaknya langsung ke masyarakat luas krn terkait dgn persoalan PSO (public service obligation) itu banyak terdapat di kebijakan2 yg menyangkut industri hilir,...subsidi BBM, kelangkaan BBM, jaringan distribusi yg amburadul, infrastruktur jaringan pipa, bahkan sampe persoalan2 sepele seperti meledaknya tabung gas LPG rumahan yg sempet heboh beberapa waktu lalu..., dll dsb.
Ini yg saya sayangkan kenapa justru kemarin ndak banyak disentuh oleh MK. Tapi setidaknya itu sebagai sebuah trigger okelah, asal segera ditindaklanjuti ndak cuman setengah2.
:ngopi:
nerve_gas
08-12-2012, 01:13 AM
soal pembentukan BUMN baru atau lembaga baru yang mengatur soal kegiatan hulu migas menurut saya justru aneh.
putusan MK jelas2 menyatakan, konstruksi hukum yang lahir ketika BP Migas masuk ke dalam kontrak dengan pengusaha migas, telah mendegradasi peran negara dalam penguasaan SDA.
Lah, kalau nanti dibentuk lembaga baru, yang tidak berada di bawah Kementerian ESDM, jadinya balik lagi ke konsep awal BP Migas yang "terpisah" dari negara.
Lagipula, peran negara dalam BP Migas kurang kental apa sih? Kepala BP Migas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dengan memerhatikan usul dari DPR. Dengan ketentuan seperti ini, jelas sekali bahwa peran negara di BP Migas itu sangat besar.
Oke, kita asumsikan kesepakatan kita bahwa harus ada lembaga baru. Bentuknya ini juga akan menjadi masalah tersendiri.
Kalau mau dibentuk sebagai BUMN, maka bentuk yang tersedia ada tiga: perum, persero (perseroan terbatas), dan persero terbuka (lihat UU 19/2003 tentang BUMN).
PERUM
Kalau dengan bentuk Perum, maka keluhan minimnya pengawasan di BP Migas--yang akan berujung pada potensi kerugian negara--jelas akan muncul.
Sebabnya, perum itu tidak memiliki dewan komisaris yang berfungsi mengawasi direksi (single board). Kalau begini, apa bedanya dengan BP Migas? Perum tidak terbagi atas saham (pasal 1 (4), UU BUMN), BP Migas juga tidak (statusnya BHMN).
PERSERO
Kalau memilih bentuk persero, pertimbangan MK tentang hilangnya peran negara dalam penguasaan SDA, ya pasti nongol lagi.
Persero, yang berbentuk perseroan terbatas, memiliki tujuan utama untuk mengejar keuntungan. Keuntungan ini tentunya untuk si Persero itu sendiri. Lalu, mana unsur pelayanan kepada masyarakatnya? kan ceritanya, pengelolaan SDA itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu, pendirian persero akan tunduk pada ketentuan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (lihat pasal 11 UU BUMN).
Nah, perseroan terbatas itu sendiri, didirikan atas prinsip limited liability; dalam artian ada pemisahan kekayaan antara si pendiri dengan perusahaan (sama halnya dengan badan hukum lain: yayasan dan koperasi).
Dengan adanya prinsip ini, kewenangan pengurusan perusahaan ada di tangan direksi. Lah, seandainya pengganti BP Migas diganti dengan BUMN berbentuk PT, mana ada lagi kewenangan negara di sini. Trus amanat MK gimana? (ini bakal kena kalau kewenangan BP Migas balik lagi ke Pertamina).
PERSERO TERBUKA
Kalau memilih bentuk persero terbuka, ini lebih aneh lagi statusnya. Persero terbuka bakal listing di bursa efek. Nasibnya ada di tangan spekulan dan pialang saham. Penguasaan negara? hilang blassss.
Jadi, kalau mau menghindari degradasi peran negara dalam penguasaan migas, ya mending bentuknya sekarang di bawah Kementerian ESDM.
-> Nerve_gas
Bisa2 saya jadinya malah mempertanyakan/memprotes putusan MK yg kemarin nih... Kenapa BPMIGAS dibubarkan? Apa yg dipakai dasar oleh MK? Dst... ::doh::
Ada dua alasan kenapa di topik ini dari awal saya ndak terlalu mempermasalahkan putusan MK tsb meskipun, saya pernah nyatakan sebelumnya, saya masih bisa nyari loopholes dlm putusan tsb.
Pertama, nasi udah menjadi bubur. Putusan MK adalah bersifat mutlak dan mengikat. Ini sudah tidak dapat diganggu gugat.
Alasan kedua, menurutku UU 22/2001 lah yg menjadi pokok permasalahan untuk segera direvisi scr menyeluruh. Ini isu lama yg bahkan sudah mengkristal pada th 2009 (silahkan cek kembali isu kampanye Pilpres pada th tsb) yg dipicu oleh kasus ribut2 blok Cepu akibat produksi yg sempat ter-tunda2 di thn sebelumnya. Tapi entah kenapa isu revisi UU Migas ini seolah menguap begitu saja. So, putusan MK bisa dijadikan momentum untuk segera merombak UU Migas yg banyak disinyalir "sarat oleh kepentingan asing" tsb.
Oke kembali ke postingan anda...
soal pembentukan BUMN baru atau lembaga baru yang mengatur soal kegiatan hulu migas menurut saya justru aneh.
Setuju. Setidaknya, ini bukan saat yg tepat untuk kondisi sekarang ini.
Disamping bisa mempengaruhi/menggangu kinerja BUMN yg sudah ada (Pertamina) yg saat ini saya nilai sedang dalam kondisi relatif bagus/solid (di industri hulu khususnya), itu (pembentukan BUMN baru) juga bisa terganjal oleh aturan perundangan yg ada, baik itu UU yg mengatur Perusahaan secara umum maupun UU ttg BUMN khususnya.
putusan MK jelas2 menyatakan, konstruksi hukum yang lahir ketika BP Migas masuk ke dalam kontrak dengan pengusaha migas, telah mendegradasi peran negara dalam penguasaan SDA.
Tidak setuju. (Duh bener kan saya jadinya mbalah mempermasalahkan putusan MK.)
Silahkan anda cek lagi ttg skema kontrak dlm migas, dari mulai penentukan wilayah kerja, skema joint study, joint evaluation, pengumuman tender (regular maupun direct offering) sampai penentuan/pengumuman pemenang tender yg ditunjuk sbg pemegang PSC. (Maaf saya ndak bisa tuliskan link terkait krn postingan saya masih dibawah 200).
Semua hal tsb, secara struktur legal formal, SEPENUHNYA ada di tangan Dirjen Migas, bukan BPMIGAS. Meskipun tentu saja, secara fungsional, Dirjen ndak akan mengabaikan begitu saja kalo ada masukan2 dari BPMIGAS.
Tugas/kewenangan BPMIGAS adalah (on behalf of government) menandatangani kontrak (K2S atau PSC) yg sudah ditetapkan oleh Dirjen Migas tsb. Bahkan, setiap terjadi amandemen kontrak harus melalui persetujuan Dirjen. Bahkan lagi, untuk memulai produksi awal dr sebuah lapangan migas (disebut PoD I) harus melalui persetujuan dan ditandatangani langsung oleh Menteri.
Lalu di bagian mananya hal itu "...telah mendegradasi peran negara dalam penguasaan SDA..."? Apa/dimana salahnya (keberadaan) BPMIGAS?
Lah, kalau nanti dibentuk lembaga baru, yang tidak berada di bawah Kementerian ESDM, jadinya balik lagi ke konsep awal BP Migas yang "terpisah" dari negara.
Sebagai sebuah lembaga/institusi, BPMIGAS sudah berada dibawah Kementerian ESDM cq Dirjen Migas.
Memang, BPMIGAS tidak dibentuk melalui PerMen (Peraturan Menteri) ataupun KepMen (Keputusan Menteri) tetapi justru langsung dibentuk oleh pemerintah melalui PP (Peraturan Pemerintah).
Lalu bagaimana itu bisa disebut "terpisah" dari negara/pemerintah?
Lagipula, peran negara dalam BP Migas kurang kental apa sih? Kepala BP Migas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dengan memerhatikan usul dari DPR. Dengan ketentuan seperti ini, jelas sekali bahwa peran negara di BP Migas itu sangat besar.
Betul. Tapi? Bukannya ini justru kontradiktif dgn dua pernyataan sebelumnya ("terpisah dari negara" dan "mendegradasi peran negara dalam penguasaan SDA")?!
Oke, kita asumsikan kesepakatan kita bahwa harus ada lembaga baru. Bentuknya ini juga akan menjadi masalah tersendiri.
Kalau mau dibentuk sebagai BUMN, maka bentuk yang tersedia ada tiga: perum, persero (perseroan terbatas), dan persero terbuka (lihat UU 19/2003 tentang BUMN).
Setuju. Ini memang masalah pelik (ini sudah pernah saya nyatakan di salah satu posting awal di hal depan).
Bahkan SEANDAINYA mau dibalikin ke Pertamina pun ini tetap akan menyisakan masalah krn Pertamina pun sekarang harus tunduk dgn UU ttg BUMN tsb. Ini beda dgn status Pertamina jaman dulu yg diatur dlm UU khusus (UU 8/1971) tanpa harus tunduk dgn UU ttg "BUMN" yg berlaku pada waktu itu (UU 9/ 1969 ttg Bentuk-Bentuk Perusahaan Negara).
Belum lagi kemungkinan tersandung dgn perundangan yg mengatur soal perusahaan (perum, PT, dll) secara umum.
Lah, seandainya pengganti BP Migas diganti dengan BUMN berbentuk PT, mana ada lagi kewenangan negara di sini. Trus amanat MK gimana? (ini bakal kena kalau kewenangan BP Migas balik lagi ke Pertamina).
Dlm konteks berbeda, itu persis dgn bantahan saya thd pendapat Kurtubi soal skema "G to B" sbb:
Ataukah ada alternatif lain yg lebih baik? Dikembalikan ke BUMN seperti yg dulu terjadi ketika hal itu dipegang oleh Pertamina? Sami mawon! Kalo BUMN itu mewakili pemerintah ya sama aja kontraknya jadinya tetap G to B.
Bedanya, pendapat saya itu dalam konteks membantah pendapat Kurtubi dimana ybs "mewakili" pendapat MK krn doi adalah salah satu pemohon judicial review kemarin.
Bahkan, Kurtubi inilah yg paling terang2an scr eksplisit minta dibubarkannya BPMIGAS dan sotomatis fungsinya dikembalikan ke Pertamina. Permintaan pertama (BPMIGAS dibubarkan) akhirnya dipenuhi oleh MK, sedangkan permintaan kedua (dialihkan ke Pertamina) jelas diabaikan oleh MK karena posisi MK terlalu tinggi kalo sampe ngurusin soal sedetail itu.
(Note: Ada baiknya anda cek kembali latar belakang serta esensi dari keputusan MK kemarin supaya diskusi kita ndak saling muncul mispersepsi. Dan dalam diskusi ini, saya TIDAK berada di pihak SIAPA/mana-pun, bukan di pihak MK, bukan pihak BPMIGAS, bukan Pertamina.)
Jadi, kalau mau menghindari degradasi peran negara dalam penguasaan migas, ya mending bentuknya sekarang di bawah Kementerian ESDM.
Lagi2 ini juga, dlm konteks lain, persis dgn pernyataan saya ke kang Pasingsingan sebelumnya sbb:
Kalo cara pandangnya begitu, menurutku, tanpa harus melihat soal konstitusional-inkonstitusionalnya UU 22/2001 pun, keberadaan BPMIGAS memang ndak perlu alias mubazir. Ngapain repot2 dibentuk pake PP segala apalagi UU khusus. Cukup dibentuk semacam unit kerja (task force) di Dirjen Migas aja buat ngurusin K2S dan berurusan dgn K3S. Ini cukup dgn KepMen, bahkan ndak perlu Permen apalagi PP.
Tapi apakah masalahnya akan selesai disitu? Tidak. Itu justru akan menimbulkan masalah2 baru yg justru sebenarnya menjadi masalah pokok yg dipersoalkan dalam Putusan MK kemarin.
Salah satunya adalah soal skema "G to B" dalam kontrak. Ini oleh MK dianggap (berpotensi) membahayakan posisi negara jika terjadi sengketa dalam kontrak di kemudian hari.
Dengan model diatas, itu justru semakin mengekspose posisi G (government) dlm kontrak krn seorang Menteri (ESDM) ataupun Dirjen (Migas) itu statusnya adalah Aparat Negara.
Sedangkan BPMIGAS yg statusnya Badan Hukum aja dipermasalahkan dan itu menjadi salah satu alasan MK membubarkan badan tsb. Lha apalagi kalo statusnya Aparat Negara?!
Silahkan lihat kembali diskusi saya dgn kakang (Pasingsingan) di hal2 sebelumnya.
Lalu sbg alasan keduanya, saya pernah lontarkan ketika menanggapi postingan mas dab (Jojox) yg terkait soal "birokrasi".
Dengan model seperti itu, Dirjen Migas saya analogikan seperti Dirjen Pajak, dalam arti sama2 langsung mengelola pendapatan negara yg jumlah nominalnya luar biasa besar (sekitar 30% APBN dibiayai dari sektor migas, dulu bahkan sampe 65%).
Saya ndak bilang Dirjen Migas sekarang berisi birokrat2 korup. Tidak sama sekali. Tapi saya juga ndak akan menafikan nasihat Bang Napi bahwa "kejahatan tidak selalu berasal dari niat, tetapi krn adanya kesempatan. Waspadalah!"
Dan saya ndak ingin kalo nanti akan muncul "Gayus2" baru dari dalam kantor Dirjen Migas. ::toeng2::
***
So...
Saya masih berpendapat tetap perlu adanya sebuah lembaga/badan regulator, entah apa bentuk dan namanya nanti,...Perusahaan, Badan, Dewan, Komite, atau apapun saya serahkan ke pihak2 yg kompeten di bidang perundangan.
Itu adalah pe-er buat pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif), plus masukan dari pakar2 hukum diluar kedua komponen tsb, untuk menggodog RUU Migas yg baru.
Dan kalo mereka ndak nemu juga solusinya paling2 saya cuman bisa nyeletuk: "Lha trus ngapain kemarin BPMIGAS dibubarin?" ::doh::
:ngopi:
jojox
10-12-2012, 03:03 PM
^mantapp, baru keliatan progress diskusinya.
Itu dia mas, MK tuh menanggapi kebijakan/perundangannya BP MIgas seperti guru Bahasa Indonesia , hukum ditranslasikan kata-per-kata sesuai EYD thok , blum tentu paham 100% makna sebenarnya dan implikasi ke konten substansialnya pada perijinan industri migas.
Ketua MK, Mahfud MD bukan insinyur minyak ataupun berpengalaman jadi manajer operasional rig, dia ndak paham issue ini seperti mas 234, taunya cuman ada perijinan ada duit, input dan output tidak seimbang, system itu korup, dan jadilah itu fakta hukum. Disentil dikit dg lobby2 moralitas dan nilai abstrak kesra, yho wis....BP Migas buang kalen. Naskah akademis / kajiannya pun mungkin tidak sekomprehensif sehingga sulit untuk dipahami org2 yudikatif.
Mendingan UUD yang di-amandemen. Visi mulia saya, migas yang ditemukan di tanah sendiri bisa dikuasai warga negara per-orangan,
bukan negara/penguasa/pemerintahan. Negara bisa bantu seh, untuk kasih rambu2, pajak, perijinan explorasi, etc. Bagi hasil pun boleh, 20-80, 35-65, ndak masalah, tinggal nego. Sing penting dadi duit. Justru malah warganya bisa sejahtera dengan privatisasi SDA. ::cabul::
kayak fenomena batu bara 2-3 th terakhir ini di Kalsel/Kaltim. Banyak org kaya baru dengan pendapatan gila2an, beli hummer kek beli kacang goreng. Dan banyak middle class baru dengan pengeluaran a la socialite'. Lower class aja, mampu menabung untuk membiayai anak2nya lulus kuliah. Ini cuman gara2 makelar pada jual beli ijin/hak untuk mengelola area yg disinyalir memiliki kandungan batu bara sekian ton/btu.
Bayangin kalo di migas, daerah Cepu bakalan melahirkan Rockefeller2 baru. ::oops:: Dan mereka bukan bule, bukan asing tapi orang2 hitem legam, ndeso, potongan kek Tukul, tapi tetap asli...Endonesiah.
Tapi ndak, kite rasis ma bangsa sendiri ding.
Biarin asing kelola dan segelintir elite domestik yang jadi segmen percontohan bahwa menjadi kaya nan sejahtera itu bisa di Indo. ::doh::
nerve_gas
10-12-2012, 04:06 PM
Mas 234, nampaknya cara pandang kita soal putusan MK dan BP Migas ini sudah sama. Kita sama2 tidak sepakat ketika MK menyatakan bahwa keberadaan BP Migas mendegradasi peran negara dalam pengelolaan migas Indonesia.
nah, mungkin, yang perlu kita diskusikan sekarang itu, bentuk apa yang tepat untuk lembaga yang nantinya akan menjadi regulator di bidang migas. Hal ini penting untuk menghindari kasus yang sama seperti BP Migas.
koreksi sedikit bang 234. Pendirian BP Migas itu lewat undang-undang, bukan lewat PP. Makanya ketika pasal2 UU Migas yang terkait BP Migas dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, keberadaannya juga otomatis "hilang".
kembali ke BP Migas, MK mengamanatkan terbitnya undang-undang baru yang akan mengatur badan pengatur untuk kegiatan hulu migas. Jika diatur dengan undang-undang tersendiri (hanya mengatur tentang regulator), gw rasa ini tidak tepat, karena kemungkinannya bernasib seperti BP Migas bisa muncul.
Pembentukan BUMN baru, menurut gw juga tidak tepat (seperti posting di atas). Apalagi mengembalikan peran BP Migas ke Pertamina seperti pemikiran Kurtubi and the gank, yang menurut gw sesat pikir (meminta MK membubarkan BP Migas karena mendegradasi peran negara, tapi memberikan fungsinya ke Pertamina yang bentuknya PT ::doh:: ). Kurtubi and the gank juga menyarankan pembentukan BUMN baru. Lah, BUMN sebagai badan hukum, nanti statusnya juga sama dengan BP MIgas donk ::doh::
Yang paling tepat untuk dilakukan adalah merevisi UU Migas, yang didalamnya akan mencantumkan pasal-pasal mengenai regulator. Nah, regulator ini hendaknya langsung berada di bawah Kementerian ESDM, agar menghindari kasus BP Migas.
Istilahnya, di UU Migas nanti, pasal mengenai regulator migas langsung saja menyatakan "di bawah Kementerian terkait".
Kalau sudah di bawah kementerian terkait, ya tidak akan ada lagi tuh perdebatan konstitusionalitas si regulator. *seharusnya*
tapi mungkin bung 234 punya usul lain.
-> Nerve_gas
Mas 234, nampaknya cara pandang kita soal putusan MK dan BP Migas ini sudah sama. Kita sama2 tidak sepakat ketika MK menyatakan bahwa keberadaan BP Migas mendegradasi peran negara dalam pengelolaan migas Indonesia.
Betul. Tapi kalo dikatakan "keberadaan UU 22/2001 mendegradasi peran negara dalam pengelolaan migas Indonesia" maka, dalam batas2 tertentu, saya baru setuju.
nah, mungkin, yang perlu kita diskusikan sekarang itu, bentuk apa yang tepat untuk lembaga yang nantinya akan menjadi regulator di bidang migas. Hal ini penting untuk menghindari kasus yang sama seperti BP Migas.
Itu yg mumet mas, makanya saya ndak pernah brani kasih konklusi scr spesifik dan lebih suka "ngeles" dgn bilang "biarin aja itu jadi pe-er DPR dan Pemerintah"... ::hihi::
koreksi sedikit bang 234. Pendirian BP Migas itu lewat undang-undang, bukan lewat PP. Makanya ketika pasal2 UU Migas yang terkait BP Migas dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, keberadaannya juga otomatis "hilang".
Sekalian meluruskan juga ya mas...
Pendirian BPMIGAS memang melalui PP yaitu "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi".
Memang, PP tsb dibuat atas amanat UU Migas (No.22 Th.2001). Ada masa transisi sekitar 8 bulan sejak mulai dibubarkan (dibekukan)-nya BPPKA Pertamina lalu diubah menjadi Direktorat MPS (Manajemen Production Sharing) sampai terbitnya PP tsb yg secara resmi mengesahkan keberadaan BPMIGAS.
kembali ke BP Migas, MK mengamanatkan terbitnya undang-undang baru yang akan mengatur badan pengatur untuk kegiatan hulu migas. Jika diatur dengan undang-undang tersendiri (hanya mengatur tentang regulator), gw rasa ini tidak tepat, karena kemungkinannya bernasib seperti BP Migas bisa muncul.
Pembentukan BUMN baru, menurut gw juga tidak tepat (seperti posting di atas). Apalagi mengembalikan peran BP Migas ke Pertamina seperti pemikiran Kurtubi and the gank, yang menurut gw sesat pikir (meminta MK membubarkan BP Migas karena mendegradasi peran negara, tapi memberikan fungsinya ke Pertamina yang bentuknya PT ::doh:: ). Kurtubi and the gank juga menyarankan pembentukan BUMN baru. Lah, BUMN sebagai badan hukum, nanti statusnya juga sama dengan BP MIgas donk ::doh::
Kalo bicara soal pembubaran BPMIGAS, nama2 yg paling mungkin akan muncul di benak orang2 (masyarakat pada umumnya) ada tiga, yaitu Mahfud MD sebagai ketua MK, Din Syamsudin dan Hasyim Muzadi sebagai (diantara para) pemohon.
Saya kuatir kalo nanti pembahasan RUU Migas menemui deadlock atau UU Migas yg baru nanti hasilnya ndak sesuai yg diharapkan ato bahkan dianggap lebih buruk, maka kemungkinan yg bisa kena getahnya ya ketiga orang tsb. Ini akan sangat saya sayangkan kalo sampe terjadi. :iamdead:
Bagaimana dgn Kurtubi? Haiyah emangnya dia sapah?! ;D
Yang paling tepat untuk dilakukan adalah merevisi UU Migas, yang didalamnya akan mencantumkan pasal-pasal mengenai regulator. Nah, regulator ini hendaknya langsung berada di bawah Kementerian ESDM, agar menghindari kasus BP Migas.
Istilahnya, di UU Migas nanti, pasal mengenai regulator migas langsung saja menyatakan "di bawah Kementerian terkait".
Kalau sudah di bawah kementerian terkait, ya tidak akan ada lagi tuh perdebatan konstitusionalitas si regulator. *seharusnya*
Ya tinggal Badan tsb dibentuknya melalui PerMen (Peraturan Menteri), bukan melalui PP. Pasal2 lain yang terkait tinggal menyesuaikan, misalnya soal "Kepala Badan Pelaksana diangkat oleh Presiden" diubah menjadi "Kepala Badan Pelaksana diangkat oleh Menteri ESDM", dst...dsb.
No...no..., saya ndak bermaksud menyatakan bahwa dengan begitu semuanya akan menjadi langsung beres lho. Itu juga akan mengandung konsekuensi2 serta implikasi2 yg panjang.
tapi mungkin bung 234 punya usul lain.
Mestinya itu dilihat lebih komprehensif dlm UU Migas scr menyeluruh. Kita masih ada sektor hilir yg saat ini pengelolaannya ada pada BPHMIGAS. Memang itu (hulu dan hilir) adalah dua "makhluk" berbeda dus butuh sistem pengelolaan yg berbeda pula tanpa menafikan sistem koordinasi n integrasi antar kedua sektor tsb.
Saya lebih condong itu secara struktural sebaiknya disatukan dalam satu entitas lembaga saja, tinggal bagaimana mekanismenya nanti diatur untuk mengelola kedua sektor tsb. Misalnya, kepala lembaga tsb nanti dibantu oleh dua pejabat deputy, satu untuk bidang hulu, satu bidang hilir.
Oops..., itu ide prematur scr common sense aja lho. Detailnya sih ya biar para penentu kebijakan yg mikirin...::hihi::
So, poin saya tetap: Segera revisi UU 22/2001::itrocks::
:ngopi:
---------- Post Merged at 11:08 AM ----------
-> Jojox
Mendingan UUD yang di-amandemen.
Waduh ketinggian mas dab, saya mbalah singunen nanti...
Visi mulia saya, migas yang ditemukan di tanah sendiri bisa dikuasai warga negara per-orangan,
bukan negara/penguasa/pemerintahan. Negara bisa bantu seh, untuk kasih rambu2, pajak, perijinan explorasi, etc. Bagi hasil pun boleh, 20-80, 35-65, ndak masalah, tinggal nego. Sing penting dadi duit. Justru malah warganya bisa sejahtera dengan privatisasi SDA. ::cabul::
Kalo untuk tambang mineral sih masih memungkinkan, tapi itu berat kalo untuk migas apalagi di sektor hulu, modale mesti gede banget mas. Jangankan perorangan, lha wong BUMD yg sekedar nebeng participating interest (PI) 10% aja udah megap2 kok.
Kita ambil contoh Pemda Bojonegoro dlm kasus blok Cepu. Berapa investasi yg dibutuhkan untuk PI 4,5% dari blok tsb? Rp 1,3 trilyun mas! Apakah Pemda (setingkat Kabupaten) beneran punya duit segitu? Mbelgedes!
Ujung2nya masuklah si "brewok" itu. Apakah itu dari kocek pribadi? Blasss ndak sama sekali! Itu ujung2nya dari investor asing (China) juga mas. Jadilah industri migas dijadikan bisnis makelaran! ::doh::
kayak fenomena batu bara 2-3 th terakhir ini di Kalsel/Kaltim. Banyak org kaya baru dengan pendapatan gila2an, beli hummer kek beli kacang goreng. Dan banyak middle class baru dengan pengeluaran a la socialite'. Lower class aja, mampu menabung untuk membiayai anak2nya lulus kuliah. Ini cuman gara2 makelar pada jual beli ijin/hak untuk mengelola area yg disinyalir memiliki kandungan batu bara sekian ton/btu.
Bayangin kalo di migas, daerah Cepu bakalan melahirkan Rockefeller2 baru. ::oops:: Dan mereka bukan bule, bukan asing tapi orang2 hitem legam, ndeso, potongan kek Tukul, tapi tetap asli...Endonesiah.
Tapi ndak, kite rasis ma bangsa sendiri ding.
Biarin asing kelola dan segelintir elite domestik yang jadi segmen percontohan bahwa menjadi kaya nan sejahtera itu bisa di Indo. ::doh::
Hahaha...simalakama. Jadi mas dab mau pilih yg mana neh: Neolib ato Neofeodal? Milih ngadepin Gangsta ato ngadepin Gali hayo?! Modyar kapokmu kapan! :))
(Sebenarnya kalo mau mbahas soal tambang minerba, khususnya untuk batubara, menarik juga tuh. Tapi ndak enak kalo disini ntar mbalah OOT.)
:ngopi:
jojox
11-12-2012, 12:57 PM
^wkwkwkwk, lah saya kan pro liberal market. Las Vegas says: "The house always wins".
Membuka pasar, mengembangkan kapasitas SDM, melebarkan sayap bhinneka dan berkompetisi global,
buat malakin bule and kasih makan anak bojo kere. ...kayak misi-nya 234 (ning dudu rokoke...dab).
Sumur2 Carbon yang ditarget tuh kudu di luar Indo, blok explorasi dan produksi yang di indo kudunya di moratorium 10 tahun, cukup buat nahan supply. Ntar kite jual lagi 200 USD per barel ke US, wis cetho payu mas !!! Timingnya pas, menuju Indonesia Digdaya di tahun 2025.::hohoho::
sementara itu, yho kita Gowes.
nerve_gas
11-12-2012, 03:25 PM
Sekalian meluruskan juga ya mas...
Pendirian BPMIGAS memang melalui PP yaitu "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi".
Memang, PP tsb dibuat atas amanat UU Migas (No.22 Th.2001). Ada masa transisi sekitar 8 bulan sejak mulai dibubarkan (dibekukan)-nya BPPKA Pertamina lalu diubah menjadi Direktorat MPS (Manajemen Production Sharing) sampai terbitnya PP tsb yg secara resmi mengesahkan keberadaan BPMIGAS.
bahasa hukumnya, tetap didirikan melalui undang-undang, mas 234. Tapi diatur lebih lanjut melalui PP. Logika hukumnya sama ketika BPK, MK, KY, Mahkamah Agung, eksekutif, legislatif, itu didirikan oleh Undang-Undang Dasar dan diatur lebih lanjut melalui UU.
(makanya sempet ada yang ngusulin KPK dimasukkin ke UUD)
Jalan keluarnya ya tetap harus merevisi UU Migas, dengan mengatur posisi regulator yang berada di bawah Kementerian ESDM. Soal pengelolaan yang mau tetap dengan rezim kontrak seperti saat ini, atau kembali ke rezim perizinan seperti masa lalu, mungkin harus dibicarakan lagi.
Setuju, pengelolaan migas itu tidak bisa disamakan dengan minerba. Pemain di sektor migas ya itu2 saja, mengingat modal dan teknologi yang sangat besar (makanya gw greget ketika KPPU memutuskan bahwa pemain di Donggi-Senoro dianggap melanggar UU Anti Monopoli)
-> Nerve_gas
bahasa hukumnya, tetap didirikan melalui undang-undang, mas 234. Tapi diatur lebih lanjut melalui PP. Logika hukumnya sama ketika BPK, MK, KY, Mahkamah Agung, eksekutif, legislatif, itu didirikan oleh Undang-Undang Dasar dan diatur lebih lanjut melalui UU.
(makanya sempet ada yang ngusulin KPK dimasukkin ke UUD)
Thanks, saya memang ndak gitu paham bahasa hukum.
(Kalo pake bahasa common sense atau biasa saya sebut bahasa awam, logika sederhananya adalah kebetulan saya ingat persis pas BPMIGAS mengadakan acara ultah ke-10 sekitar lima bulan lalu, dan setelah saya hitung 2012 dikurangi 10 ternyata hasilnya sama dgn 2002 maka secara logika gampang2an saya langsung menyimpulkan bahwa BPMIGAS didirikan pada thn 2002.)
Jalan keluarnya ya tetap harus merevisi UU Migas, dengan mengatur posisi regulator yang berada di bawah Kementerian ESDM.
Ya mudah2an saja itu nanti tidak digugat lagi oleh Kurtubi and the gank. Aamiin.
Soal pengelolaan yang mau tetap dengan rezim kontrak seperti saat ini, atau kembali ke rezim perizinan seperti masa lalu, mungkin harus dibicarakan lagi.
Urutan logikanya kebalik mas. Kalo memang itu mau dibicarakan lagi ya mestinya itu dulu yg dilakukan, sampai didapatkan sebuah keputusan mana yg mau dipakai. Setelah itu, bila perlu, baru dibicarakan soal regulator.
Ribut2 soal BPMIGAS ini muncul sbg konsekuensi logis diterapankanya sistem kontrak (disebut sbg KKS atau K2S atau PSC) dlm pengelolaan SDA migas saat ini yg dikenal sbg rejim migas. Persoalan ini tidak akan muncul kalo kita pake sistem konsesi (perijinan), tapi ceritanya akan jadi lain lagi.
:ngopi:
---------- Post Merged at 12:16 PM ----------
-> Jojox
Sumur2 Carbon yang ditarget tuh kudu di luar Indo,...
Sing cedhak2 sik wae dab, lha wong di kandang sendiri aja masih kedodoran. Lihat aja tuh Pertamina n Medco akhirnya keok juga. Tapi usaha mereka patut dihargai juga seh... ::up::
...blok explorasi dan produksi yang di indo kudunya di moratorium 10 tahun, cukup buat nahan supply. Ntar kite jual lagi 200 USD per barel ke US, wis cetho payu mas !!!Nah ini baru ide top. :jempol:
Ideale memang kudu begitu mas, apalagi cadangan minyak kita udah menipis. Ndobos kalo ada yg bilang negara kita kaya SDA minyak. Kalo gas masih agak mendingan lah...
Timingnya pas, menuju Indonesia Digdaya di tahun 2025.::hohoho::
Kalo SDA yg ada bisa dikelola dgn benar sih itu bukan khayalan kok.
Lihat aja SDA CBM ato shale gas misalnya. Kita itu sakjane sugih mblegedhu dab, cuman ndak jegos aja ngelolanya.
Belum lagi kalo bicara soal SDA geothermalnya. Apa mas dab ndak ikutan seneng jingkrak2 tuh kalo seandainya gunung Merapi bisa disulap jadi sumber mega energi buat kerajaan eh negara ding. Lhah daripada mas dab mbalah cuman ketiban awunya wedhus gembel mulu?!
sementara itu, yho kita Gowes.
Kriiing...kriiing...kriiing. (Btw katanya bekas jalur lahar Merapi suka dijadikan trek pit2an yak?) ::cabul::
:ngopi:
jojox
12-12-2012, 11:52 PM
@234,
justru itu mas, US praktekan proteksi Teluk Mexico dan Alaska, cuman jaga2 kl ada state emergency, selama 6-7 bulan,
konsumsi domestik dg rate skrang ini masih bisa jalan, aman. Cuman boleh mancingmania, explorasi etc diharamken. So, Halliburton dan Texaco, fokusnya yho di luar US. hmm sperti..Iraq?
Potensi oil reserve kita sebenarnya di kisaran berapa yho?
Whuuusss, Merapi sakral dab, ndak boleh di exploitasi di dalam ring Kawasan Rawan Bencana (KRB) 1-2.
Wong yang di KRB 3 wae cuman boleh numpang nguyuh. wkwkwk (red-live in harmony).
Hooh, Gowes biasanya sabtu pagi, jalur timur sampe atas, JOSS. Turun di Pakem, mampir lombok ijo kang.
Situs potensi geothermal lain, mungkin iso kui. Apik ogg geothermal, daripada batubara busuk yg dipake PLN emisine malah koyo mesin 2 tak. ::ngakak2::
Yup, kalo Merapi memang ya ndak lah, ntar sing mbaurekso ngamuk... Tapi potensi geothermal kita memang besar kok mas, bahkan kita yg terbesar dibanding negara lain atau sekitar 40% dari total potensi geothermal dunia.
Kalo cadangan terbukti minyak bumi sekarang ada di kisaran 4 milyar barel. Kalo pake asumsi produksi 900 ribu barel/hari, itu 12 thn lagi juga udah habis. Tapi belum lama lalu Hatta Rajasa ngomong masih ada lagi sekitar 9 milyar barel cadangan probable. Sedangkan total sumber dayanya sendiri sih diperkirakan mencapai 50-60 milyar barel.
Hooh, Gowes biasanya sabtu pagi, jalur timur sampe atas, JOSS. Turun di Pakem, mampir lombok ijo kang.
Jindhol mbalah mung marakke kepengin thok! ::arg!::
:ngopi:
pasingsingan
13-12-2012, 10:27 PM
dulu diera 80an
enjiner2 muda petronas dikirim belajar ke pertamina (baca magang)
kini, sebagian besar mereka dah pada jadi key person di petronas
strategi petronas dah mirip banget dng pertamina
(ya jelaslah, wong mereka benar2 mempelajari blueprint bisnisnya pertamina)
dlm perkembangannya, ternyata sang murid lebih berjaya dari gurunya
tanya kenapa?
sbg bumn pemegang mining right n economical right (base on UU 8/1971)
pertamina sbg entity bisnis dianggap memonopoli bidang usaha migas
sehingga pintu persaingan usaha tertutup bagi pihak lain.
oleh karenanya, UU 8/1971 sudah tidak sesuai dng asas persaingan global
dan untuk merangsang pertumbuhan PMA/investasi yng berkeadilan
maka, UU tsb harus dibongkar/diganti dng yng sesuai tuntutan dunia usaha.
(dunia usaha menurut versi pemberi pinjaman)
ironinya, Indonesia membongkar UU 8/1971
negara lain spt malaysia, brunei, dan sebagian Timteng
malah mengadopsi spirit UU 8/1971
Mau buka2 sejarah kelam masa lalu nih... ;)
Kalo masalah Pertamina sih, menurutku, sebenarnya kembali ke kemauan pemerintah sendiri. Ibaratnya, kalo dulu waktu jaman Orba Pertamina selalu dijadikan "sapi perah", maka pasca reformasi Pertamina itu seringnya dijadikan "tumbal". Dan itu dilakukan oleh pemerintah sendiri yg notabene adalah pemilik dari perusahaan tsb. ::doh::
***
BTT soal UU 22/2001...
Kenapa sih masalah ini seringnya dilihat secara heboh dikaitkan dgn segala macam isu muluk2 seputar globalisasi, liberalisasi, kedaulatan negara, NKRI vs asing, IMF, Amrik, dst...dsb...sampe ke segala macam teori konspirasi, mafia global,...dan mbuh saya mbalah ndak mudeng! :iamdead:
Menurutku itu terlalu meng-awang2 dan justru ndak menyentuh akar persoalan.
Kalo saya lihat scr pragmatis, lahirnya UU 22/2001 itu se-mata2 dipicu oleh soal sepele murni masalah BISNIS, yaitu perseteruan bisnis antara Exxon vs Pertamina dlm kasus blok Cepu! (Bahwa itu pada akhirnya ditunggangi oleh berbagai kepentingan termasuk isu2 global tbs diatas, itu masalah lain lagi.)
Di satu sisi, Exxon menginginkan agar dapat mengeksploitasi blok Cepu untuk dapat menghasilkan keuntungan bisnis yg se-besar2nya bagi perusahaan. Demikian juga dgn Pertamina pada sisi yg lain.
Exxon, dgn segala kepiawaian serta kemampuan lobi2 tingkat tingginya, berhasil mendapatkan dukungan dari IMF (melalui LoI sbg syarat pemberian pinjaman) dan pemerintah AS (melalui peran dan bantuan dana dari USAID).
Lalu bagaimana dgn Pertamina sendiri? Boro2 dapat dukungan tapi malah justru "diinjek" oleh pemerintahnya sendiri. ::doh::
So, menurutku UU 22/2001 itu bukan sbg bentuk kekalahan NKRI melawan IMF atau AS. Kalo itu sih setidaknya kalahnya masih "gagah" lha wong musuhnya memang kelas berat kok. Lhah ini NKRI "dikalahkan" oleh sebuah perusahaan (Exxon)? Ini menurutku justru lebih menyakitkan! Gemblung! ::arg!::
***
No...no..., saya ndak sedang ngipas2in membangkitkan sentimen lama kasus blok Cepu. ::hihi::
Biar bagaimanapun, ini murni bicara persoalan bisnis scr pragmatis lho, Exxon TIDAK bersalah. Exxon telah melakukan strategi bisnis dgn sangat piawai. Sudah banyak upaya2 yg dilakukan oleh Exxon, mulai dana akuisisi blok Cepu sampe, mungkin, "setoran2" untuk lobi2 ke IMF dan pemerintah AS, bahkan bisa jadi ke pejabat2 eksekutif maupun legislatif RI. Exxon juga sudah "berbaik hati" merelakan 55% participating interest-nya (PI) shg "rela" hanya pegang 45% sisanya. Exxon pun telah (pernah) "merelakan" 80% PI-nya untuk lapangan Sukowati (lapangan unitisasi antara blok Tuban dan Cepu). Tentu saja ini ada itungan2 bisnisnya dimana hasilnya: Exxon memiliki hak sbg operator untuk mengelola blok Cepu sampe thn 2035 dlm bentuk PSC. Tentu saja ini adalah hasil yg sangat memuaskan bagi Exxon dibandingkan skema kontrak sebelumnya yg berbentuk TAC dan seharusnya sudah berakhir thn 2010.
Bagaimana dgn Pertamina sendiri? Sebagai sebuah entitas bisnis, apa yg didapatkan oleh Pertamina dari blok Cepu menurutku adalah hasil yg maksimal secara bisnis. Setelah melakukan sebuah kekonyolan, ketika masih dalam cengkeraman rejim Orba di thn 1990, dgn melepaskan seluruh (100%) blok Cepu ke Humpuss, menurutku kepemilikan 45% di blok Cepu adalah sebuah keberhasilan bagi Pertamina dari yg sama sekali 0% sebelumnya. Pertamina, melalui PEP sbg anak perusahaannya sekaligus induk perusahaan PEP Cepu, bahkan udah dapat tambahan "bonus cuma2" dari 80% lapangan Sukowati. Demikian halnya dgn pemerintah daerah yg akhirnya mendapatkan 10% PI di blok Cepu.
Lalu kalo Exxon sukses, Pertamina untung dan Pemda mujur trus yg buntung sapa dong? Jawabnya: Negoro! ::arg!::
***
Demikianlah sekilas analisa bodoh2an, pragmatis, common sense seputar UU 22/2001... ;D
So, berdasarkan hal tsb, bagi saya UU 22/2001, plus produk turunan2nya, tidak lebih dari sebuah produk MEMALUKAN yg pernah dihasilkan oleh penguasa negeri ini.
Segera ROMBAK dan GANTI produk abal2 tsb! ::itrocks::
:ngopi:
pasingsingan
17-12-2012, 09:33 PM
LHO LAH iya
dibolak-dibalik ya memang pemerintahan saat itu yng kucluk
tapi apa iya murni bego tanpa tendensi apa-apa?
sptnya UU 22/2001 itu satu paket dng UU PMA (embuh UU no brp itu yak?)
sama satu lagi UU Perbankan ...... klop sekali (kecolongan atau sengaja digadaikan?)
palingan alasan klasiknya, krisis multidimensi akut ..... berdampak sistemik
oops ..... latah ikutan century gate :gebuk:
Bukan cuman pemerintahan saat itu aja Kang, tapi termasuk pemerintahan sekarang!
Tapi kalo mau mbahas soal tendensi sih ntar mbalah ribet soale ntar ujung2nya larinya malah ke "teori aneh2" yg sulit diverifikasi kebenarannya.
Kalo menurutku, kucluk itu ya kucluk, alias pekok alias pethug! Itu memang dasar begonya pemimpin2 bangsa ini aja kalo asal ketemu bule langsung minder mundhuk2 ndak bisa apa2. Lhah mosok, dalam kasus blok Cepu misalnya, BeYe sampe jauh2 ke Washington ketemu sama CEO ExxonMobil (Lee R. Raymond) dan sebulan setelah itu langsung keluar MoU antara Exxon dgn Pertamina TANPA melibatkan jajaran direksi Pertamina sama sekali. Dan ujung2nya 3 bulan kemudian MoU itupun dikukuhkan dgn mengubah skema TAC menjadi PSC. Itu kejadian Mei-September 2005 lho, udah jamannya SBY.
Lha kalo ketemu seorang CEO aja udah kayak gitu, lalu apa jadinya kalo ketemunya sama Menlu (Condi Rice, Hillary) apalagi Presiden (Bush, Obama)..., ya semakin sering ketemu ya semakin sering bablaslah SDA kita! ::toeng2::
***
Oke BTT ke soal UU 22/2001...
Ada sebuah pengakuan menarik dari pemerintah AS seputar peran USAID dlm pembuatan UU tsb. Pernyataan ini dirilis secara resmi oleh ktr Kedubes AS bln Agustus 2008 pada waktu yg bersamaan dgn ribut2 blok Cepu lagi menghangat... (Silahkan googling kalo mau lihat sumbernya, sori ndak bisa masukin link).
2008 Press Releases
U.S. Embassy Statement on USAID Assistance for Energy Sector Reform
August 29, 2008
This statement addresses recent allegations of improper influence by USAID in assisting the Government of Indonesia reform the energy sector.
Under the terms of its agreements with the Government of Indonesia, the United States provided technical assistance and training for Indonesia as it considered reform in energy sector. These inputs on best practices and international experience on these issues were designed to be helpful and contributed to the Government's process, and all decisions about any changes to law or policy were made by the Government of Indonesia as an output of its own processes.
All USAID funds were utilized and controlled in accordance with USAID regulations, and audited regularly. They were used to cover the cost of the Technical Assistance (TA) teams (long and short term), training and workshops for the duration of the Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) (5 years).
In early 1999, USAID was requested by Mr. Kuntoro Mangkusubroto, the then-Minister of Energy and Mineral Resources (MOMR), to help review a draft Oil and Gas Law, which was prepared by the GOI/MOMR, and was rejected by the DPR. This draft law was part of GOI efforts to reform the entire energy sector (oil, gas, electricity, geothermal) to improve its efficiency, and be able to sustain its contribution to support economic growth.
USAID responded positively, and signed a SOGA, with a budget of $4 million a year, and a total budget of $20 million over 5 years. These budgets were for funding the long-term TA teams, short-term TAs, workshops and training. USAID mobilized three TA teams for Oil and Gas, Electricity and General Energy.
USAID helped the Government of Indonesia to review the draft law, in term of its consistency, implementability, and the phases of the implementation. It also helped review the "academic paper" for this law, which explains the reasons, how it would be implemented it and what likely impacts would occur. This academic law became the "Oil and Gas Policy" paper.
The draft oil and gas law was subjected to very intense deliberations by GOI and DPR during the President Yudhoyono’s tenure as Minister of Energy, and was enacted in 2001 under current Minister Purnomo Yusgiantoro.
Saya hanya akan singgung satu poin aja yg ditebalkan... (Untuk poin2 yg lain silahkan kalo mau dikembangkan jadi berbagai "teori konspirasi")
Ada apakah gerangan pada awal thn 1999 itu? Inilah jawabnya: Terhitung per April 1999 Exxon menguasai sepenuhnya blok Cepu setelah Mobil Cepu mengakuisisi 51% PI dari Humpuss, melengkapi 49% yg sebelumnya sudah dikuasai oleh Ampolex. Baik Mobil Cepu maupun Ampolex adalah anak perusahaan Mobil Oil dimana kemudian Mobil Oil merger dgn Exxon menjadi ExxonMobil ato sering cukup disingkat dgn sebutan Exxon aja.
(Note: Menurutku hanya ada satu alasan kenapa perusahaan sekaliber Exxon mau2nya mengambil alih sebuah blok migas dalam bentuk TAC apalagi kontrak tsb masa berlakunya hanya tersisa sampe thn 2010. Dan alasan itu adalah: Saat itu Exxon SUDAH TAHU bahwa di blok tsb terdapat "bonanza emas hitam" dgn cadangan yg luar biasa besar!)
Lha ya jelas aja USAID dgn senang hati akan "MEMBANTU" menggodok RUU Migas tsb. Ndak perlu ada fee, pokoke gratis-tis! Bahkan US$ 20 juta siap mereka gelontorkan! "Tim2 terbaik" siap mereka kerahkan! Pokoke ibaratnya pemerintah mau minta apapun mereka bakal turuti! Opo ndak kepenak itu?! ::doh::
Lha kalo udah seperti itu, menurut kakang, itu terjadi krn ada tendensi ato krn emang murni bego?! Kalo menurutku sih itu memang begok! ::arg!::
:ngopi:
danalingga
18-12-2012, 03:31 PM
Bukan bego om, tapi pikirannya nggak sampe. ::arg!::
jojox
18-12-2012, 03:39 PM
tetep tendensi mas bro, memang ada target, short-term oriented, dan sistematis. Ada agenda udang di balik bakwan. ::ngakak2::
sedikit insider info neh...
Bakwan tuh disikat ma local stakholder sama mitra asing/regional. Publik mah, diposisikan penerima manfaat pasif aje. Ini biasa, dan btul itu mekanismenya berdasarkan need assessment, artinya lokal butuh apa, asing bisa supply resources apa, di-kerjasama kan. Lobby2 biasanya terjadi di party2nya org diplomatic passport (dippass). hahahhaha...socialite' club kek poker club lah, gak cuman ajang arisan s3x atau pamer tas import, tapi komunitas elite buat tukar menukar chips (red-project). ...
the so-called n e t w o r k i n g. Tpi memang kudu networking atau gaul buat cari kerjaan 5juta-50jtan di Jkt, yah to? Mkanya gw smpat mentioned, dari stakeholder matrix, kepentingan dan yang paling diuntungkan dg kegalauan kebijakan/institusi BP Migas neh...siapa dan berapa ?
Masalahnya di peta permainan SDA, pan peran pemerintahan pusat maupun pemda bukan sebagai bandar, tapi jg pelaku kontrak lewat subkontrak2 gitu. Jabatan strategis di optimalkan untuk menggiring projek ke bisnis bini, sodara, anak, sepupu, etc. Karena pengawasan dana asing jg lemah dari institusi kek KPK/BPK/Setneg, yho wis....ketemu dah market niche.
Di organisasi internasional yang lain seperti AusAid (mitra Bina marga/skrang PU), JICA (maen di infra), SIDA (governance reform), IOM (migrasi, bencana, local econ-dev) , dan IMF/ Worldbank ( favoritnya Bappenas) jg mulai bergerak 5-10th ke arah kerjasama bidang policy development, pengembangan kebijakan. GTZ punya jerman dulu kerjain projekt fokus ke arah teknis, bangun infra, teknologi, mikrohidro dll ama Kemenristek, ESDM. Tpi skarang per 1 januari 2012 kemarin jadi GIZ, yg fokusnya ke arah policy development meleburkan sub-organisasi jerman yg lain. Beberapa waktu lalu gw smpat ketemu policy advisor-nya yg dikontrak KemenKeu-lapangan banteng untuk support sistem pelaporan keuangan daerah yang lebih transparan. Area sensitif? Pasti.
Kerjasama kek gitu Makin strategis output dan impactnya, langsung berhadapan dg Pusat/kementerian, develop kebijakan strategis. Soalnya, efek cambuk ke pemda jauh lebih kuat, gitu maennya. UU desentralisasi membatasi pemda cawe2 masalah bidang tertentu, termasuk hankam, agama, pengeolaan tmbang salah satunya. Bupati Cepu itu mungkin dapat nota dinas nya sebagai lampiran bukan laporan. ::grin::
-> Danalingga
Ho'oh kang, mungkin justru krn kepinteran mereka mikirnya jadi ketinggian. Namanya juga pejabat, tempatnya diatas, mikirnya ya kudu tinggi dong supaya ndak kliatan bego. ::elaugh::
***
-> Jojox
Betul dab, tendensinya judulnya: bancakan. ::hohoho::
Balik ke kasus blok Cepu misalnya, supaya topiknya ndak melebar terlalu jauh, lha emangnya cuman "bandar2 hitam" aja yg coba ikutan rebutan bancakan? Ndak dab, bahkan para bandar yg dikenal "bersih" pun pada ikutan ngiler liat potensi blok Cepu kok. Sebut aja Dahlan Iskan, Habibie dan JK misalnya, mereka juga ikutan ngadu nasib ngrebutin 10% jatah Pemda kok, meskipun akhirnya kalah. Habibie coba masuk lewat bendera perusahaan anaknya, JK lewat mantunya, dan DI, apa sih yg masih ada bau2 Jatimnya yg ndak dilirik oleh DI? Belum lagi nama2 seperti Surya Paloh, Hartarti Murdaya, Hendropriyono, dll.
Dan akhirnya yg berhasil gol cuman Surya Paloh (PT Surya Energi Raya) yg masuk melalui Pemda Bojonegoro, entah kalo ada yg lain yg masuknya diem2. Cilokone, ternyata itu duwitnya dari negoro Cino (China Sonangol Int'l Holding Ltd.) dab. Lhah itu kan sama aja sebagian hasil dari blok Cepu bakalan mabur ke Cina tho! (Duh! Mana neh para pengusaha putra daerah Jateng n Jatim kok pada mlempem gitu seh?!) ::doh::
:ngopi:
Barusan iseng2 baca lagi komentarnya Lin Che Wei yg ditulis di FB nya jadi gatel pengin ngomentari neh... ;D
Badut Politik dalam Kasus Pembubaran BP MIgas dan UU MIgas tahun 2001. Oleh Lin Che Wei
Babak 1 - Proses pembahasan dan pengundang-undangan UU Migas 2001 terjadi antara tahun 1999 sampai 2001. UU MIgas di undang-undangkan pada bulan November 2001.
UU Migas ini merupakan produk pembahasan antara Pemerintah pada masa itu dan DPR pada masa itu.
Marilah Kita melihat siapa saja aktor politik tersebut.
Ketua MPR - Amien Rais (Mantan ketua Muhammadiyah -dari PAN)
Ketua DPR - Akbar Tanjung (Golkar - Mantan Aktivis HMI)
Ketua Komisi VIII - DPR - Irwan Prajitno (dari Partai Keadilan)
Pada saat itu Poros Tengah (Koalisi dari beberapa partai berbasis islam seperti PAN, PKB, PBB, PPP) sedang naik daun dan sangat berpengaruh di Parlemen karena mereka adalah `king maker' dari naiknya Gus Dur menjadi Presiden.
Yang menarik di dalam pembahasan tersebut dan perundang-undangan UU MIgas tersebut… adalah :
Semua Fraksi di DPR (kecuali satu fraksi kecil), semua partai berbasis islam (termasuk Partai Keadilan, PAN, PPP, PBB, PKB) dan juga partai besar (PDI-P dan Golkar) mendukung ratifikasi dari UU Migas. Sangat ironis karena satu-satunya partai yang justru menyatakan keberatan adalah Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (Partai kecil yang berbasis agama kristen).
Pada saat tersebut (1999-2001 periode - periode pembahasan dan ratifikasi)
- Kwik Kian Gie adalah Menko Perekonomian (PDI-P) dan kemudian menjadi Ketua Bappenas.
- Rizal Ramlie adalah mantan Menkeu/Menko Perekonomian waktu zaman Gus Dur.
- Mahfud MD adalah Menteri Pertahanan dan sempat menjadi Menteri Hukum Dan Perundangan-Undangan zaman Gus Dur.
Semua komponen pemerintah dan parlemen pada waktu itu setuju untuk meratifikasi UU Migas 2001 dan melahirkan BP MIgas. Berdasarkan rekomendasi dari Kwik Kian Gie, ketika terjadi penggantian Dirut Pertamina, Martiono Hadianto (yg menentang RUU Migas pada saat itu). Kwik sangat merekomendasi Baihaki Hakim untuk menggantikan Martiono. Di masa Baihaki inilah Pertamina melepaskan wewenangnya dan mengalihkannya ke BP Migas.
Babak ke 2 - Adegan Mahkamah Konstitusi tahun 2012.
Para Pemohon di pengadilan konstitusi :
1. Muhamadiyah
2. Hasyim Muzadi dari NU
3. Ormas-ormas islam seperti Hizbut Thahir.
4. Kwik Kian Gie
5. Rizal Ramlie
dan yg lain-lain…..menuntut UU Migas 2001.
Ketua Mahkamah Konstitusi :
Mahfud MD (mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur).
Putusan : 7-1, MK menyatakan UU Migas 2001 cacat dan BP Migas dibubarkan. BP Migas tidak sesuai dengan UU.
Catatan : Mengapa partai-partai tersebut justru menyetujui RUU tersebut menjadi UU? Pak Kwik Kian Gie, mengapa anda tidak ribut-ribut ketika anda justru sangat berkuasa sebagai Menko Ekuin. Pak Rizal Ramlie, mengapa anda tidak menyatkan keberatan anda justru dizaman reformasi dimana anda adalah Menkeu dan Menko. Pak Mahfud MD - mengapa kita tidak membahas soal Energy Security issue ketika anda menjadi Menhan? Oh ya saya juga baru sadar bahwa anda adalah ketua kehormatan ikatan alumni NU yang juga ikut di dalam menggugat putusan tersebut. Partai-partai ini sekarang membatalkan produk hukum yang justru merupakan persetujuan produk legislative process.
Ada baiknya kita melepaskan attribut keagamaan apabila kita berdebat soal kebijakan publik. Tidak arif orang menggunakan attribut agama untuk pro dan con terhadap kebijakan publik.
Jangan pernah lupa akan rekam jejak dari politik. Dan jangan biarkan politician (atau lebih tepatnya Badut-badut politik) berakobrat danmencari popularitas semata.
Untuk membentuk tatanan hukum migas dan struktur migas yang baik diperlukan bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Untuk menghancurkannya hanya butuh sekejap.
Saya tidak terlalu mempermasalahkan dan tidak beropini apakah UU Migas 2001 benar atau salah. Yang saya sedih adalah melihat kelakuan orang yang ikut bertanggung jawab dalam pembentukan tersebut dan sekarang bersama-sama menghancurkannnya
***
Oke mari kita cek satu-persatu tulisan diatas... :ngopi:
Babak 1 - Proses pembahasan dan pengundang-undangan UU Migas 2001 terjadi antara tahun 1999 sampai 2001. UU MIgas di undang-undangkan pada bulan November 2001.
UU Migas ini merupakan produk pembahasan antara Pemerintah pada masa itu dan DPR pada masa itu.
Betul.
Marilah Kita melihat siapa saja aktor politik tersebut.
Ketua MPR - Amien Rais (Mantan ketua Muhammadiyah -dari PAN)
Ketua DPR - Akbar Tanjung (Golkar - Mantan Aktivis HMI)
Ketua Komisi VIII - DPR - Irwan Prajitno (dari Partai Keadilan)
Sip. (Hmmm...mulai nyrempet2 neh...)
Pada saat itu Poros Tengah (Koalisi dari beberapa partai berbasis islam seperti PAN, PKB, PBB, PPP) sedang naik daun dan sangat berpengaruh di Parlemen karena mereka adalah `king maker' dari naiknya Gus Dur menjadi Presiden.
Eeeits...si ngKoh mulai coba mlintir neh. Trus apa hubungannya Poros Tengah dan Gus Dur dgn UU Migas tsb? Kalo mau nganalisa jgn ngambang tanggung2 gitu yak! [-X
Yang menarik di dalam pembahasan tersebut dan perundang-undangan UU MIgas tersebut… adalah :
Semua Fraksi di DPR (kecuali satu fraksi kecil), semua partai berbasis islam (termasuk Partai Keadilan, PAN, PPP, PBB, PKB) dan juga partai besar (PDI-P dan Golkar) mendukung ratifikasi dari UU Migas. Sangat ironis karena satu-satunya partai yang justru menyatakan keberatan adalah Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (Partai kecil yang berbasis agama kristen).
Oeeeyyy...jgn asal seenaknya bawa2 golongan agama Koh! Mana Koh datanya jgn asal ngejeplak! X(
Setahuku, CMIIW, dari 10 Fraksi DPR saat itu yg setuju tanpa catatan itu cuman 3 Fraksi yaitu PBB, PDU dan TNI/Polri. Itu kalo bicara per fraksi.
Bahkan kalo bicara perorangan, saat itu ada 12 anggota DPR yg scr eksplisit menolak UU tsb, mereka adalah Hartono Mardjono, Dimyati Hartono, Amin Aryoso, Sadjarwo Sukardiman, Suratal HW, Aries Munandar, Tunggul Sirait, LT Susanto, Rodjil Gufron, Abdul Kadir Djaelani, Posdam Hutasoit, dan S. Soeparni.
Nota penolakan dari 12 anggota DPR itu berbunyi: "Tidak dapat menerima, tidak menyetujui, dan tidak ikut bertanggungjawab atas disahkannya UU Migas karena bertentangan dengan pasal 33 uuD 1945"
ngKoh udah pikun yak?! ::hihi::
Pada saat tersebut (1999-2001 periode - periode pembahasan dan ratifikasi)
- Kwik Kian Gie adalah Menko Perekonomian (PDI-P) dan kemudian menjadi Ketua Bappenas.
Ngawur!
Kwik diangkat sebagai Menteri Ekuin pada 26 Oktober 1999 dan mengundurkan diri per 10 Agustus 2000. Ketika Gus Dur turun dan Mega naik jadi Presiden (Juli 2001), Kwik kembali diangkat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Ketua Bappenas pada Kabinet Gotong-Royong selama periode 2001-2004.
- Rizal Ramlie adalah mantan Menkeu/Menko Perekonomian waktu zaman Gus Dur.
Betul, tapi ketika UU Migas tsb disahkan Rizal udah ndak menjabat lagi!
Rizal diangkat menjadi Menko Ekuin menggantikan posisi Kwik, tapi itu hanya berlangsung kurang dari setahun (Agustus 2000 s/d Juni 2011) sebelum akhirnya digantikan oleh Burhanuddin Abdullah.
- Mahfud MD adalah Menteri Pertahanan dan sempat menjadi Menteri Hukum Dan Perundangan-Undangan zaman Gus Dur.
Betul. Tapi posisi Mahfud tsb ndak ada kaitannya langsung dgn lolosnya UU Migas tsb.
Semua komponen pemerintah dan parlemen pada waktu itu setuju untuk meratifikasi UU Migas 2001 dan melahirkan BP MIgas.
Haiyah analisa apaan neh! ::doh::
Setuju ato ndak setuju, memang faktanya UU Migas tsb disahkan pada jaman pemerintahan tsb.
Kalo cuman nganalisa kayak gitu sih anak SD juga bisa! :-q
Berdasarkan rekomendasi dari Kwik Kian Gie, ketika terjadi penggantian Dirut Pertamina, Martiono Hadianto (yg menentang RUU Migas pada saat itu).
Siapapun yg jadi Dirut Pertamina saat itu, ya jelas aja menentang RUU Migas tsb lha wong isinya memang mau mengebiri Pertamina kok.
Kwik sangat merekomendasi Baihaki Hakim untuk menggantikan Martiono. Di masa Baihaki inilah Pertamina melepaskan wewenangnya dan mengalihkannya ke BP Migas.
Siapapun yg jadi Dirut Pertamina saat itu, tetep aja kewenangan Pertamina tetap beralih ke BPMIGAS lha wong itu memang amanat UU yg baru disahkan tsb kok.
Babak ke 2 - Adegan Mahkamah Konstitusi tahun 2012.
Para Pemohon di pengadilan konstitusi :
1. Muhamadiyah
2. Hasyim Muzadi dari NU
3. Ormas-ormas islam seperti Hizbut Thahir.
4. Kwik Kian Gie
5. Rizal Ramlie
dan yg lain-lain…..menuntut UU Migas 2001.
Ketua Mahkamah Konstitusi :
Mahfud MD (mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur).
Putusan : 7-1, MK menyatakan UU Migas 2001 cacat dan BP Migas dibubarkan. BP Migas tidak sesuai dengan UU.
Trus menurut ngKoh sendiri secara substansial keputusan tsb gimana? Setuju ndak Koh dgn keputusan tsb? Kasih dong analisamu!
Catatan : Mengapa partai-partai tersebut justru menyetujui RUU tersebut menjadi UU?
Partai2 yg mana Koh?
Pak Kwik Kian Gie, mengapa anda tidak ribut-ribut ketika anda justru sangat berkuasa sebagai Menko Ekuin. Pak Rizal Ramlie, mengapa anda tidak menyatkan keberatan anda justru dizaman reformasi dimana anda adalah Menkeu dan Menko.
Kata sapa ndak ribut? UU itu disahkan ketika kedua orang tsb udah tidak menjabat posisi itu lagi!
Pak Mahfud MD - mengapa kita tidak membahas soal Energy Security issue ketika anda menjadi Menhan?
So what gitu lho? Kejauhan Koh kalo Menhan mesti main selonong sampe sejauh itu.
Lagipula Mahfud itu menjabat Menhan hanya sampe 20 Juli 2001 dan kemudian dipindahkan sebagai MenKumHAM HANYA selama 20 hari s/d 9 Agustus 2001. Kan ngKoh tau kalo UU Migas itu baru disahkan pada November 2001! ::doh::
Oh ya saya juga baru sadar bahwa anda adalah ketua kehormatan ikatan alumni NU yang juga ikut di dalam menggugat putusan tersebut. Partai-partai ini sekarang membatalkan produk hukum yang justru merupakan persetujuan produk legislative process.
Ada baiknya kita melepaskan attribut keagamaan apabila kita berdebat soal kebijakan publik. Tidak arif orang menggunakan attribut agama untuk pro dan con terhadap kebijakan publik.
Jangan pernah lupa akan rekam jejak dari politik. Dan jangan biarkan politician (atau lebih tepatnya Badut-badut politik) berakobrat danmencari popularitas semata.
Yg bawa2 atribut keagamaan itu sapa Koh? :mad:
Bukannya ngKoh sendiri yg dalam komentar ngKoh diatas ngasal seenaknya bawa2 agama dgn meng-kotak2an antara fraksi/partai berbasis Islam vs Kristen?!
Sampeyan itu BADUT-nya! :gebuk:
Untuk membentuk tatanan hukum migas dan struktur migas yang baik diperlukan bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Untuk menghancurkannya hanya butuh sekejap.
Saya tidak terlalu mempermasalahkan dan tidak beropini apakah UU Migas 2001 benar atau salah. Yang saya sedih adalah melihat kelakuan orang yang ikut bertanggung jawab dalam pembentukan tersebut dan sekarang bersama-sama menghancurkannnya
Oalaaah...ngKoh...Koh, jadi ngKoh ngoceh ngalor-ngidul itu sebenarnya esensinya apa? :iamdead:
:ngopi:
---------- Post Merged at 11:00 PM ----------
Oops...sori, saya ndak ada maksud bawa2 sentimen soal Chinese disini. Maaf. ::maap::
purba
22-12-2012, 03:33 PM
Demikianlah sekilas analisa bodoh2an, pragmatis, common sense seputar UU 22/2001... ;D
So, berdasarkan hal tsb, bagi saya UU 22/2001, plus produk turunan2nya, tidak lebih dari sebuah produk MEMALUKAN yg pernah dihasilkan oleh penguasa negeri ini.
Segera ROMBAK dan GANTI produk abal2 tsb! ::itrocks::
:ngopi:
Ane ngikutin terus nih analisis sampeyan. Jadi apa usulan sampeyan dlm perbaikan UU 22/2001 tsb? Pasal apa yg jelek? Pasal apa yg harus diganti? Kemudian diganti dgn pasal yg bagaimana? Dst...
:))
-> Purba
Seperti sering saya tekankan sebelumnya, apa yg saya sampaikan lebih banyak menggunakan kacamata "awam". (Suwer, saya bukan orang yg berkecimpung langsung dlm industri migas dan disisi lain juga bukan orang yg paham bahasa hukum/perundangan). Jadi kalo mesti melakukan "uji materi" pasal per pasal dari UU 22/2001, itu diluar kapasitas n kapabilitas saya. ;D
Tapi oke saya coba ambil satu kasus misalnya "pasal2" yg mengatur ttg DMO (Domestic Market Obligation). Saya elaborasi lagi poin yg berikut ini...:
Kan udah ada DMO (domestic market obligation) kang? Dan ini setahuku, CMIIW, bahkan diatur khusus dalam PP (?) tersendiri lho soal DMO ini. Jumlahnya 25% dan harganya diatur oleh pemerintah.
Betul ada DMO
tapi soal harga kan diserahkan mekanisme pasar?
a.k.a persaingan usaha yng sehat, itulah bahasa indahnya dlm UU:22/2001
Menurutku itu aneh alias percuma aja ada DMO.
Kalo DMO harganya sepenuhnya diserahkan mekanisme pasar, maka tanpa diwajibkan (sbg sebuah obligation) pun mestinya kontraktor (K3S) dgn senang hati akan menjual ke pasar domestik, lha daripada repot2 ekspor malah ribet prosedurnya, toh harga jualnya sama aja. Jangankan 25%, bahkan kalo bisa jual semua ke pasar domestik pun mestinya mereka ndak keberatan, lha wong malah lebih praktis.
Dan kalo ternyata dlm kenyataannya daya beli domestiknya rendah shg K3S "terpaksa dgn berat hati" harus menjual ke LN (ekspor), ya itu bukan salah K3S. Lhah trus untuk apa ada DMO?
Itu keanehan pertama aturan DMO.
Keanehan kedua adalah apa yg pernah dilakukan oleh MK, kalo ndak salah sekitar 2 thn lalu, terkait masalah DMO ini. Dulu, pada awal UU 22/2001 disahkan, besarnya DMO itu maksimum 25% dari angka produksi. Aturan tsb oleh MK dianggap merugikan negara, sehingga setelah melalui uji materi akhirnya diubah menjadi "besarnya DMO harus 25% dari angka produksi".
Lagi2 itu sangat aneh alias MK salah kaprah! ::doh::
Lha kalo DMO wajib 25% lalu seandainya produksi meningkat atau kebutuhan domestik menurun shg daya serap pasar domestik menjadi kurang dari 25%, trus sisanya mau diapakan? Aneh! ::takmungkin::
So, menurutku, secara common sense aja aturan DMO yg sekarang itu sangat ndak masuk akal. Itu harus diubah!
Seharusnya DMO itu harganya sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah, bukan mengikuti mekanisme pasar (global). Tentu saja itu mesti ada formula aturan mainnya shg pemerintah ndak bisa seenaknya pasang harga asal se-murah2nya shg merugikan K3S. (Ini juga bisa untuk mendidik pasar domestik supaya ndak manja dan seenaknya boros energi sambil dikit2 tereak soal subsidi, ya jelas aja pemerintahnya tekor mulu. Ujung2nya paling2 pemerintah "maksa" Pertamina untuk tiap tahun mengeluarkan 50% keuntungannya agar dibagi sbg deviden buat pemerintah sbg pemilik untuk nutup subsidi yg terus membengkak. Lha gimana Pertamina mau ngembangin sayapnya kalo modal usaha dari keutungan per tahunnya selalu disedot negara terlalu banyak?!)
Disamping itu, besaran DMO juga harus dibatasi MAKSIMUM sekian persen (misalnya pake angka prosentase sekarang yg 25% ato kalo dinilai kurang ya dinaikkan sewajarnya). Artinya pemerintah ndak bisa se-mena2 jual ke domestik sebanyak2nya tanpa ada batasan/quota.
Dan sebaiknya pada pasal2 dlm UU yg menyangkut DMO tsb perlu juga dijelaskan bahwa besaran prosentase yg pasti (fixed) untuk tiap2 K3S selanjutnya akan diatur dan ditentukan dalam WP&B (Work Program and Budget) tahunan dari masing2 K3S yg telah disetujui oleh pemerintah.
(Ketiga bagian yg saya garisbawahi tsb tinggal ditranslasikan aja kedalam bahasa hukum lalu dituangkan dlm pasal UU, lumayan tuh minimum udah bisa jadi tiga pasal.) :mrgreen:
Jadi, dalam pelaksanaannya, besarnya prosentase DMO itu bisa berubah setiap tahun dan ber-beda2 untuk tiap2 K3S, yg penting itu tidak melebihi/melanggar plafon yg telah ditentukan dalam pasal UU. Disini akan terjadi dinamika dan mekanisme "tawar-menawar" (bargaining) setiap kali K3S menyusun target produksi tahunan dlm WP&B, sebelum hal itu disetujui oleh pemerintah.
Itu juga untuk menghindari agar pemerintah ndak asal ujug2 ambil prosentase DMO maksimal ketika misalnya permintaan pasar domestik tiba2 sedang melonjak, sementara K3S sendiri sedang terikat kewajiban kontrak jangka panjang untuk penjualan ekspor. Demikian juga dgn penurunan prosentase DMO yg tiba2, itu jelas akan mengganggu program kerja K3S krn untuk menjual migas itu ndak sederhana, terutama untuk gas yg ndak mungkin ditimbun (kecuali udah dicairkan dlm bentuk LNG misalnya).
Note: Sebenarnya ada komponen lain disamping DMO yg bisa digunakan untuk memenuhi pasokan domestik yaitu FTP (First Trance Petroleum). Aturan untuk kedua hal tsb (DMO dan FTP) mestinya bisa saling dikombinasikan.
Oke sementara segitu aja. (Duh, itu aja uraiannya dah cukup panjang, apalagi kalo mesti membahas seluruh pasal2 yg dianggap "bermasalah", ntar Komisi VII jadinya mbalah ndak ada kerjaan dong. Tapi ndak apa2 juga seh, asalkan...wani piro? JK) ::hihi::
:ngopi:
---------- Post Merged at 01:22 PM ----------
BTW sekalian mau koreksi dikit postingan sebelumnya...:
Kwik diangkat sebagai Menteri Ekuin pada...dst
Seharusnya Menko.
Rizal diangkat menjadi Menko Ekuin menggantikan posisi Kwik, tapi itu hanya berlangsung kurang dari setahun (Agustus 2000 s/d Juni 2011) sebelum...dst
Mestinya 2001.
Sori salah ketik. :mrgreen:
:ngopi:
pasingsingan
29-12-2012, 09:07 PM
soal DMO itu hanya ada diatas kertas (baca macan ompong)
kenyataannya malah sering dilanggar, gara2nya apalagi klo bukan disparitas harga?
misal:
harga gas saat ini dipasaran internasional dikisaran 12-15 USD/mmbtu
sementara dipasar domestik mentoknya cumen dikisaran 6 USD/mmbtu
dengan begitu jgnkan K3S, pemerintah RI pun ijo matanya tuk jual keluar
forget it industri domestik megap2 kekurangan gas, klo perlu silakan impor
atau make sumber energi laen yng klo di itung2 jatohnya malah lebih mahal dari gas.
tatakelola migas kita memang sedang berada diera amburadul n babak belur
atau bahasa kerennya "tidak berorientasi pada ketahanan energi nasional"
contoh kasus aneh bin ajaib lg adalah LNG Tangguh di papua
domestik aja berani bayar 5 USD/mmbtu, eh malah dijual keluar tanpa sisa (baca DMO)
dng harga 3 USD/mmbtu, belakangan ribut2 mao renegosiasi .... hasilnya?, mblegedes
koplak :gebuk:
Soal DMO itu hanya ada diatas kertas (baca macan ompong)
kenyataannya malah sering dilanggar, gara2nya apalagi klo bukan disparitas harga?
misal:
harga gas saat ini dipasaran internasional dikisaran 12-15 USD/mmbtu
sementara dipasar domestik mentoknya cumen dikisaran 6 USD/mmbtu
dengan begitu jgnkan K3S, pemerintah RI pun ijo matanya tuk jual keluar
forget it industri domestik megap2 kekurangan gas, klo perlu silakan impor
atau make sumber energi laen yng klo di itung2 jatohnya malah lebih mahal dari gas.
Mestinya, untuk jatah DMO, ya harganya ndak boleh diatas kemampuan daya beli pasar domestik. Dan itu pemerintah yg ngatur n menentukan. Ini harus dipayungi scr hukum, baik itu di level UU ataupun lebih dispesifikkan lagi di aturan turunannya (PP, PerMen, KepMen, dst).
Tapi kalo pemerintah cq BPMIGAS ikut2an ijo matanya dan mbalah yg melanggar aturan DMO itu sendiri, ya itu memang pantas dikepruk kursi. :gebuk:
tatakelola migas kita memang sedang berada diera amburadul n babak belur
Betul, dan itu bersumber dari aturan (UU 22/2001 plus turunan2nya) yg ancurrr!
atau bahasa kerennya "tidak berorientasi pada ketahanan energi nasional"
Itu akibat cara berpikir/bertindak parsial, ad-hoc, ndak terintegrasi, mis-koordinasi, gaya pemadam kebakaran,...kalo ada kebakaran aja baru kalang-kabut gradak-gruduk tambal-sulam. Ya begitulah potret sesungguhnya dari pemerintah kita di bidang kebijakan sektor energi. ::doh::
Kita kan sebenarnya punya UU 30/2007 ttg Kebijakan Energi Nasional, trus selama ini mereka kemanakan? Kita juga punya DEN (Dewan Energi Nasional) sebenarnya selama ini ngapain aja yak?
Mestinya semua kebijakan di sektor energi itu, entah itu migas, minerba, kelistrikan, geothermal, dll harus mengacu ke UU tsb dgn jargon saktinya "mewujudkan ketahanan energi nasional secara berkesinambungan".
Tapi kenyataannya? Amburadul! Semuanya bisa dibilang berjalan sendiri2, minim koordinasi,...migas kex, minerba lah, kelistrikan, EBT (Energi Baru dan Terbarukan),...lhah padahal itu semua kan ada dibawah koordinasi Kementerian ESDM yg terbagi dlm masing2 Direktorat Jenderal?
Dan bicara soal listrik misalnya, saya yakin banyak orang (masyarakat pada umumnya) yg ndak tahu bahkan mungkin ndak pernah denger ada yg namanya Ditjen Ketenagalistrikan dibawah Kementerian ESDM. Masyarakat taunya listrik itu ya PLN.
Lalu bagaimana mungkin sampe terjadi PLN, yg notabene berada di wilayah kekuasaan Ditjen Ketenagalistrikan, sampe bisa megap2 kekurangan gas yg ketersediaannya ada dibawah kekuasaan Ditjen Migas, padahal kedua Ditjen tsb sama2 berada dibawah Kementerian ESDM? Belum lagi soal pasokan batubara (untuk PLTU) yg ada di wilayah Ditjen Minerba?! Apa ndak kebangetan itu namanya?! ::arg!::
Dan jangankan antar Ditjen, lha wong antara BPMIGAS dgn BPHMIGAS aja ndak jelas kok koordinasinya, bahkan sampe pernah terlibat polemik terbuka segala. Belum lagi ribut2 yg pernah terjadi antara (Kepala) BPMIGAS vs (Menteri) ESDM.
Terlepas dari mana pihak yg benar mana yg salah, menurutku kejadian2 tsb adalah sangat konyol n memalukan. ::takmungkin::
contoh kasus aneh bin ajaib lg adalah LNG Tangguh di papua
domestik aja berani bayar 5 USD/mmbtu, eh malah dijual keluar tanpa sisa (baca DMO)
dng harga 3 USD/mmbtu, belakangan ribut2 mao renegosiasi .... hasilnya?, mblegedes
Hooh, itu pemerintah cq BPMIGAS memang gebleg Kang. Bahkan PLN yg mau beli pake harga US$9/mmbtu aja ndak kebagian kok. Mbalah gas eks-Sempra kemarin sempet mau diekspor semua ke Jepang. ::arg!::
Tapi tunggu dulu, kita juga mesti lihat kasus2 lain secara umum ato bahasa kerennya secara "holistik". ;D
Misalnya, setahuku, ConocoPhillips masih jual gas ke PGN pake harga US$ 1,8/mmbtu. Dan menurut data thn 2011, kalo dipukul rata harga domestik itu masih lebih murah sekitar 40% dari harga ekspor. Dan kalo itu dikonversikan ke rupiah, nilai "defisit/subsidi"-nya sekitar 200 trilyun!
Lhah trus gimana dong?
Itu kalo mau diperdebatkan ndak bakalan ada habis2nya krn kedua belah pihak punya cara pandang masing2 yg berbeda. Tapi menurutku, ujung2nya keduanya akan ketemu pada satu konklusi yg sama bahwa secara umum tata kelola alias tata niaga migas kita memang kacau-balau, babak-belur, amburadul alias ndak jelas orientasinya!
Itu yg harus dibongkar/diperbaiki, dari hulu sampe ke hilir!
koplak :gebuk:
Kesimpulannya: Bubarkan UU 22/2001 dan ganti dgn UU Migas yg baru! ::itrocks::
:ngopi:
spears
02-01-2013, 03:41 PM
eh guys...
gw mau nanya..
kan temen gw (2 orang) udah keterima di BP-Migas, tepat sblm BP-Migas dibubarin. tp blm mulai masuk.
nah, tiba2 ada kejadian ini. trus skrg nasib mereka gmana?
gw ga enak jg c mau nanya ke orgnya langsung.
jojox
02-01-2013, 06:23 PM
^mereka akan diangkat, tapi ditempatkan sesuai usulan bagian kepegawaian ke host-institution-nya.
Kl pengin cepet yho, keluar modal dan investasi lagi. Kl mo ngalir seprti biasa yho, tunggu tanggal maennya.
Sementara, coba cek dan follow up terus ke T.U.
@234,
reformasi kebijakan energi kl gtu mas bro?
1 RUU = 9 Milliar di DPR, dibanding nilai taruhan migasnya, tentunya cuman se-upil. Tpi yho gitu, kualitasnya UU bikinan DPR. hwhhwwh. Gw tetep dukung sepenuhnya SBY / eksekutif yg pegang inisiatif, cuman kudu tegas, tirani dan preman dikitlah.
-> Spears
Mestinya sih mereka dialihkan ke SKSP Migas. Kemungkinan lain, krn mereka masih "calon" karyawan, ya menunggu kepastian keberadaan "pengganti BPMIGAS" setelah disahkannya UU Migas yg baru nanti.
-> Jojox
Hooh mas dab, arahnya bisa saja sampe kesana (baca: reformasi) meskipun poin tulisanku sebenarnya lebih menyorot ke soal koordinasi lintas sektoral aja.
***
BTW sekalian koreksi data di postingan sebelumnya...: (Sori kemarin nulisnya cuman ngandelin ingatan aja)
Misalnya, setahuku, ConocoPhillips masih jual gas ke PGN pake harga US$ 1,8/mmbtu.
Per April 2012, harga pasokan gas dari ConocoPhillips ke PGN udah dinaikkan dari US$ 1,85 menjadi US$ 5,61 per mmbtu.
Dan menurut data thn 2011, kalo dipukul rata harga domestik itu masih lebih murah sekitar 40% dari harga ekspor.
Seharusnya 60%.
Dan kalo itu dikonversikan ke rupiah, nilai "defisit/subsidi"-nya sekitar 200 trilyun!
Yg benar 40 triliun (rupiah/tahun).
:ngopi:
pasingsingan
03-01-2013, 07:54 PM
@234:
mengapa saya berani kataken bhw eksekutip grup (baca penentu kebijakan)
lebih demen jual gas keluar dibanding untuk menutupi kebutuhan domestik
ternyata ada justifikasinya, yakni matematika dagang belaka.
pertama:
harga gas dipasar luar jelas lebih menggairahkan dibanding domestik
kedua:
buyer luar bayarnya cash with US$ (fresh money wich direct transfer from trusty bank to BI)
buyer domestik? .... disamping level harganya payah (nego alot), dah gitu bayarnya pake YEN pula
maksudnya YEN ono
ingat piutang pertamina 2011, sekitar kl 7t (cmiiw)
nunggak di PLN, PT KAI, ABRI,MERPATI ... dlsb
sehingga sangat mengganggu cash flow perush tsb
jd, fresh money dimaksud
disamping reasonable tuk mempertebal cadangan devisa
jg sangat bermanfaat bagi ....... terusin sendirilah
jgnkan fresh money hasil ekspor yng jelas2 aman posisinya
wong fresh money hasil utangan aja jadi ajang rebutan tuk nilep kok :gebuk:
jojox
04-01-2013, 02:10 AM
^wah tuh menarik,
bayangin klo kita cuman ngerubah simbol valuta dg currency lain sperti....hmm rupiah?
jdinya mungkin kyk Saddam yg gak mau transaksi pake US$, dan kita tahu yg terjadi dengan iraq.
Makanya perlu dibuat perundangan yg bener sebagai rambu2 aturan mainnya kang.
Kalo dalam pelaksanaannya itu akhirnya cuman jadi "macan ompong" alias dilanggar sendiri oleh "eksekutip grup" ya mestinya DPR (baca: wakil rakyat) yg tereak, kalo perlu pake hak angket buat minta pertanggungjawaban pejabat eksekutif ybs.
Kalo urusannya udah sampe ke soal "bancakan" (baca: nilep uang negara) ya mestinya itu masuk ke wilayah BPK dan KPK.
Tapi kalo ketiga lembaga kontrol tsb udah ndak dipercaya lagi, apalagi udah dianggap sebagai bagian dari "bancakan grup", yo wis mendingan dibubarin sisan negorone. ::toeng2::
(Saya mbalah iso mulih ndeso nglamar jadi senopati di kerajaan Ngayojokarto. Mas dab bisa jadi tumenggung ato minimal demang tuh, kalo ekspor ntar transaksinya pake duit gobang. Kakang minat balik jadi pekathik lagi ndak?) :cengir:
:ngopi:
pasingsingan
06-01-2013, 11:41 AM
Makanya perlu dibuat perundangan yg bener sebagai rambu2 aturan mainnya kang.
Kalo dalam pelaksanaannya itu akhirnya cuman jadi "macan ompong" alias dilanggar sendiri oleh "eksekutip grup" ya mestinya DPR (baca: wakil rakyat) yg tereak, kalo perlu pake hak angket buat minta pertanggungjawaban pejabat eksekutif ybs.
bentul
harus dipetakan ulang cadangan energi kita
kemudian dibuat master plan yng bersifat holistic
meski cadangan energi fosil kita maseh cukup melimpah
gak boleh berperilaku aji mumpung (kuras habis anak-cucu urusan belakang)
bukan wewariskan tatakelola yng baik, tapi malah mewariskan utang yng naujubilah
meski saya pribadi meragukan kapabilitas anggota dewan saat ini
semoga kontrol masyakat n lembaga lain yng peduli dng tatakelola energi
dapat diharapkan. (optimis = mode off)
Kalo urusannya udah sampe ke soal "bancakan" (baca: nilep uang negara) ya mestinya itu masuk ke wilayah BPK dan KPK.
Tapi kalo ketiga lembaga kontrol tsb udah ndak dipercaya lagi, apalagi udah dianggap sebagai bagian dari "bancakan grup", yo wis mendingan dibubarin sisan negorone.
faktanya yng terjadi adalah menggunakan taktik "gotong-royong"
eksekutif-legislatif-yudikatif berjamaah menggarong uang rakyat
biar kata ada 10 biji lembaga semacam BPK or KPK, gak ngepek
wong yng dihadapi itu Mafioso kok?
untuk mengobatinya
tidak ada salahnya mencoba resepnya korsel atau china.
(Saya mbalah iso mulih ndeso nglamar jadi senopati di kerajaan Ngayojokarto.
Mas dab bisa jadi tumenggung ato minimal demang tuh, kalo ekspor ntar transaksinya pake duit gobang.
Kakang minat balik jadi pekathik lagi ndak?)
gah di, balung tuwo
mending balik ke lereng telomoyo bikin padepok’an
ternak lele dan angon wedus
bentul
harus dipetakan ulang cadangan energi kita
kemudian dibuat master plan yng bersifat holistic
meski cadangan energi fosil kita maseh cukup melimpah
gak boleh berperilaku aji mumpung (kuras habis anak-cucu urusan belakang)
bukan wewariskan tatakelola yng baik, tapi malah mewariskan utang yng naujubilah
meski saya pribadi meragukan kapabilitas anggota dewan saat ini
semoga kontrol masyakat n lembaga lain yng peduli dng tatakelola energi
dapat diharapkan. (optimis = mode off)
Sebenarnya itu sudah (pernah) dilakukan dgn dikeluarkannya PerPres 5/2006 yg dipicu oleh terus menurunnya produksi migas sepanjang 10 thn terakhir sejak krismon 1996. Setahun kemudian itu di-undang-kan melalui UU 30/2007 ttg Kebijakan Energi Nasional, sasarannya untuk mewujudkan ketahanan energi nasional scr berkesinambungan dgn bertumpu pada dua kebijakan utama yaitu Konservasi dan Diversifikasi Energi. Untuk meng-handle kedua hal tsb thn 2010 ESDM membentuk Ditjen EBTKE (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi), malah untuk konservasi energi juga udah diterbitkan PP tersendiri (No.70 Thn.2009).
Thn 2008 juga dibentuk DEN (Dewan Energi Nasional) melalui PerPres 26/2008 yg salah satu tugas pokoknya adalah mengawasi pelaksanaan kebijakan di bidang energi yg bersifat lintas sektoral.
Lalu progres n hasilnya? Seperti biasa: "macan ompong". Kayaknya memang krn kontrolnya yg ndak jalan alias sangat lemah. ::doh::
faktanya yng terjadi adalah menggunakan taktik "gotong-royong"
eksekutif-legislatif-yudikatif berjamaah menggarong uang rakyat
biar kata ada 10 biji lembaga semacam BPK or KPK, gak ngepek
wong yng dihadapi itu Mafioso kok?
untuk mengobatinya
tidak ada salahnya mencoba resepnya korsel atau china.
Setuju. Mungkin Monas perlu ditutup untuk umum selama beberapa waktu,...dipinjem dulu buat nggantung para koruptor. ;D
gah di, balung tuwo
mending balik ke lereng telomoyo bikin padepok’an
ternak lele dan angon wedus
Hahaha...yo wis kalo gitu ntar kapan2 kalo lewat tak dolan mampir sambi nglaras tetembangan, ato skali2 sambil ngetes balung tuwo nyari single track buat main "Die Hard" nurunin lereng Telomoyo... ::hohoho::
***
BTT ttg BPMIGAS...
Dari perkembangan bocoran draft RUU terakhir kayaknya pengganti BPMIGAS bukan berbentuk BUMN tapi sebuah Badan (Hukum?) yg berada dibawah (dibentuk langsung oleh) ESDM.
Sepertinya itu berarti nanti akan dibentuk/diatur melalui PerMen (bukan PP) dan ketua/kepala-nya diangkat oleh Menteri (bukan Presiden). Ini menurutku lebih baik dibandingkan posisi Kepala BPMIGAS lalu yg "sejajar dgn Menteri" (baca: sama2 diangkat oleh Presiden) shg terkesan "ekslusif" dan secara struktur menurutku itu ndak bagus untuk urusan koordinasi.
Yg saya kuatirkan kalo seandainya "Badan" tsb ternyata hanya berbentuk sebuah Direktorat dibawah ESDM. Ini lebih beresiko memunculkan "Gayus2" spt halnya di Direktorat Pajak krn berisi birokrat2 murni (pejabat eselon).
Kalo untuk BPHMIGAS, saya malah prefer untuk dibubarkan dan dilebur aja ke Dirjen Migas, menurutku ini akan lebih powerful untuk ngatur industri hilir scr langsung oleh pemerintah, misalnya "memaksa" pemain asing untuk bangun infrastruktur sendiri (misalnya kilang minyak) jgn kayak misalnya Shell n Petronas sekarang yg buka SPBU di-mana2 tapi ndak punya pengolahan (kilang) sendiri, ibaratnya cuman modal "sewa lapak" doang buat jualan BBM,...uenak tenan! Adanya kilang2 baru tsb dapat mengurangi beban kilang2 milik Pertamina yg saat ini kapasitasnya terbatas krn salah satunya faktor "balung tuwo", bahkan bisa buat nambah2 pasokan BBM ke domestik shg Pertamina ndak perlu impor BBM lagi.
:ngopi:
pasingsingan
13-01-2013, 12:50 AM
BTT ttg BPMIGAS...
Dari perkembangan bocoran draft RUU terakhir kayaknya pengganti BPMIGAS bukan berbentuk BUMN tapi sebuah Badan (Hukum?) yg berada dibawah (dibentuk langsung oleh) ESDM.
klo gitu apapun namanya brarti konsepnya tetep G to B
lalu, apa bedanya dng yng dibubarin?
Sepertinya itu berarti nanti akan dibentuk/diatur melalui PerMen (bukan PP) dan ketua/kepala-nya diangkat oleh Menteri (bukan Presiden). Ini menurutku lebih baik dibandingkan posisi Kepala BPMIGAS lalu yg "sejajar dgn Menteri" (baca: sama2 diangkat oleh Presiden) shg terkesan "ekslusif" dan secara struktur menurutku itu ndak bagus untuk urusan koordinasi.
betul
itu jg salah satu kelemahan yng ada di UU 22/2001
yakni, kordinasi teknis antar lembaga.
Yg saya kuatirkan kalo seandainya "Badan" tsb ternyata hanya berbentuk sebuah Direktorat dibawah ESDM. Ini lebih beresiko memunculkan "Gayus2" spt halnya di Direktorat Pajak krn berisi birokrat2 murni (pejabat eselon).
soal gayusers, lembaga model apapun punya potensi salah urus n salah asuhan
dimana-mana masalahnya serupa, yakni melempem/loyonya kontrol internal
serta law enforcement yng buruk.
Kalo untuk BPHMIGAS, saya malah prefer untuk dibubarkan dan dilebur aja ke Dirjen Migas, menurutku ini akan lebih powerful untuk ngatur industri hilir scr langsung oleh pemerintah, misalnya "memaksa" pemain asing untuk bangun infrastruktur sendiri (misalnya kilang minyak) jgn kayak misalnya Shell n Petronas sekarang yg buka SPBU di-mana2 tapi ndak punya pengolahan (kilang) sendiri, ibaratnya cuman modal "sewa lapak" doang buat jualan BBM,...uenak tenan! Adanya kilang2 baru tsb dapat mengurangi beban kilang2 milik Pertamina yg saat ini kapasitasnya terbatas krn salah satunya faktor "balung tuwo", bahkan bisa buat nambah2 pasokan BBM ke domestik shg Pertamina ndak perlu impor BBM lagi.
betul, BPHmigas ini ibarat punya pentungan tp gak ditakuti orang
masalah konsumsi BBM dlm negeri emang makin pelik
laju konsumsinya mengikut deret ukur, sementara kemampuan untuk
memenuhinya merambat dng deret hitung …. ya megap2lah providernya
sehingga persoalan terus berulang, klo gak utak-atik harga BBM
ya impornya dikencengin, ujung2nya isu subsidi bengkak mengintimidasi.
krn ya cumen itu instrumen yng dimainkan.
harusnya kan diversifikasi atau switching dari energi fosil ke non-fosil
segera dilakuken?, tetapi sepertinya enggan atau sengaja bermalas2an, tanya knp?
Ya krn banyak mainan yng menggiurkan disitu :gebuk:
untuk membuat refrinery unit (kilang pengolah BBM) seukuran 100 - 200rb barrel/hari
paling tdk dibutuhkan investasi antara 40 - 60 jt USD (cmiiw), dapat dibayangkan
jika bahan baku yng akan diolah adlh beli/import, tentunya makin tipis margin-nya
persolannya kemudian, berapa lama Return Of Investment-nya bakal tercapai?
itulah salah satu faktor kurang menariknya invest kilang minyak, blom lg soal birokrasi.
Idealnya memang, penyediaan infrastruktur tuh investornya ya pemerintah sendiri
apatah lagi itu menyangkut industri n komoditi strategis.
Hahaha...yo wis kalo gitu ntar kapan2 kalo lewat tak dolan mampir sambi nglaras tetembangan, ato skali2 sambil ngetes balung tuwo nyari single track buat main "Die Hard" nurunin lereng Telomoyo[...
LAH, ya itu yng tak tunggu2 di
info trek seputaran kopeng, banyubiru, ngablak dan sekitarnya
pasti manstaff kuwi .... hmm, glek!
purba
13-01-2013, 10:33 AM
Ane jadi pengen simulasi. Misalkan Indonesia butuh BBM dan punya satu ladang minyak tunggal. Mau ambil sendiri gak bisa. Akhirnya minta orang lain utk mengambilkannya. Konsekuensinya, bagi hasil, Indonesia sekian persen, orang tsb sekian persen. Ok.
Selama kebutuhan BBM Indonesia di bawah prosentasi bagi hasil tadi, tidak ada masalah. Ternyata kebutuhan BBM Indonesia besar, melebihi prosentasi bagi hasil tadi. Apa yg mau dilakukan? Impor dari luar. Ok.
Selama punya duit berlebih, impor BBM gak masalah. Tapi ternyata duit Indonesia cekak, gak bisa impor banyak. Apa yg harus dilakukan? Nah, sampe titik ini mulai banyak mekanisme yg disodorkan. Secara garis besar, bukan begitu jalan ceritanya? Ini mo konfirmasi aje sama mbah 234 (pengamat minyak) dan engkong Pasing (tukang minyak).
:))
pasingsingan
13-01-2013, 03:36 PM
Ane jadi pengen simulasi. Misalkan Indonesia butuh BBM dan punya satu ladang minyak tunggal. Mau ambil sendiri gak bisa. Akhirnya minta orang lain utk mengambilkannya. Konsekuensinya, bagi hasil, Indonesia sekian persen, orang tsb sekian persen. Ok.
bentul
meski ditataran praktisnya tdk sesimpel itu
kontrak kerja sama itu aspeknya tdk sekedar krn kita sendiri tdk/blom mampu
kadang pertimbangan ekonomis semata, misal modal dan resiko kegagalan
terutama untuk cadangan2 yng letaknya di area marginal spt deep water (laut dalam).
Selama kebutuhan BBM Indonesia di bawah prosentasi bagi hasil tadi, tidak ada masalah. Ternyata kebutuhan BBM Indonesia besar, melebihi prosentasi bagi hasil tadi. Apa yg mau dilakukan? Impor dari luar. Ok.
faktanya
Era booming minyak kita dah lewat (Berjaya diera 70an hingga awal 90an)
dulu Indonesia exportir (anggota OPEC), kini net importir dan dah keluar dari opec
ini bukan tdk disadari oleh penggede negeri ini, tp kesungguhan untuk mengantisipasinya
yng tdk diprioritaskan (segera diputuskan dan dilakukan)
pernah jg melakukan taktik comparative margin ratio dlm bisnis, misal
mengekspor minyak andalan (kwalitas super) spt minas light crude, kemudian membeli
minyak low quality spt Arabian crude untuk diolah dan dikonsumsi sendiri.
Ternyata laju konsumsi dlm negeri luar binasa pesatnya hingga kapasitas kilang pengolahan
yng ada saat ini sudah tdk mampu mengimbanginya.
mengapa pertamina tdk segera membangun kilang pengolahan baru?
meski dah mempunyai blue print rencana strategis, untuk merealisasikannya
tidak semudah yng pertamina mau, untuk urusan investasi harus berhadapan dng
kementrian BUMN dan KEUANGAN. Meski dah diyakinkan hingga berbusa-busa
Intinya, ntar dolo, itu rencana investasi ente sesuai skala prioritas kabinet gak?
akhirnya?, ya mandeg dululah …. meski dirutnya dah ganti 5x ya begitu2 aja.
sudahlah itu bagian dari lambat sadar,teledor, terlena, salah langkah ….. babak belur
percuma jg dibahas hingga jungkir-balik. So, what next?
Selama punya duit berlebih, impor BBM gak masalah. Tapi ternyata duit Indonesia cekak, gak bisa impor banyak. Apa yg harus dilakukan? Nah, sampe titik ini mulai banyak mekanisme yg disodorkan. Secara garis besar, bukan begitu jalan ceritanya? Ini mo konfirmasi aje sama mbah 234 (pengamat minyak) dan engkong Pasing (tukang minyak).
cekak disegala bidang hingga bingung menentukan skala prioritasnya atau gmn gitu?
gak jg, faktanya bnyk proyek ecek2 yng gak jelas nilai strategisnya malah dirilis dng anggaran gila2an
mestinya neh pur, kita harus sudah switching dari energy fosil ke non-fosil sejak dekade 90an
setidaknya untuk kebutuhan listriknya dulu deh. Klopun maseh berat, minimal putus dulu
ketergantungan PLN dari migas. Sekarang ini kan gak fokus?, ada pakai PLTA, Batubara, Migas
dan sebagian kecil Geothermal/panas bumi (taraf uji coba).
Anehnya lg, ada teknokrat yng mengataken bhw batubara kita itu high impurities (emisi tinggi)
sehingga tidak comply dng isu lingkungan. LAH, klo emisi tinggi knp jadi rebutan negara spt China,
Taiwan, USA?, sehingga gila2an diekspor tanpa kendali spt yng disitir oleh 234, ini kan alasan
menggelikan? (baca pembodohan). Apa krn alasan itu hingga proyek pembangkit listrik batubara
10jt MW jadi gak jelas progesnya?. Lebih baik dijual saja drpd klo dipake malah kena sue pencemaran.
naïf banget gak seh? ::takmungkin::
Pdhl klo serius, proyek tsb sangat signifikan tuk mengatasi kelangkaan migas jangka panjang
mengingat, deposit cadangan batubara di kaltim saja diperkirakan mampu untuk menopang
kebutuhan listrik selama 100 tahun (dng level konsumsi spt saat ini). Itu baru yng di Kaltim,
bgmn dng yng di Kalsel n Sumatra?
Maksudnya, switching ke batubara dulu sambil mengembangkan energi terbarukan
okelah nuklir maseh rawan gugat krn kekhawatiran teknologi , pdhl cadangan uranium kita
di papua, kalbar n babel jg lumayan menggiurkan. Lalu bgm dng Geothermal? … melimpah!
sangat sangat sangat cukup tuk memenuhi kebutuhan enegi di Sumatra-Jawa-Bali- NTB-NTT
hanya saja, sekali lagi neh, tidak diberikan perhatian atau diprioritaskan pengembangannya.
Sibuk memperdebatkan alasan keekonomiannya, sementara cadangan energi fosil kian
menipis tak terelakkan lagi.
Mungkin nunggu migas habis, batubara habis, uranium habis …. baru panik rebutan sekoci :gebuk:
Saya nambahin aja...
Ane jadi pengen simulasi. Misalkan Indonesia butuh BBM dan punya satu ladang minyak tunggal. Mau ambil sendiri gak bisa. Akhirnya minta orang lain utk mengambilkannya. Konsekuensinya, bagi hasil, Indonesia sekian persen, orang tsb sekian persen. Ok.
Betul. Sebagai gambaran angka kasar, komposisi rasio bagi hasil pemerintah:kontraktor biasanya (kurang lebih) 85:15 untuk minyak dan 75:25 untuk gas. Split ratio itu bisa berubah yg biasanya disesuaikan dgn tingkat kesulitan operasinya, misalnya untuk ladang lepas pantai jatah untuk kontraktor bisa lebih besar lagi tetapi masih tetap lebih besar jatah pemerintah (setahuku paling banter 60:40).
Sebagai catatan tambahan, prosentase yg diterima kontraktor tsb bersifat nett, artinya setelah dipotong pajak plus penggantian biaya operasional yg akan dikembalikan dlm bentuk cost recovery. Bagaimanapun, kalo di-itung2, penerimaan pemerintah (termasuk pajak)tetap lebih besar alias diatas 50% (kalo tidak, tentu saja pemerintah akan menolak program kerja tahunan [WP&B] yg diajukan oleh kontraktor alias tidak boleh produksi n harus direvisi n dihitung ulang).
Selama kebutuhan BBM Indonesia di bawah prosentasi bagi hasil tadi, tidak ada masalah. Ternyata kebutuhan BBM Indonesia besar, melebihi prosentasi bagi hasil tadi. Apa yg mau dilakukan? Impor dari luar. Ok.
Lebih tepatnya melebihi jatah yg tersedia di pasar domestik yg salah satunya diatur melalui DMO.
Kalo dari bagi hasil yg diterima pemerintah mestinya itu (relatif) mencukupi. Masalahnya itupun sebagian besar diekspor oleh pemerintah, bahkan DMO pun bisa dilanggar, dgn dalih meningkatkan pendapatan negara. Ini yg membuat Kang Pasingsingan mencak2. ::hohoho::
Faktor lain, di industri hilir sendiri pun ada persoalan. Kapasitas pengolahan (kilang) Pertamina pun terbatas, belum lagi kilang2 yg memang punya spesifikasi hanya bisa mengolah minyak mentah impor. Artinya, kalopun semua minyak mentah yg disedot itu dialokasikan untuk domestik pun percuma karena ndak sanggup diolah semua.
Jadi menurutku sangat aneh kalo Shell dan Total bisa jualan BBM tapi ndak diwajibkan bangun kilang minyak disini. Pertamina pernah mengajukan untuk buka SPBU di KL tapi ditodong untuk bangun kilang minyak disana dgn dana investasi trilyunan (saya lupa angka persisnya). Kalo ini saya yg mencak2. ::doh::
Selama punya duit berlebih, impor BBM gak masalah. Tapi ternyata duit Indonesia cekak, gak bisa impor banyak. Apa yg harus dilakukan? Nah, sampe titik ini mulai banyak mekanisme yg disodorkan. Secara garis besar, bukan begitu jalan ceritanya? Ini mo konfirmasi aje sama mbah 234 (pengamat minyak) dan engkong Pasing (tukang minyak).
Menambahkan apa yg udah ditulis kang Pasing, untuk kedepan (jangka menengah n panjang) saya menjagokan geothermal, batubara n CBM (coalbed methane ato gas metana batubara) untuk bisa dioptimalkan pemanfaatannya dan itu harus dimulai dari sekarang.
Untuk batubara sebenarnya saat ini produksinya udah cukup berlimpah, tinggal pengaturannya yg masih acak-adut perlu dibereskan. Seperti pemain migas, penyakit mereka pun sama aja yaitu ekspor minded (kita eksportir batubara terbesar lho). Sampe2 nambangnya pun suka2, kalo harga di pasar global naik mereka giat nambang, tapi giliran harga turun bisa ndak nambang sama sekali. Misalnya tahun lalu (2012), banyak tambang (skala kecil-sedang sih) yg bener2 berhenti cuman krn harganya turun, akibatnya beberapa PLTU berbahan bakar batubara pun makin ngos2an.
Untuk geothermal sejauh ini menurutku progresnya udah lumayan lah untuk itungan pemula, dan saya denger2 UU yg baru pun segera diluncurkan (RUU nya udah masuk DPR). Ini perlu dicermati jgn sampe nanti kejadian kayak migas dimana pemain asing menjadi sangat dominan.
Untuk CBM saya masih geregetan kok kayaknya masih jalan ditempat meskipun beberapa udah terlihat progresnya. Ini mesti terus didorong dan saya berharap seperti PGN pun untuk didorong (secara bertahap) ikutan main di industri hulu. Bahkan untuk industri hilir, menurutku mesti diarahkan agar saatnya nanti (kalo produksi gas udah berlimpah) PGN untuk ikut bermain di industri SPBG (termasuk untuk gas konvensional) spy bisa "bahu-membahu" dgn Pertamina untuk menghadang pemain asing.
BTW, perkembangan blok Sanga-Sanga milik VICO gimana kang? Kan infrastrukturnya ndak ribet tuh krn udah terhubung ke LNG Bontang?
:ngopi:
-> Pasingsingan
Oops...sori, beneran mbalah baru kebaca krn baca postingan opung Purba jadi mandek lupa scroll keatas...::doh::
klo gitu apapun namanya brarti konsepnya tetep G to B
lalu, apa bedanya dng yng dibubarin?
Ya, begitulah ternyata adanya. Itu menurut bocoran terakhir draft RUU lho... ::hihi::
Sebenarnya kalo bagi saya sih ndak masalah apakah itu bentuknya seperti BPMIGAS kemarin (Badan Hukum) ataupun dibalikin lagi ke Pertamina.
Yang saya ndak setuju adalah kalo dibentuk BUMN baru (baca: bukan Pertamina) hanya sekedar mengeliminir faktor "G to B". Kedua, saya juga ndak sependapat kalo hanya sekedar dibentuk sebuah Direktorat baru (misalnya Direktorat PSC) di departemen ESDM.
Alasan2 rasionalitasnya rasa2nya sudah terangkum di posting2 saya sebelumnya,...plus n minusnya.
Kalo polemik soal "G to B" kayaknya itu juga belum final di pembahasan dlm ranah hukum. Hikmahanto Juwana (Guru Besar FHUI) pun menyatakan itu bukan persoalan. Bahkan MK pun dalam putusannya kemarin tidak menjadikan itu sbg isu pokok.
Bagaimanapun, sekali lagi, kalo udah bicara pake "bahasa hukum" (baca: masuk ke ranah hukum) saya mendingan angkat tangan aja. Tapi kalo mau dielaborasi lebih lanjut pake "bahasa common sense" ya monggo mawon...
soal gayusers, lembaga model apapun punya potensi salah urus n salah asuhan
dimana-mana masalahnya serupa, yakni melempem/loyonya kontrol internal
serta law enforcement yng buruk.
Yup, tapi setidaknya (disamping upaya2 internal) perlu juga upaya2 lain untuk mengurangi potensi tsb. Ini pun rasa2nya udah tak jelasken cukup panjang lebar di posting2 sebelumnya dgn segala reasons-nya.
LAH, ya itu yng tak tunggu2 di
info trek seputaran kopeng, banyubiru, ngablak dan sekitarnya
pasti manstaff kuwi .... hmm, glek!
::cabul::
:ngopi:
pasingsingan
13-01-2013, 11:11 PM
hush
purba tuh bukan ompung, tapi encang
Untuk geothermal sejauh ini menurutku progresnya udah lumayan lah untuk itungan pemula, dan saya denger2 UU yg baru pun segera diluncurkan (RUU nya udah masuk DPR). Ini perlu dicermati jgn sampe nanti kejadian kayak migas dimana pemain asing menjadi sangat dominan.
untuk saat ini baru pertamina n chevron yng intens mainan panas bumi
kelemahan energi ini tdk bisa diekspor, oleh karenanya hanya cocok untuk konsumsi domestik
pun begitu, tdk menutup kemungkinan jika kelak secara komersial dah sangat bersaing
yng adi kawatirkan bisa saja terjadi, yakni asing kembali dominan dan mendikte pasar domestik.
Kedepan semoga rancangan UUnya sudah mengantisipasi ketololan semacam itu.
Untuk CBM saya masih geregetan kok kayaknya masih jalan ditempat meskipun beberapa udah terlihat progresnya. Ini mesti terus didorong dan saya berharap seperti PGN pun untuk didorong (secara bertahap) ikutan main di industri hulu. Bahkan untuk industri hilir, menurutku mesti diarahkan agar saatnya nanti (kalo produksi gas udah berlimpah) PGN untuk ikut bermain di industri SPBG (termasuk untuk gas konvensional) spy bisa "bahu-membahu" dgn Pertamina untuk menghadang pemain asing.
yng ini agak berbau spekulatif
bocoran saat workshop 2012 kemaren, salah seorang key person PSC mengeluh
margin cbm gak sebanding dng effortnya, makanya pada enggan (baca ogah2an)
menggarap, meski dah mengantongi ijin eksplorasi tapi maseh minta time out terus
pdhl kontrak konsesinya bakal berakhir di 2019 #-o
BTW, perkembangan blok Sanga-Sanga milik VICO gimana kang? Kan infrastrukturnya ndak ribet tuh krn udah terhubung ke LNG Bontang?
LAH ya itu, terkait dng persoalan yng tak sebutken diatas itu
saat ini Vico tinggal ngandelin sumur tuanya yng di muara badak untuk masok gas ke LNG Bontang
itupun kondisinya dah nggotong kompresor kesana-kemari, genjot sana-genjot sini tuk kejar target.
Sementara share terbesarnya maseh dipegang TOTAL dng blok mahakamnya, itupun kontraknya
bakal berakhir di 2017.
untuk saat ini baru pertamina n chevron yng intens mainan panas bumi
kelemahan energi ini tdk bisa diekspor, oleh karenanya hanya cocok untuk konsumsi domestik
pun begitu, tdk menutup kemungkinan jika kelak secara komersial dah sangat bersaing
yng adi kawatirkan bisa saja terjadi, yakni asing kembali dominan dan mendikte pasar domestik.
Kedepan semoga rancangan UUnya sudah mengantisipasi ketololan semacam itu.
PLN juga mesti didorong ikutan main kang, dan kayaknya setahuku itu udah terjadi. PLN udah ngantongin banyak ijin (IUP) untuk garap tambang geothermal. CMIIW.
Problem geothermal sekarang itu kan soal lintas sektoral, dalam hal ini dgn pemerintah daerah dan Departemen Kehutanan. Lha PLTP itu kan sotomatis tempatnya mencit di pegunungan yg notabene masuk wilayah hutan dibawah kekuasaan Dephut. Ijin Pinjam Pakai-nya itu yg ribet, plus IMB dari pemerintah daerah untuk pembangunan infrastrukturnya. Tahu sendirilah sesama lembaga pemerintah pun kan bisa saling sikut2an untuk minta jatah proyek. Nah disini peran DEN yg mesti di-obok2 supaya lebih pro aktif menjembatani masalah tsb.
yng ini agak berbau spekulatif
bocoran saat workshop 2012 kemaren, salah seorang key person PSC mengeluh
margin cbm gak sebanding dng effortnya, makanya pada enggan (baca ogah2an)
menggarap, meski dah mengantongi ijin eksplorasi tapi maseh minta time out terus
pdhl kontrak konsesinya bakal berakhir di 2019 #-o
Mesti dicari tau kenapa itu sampe bisa terjadi (marginnya kecil). Kalo analisisku seh (sori ini agak spekulatif) ada dua faktor:
Pertama, ya subsidi BBM itu sendiri yg secara ndak langsung mematikan industri energi yg lain termasuk CBM. Lha kalo BBM masih semurah sekarang trus itu nanti produk gas CBM sapa yg mau beli? Paling2 cuman PLN, itupun harganya pasti miring banget. Mestinya sih ya coba untuk sementara didorong untuk ekspor dulu dlm bentuk LNG untuk menstimulasi mereka. Kalo dah ketemu itung2an BEP-nya baru deh didorong untuk pasar domestik. Solusi lain, subsidi BBM-nya yg dikurangi, tapi kalo ini masalahnya jadi sensitif banget.
Kedua, masih amburadulnya tambang batubara sekarang bisa jadi itu sedikit banyak menghambat pengembangan CBM lha wong wilayahnya udah jelas sangat berpotensi terjadi tumpah tindih. So, industri batubaranya dulu yg mesti diberesin.
LAH ya itu, terkait dng persoalan yng tak sebutken diatas itu
saat ini Vico tinggal ngandelin sumur tuanya yng di muara badak untuk masok gas ke LNG Bontang
itupun kondisinya dah nggotong kompresor kesana-kemari, genjot sana-genjot sini tuk kejar target.
Sementara share terbesarnya maseh dipegang TOTAL dng blok mahakamnya, itupun kontraknya
bakal berakhir di 2017.
Lhah mbokne VICO (baca: BP) kan pemain CBM top di Amrik kang? Kayaknya doi masih keenakan dgn LNG Tangguhnya kali yak shg belum ngelirik CBM yg marginnya lebih kecil?
Kalo gitu ya mesti agak "digencet" dikit lah supaya mau cepetan nggarap CBM. Eh tapi si "babe" kemarin barusan dapat gelar dari Ratu Enggres yak? Apa iya masih berani nggencet BP? ;D
:ngopi:
Powered by vBulletin® Version 4.2.5 Copyright © 2024 vBulletin Solutions Inc. All rights reserved.