PDA

View Full Version : Silek Minangkabau, Etalase Ribuan Filosofi



kandalf
30-03-2011, 02:44 PM
Salin rekat dari Republika.. (tanpa izin.. )

Silek Minangkabau, Etalase Ribuan Filosofi

Di tengah krisis kebanggaan pada seni tradisi ini, orang asingjustru berbondong-bondong mempelajari.

Fitria Andayani

Lahia silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan. Untuk masyarakat

Minangkabau, silat atau silek tak sekadar sebuah seni bela diri. Lebih dari itu, silek adalah cara untuk berkawan dan pada akhirnya jalan menemukan Tuhan. Silek pun telah meretas jalan dalam torehan sejarah awal berdirinya negeri ini. Kalf" .pertama, silek diperkenalkan oleh Datuk Suri Diraja dari Kerajaan Pariangan di kaki Gunung Merapi pada abad Xl. Sejak itu, silek mulai dipelajari banyak orang, baik itu di Minangkabau hingga Jawa dan Malaysia. Bahkan, di masa Kerajaan Majapahit, silek merupakan ilmu perang untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ini sekaligus mengukuhkan masa keemasan silek di abad ke-16.

Kini, ceritanya berubah. Masa keemasan itu mulaimemudar. "Ini karena tak banyak masyarakat Minangkabau terutama generasi muda yang peduli dengan keberadaannya," ujar seorang pendiri Persatuan Aliran Silek dan Seni Tradisi Minangkabau (Pasti Minangkabau), Aris I

Sofyan. Saat ini, kata Aris, anak muda lebih tertarik belajar kungfu hingga judo ketimbang silek. Muhammad Ikhsan (19 tahun) adalah satu di antaranya. Mahasiswa

ini lebih memilih menekuni tae; kwondo daripada belajar silek . Minangkabau, seni bela diri khas daerah asalnya. Tak hanya beranggapan seni ini sulit dipelajari, "Setahu saya silek kan bukan hanya soal gerakan fisik, melainkan juga ada unsur ilmu kebatinan dan adat," tuturnya. Bahkan, Wahyudi Lukman (21), seorang atlet silat, sempat beranggapan silek kurang berkelas dibandingkan seni-bela diri dari Cina atau Jepang. "Namun, ternyata setelah saya pelajari, justru silat tak sekuno itu. Unsur olahraganya banyak juga kok," tuturnya. Kendati begitu, dia tetap enggan belajar silat tradisi. "Saya dalami silat prestasi saja."

Silek kian berada di jurang kepunahan lantaran banyak tuo silek (guru silat) yang tidak mewariskan semua ilmu yang mereka miliki pada muridnya sehingga tidak ada penerus yang benar-benar menguasai ilmu tersebut. "Tampaknya mereka trauma dengan pengkhianat," ujar Aris. Mereka takut jika mereka memberikan semua ilmu yang mereka miliki kemudian muridnya itu berkhianat, ia tidak memiliki sesuatu yang lebih untuk membela dirinya. "Hal ini berbeda dengan guru bela diri Jepang yang akan memberikan semua ilmunya bahkan lebih pada muridnya," ujar Aris. Sedangkan tuo-tuo silekhanya akan berbagi delapan dari sepuluh ilmu yang dimilikinya. Inilah yang mencemaskan lantaran hanya sedikit pandeka silek (orang yang pandai bersilat) dan tuo silek (pengajar silat) yang tersisa. "Berdasarkan pendataan yang kami lakukan ke-19 daerah tingkat I dan II di seluruh Sumatra Barat, baru ditemukan sekitar 126 tuo silek yang masih eksis mengajar," tuturnya. Sedangkan dari 160 aliran yang teridentifikasi, baru ada 27 aliran silek yang bertiasil ditemukan. "Sisanya belum tergali dan mungkin sudah punah," ujarnya.

Orang asing

Ironisnya, di tengah krisis kebanggaan masyarakat Minang terhadap silek, orang-orang asing justru giat menggali dan belajar khusus tentang ilmu ini. "Bahkan, dari data jumlah murid semua perguruan silek yang ada di negara lain mencapai lebih dari 20 ribu orang," katanya. Orang-orang asing itu biasanya berasal dari Jerman, Belanda, Prancis, Spanyol, Inggris, dan Austria. Antusiasme mereka besar sekali untuk mempelajari berbagai aliran silek, terutama yang menonjol adalah aliran silek tuo dan silek kumango.

Seperti yang dilakukan ketua persilatan Eropa yang berasal dari Jerman, sang ketua ini,ungkap Aris, tak hanya khusus belajar silek Minangkabau aliran silek tuo, tetapi juga membuat disertasi mengenai aliran silekyangdipelajarinya. Aris merasa, ini mengancam eksistensi silek Minang. "Apalagi . kalau mereka berniat mema-tenkannya, silek Minangkabau akan menjadi milik mereka," tuturnya. Biasanya, mereka mendapatkan ilmu tersebut melalui para pandeka silek yang merantau ke luar negeri. Mereka inilah yang mengajarkan ilmu silek pada orang-orang asing di sana. Ada juga orang asing yang sengaja datang ke daerah Minangkabau hanya untuk belajar silek langsung pada tuo-tuo silek. "Orang asing tersebut dapat dengan mudah memperoleh ilmu silek tanpa biaya," ujar Aris.

Setelah kembali ke negaranya, mereka mengajarkan silek bagi orang-orang di negaranya dengan menentukan tarif. "Setiap kepala biasanya dipatok 30 DM (deutsche mark) per jam, rata-rata latihan dilakukan selama dua jam dan dari satu kali latihan minimal terdapat 20 orang," lanjut Aris. Silek memang mengajarkan para pen-dekarnya untuk selalu memiliki kerendahan hati dan berjiwa bersih. Agaknya, itu pula yang menyebabkan banyak tuo-tuo silek menjadi terlalu tulus dan tidak mengharapkan pamrih saat mengajarkan ilmunya.

Namun, akhirnya kebaikanmereka tak jarang dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan. Aris pun menuturkan kisah tentang seorang konglomerat dari Jakarta yang meminta para tuo silek untuk tampil memamerkan ilmunya di Prancis. "Yang namanya orang Indonesia, tentu bangga kalau pergi ke luar negeri," kisah Aris.

Sang konglomerat lalu mengirim para pendekar silat tersebut sampai dua kali. "Sayangnya, selama dua kali tersebut, mereka yang diutus tidak mendapatkan tanda terima kasih yang sepadan," ujar Aris. Mereka hanya diberi Rp 2 juta per orang sesudah tampil padahal keuntungan yang diperoleh oleh konglomerat tersebut sangat besar. Meski kemudian sang konglomerat berjanji untuk memberikan bantuan dana agar silat tradisi ini bisa berkembang, kenyataannya sampai sekarang tidak ada janji yang ditepati.

Kisah itu tak berhenti di sana. Ada pula seorang tuo silek dari Desa Gunuang, Padang Panjang, bernama Inyiak Upiak Palatiang. Dia adalah seorang perempuan tuo silek yang berusia lebih dari 100 tahun. Berkat publikasi di koran lokal, dia terkenal dan makin banyak orang-orang yang datang padanya untuk berguru. "Dan, lagi-lagi dari orang yang berguru padanya itu, dia tidak dapat apa-apa," papar Aris.

Upaya pelestarian

Bagi para pesilek, ilmu silek menyimpan filosofi mendalam. Saking indahnya, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Sumatra Barat berencana untuk menghadirkan fakultas silat tradisi di kampus mereka. Di luar itu, silek pun menyimpan potensi wisata. "Seni bela diri selalu menarik perhatian orang," kata Aris. Dulu, sempat diadakan uji ketangguhan di antara seni bela diri yang lain. Ternyata, silek Minangkabau mampu bersaing bahkan mengalahkan keampuhan seni bela diri yang lain. Meski punya potensi, rupanya usaha pelestarian silek kerap terkendala dana. Tak banyak orang berduit yang mau memberikan sponsor atau donor untuk pembinaan silek. Ini karena silek Minangkabau sudah kurang diminati bahkan oleh masyarakat Minang sendiri. Alhasil, para penyandang dana enggan untuk menginvestasikan uangnya.

Namun, harapan tak pernah pupus. Tim Pasti Minangkabau berusaha giat mendata aliran silek Minangkabau. "Kami akan terus mendata hingga setidaknya kami menemukan lebih dari 50 persen aliran silek Minangkabau," tutur Aris. Mereka juga berusaha mempertemukan guru silek Minangkabau dengan guru silat Jawa sehingga mereka bisa saling mengisi.

Setelah itu, mereka akan memfasilitasi pertemuan an-tara tuo-tuo silek di seluruh Minangkabau. Kegiatan ini pernah diadakan pada 14 Desember 2003 di Bukittinggi. "Rencananya akan kami rutinkan kembali," lanjut Aris. Selain itu, bekerja sama dengan pemerintah daerah, Pasti Minangkabau pun siap mengadakan Festival Silek Minangkabau yang diadakan setiap tahun. Pasti juga melakukan pendekatan dan sejumlah kerja sama dengan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI).

"Salah satunya, agar mereka mau bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional sehingga silek bisa masuk sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah," tuturnya. Silek mungkin saja sebuah tradisi masa lalu. Namun, di dalamnya, kita bisa meresapi kearifan dan filosofi tentang hidup. Selain itu, silek adalah etalase ribuan filosofi yang menyatu dengan alam dan Tuhan. ed endah hapsari

kandalf
14-04-2011, 09:19 AM
Mempertahankan Silat Tradisional di Baringin Marapi

Ubah Pola Pengajaran, ”Jual” Jurus Sampai Masuk Film

Silat, atau di Minangkabau disebut dengan Silek, mengalami kecenderungan ditinggalkan. Bahkan oleh orang Minang sendiri yang sebelumnya bangga dengan seni bela diri tradisi itu. Tuan Peni, pendekar terkenal penguasa sejumlah aliran silat bersama koleganya, membuat terobosan. Mengubah total pola pengajaran, hingga memasukkan jurus silat ke film “Merantau”.

FAJRI HIDAYAT – Sungai Pua
Mencari kediaman sesepuh silat tradisional Minangkabau, Syafni Sutan Kayo (65), atau lebih dikenal dengan Tuan Peni, bukan perkara gampang. Seru*pa menempuh perjalanan wisata alam, begitu yang POSMETRO alami. Meski jalan yang ditem*puh kebanyakan telah beraspal, tapi ukurannya kecil dan berba*tasan langsung dengan rerum*putan liar di pema*tang sawah, khas jalan perkam*pu*ngan. Sepeda mo*tor yang dikendarai pun beberapa kali harus meraung, ka*re*na pendakiannya kebanyakan sangat terjal.

Di beberapa lokasi penurunan tajam, terpaksa pula rem sepeda motor mengeluarkan bu*nyi gemericit. Sepanjang perja*lanan, tampak sawah-sawah berair yang baru siap ditanami padi. Beberapa di antaranya juga ditanami kol dan sawi serta lobak. Suhu udara yang lebih dingin dari Bukittinggi mem*buat tubuh se*dikit menggigil. Se*belum menemukan rumah kayunya di pinggang Gunung Merapi, di Jorong Patalangan, Nagari Sungai Pua, Agam, POSMETRO bersa*ma rekan bernama Peri, harus tersesat berkali-kali. Kami beberapa kali bolak-balik, bertanya sana sini kepada masyarakat yang kami jumpai di jalanan yang sepi. Untung saja sore itu langit sedang cerah.

Perjalanan menjadi sulit, karena petunjuk satu-satunya yang kami miliki adalah nama dan daerah tempat tinggalnya, tanpa tahu pasti tepatnya di mana. Adalah Fauzi Azim, pemilik Perguruan Gumarang Sakti di Tangah Sawah Bukittinggi, yang membe*ritahu kami tentang keberadaan Syafni Sutan Kayo di Sungai Pua, Agam.

Fauzi, mengatakan, Syafni atau lebih dikenal dengan sapaan Tuan Peni, banyak mengetahui seluk-beluk silat serta perkembangannya dari masa ke masa. Sebagai pemimpin perguruan Baringin Marapi yang disebut-sebut sebagai perguruan terbesar dan paling terkenal di Sum*bar, Tuan Peni menguasai sejumlah aliran silat secara sempurna. Kelebi*han lainnya, lelaki kelahiran Sungai Pua, 16 Agustus 1945, itu pun memiliki pe*mikiran maju untuk memper*tahan*kan budaya tradisi silat di masa da*tang. Pemikiran yang sangat jarang ditemukan pada pesilat-pesilat di generasinya, apalagi sebelumnya.

Bekal informasi yang minim itu, tak menyurutkan niat kami menelusuri jalan-jalan kecil tidak rata dan berliku, di tengah-tengah areal persawahan, guna bertatap muka secara langsung dengan sang pendekar. Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) selama sepekan terakhir, mewarnai pencarian kami sore itu. Sembari bertanya sana-sini di mana alamat Tuan Peni, kami pun terpaksa clengak-clenguk mene*lu*suri tempat-tempat penjualan ben*sin eceran, sebab jarum di petunjuk minyak sepeda motor kami, telah melewati zona merah “E”.
Kawasan yang cuma berjarak 6 KM dari Bukittinggi, itu akhirnya kami temukan juga dalam waktu sekitar 3 jam. Sebuah kampung kecil, di ping*gang Gunung Merapi bernama kam*pung Patalangan.

”Ya, di sini rumah Tuan Peni, tapi beliau sedang melatih silat,” kata perempuan setengah baya di sebuah rumah kayu kecil yang di sampingnya ada kedai kopi. Istri Tuan Peni itu tak banyak bicara kepada kami soal kegiatan suaminya. Dia menyarankan agar kami langsung saja menemui Tuan Peni di tempat latihan. Setelah menerima petunjuk lokasi latihan dimaksud, kami berbalik arah dan menyusuri lagi satu jalan yang sebelumnya tidak sempat kami lewati.

Kami akhirnya menemukan Tuan Peni alias Pandeka Rancak sedang mengamati sepuluh orang muridnya lati*han, sambil menikmati sebatang rokok kretek. Dia duduk di pinggir lapangan bola di pinggir jalan, tepat di sebelah kantor Wali Nagari Sungai Pua. Ada beberapa orang laki-laki lebih muda di samping kiri Tuan Peni yang saat itu mengenakan baju batik lengan panjang berwarna kemerahan. Bela*ka*ngan kami ketahui, orang-orang itu adalah adik seperguruan Tuan Peni yang ikut mengembangkan perguru*an Baringin Marapi yang dipim*pinnya.

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk berkenalan dengan laki-laki berkacamata yang rambutnya sudah memutih tersebut. Perjalanan berliku untuk bertemu langsung dengan Tuan Peni pun terobati. Sambutannya yang ramah, telah memudahkan kami untuk langsung terlibat dalam perbin*cangan atau diskusi, lebih kurang 1 jam.

”Kami mencoba mempertahankan silat tradisi dengan mengikuti perkem*bangan zaman. Cara pengajaran seperti yang saya alami berpuluh tahun silam tidak bisa lagi diterapkan saat ini,” kata Syafni, ketika perbin*cangan kami telah menjurus ke inti persoalan tentang mengembalikan minat generasi muda Minang kepada silat tradisional.

Syafni sepertinya sependapat de*ngan adik seperguruannya, Edwel Yus*ri Datuak Rajo Gampo Alam, pen*diri perguruan silat Harimau Minang*kabau yang sekarang bermu*kim di Jakarta. Dalam perbincangan dengan POSMETRO di sela-sela festival silat tradisi yang digelar ormas Sumarak bulan April lalu, Edwel mengatakan, bahwa manajemen silat harus diubah, bila ingin mempertahankan eksisten*sinya di masa akan datang. ”Tak ada lagi pengajaran silat secara sembunyi-sembunyi dan jurus-jurus yang dirahasiakan,” kata Edwel waktu itu.

Syafni pun berkata demikian. Dia menceritakan betapa susahnya dulu belajar silat. Para guru yang didata*nginya cuma mengajarkan beberapa langkah silat. Padahal beberapa langkah itu saja sama sekali tidak cukup untuk digunakan bila berha*dapan dengan lawan, ketika keadaan memaksa kita harus bertarung mem*pertahankan diri dari bahaya.

Syafni pertama kali diajarkan silat oleh kakeknya, Idi Sutan Rumah Panjang, seorang guru silek tuo ternama di Sungai Pua ketika dia baru berumur tujuh tahun. ”Waktu itu, tahun 1952, saya sendiri yang meminta diajarkan (diturunkan) ilmu silat tuo kepada kakek. Tapi, itulah, saya cuma diajarkan empat tangkok (jurus). Padahal setelah merantau ke beberapa tempat di Sumbar, saya ketahui bahwa ada 16 tangkok yang ada di aliran silek tuo ini,” kata bapak enam anak tersebut.

Lelaki bersahaja dan ramah, itu mengaku, akhirnya belajar kepada 18 guru di 16 sasaran (arena latihan silat) berbeda di sejumlah tempat yang pernah dikunjunginya. Empat puluh tahun lebih dia ”berkelana” mengum*pulkan sepotong-sepotong langkah silat dari guru-guru yang didata*nginya sendiri itu.

”Sekarang saya menguasai empat aliran secara sempurna, dan telah saya turunkan semuanya kepada anak, adik dan kemenakan-kemenakan saya,” kata Syafni. Empat aliran itu adalah Kumango, Silek Tuo, Sungai Patai dan Staralak. Namun, secara khu*sus, dia hanya ingin mengem*bang**kan silek tuo. Sementara aliran lainnya diserahkan pengembangan*nya kepada murid dan adik-adik se*perguruannya.

Pengajaran silat yang sepotong-sepotong itulah yang menyebabkan tak banyak generasi penerus yang berminat mempelajari silat. Anak muda sekarang telah terlanjur mengikuti budaya praktis yang ditawarkan oleh orang-orang dari luar negeri. Mereka kebanyakan ingin instan.

(bersambung)

kandalf
14-04-2011, 09:19 AM
Berusaha Masuk Kurikulum Sekolah
Syafni telah lama sadar, bahwa tak akan banyak orang yang mau mengikuti betapa sulitnya dia men¬dapatkan ”tangkok” silat yang sepo¬tong-sepotong itu dalam jangka waktu berpuluh tahun. Untuk itu dia melanjutkan perguruan silat Baringin Marapi dengan metode pengajaran yang “bertolak belakang”.

”Hingga kini, kami masih beru¬saha melakukan kerja sama dengan Dinas Pendidikan Agam, melalui wali nagari untuk memasukkan silat ke dalam kurikulum sekolah,” kata Samsarif Malin Marajo, salah seo¬rang adik seperguruan Syafni yang kini menjadi salah seorang guru di perguruannya. Memasukkan ke dalam kurikulum, merupakan hal tepat yang dapat dilakukan agar silat tak musnah dimakan masa.

Wali Nagari Sungai Pua, Feri Adrianto, yang kami temui sehari setelahnya, membenarkan, bahwa pihaknya sedang mengupayakan agar silat diajarkan di sekolah. ”Tapi untuk sementara, tidak dimasukkan ke kuriku¬lum, tapi melalui kegiatan ekstra kuri¬kuler. Setahun belakangan perguruan silat Baringin Marapi telah berhasil menarik minat 70 orang siswa SD, SMP dan SMA untuk belajar. Tapi masih belum resmi bekerja sama dengan pihak sekolah,” kata Feri, yang juga salah satu pengurus perguruan Baringin Marapi.

Wali nagari peraih penghargaan beberapa kali sebagai wali nagari teladan di Kabupaten Agam itu menya¬ta¬kan, pengajaran silat secara terbuka sudah seharusnya dibudayakan agar tradisi itu tetap bertahan. Dia tak menampik, bahwa hal itu akan membutuhkan banyak biaya, tapi tak akan seberapa bila dibanding dengan hasil besar yang akan dihasilkan di kemudian hari. ”Hingga saat ini, perguruan memang berupaya keras mencari donatur. Uang iuran dari murid tak akan memadai untuk menghidupkan perguruan, apalagi untuk mengikuti sejumlah festival yang diadakan oleh pemerintah dan ormas-ormas yang juga ingin mempetahankan silat tradisional,” kata Feri.
Samsarif juga mengatakan, bahwa banyak gerakan-gerakan silat yang diperbarui. Singkatnya dibuat lebih indah dan mematikan, tak lagi hanya gerakan-gerakan gemulai yang memang indah, tapi tak membangkitkan selera generasi muda untuk mempelajarinya. Ini didasarkan pada pengalamannya, bahwa kebanyakan anak-anak lebih menyukai gerakan yang terbukti bisa digunakan untuk mempertahankan dirinya dari serangan lawan. Gerakan yang lebih tegas, tapi tidak menghilangkan tradisi seni bela diri silat itu sendiri.

Dia sangat setuju dengan gebrakan kawan seperguruannya, Edwel Yusri Datuak Gampo Alam yang mempopulerkan silat Minang dalam film berjudul ”Merantau” beberapa waktu lalu. ”Memang banyak yang mengkritik, bahwa banyak sekali gerakan bela diri yang sepertinya campuran dari sejumlah seni beladiri luar di dalam film itu. Tapi, sebenarnya gerakan-gerakan semacam itu juga telah ada dalam silat Minang,” kata Samsarif.

Keberanian Edwel dalam membentuk aliran baru dalam silat Minang sekaligus mengubah manajemen pengarajannya, kata dia, adalah satu hal yang patut diacungkan jempol. ”Dulu, orang belajar silat malam hari di surau. Ini juga didukung penuh oleh masing-masing orang tua yang mewajibkan anak-anaknya pergi mengaji ke surau di waktu Magrib hingga Isya,” kata Samsarif lagi. Kesempatan semacam itu, sangat memungkinkan anak-anak zaman dulu belajar silat sehabis belajar mengaji.

”Namun, saat ini, orang tua tak lagi menyuruh anak mereka ke surau. Malam hari anak-anak disuruh membuat pekerjaan rumah atau menghafal pelajaran. Jadi, tidak mungkin lagi metode pengajaran silat malam hari diterapkan,” kata Samsarif. Alasan lainnya, belajar silat malam hari juga kemungkinan mengganggu kesehatan anak-anak.

Untuk itulah, Syafni di perguruannya membuka pengajaran silat pada sore hari, di luar jam sekolah. Tujuannya, agar para muridnya tak ketinggalan dalam pelajaran, dan tetap dapat menguasai silat. Perkembangan zaman memang telah menyebabkan anak-anak tak hanya cukup dibekali silat dan mengaji dalam menghadapi kehidupan di masa datang. Mereka dituntut menguasai pula ilmu-ilmu dari sekolah-sekolah yang kurikulumnya telah ditetapkan oleh pemerintah.

Upaya Syafni alias Pandeka Rancak, tampaknya mulai membuahkan hasil. Banyak anak-anak sekolah yang masuk ke perguruan yang dipimpinnya itu. Mereka dengan senang hati menyediakan waktu mempelajari silat, karena memang tak mengganggu aktivitas mereka di sekolah, maupun tugas mereka menghafal pelajaran di malam hari.

Diusianya yang sudah lebih setengah abad, Syafni pun tak perlu lagi bersusah-susah mengajarkan ilmu silat pada generasi penerusnya. Dia telah mengajarkan semua ilmu yang dipelajarinya berpuluh tahun kepada anak ketiganya, Hendi Hidayat. Hendi lah yang kini turun langsung ke “sasaran” membina murid-murid bersama beberapa orang guru lain seperti Samsarif.

”Setidaknya saya telah menghemat banyak waktu anak saya dan juga generasi penerus silat Minang dalam belajar silat. Mereka tak lagi mendapatkan sepotong-sepotong, tapi utuh dari satu sumber,” kata Syafni. Dia mengharapkan metode ini dapat diterapkan oleh ratusan perguruan silat yang ada di Sumbar, bila para tokoh-tokoh silat menginginkan silat tetap membudaya di ranah Minang.

Pemikiran Syafni yang praktis, memang bertolak belakang dari perjalanan menuju rumahnya yang kami tempuh berliku-liku dan jalanan yang seadanya. Mudah-mudahan, di masa akan datang, untuk belajar silat, sebagaimana diharapkan sang pendekar berbudi itu, anak muda Minang tak lagi harus menempuh jalan berliku-liku sebagaimana yang dialaminya bertahun-tahun silam. (*)

Sumber:
1. http://www.erdeka.com/?hal=konten&cat=15&id=431
2. http://www.erdeka.com/?hal=konten&cat=15&id=432

BanRak
23-10-2011, 06:00 PM
itu bukannya lebih condong ke seni dan budaya ?

Ronggolawe
23-10-2011, 10:56 PM
itu bukannya lebih condong ke seni dan budaya ?
Iya bos, seni dan budaya Pertarungan :)

kandalf
26-02-2012, 02:55 AM
Menurut Pak Datuk,
setiap pesilat Harimau wajib menghormati Inyiak Harimau dan karena itu wajib melestarikan hutan tempat tinggal mereka.



http://www.youtube.com/watch?v=UCEM-BBzGGQ