Parameswara Li
08-09-2012, 02:35 PM
http://a5.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/318316_3894812242950_1288775564_n.jpg
http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/246664_3894813122972_1331580274_n.jpg
Din: Muhammadiyah Keberatan Fatwa Sesat Syiah
JAKARTA, KOMPAS.com — Pengurus Pusat Muhammadiyah menegaskan keberatannya atas fatwa sesat Syiah yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan, fatwa tersebut justru akan memicu tindakan intoleransi yang tidak sesuai dengan semangat Islam.
"Atas dasar apa MUI Jatim mengeluarkan fatwa itu? Baik Sunni maupun Syiah adalah sama-sama Muslim karena masih berada di lingkaran syahadat. Menurut kami, yang mempercayai syahadat itu otomatis Islam, apa pun mazhabnya," ujar Din, di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (6/9/2012) malam.
Menurutnya, baik Syiah maupun Sunni pasti mempunyai keunggulan dan kekurangan. Kedua hal itu, lanjutnya, harus disikapi dengan mengedepankan rasa saling menghargai dan toleransi satu sama lain. Kemunculan dua mazhab itu, kata Din, setelah Nabi Muhammad SAW sehingga dapat dipandang sebagai pandangan kritis dalam memaknai Islam. Oleh karena itu, menurutnya, hal itu tidak perlu dipertentangkan.
"Hal yang perlu diingat adalah bagimu pendapatmu dan bagiku pendapatku, mari kita bertoleransi," kata Din.
Ia pun berharap fatwa tersebut dapat dicabut.
Sebelumnya, MUI Jatim tetap pada pendirian tidak akan mencabut fatwa sesat Syiah dengan nomor keputusan 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 tentang kesesatan ajaran Syiah di Indonesia. Alasannya, fatwa itu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ajaran Syiah. MUI Jatim berdalih fatwa tersebut sebenarnya untuk memperkuat fatwa MUI Pusat tahun 1984. Dalam fatwa itu, MUI menegaskan agar masyarakat mewaspadai aliran Syiah.
MUI Jatim turut berpendapat, seorang presiden pun tidak memiliki kuasa mencabut fatwa kesesatan Syiah.
"Bahkan Presiden pun tidak bisa mencabut fatwa kesesatan Syiah," tegas Sekretaris MUI Jawa Timur, M Yunus, Kamis (6/9/2012).
Pemerintah Diminta Upayakan Pencabutan Fatwa Sesat Syiah
JAKARTA, KOMPAS.com - Ahlul Bait Indonesia (ABI) mendesak pemerintah untuk mengupayakan pencabutan fatwa sesat Syiah yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Fatwa sesat Syiah tersebut dinilai menjadi legitimasi tindak kekerasan yang ditujukan pada muslim Syiah di Sampang.
"Fatwa bahwa Syiah sesat seperti yang dikeluarkan oleh MUI Jatim janggal dari sisi manapun. Di negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam) sendiri, kecuali Indonesia, tidak ada itu yang namanya fatwa Syiah sesat. Bahkan di Arab Saudi sana tak pernah muncul fakta fatwa seperti yang dikeluarkan MUI Jatim," ujar Sekretaris Jenderal Ahlul Bait Indonesia Ahmad Hidayat, di Jakarta, Jumat (31/8/2012).
Ia mengungkapkan, tidak lama berselang dari fatwa sesat MUI Jatim, fatwa serupa datang dari PWCU Sampang. Selain fatwa tersebut, sejumlah ulama di Sampang ia katakan juga menyebarkan informasi yang memicu kebencian terhadap para pengikut Syiah.
Dia menggarisbawahi, fatwa sesat terhadap Syiah bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi tertinggi bangsa Indonesia, UUD 1945. Pemerintah, lanjutnya harus mengupayakan pencabutan fatwa dengan segera menggelar dialog. Jika fatwa tersebut tidak dicabut, ungkapnya, kebencian terhadap komunitas Syiah tidak akan menyusut. Fatwa sesat dari MUI Jatim, menurutnya, bertentangan dengan tujuan MUI Pusat yaitu mengayomi seluruh umat muslim dari berbagai Mahzab.
"Intinya, kami mendesak pemerintah untuk menggelar dialog mencabut fatwa sesat atas Syiah. Dalam KTT OKI terakhir, Raja Abdullah (Raja Arab Saudi) kan telah meminta semua negara Islam memfasilitasi dialog antar mahzab," tegasnya.
Sebelumnya, pada tahun 2005 di Amman, Yordania, alim ulama dari negara-negara yang memiliki penduduk muslim, termasuk Indonesia, menandatangani deklrasi yang menyatakan bahwa Syiah adalah mahzab yang sah dari Islam. Persetujuan yang menyatakan Syiah sama di mata Islam dengan mahzab lainnya termasuk Sunni tersebut dinamakan Deklarasi Amman.
MUI Jatim: Kalau Syiah Masih Ada, Tetap Ada Konflik!
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Majelis Ulama Indonesia perwakilan Provinsi Jawa Timur (MUI Jatim) KH Abdusshomad Buchori mengungkapkan, jika muslim Syiah tetap ada maka konflik antara Syiah dan Sunni tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut mengacu pada persepsi negatif sebagian masyarakat Sampang terhadap komunitas Syiah
"Saya yakin kalau Syiah masih tetap ada, maka akan terus terjadi konflik. Sebelum ada Tajul Muluk (pimpinan komunitas Syiah di Sampang), Sampang aman kok," ujar Buchori di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin (3/9/2012).
Buchori mengklaim, komunitas Syiah telah mengganggu ketentraman warga Sampang lantaran memiliki pandangan berbeda dengan Islam Sunni. Perbedaan pokok tersebut, lanjutnya, mengacu pada rukun Iman dalam Syiah yang disebarkan Tajul pada masyarakat Sampang berbeda dengan yang dipelajari dan diyakini muslim Sunni.
Hal itu pulalah yang diakuinya menjadi latar belakang fatwa MUI Jawa Timur terhadap komunitas Syiah. "Dalam aturan MUI Pusat aja 10 kritetia dalam mendakwa aliran agama sesat. Jika 1 sudah terpenuhi dalam 10 kriteria tersebut maka aliran kepercayaan itu sudah sesat," katanya.
Dirinya menggarisbawahi, rukun iman dalam Islam Sunni ada enam sedangkan islam Syiah hanya memiliki lima. Selain itu, dirinya mengakui jika rukun Islam antara Syiah dan Sunni turut berbeda.
Di lain tempat, Ketua MUI Bidang Kerukunan Antar Umat Bergama Slamet Effendy Jusuf, berdalih fatwa MUI lebih ditujukan untuk menjaga sikap masyarakat. Menurut Effendy, penyikapan tersebut harus dihindarkan dari perbuatan yang bersifat kekerasan.
"Fatwa yang kemudian disertai dengan kekerasan tidak dibenarkan oleh MUI. Aapapun alasannya, kekerasan atas sesama manusia tidak dapat ditolerir," tegas Effendy.
Tidak Bisa Tutupi Persoalan Sunni-Syiah
Jakarta, Kompas - Masyarakat Indonesia begitu majemuk dan beragam, karena itu toleransi adalah hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menjaga kerukunan sesama umat beragama. Kasus kekerasan di Sampang tidak bisa disederhanakan dengan menyebutnya hanya persoalan keluarga, tetapi ada akar masalah yang menuntut penyelesaian.
”Kita optimistis bisa menyederhanakan masalah itu sebagai masalah keluarga, tapi kita tidak bisa menutupi persoalan Sunni- Syiah,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dalam Silaturahim Tokoh Bangsa ke-4 bertema ”Toleransi di Tengah Keberagaman” yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Jakarta, Kamis (6/9).
Selain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai tuan rumah, sejumlah tokoh bangsa hadir dalam silaturahim tersebut, antara lain Wakil Ketua PP Muhammadiyah Bambang Soedibyo, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Franz Magnis-Suseno, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Martinus D Situmorang, Ketua Umum DPP Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto, mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung, pengusaha Sofjan Wanandi, sejarawan Taufik Abdullah, dan Fuad Bawazier.
Menurut Asshiddiqie, modal utama kerukunan hidup berbangsa adalah kerukunan antar dan interumat beragama. Bambang Soedibyo prihatin akan tingginya intoleransi di Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya ketidakadilan. Selain itu, demokrasi dipersepsikan masyarakat sebagai bebas mengekspresikan kemauannya sehingga terjadi perilaku yang melampaui batas.
”Aparat kepolisian tampak gamang untuk bertindak,” kata Bambang Soedibyo.
Menurut Franz Magnis-Suseno, sebenarnya toleransi di Indonesia masih terbilang tinggi karena sekitar 95 persen masyarakat masih hidup/bekerja/berinteraksi dalam kesatuan.
”Indonesia juga punya aset besar organisasi keagamaan. Kami yang Katolik jika ada masalah tidak mengontak kepolisian, tapi kami pergi ke NU dan Muhammadiyah. Jadi tidak ada kompromi dan jangan biarkan kekerasan. Harus ada pendidikan mengenai toleransi dan menerima perbedaan,” kata Frans Magniz-Suseno.
Mgr Martinus D Situmorang mengatakan, liberalisasi kehidupan membuat demokrasi terkontaminasi dan terdeviasi. Politik seharusnya mengelola dan memperjuangkan kepentingan publik, dan politik tidak kotor. Namun, karena materialisme telah begitu menguasai, politik membuat galau masyarakat. Pendidikan hanya menjadi sekadar formalitas pendidikan dan pembelajaran.
Di tempat terpisah, Menteri Agama Suryadharma Ali menilai akar kerukunan umat beragama di Indonesia sesungguhnya sudah kokoh. Konflik beragama lebih disebabkan provokator.
Warga Syiah Sampang Tolak Disumpah
SAMPANG, KOMPAS.com - Rencana Pemerintah Kabupaten Sampang, Jawa Timur, untuk menyumpah pengikut Syiah Sampang agar kembali ke ajaran Sunni, ditolak keras warga Syiah. Mereka memandang, sumpah bukan hal yang sembarangan untuk diucapkan, karena menyangkut keyakinan seseorang terhadap agama.
Iklil Al Milal, tokoh Syiah Sampang, Rabu (5/9/2012) mengatakan, jika pengambilan sumpah itu mau dilaksanakan, maka warga Syiah tidak akan mengikutinya karena Syiah bukan ajaran sesat seperti yang dibicarakan Pemkab Sampang dan sejumlah ulama Madura.
"Kalau mereka memaksa mengambil sumpah sama saja mereka memaksakan keyakinan kepada seseorang. Itu juga melanggar konstitusi negara ini," kata Iklil.
Ditambahkan Iklil, Syiah di Indonesia diakui secara sah dan tidak ada yang mengatakan Syiah itu sesat. "Saya juga kecewa karena ada ulama di Madura yang mengatakan Syiah sesat," imbuhnya.
Sebelumnya, Noer Tjahja, Bupati Sampang, Jumat lalu dalam sebuah konferensi pers menyampaikan, akan menyumpah warga Syiah dan Sunni agar mereka tidak bertikai lagi. Sumpah itu direncanakan akan dilaksanakan di salah satu masjid di Sampang, di mana masjid tersebut kerap dijadikan tempat pengambilan sumpah pocong dan sumpah-sumpah lainnya.
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/07/09330267/Din.Muhammadiyah.Keberatan.Fatwa.Sesat.Syiah
http://nasional.kompas.com/read/2012/08/31/2224111/Pemerintah.Diminta.Upayakan.Pencabutan.Fatwa.Sesat .Syiah
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/03/15355642/MUI.Jatim.Kalau.Syiah.Masih.Ada.Tetap.Ada.Konflik.
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/07/04502227/Tidak.Bisa.Tutupi.Persoalan.Sunni-Syiah
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/05/14415838/Warga.Syiah.Sampang.Tolak.Disumpah.
http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/246664_3894813122972_1331580274_n.jpg
Din: Muhammadiyah Keberatan Fatwa Sesat Syiah
JAKARTA, KOMPAS.com — Pengurus Pusat Muhammadiyah menegaskan keberatannya atas fatwa sesat Syiah yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan, fatwa tersebut justru akan memicu tindakan intoleransi yang tidak sesuai dengan semangat Islam.
"Atas dasar apa MUI Jatim mengeluarkan fatwa itu? Baik Sunni maupun Syiah adalah sama-sama Muslim karena masih berada di lingkaran syahadat. Menurut kami, yang mempercayai syahadat itu otomatis Islam, apa pun mazhabnya," ujar Din, di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (6/9/2012) malam.
Menurutnya, baik Syiah maupun Sunni pasti mempunyai keunggulan dan kekurangan. Kedua hal itu, lanjutnya, harus disikapi dengan mengedepankan rasa saling menghargai dan toleransi satu sama lain. Kemunculan dua mazhab itu, kata Din, setelah Nabi Muhammad SAW sehingga dapat dipandang sebagai pandangan kritis dalam memaknai Islam. Oleh karena itu, menurutnya, hal itu tidak perlu dipertentangkan.
"Hal yang perlu diingat adalah bagimu pendapatmu dan bagiku pendapatku, mari kita bertoleransi," kata Din.
Ia pun berharap fatwa tersebut dapat dicabut.
Sebelumnya, MUI Jatim tetap pada pendirian tidak akan mencabut fatwa sesat Syiah dengan nomor keputusan 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 tentang kesesatan ajaran Syiah di Indonesia. Alasannya, fatwa itu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ajaran Syiah. MUI Jatim berdalih fatwa tersebut sebenarnya untuk memperkuat fatwa MUI Pusat tahun 1984. Dalam fatwa itu, MUI menegaskan agar masyarakat mewaspadai aliran Syiah.
MUI Jatim turut berpendapat, seorang presiden pun tidak memiliki kuasa mencabut fatwa kesesatan Syiah.
"Bahkan Presiden pun tidak bisa mencabut fatwa kesesatan Syiah," tegas Sekretaris MUI Jawa Timur, M Yunus, Kamis (6/9/2012).
Pemerintah Diminta Upayakan Pencabutan Fatwa Sesat Syiah
JAKARTA, KOMPAS.com - Ahlul Bait Indonesia (ABI) mendesak pemerintah untuk mengupayakan pencabutan fatwa sesat Syiah yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Fatwa sesat Syiah tersebut dinilai menjadi legitimasi tindak kekerasan yang ditujukan pada muslim Syiah di Sampang.
"Fatwa bahwa Syiah sesat seperti yang dikeluarkan oleh MUI Jatim janggal dari sisi manapun. Di negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam) sendiri, kecuali Indonesia, tidak ada itu yang namanya fatwa Syiah sesat. Bahkan di Arab Saudi sana tak pernah muncul fakta fatwa seperti yang dikeluarkan MUI Jatim," ujar Sekretaris Jenderal Ahlul Bait Indonesia Ahmad Hidayat, di Jakarta, Jumat (31/8/2012).
Ia mengungkapkan, tidak lama berselang dari fatwa sesat MUI Jatim, fatwa serupa datang dari PWCU Sampang. Selain fatwa tersebut, sejumlah ulama di Sampang ia katakan juga menyebarkan informasi yang memicu kebencian terhadap para pengikut Syiah.
Dia menggarisbawahi, fatwa sesat terhadap Syiah bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi tertinggi bangsa Indonesia, UUD 1945. Pemerintah, lanjutnya harus mengupayakan pencabutan fatwa dengan segera menggelar dialog. Jika fatwa tersebut tidak dicabut, ungkapnya, kebencian terhadap komunitas Syiah tidak akan menyusut. Fatwa sesat dari MUI Jatim, menurutnya, bertentangan dengan tujuan MUI Pusat yaitu mengayomi seluruh umat muslim dari berbagai Mahzab.
"Intinya, kami mendesak pemerintah untuk menggelar dialog mencabut fatwa sesat atas Syiah. Dalam KTT OKI terakhir, Raja Abdullah (Raja Arab Saudi) kan telah meminta semua negara Islam memfasilitasi dialog antar mahzab," tegasnya.
Sebelumnya, pada tahun 2005 di Amman, Yordania, alim ulama dari negara-negara yang memiliki penduduk muslim, termasuk Indonesia, menandatangani deklrasi yang menyatakan bahwa Syiah adalah mahzab yang sah dari Islam. Persetujuan yang menyatakan Syiah sama di mata Islam dengan mahzab lainnya termasuk Sunni tersebut dinamakan Deklarasi Amman.
MUI Jatim: Kalau Syiah Masih Ada, Tetap Ada Konflik!
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Majelis Ulama Indonesia perwakilan Provinsi Jawa Timur (MUI Jatim) KH Abdusshomad Buchori mengungkapkan, jika muslim Syiah tetap ada maka konflik antara Syiah dan Sunni tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut mengacu pada persepsi negatif sebagian masyarakat Sampang terhadap komunitas Syiah
"Saya yakin kalau Syiah masih tetap ada, maka akan terus terjadi konflik. Sebelum ada Tajul Muluk (pimpinan komunitas Syiah di Sampang), Sampang aman kok," ujar Buchori di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin (3/9/2012).
Buchori mengklaim, komunitas Syiah telah mengganggu ketentraman warga Sampang lantaran memiliki pandangan berbeda dengan Islam Sunni. Perbedaan pokok tersebut, lanjutnya, mengacu pada rukun Iman dalam Syiah yang disebarkan Tajul pada masyarakat Sampang berbeda dengan yang dipelajari dan diyakini muslim Sunni.
Hal itu pulalah yang diakuinya menjadi latar belakang fatwa MUI Jawa Timur terhadap komunitas Syiah. "Dalam aturan MUI Pusat aja 10 kritetia dalam mendakwa aliran agama sesat. Jika 1 sudah terpenuhi dalam 10 kriteria tersebut maka aliran kepercayaan itu sudah sesat," katanya.
Dirinya menggarisbawahi, rukun iman dalam Islam Sunni ada enam sedangkan islam Syiah hanya memiliki lima. Selain itu, dirinya mengakui jika rukun Islam antara Syiah dan Sunni turut berbeda.
Di lain tempat, Ketua MUI Bidang Kerukunan Antar Umat Bergama Slamet Effendy Jusuf, berdalih fatwa MUI lebih ditujukan untuk menjaga sikap masyarakat. Menurut Effendy, penyikapan tersebut harus dihindarkan dari perbuatan yang bersifat kekerasan.
"Fatwa yang kemudian disertai dengan kekerasan tidak dibenarkan oleh MUI. Aapapun alasannya, kekerasan atas sesama manusia tidak dapat ditolerir," tegas Effendy.
Tidak Bisa Tutupi Persoalan Sunni-Syiah
Jakarta, Kompas - Masyarakat Indonesia begitu majemuk dan beragam, karena itu toleransi adalah hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menjaga kerukunan sesama umat beragama. Kasus kekerasan di Sampang tidak bisa disederhanakan dengan menyebutnya hanya persoalan keluarga, tetapi ada akar masalah yang menuntut penyelesaian.
”Kita optimistis bisa menyederhanakan masalah itu sebagai masalah keluarga, tapi kita tidak bisa menutupi persoalan Sunni- Syiah,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dalam Silaturahim Tokoh Bangsa ke-4 bertema ”Toleransi di Tengah Keberagaman” yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Jakarta, Kamis (6/9).
Selain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai tuan rumah, sejumlah tokoh bangsa hadir dalam silaturahim tersebut, antara lain Wakil Ketua PP Muhammadiyah Bambang Soedibyo, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Franz Magnis-Suseno, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Martinus D Situmorang, Ketua Umum DPP Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto, mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung, pengusaha Sofjan Wanandi, sejarawan Taufik Abdullah, dan Fuad Bawazier.
Menurut Asshiddiqie, modal utama kerukunan hidup berbangsa adalah kerukunan antar dan interumat beragama. Bambang Soedibyo prihatin akan tingginya intoleransi di Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya ketidakadilan. Selain itu, demokrasi dipersepsikan masyarakat sebagai bebas mengekspresikan kemauannya sehingga terjadi perilaku yang melampaui batas.
”Aparat kepolisian tampak gamang untuk bertindak,” kata Bambang Soedibyo.
Menurut Franz Magnis-Suseno, sebenarnya toleransi di Indonesia masih terbilang tinggi karena sekitar 95 persen masyarakat masih hidup/bekerja/berinteraksi dalam kesatuan.
”Indonesia juga punya aset besar organisasi keagamaan. Kami yang Katolik jika ada masalah tidak mengontak kepolisian, tapi kami pergi ke NU dan Muhammadiyah. Jadi tidak ada kompromi dan jangan biarkan kekerasan. Harus ada pendidikan mengenai toleransi dan menerima perbedaan,” kata Frans Magniz-Suseno.
Mgr Martinus D Situmorang mengatakan, liberalisasi kehidupan membuat demokrasi terkontaminasi dan terdeviasi. Politik seharusnya mengelola dan memperjuangkan kepentingan publik, dan politik tidak kotor. Namun, karena materialisme telah begitu menguasai, politik membuat galau masyarakat. Pendidikan hanya menjadi sekadar formalitas pendidikan dan pembelajaran.
Di tempat terpisah, Menteri Agama Suryadharma Ali menilai akar kerukunan umat beragama di Indonesia sesungguhnya sudah kokoh. Konflik beragama lebih disebabkan provokator.
Warga Syiah Sampang Tolak Disumpah
SAMPANG, KOMPAS.com - Rencana Pemerintah Kabupaten Sampang, Jawa Timur, untuk menyumpah pengikut Syiah Sampang agar kembali ke ajaran Sunni, ditolak keras warga Syiah. Mereka memandang, sumpah bukan hal yang sembarangan untuk diucapkan, karena menyangkut keyakinan seseorang terhadap agama.
Iklil Al Milal, tokoh Syiah Sampang, Rabu (5/9/2012) mengatakan, jika pengambilan sumpah itu mau dilaksanakan, maka warga Syiah tidak akan mengikutinya karena Syiah bukan ajaran sesat seperti yang dibicarakan Pemkab Sampang dan sejumlah ulama Madura.
"Kalau mereka memaksa mengambil sumpah sama saja mereka memaksakan keyakinan kepada seseorang. Itu juga melanggar konstitusi negara ini," kata Iklil.
Ditambahkan Iklil, Syiah di Indonesia diakui secara sah dan tidak ada yang mengatakan Syiah itu sesat. "Saya juga kecewa karena ada ulama di Madura yang mengatakan Syiah sesat," imbuhnya.
Sebelumnya, Noer Tjahja, Bupati Sampang, Jumat lalu dalam sebuah konferensi pers menyampaikan, akan menyumpah warga Syiah dan Sunni agar mereka tidak bertikai lagi. Sumpah itu direncanakan akan dilaksanakan di salah satu masjid di Sampang, di mana masjid tersebut kerap dijadikan tempat pengambilan sumpah pocong dan sumpah-sumpah lainnya.
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/07/09330267/Din.Muhammadiyah.Keberatan.Fatwa.Sesat.Syiah
http://nasional.kompas.com/read/2012/08/31/2224111/Pemerintah.Diminta.Upayakan.Pencabutan.Fatwa.Sesat .Syiah
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/03/15355642/MUI.Jatim.Kalau.Syiah.Masih.Ada.Tetap.Ada.Konflik.
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/07/04502227/Tidak.Bisa.Tutupi.Persoalan.Sunni-Syiah
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/05/14415838/Warga.Syiah.Sampang.Tolak.Disumpah.