PDA

View Full Version : [CERPEN] Amelia



red_pr!nce
19-08-2012, 11:17 PM
Secarik uang kertas senilai Rp 100.000,- kukeluarkan dari dompet hitamku. Sebuah angpao merah yang bergambar dua buah hati sudah menunggu untuk dibuka agar uang kertas itu bisa dimasukkan ke dalamnya. Kuperiksa lagi, jumlah uang yang tersimpan di dompetku yang cukup tebal itu. Ya, kurasa cukuplah jumlah uang itu untuk membiayai perjalananku dari rumahku di BSD City ke Menara Cordova tempat berlangsungnya resepsi pernikahan antara kedua sahabatku.

Jam 5 sore, aku berangkat dari rumah meskipun resepsi pernikahan baru dimulai 2 jam setelahnya. Saya tahu bahwa setiap malam Minggu, jalanan di Jakarta selalu macet, terutama di jalan tol Jakarta-Tangerang serta di jalan tol Lingkar Dalam Jakarta yang menuju ke arah Tanjung Priok. Sepanjang perjalanan, aku terus teringat akan momen-momen berharga bersama kedua sahabatku itu, mulai dari perjumpaan antara aku dengan mereka, hingga pertunangan mereka.

Setelah melaju selama 20 menit, aku baru mengetahui bahwa Sabtu sore itu, jalanan di Jakarta lebih sepi daripada biasanya. Tanpa hambatan, aku keluar pintu tol menuju Mangga Dua. Aku mampu melalui lampu merah maut yang berada di perempatan antara Ancol dengan Mangga Dua dengan lancar. Akhirnya, aku tiba di tempat tujuan ketika jarum panjang menunjuk angka 9, dan jarum pendek menunjuk angka antara 5 dan 6. Tepat pukul 17:45, saya tiba di lokasi.

Sepertinya aku harus menunggu cukup lama hingga resepsi dimulai.

Sambil mendengarkan lagu-lagu AKB48 yang lucu seperti "Give Me Five" dan "Ponytail to Shushu", aku kembali teringat akan persahabatan antara diriku dengan pasangan mempelai ini. Suka duka telah kami lalui bersama. Ada saat-saat di mana kami bekerja sama ketika berjuang demi kelulusan kuliah. Ada juga saat-saat di mana kami berseteru karena masalah cinta. Ya...cinta. Cinta memang bagaikan kutukan bagiku. Jasmine akhirnya memilih Jason dan bukan aku.

"Ananta sayang... Nonton yuk"
"Mau nonton apa, Jasmine?"
"Nonton film 2012 aja yuk"
"Hayuk aja. Tapi gak apa-apa tuh lu nonton film action begitu? Elu kan gak suka film action, Jasmine..."
"Penasaran tau. Seperti apa sih kiamat itu..."
"Kiamat masih lama. Masih tahun 2012. Yang penting kita nikah dulu sebelum kiamat"

Suara Jasmine yang halus, lembut, dan terdengar seperti gadis manja masih terngiang-ngiang dalam ingatanku ketika dia memilih film 2012 untuk ditonton di bioskop. Tiga tahun telah berlalu, tapi seakan suara itu akan tetap ada untuk selamanya. Aku teringat juga ucapanku tentang menikahinya sebelum tahun 2012, meski kini aku hanya menjadi seorang yang harus bertahan hidup dengan duniaku sendiri setelah dia meninggalkanku demi Jason. Masalah klasik.

Pukul 18:15, sepertinya aku sudah bosan duduk diam di jok mobil. Apalagi kalau AC menyala terus-menerus, bensinnya akan cepat habis. Sementara kalau AC dimatikan, saya akan berkeringat di mana-mana. Kuputuskan untuk keluar dari mobil dan masuk ke Menara Cordova melalui pintu depan. Beruntung, saya tidak diusir keluarga kedua mempelai karena datang ke tempat resepsi lebih awal daripada seharusnya. Mereka sedang sibuk mempersiapkan resepsi.

Saat itulah, aku melihat Jasmine sedang menggandeng lengan Jason. Wajahnya penuh kebahagiaan. Seandainya kini Jasmine menikah denganku, belum tentu dia sebahagia sekarang ini. Jason memang merupakan orang yang tepat baginya. Saya kenal Jason sejak awal kuliah dan saya tahu dia seperti apa. Dia adalah tipe pria yang bertanggung jawab dan berani mengambil resiko, meskipun kadang ceroboh. Namun bukankah kualitas seperti itu yang dibutuhkan wanita manja seperti Jasmine?

Rasa pedih di hati ini masih coba kutahan. Berbagai gambaran tentang kedekatanku dengan Jasmine di masa lalu justru kembali muncul di saat-saat seperti ini. Aku masih ingat bagaimana aku tertawa dan menangis bersamanya, bagaimana aku mengorbankan jam kuliahku demi dia, bagaimana aku meninggalkan waktu luangku untuk menghibur dia yang sedang sedih karena ayah dan ibunya yang kerap bertengkar. Dalam hatiku, aku masih merasa sebagai pria yang bisa menyelamatkannya.

Tapi seringkali pria penyelamat bukan berarti kekasih.
Kekasih adalah seseorang yang bisa menemaninya seumur hidup.
Kalau saya sepertinya tidak ditakdirkan untuk hidup bersamanya seumur hidup.

"Ananta!". Tiba-tiba, Jasmine menghampiriku. Dia menggenggam tanganku selama beberapa detik hanya untuk menggandengku menghadap Jason yang tampak gagah dan tampan dalam busana mewahnya. Kacamatanya yang bersih menambah kegantengannya, sementara postur tubuhnya yang tegak seolah memberi tahu siapapun bahwa dia adalah seorang yang tepat untuk melindungi Jasmine seumur hidupnya dalam segala situasi.

"Selamat ya, bro! Sebentar lagi elu akan jadi suami dan ayah!", ucapku dengan suara yang kurang meyakinkan. Sepertinya dia menangkap maksudku yang tersembunyi.

Lalu dia katakan, "Sorry ya, bro. Mungkin udah seharusnya jalan hidup kita bertiga kayak begini", sambil menepuk bahuku sebelum memelukku erat-erat layaknya sahabat.

"Gak apa-apa koq, bro. Gw udah maafin elu. Gw juga udah maafin Jasmine. Manusia bisa khilaf, kan? Mungkin ini jalan yang terbaik buat kita bertiga", ucapku lagi sambil menahan kepedihan hatiku. Jasmine mendengar seluruh percakapan kami berdua. Dia pun menepuk bahuku dan memelukku erat-erat layaknya sahabat.

"Please maafin aku ya, Ananta. Aku gak sangka akhirnya akan jadi kayak gini buat kita berdua", mata Jasmine berkaca-kaca.

Tidak ingin kuhancurkan resepsi pernikahannya di hari yang bahagia ini, aku segera mengalihkan topik dengan memberikan pertanyaan kecil, "Bro, menurut elu siapa yang bakalan menang Pilkada DKI Putaran Kedua?".

Pembicaraan kami tentang politik yang pada akhirnya merembet ke mana-mana pun mengalir dengan santai tanpa beban apapun mengenai masa lalu kami bertiga. Terus-terang, saya merindukan saat-saat seperti ini - seperti saat kuliah - di mana kami tidak memiliki beban apapun untuk berkomunikasi satu sama lain. Namun aku berpikir positif. Setidaknya aku bisa menghidupkan suasana seperti ini lagi pada detik-detik terakhir perpisahan kami.

Jam setengah 8 malam, akhirnya resepsi pernikahan antara Jasmine dan Jason dimulai. Resepsi berlangsung sangat mengharukan bagi kami bertiga, terutama ketika aku ditanyakan oleh MC mengenai hubungan persahabatan kami bertiga di masa lalu yang penuh suka dan duka. Tentu tidak pantas menceritakan hal-hal yang menyedihkan di saat seperti ini. Meskipun hati masih terbebani, namun aku mencoba untuk melepaskan segala duka yang pernah kami lalui. Aku menceritakan hal-hal yang baik saja.

Ketika tiba saatnya makan malam, aku merasakan sesuatu yang tidak biasa. Saya tidak merasa lapar sama sekali, meskipun makanan yang disediakan terlihat sangat menggiurkan. Ada nasi goreng, bebek, salmon, hingga siomay, namun tak ada satupun yang menggugah selera saya di malam ini. Saya hanya minum Coca Cola saja untuk mengatasi dahaga saya yang tak tertahankan. Selebihnya, saya menuju teras untuk merenungi apa yang telah terjadi antara kami bertiga.

- BERSAMBUNG -

red_pr!nce
22-08-2012, 08:51 AM
Hujan membasahi bumi. Petir menggelegar. Angin berlomba-lomba menghempaskan kemeja lengan pendek berwarna merah muda yang saya pakai. Pikiran saya kilas balik menuju empat bulan yang lalu, di saat-saat saya memiliki konflik dengan Jasmine dan Jason.




Pada Minggu pagi yang cerah itu, tidak seperti biasanya, saya terbangun tidur jam 9 pagi. Saya bermimpi yang cukup aneh. Seorang gadis yang saya kenal dekat melambai-lambaikan tangannya kepada saya sebelum akhirnya dia hilang ditelan cahaya di kejauhan. Dalam mimpi itu, saya tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajah gadis itu, melainkan hanya gambar yang sedikit buran. Sungguh mimpi yang aneh, dan semoga ini semua hanya mimpi, saya pikir.

Saya merasakan keanehan pada Jasmine saat itu. Biasanya, setiap pukul 6 pagi dia membangunkan saya. Namun hingga saya terbangun siang, saya tidak melihat miscall, BBM, maupun SMS darinya. Secara tak langsung, saya berpikir terjadi sesuatu dengannya. Mungkinkah dia sakit? Atau mungkinkah HP-nya rusak? Atau juga mungkinkah pulsanya habis? Banyak kemungkinannya. Tapi saya tidak pernah menduga macam-macam terhadap pacar saya itu.

Setelah mencoba mengirimkannya SMS maupun BBM serta meneleponnya berkali-kali dan tidak ada jawaban, saya berpikir bahwa saya harus mendatangi rumahnya yang terletak tidak jauh dari rumah saya. Rumah kami berdua hanya terpaut beberapa blok saja meskipun masih berada dalam kompleks perumahan yang sama. Didorong oleh rasa khawatir, saya pun bergegas ke rumahnya. Kebetulan hari itu adalah hari libur, di mana jalanan sangat lengang.

Setibanya di rumah Jasmine, saya mendapati rumahnya hanya dihuni oleh kedua orang tuanya dan seorang kakak perempuannya.

"Jasmine belum pulang. Kita pikir dia pergi sama kamu", ucap ibunya dengan nada penuh kekhawatiran.

"Kemarin sore dia berangkat ke pesta temannya. Kamu juga tahu kan?", tanya ayahnya kepadaku.

Saya langsung merasa seperti dihakimi sebagai seorang pacar yang tidak bisa menjaga pasangannya sendiri. Jujur, bahkan saya saja tidak tahu kalau kemarin sore dia berangkat ke pesta temannya. Kemarin malam dia memberikan kabar kalau dia hanya tidur di rumah saja. Sebelum kakak perempuannya berkata apapun, saya langsung mengatakan yang sejujurnya kepada mereka.

Saya dibohongi oleh pacar saya sendiri!

"Wah, koq Jasmine jadi seperti itu ya?", tanya ibunya yang tidak habis pikir.

"Bahaya nih, mommy. Ada sesuatu sama Jasmine", ucap kakak perempuannya.

Saya langsung menanyakan alamat di mana Jasmine menghadiri pesta temannya. Ibunya memberitahu bahwa Jasmine pergi ke rumah Jason, karena pesta diadakan di rumahnya semalam suntuk. Tanpa pikir panjang dan basa-basi, saya pun pamit untuk menyusul Jasmine ke rumah Jason. Beruntung, saya tidak kesulitan menemukan rumah Jason, meskipun saya baru pernah sekali bertandang ke rumahnya.

Sepanjang perjalanan, pikiranku menjadi kacau. Perasaanku bercampur aduk antara rasa kesal, marah, khawatir, dan sayang. Berbagai pertanyaan bergelayutan di pikiranku. "Mengapa dia melakukan hal ini?", "Mengapa dia tidak memberitahukanku?", "Mengapa hingga kini dia belum pulang?", "Mengapa dia tidak menjawab segala usaha komunikasi dariku?", "Apa yang dilakukannya semalam suntuk di sana?"

Setibanya di rumah Jason, saya menemukan dua buah mobil. Mobil yang pertama adalah mobil Nissan Terano berwarna putih milik Jason. Mobil yang kedua adalah sebuah mobil Honda Jazz berwarna hijau yang biasa digunakan oleh Jasmine sedang terparkir rapi di depan rumah Jason. Saya langsung merangsek masuk ke dalam rumahnya yang kosong melompong ditinggal kedua orang tua Jason. Saya memeriksa setiap kamar dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Jasmine di sana.

Hingga pada akhirnya saya memeriksa kamar Jason.
Penglihatan saya benar-benar mengejutkan saya.

Jasmine sedang tidur dalam keadaan telanjang bulat bersama Jason. Selimut mereka yang berwarna putih terang pun sudah tampak lusuh, terlihat berantakan, dan tidak menutupi tubuh mereka seutuhnya. Perasaan saya saat itu: Marah dan kecewa. Saya dikhianati oleh pacar saya sendiri. Ternyata dia selingkuh dengan sahabat saya sendiri tanpa sepengetahuan saya. Bahkan dia pun ML dengannya.

Dengan segera, saya bangunkan Jasmine dengan cara menggenggam tangannya, kemudian sedikit menariknya dari tempat tidur dalam keadaan telanjang. Dia kaget setengah mati. Air matanya langsung bercucuran dan suaranya berubah menjadi parau. Berkali-kali dia mengatakan, "Honey, gw minta maaf!", tetapi saya hentikan permohonan itu dengan mengatakan, "Jangan pernah panggil gw 'honey' lagi. Untuk apa pula lu minta maaf sama gw? Gw udah tahu apa yang tadi malem lu lakukan bersama Jason, sahabat gw sendiri".

Jason yang langsung terbangun dari tidurnya mencoba menenangkanku. "Gw bisa jelasin semuanya, bro!". Tapi saya respon, "Gw gak perlu penjelasan dari elu, bro. Semua udah jelas apa yang terjadi di sini. Gak gw sangka ya, elu sebagai sahabat gw yang udah nemenin gw sejak awal kuliah, tega berbuat demikian".

Sakit rasanya hati ini.

Setelah Jasmine kembali mengenakan bajunya, saya antarkan dia pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, dia menangis sambil memohon kepadaku untuk memaafkannya. Sebenarnya saya tertarik untuk mendengarkan cerita mengenai apa yang dia lakukan semalam suntuk di rumah Jason, tetapi kekecewaan ini sudah menumpuk rasanya, sehingga saya lebih memilih untuk diam saja.

Ayah, ibu, dan kakak perempuannya sudah menunggu kami di teras rumahnya. Tetapi saya memilih ruang tamu untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya tidak enak kalau aib ini terdengar oleh para tetangga, meskipun saya tahu kalau mereka juga tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di keluarga Jasmine.

Selanjutnya bisa diduga, ayah, ibu, dan kakak perempuannya marah besar terhadapnya. Sang ayah menampar Jasmine, sementara ibunya memeluknya. Kakak perempuannya tidak habis pikir dan langsung meninggalkan ruang tamu, kemudian mengunci diri di kamarnya sendirian.

"Daddy udah ingetin kamu berkali-kali! Jaga keperawanan dan harga diri kamu! Jangan make love sama siapapun! Sekarang malah kamu make love sama orang yang bahkan bukan calon suamimu! Kamu bener-bener durhaka sama daddy dan gak setia sama pacar kamu sendiri!", ayahnya mengamuk sambil memukul meja tamu yang terbuat dari kayu sehingga tangannya agak bengkak.

Ibunya hanya bisa menangisi aib yang terjadi di keluarganya. Dia memeluk Jasmine sambil berkata, "Sudah lah, daddy. Sekarang kita cari tahu gimana caranya buat selesaikan masalah ini. Jangan bikin keluarga kita makin rumit aja, daddy".

"Baiklah, daddy akan diam sama kamu sampe sekarang. Tapi dua minggu lagi, kita cek apakah kamu hamil atau enggak", ucap ayahnya setelah sedikit tenang.

Singkat kata, sejak saat itu, saya sudah jarang berkomunikasi dengan Jasmine lagi. Sesekali saya menanyakan kabarnya dan dia menjawabnya. Dia tampak berusaha untuk membangkitkan gairah komunikasi di antara kami lagi, tetapi biasanya saya langsung hentikan sebelum dia terlalu banyak bicara. Mulai saat itu, saya ingin menjaga jarak dengannya. Apabila dia terbukti hamil, maka Jason harus bertanggung jawab dengan cara menikahi pacarku itu dan menjadi ayah bagi anaknya. Tapi kalau dia tidak terbukti hamil, saya juga tetap akan mempertimbangkan hubungan kami yang telah terjalin selama 3 tahun lebih.

Akhirnya tibalah saat yang menentukan itu. Saya beserta Jasmine dan keluarganya mengantarkannya ke rumah sakit untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak.

Dan hasil pemeriksaannya sangat mengejutkan: Jasmine hamil.
Saya terpaksa melepaskan Jasmine dan menuntut Jason bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.




Demikianlah kilas balik yang saya pikirkan di teras Menara Cordova itu. Meskipun hari ini Jasmine dan Jason tampak berbahagia ketika berdiri berdampingan di pelaminan, tetapi hati saya yang sudah tersayat-sayat ini masih tidak dapat melupakan Jasmine.

- BERSAMBUNG -

red_pr!nce
24-08-2012, 09:44 PM
Tiba-tiba, saya merasakan sepasang telapak tangan yang halus menyentuh pipi saya yang tak kusadari mulai basah oleh tetesan air mata. Jari-jemari yang lentik menutupi sepasang mata saya. Pandangan saya tiba-tiba menjadi gelap. Tepat dari belakang tengkuk saya, terdengarlah suara wanita yang penuh semangat, "Hayo, tebak siapa ini. Kalo salah, harus tetep merem, sampe tebakannya bener!".

Saya terkejut, namun saya berusaha menenangkan diri. Saya mengambil waktu beberapa detik untuk diam.

"Amelia?", pikirku dalam hati.
Namun saya tidak ingin mengatakan yang sebenarnya.
"Orang iseng", jawabku secara langsung.

"Ih, kamu jahat. Masa aku orang iseng?", suara itu terdengar lagi. Hanya saja, kali ini, suaranya lebih memelas daripada biasanya.

"Emang. Orang lagi menikmati pemandangan koq diganggu?", saya membalasnya dengan .

"Pemandangan apa yang bisa bikin orang nangis ya...?", tanya wanita itu dengan nada iseng. "Eits, gak boleh liat ya. Kan salah tebak. Ayo tebak lagi sampe bener!", lanjutnya, sambil menantangku.

Saya menjawab, "Pemandangan yang tadinya indah jadi gelap gulita bisa bikin orang nangis, Amelia ku yang manis. Puas...?". Saya tidak menjawab sejujurnya apa yang terjadi dengan air mataku ini, karena saya tidak ingin Amelia merasakan beban hidupku yang sedemikian rumit.

Perlahan-lahan, Amelia melepaskan telapak tangan dan jari-jemarinya dari wajahku. Kemudian dia ikut duduk di teras sepertiku, tepat bersebelahan denganku. Kulihat wajahnya cukup berseri-seri malam itu. Mungkin dia puas sudah berhasil mengerjaiku yang sedang galau itu. Dia memang selalu begitu sejak kami berkenalan saat kami masih bersekolah di salah satu SMU swasta ternama di kawasan Alam Sutera.

"Ya, aku cukup tahu semua yang terjadi antara kamu, mantan pacarmu, dan sahabatmu itu. Jadi kamu gak perlu sembunyiin semuanya di depanku. Aku bisa ngerti apa yang kamu rasain, Ananta", ucap Amelia sambil menepuk-nepuk bahuku selayaknya seorang sahabat.

"Maksud lu, Jasmine dan Jason?", saya mencoba memastikan maksud yang diutarakannya.

"Iya. Kamu masih ingat gak? Dulu, kamu sempet hibur aku waktu aku hampir bunuh diri gara-gara cinta. Sebenernya kalo waktu itu kamu gak masuk ke rumah aku dan dobrak kamar aku, sekarang aku udah gak mungkin nemenin kamu malam ini. Malahan, mungkin aku udah tinggal nama di sebuah kuburan di mana tau", kenang Amelia.

Saya memahami secara baik masa lalunya yang cukup kelam. Selama dia melalui masa-masa tergelap dalam kehidupannya itu, saya menjadi kawan curhatnya yang setia. Seringkali dia meneleponku hingga dini hari hanya untuk menceritakan kisahnya yang malang ketika dia diperlakukan begitu buruk oleh pacar-pacarnya yang bergonta-ganti dari berbagai kalangan pria. Ada pria nerdy, ada pria sporty, dan lain-lain. Tapi satu hal yang sama: mereka semua pria brengsek.

"Iya, yang elu lakukan dulu itu bego...bego banget... Cuma orang bego yang rela motong urat nadinya sendiri demi cinta", saya membalas kenangannya.

Amelia tersenyum diam sambil menatap mataku dalam-dalam. Dia sudah lama menyadari bahwa rela mati demi pria yang dicintainya adalah hal yang tidak bijaksana, dan kini, saya mengingatkannya kembali akan hal itu.

"Maka itu, gw gak motong urat nadi gw hanya karena Jasmine terpaksa meninggalkan gw dan menikahi Jason. Gw percaya bahwa gw akan mendapatkan cewek yang lebih baik daripada Jasmine. Seorang cewek yang bisa jaga dirinya sendiri saat menjalin hubungan dengan seorang pria".

"Apakah cewek itu adalah aku, Ananta?"

"Siapa yang tahu? Tapi gw percaya Tuhan udah menyiapkan pasangan yang terbaik buat gw"

"Meskipun Tuhan udah menyiapkannya buatmu, tetep aja kamu yang harus berani mendapatkannya. Kalau tidak, maka percuma saja. Dia akan lepas darimu"

Sepertinya Amelia menyindir saya. Sejak dia dekat denganku dua minggu belakangan ini, saya tidak pernah mengutarakan perasaan saya untuk mencintainya. Bagaimana mungkin saya bisa mencintai seseorang ketika bayangan mengenai seseorang masih melekat di benakku? Namun memang harus saya akui bahwa saya memang menyayanginya. Saya ingin melindunginya, mendukungnya, dan melihatnya hidup bahagia setelah dipermainkan oleh banyak sekali pria di sekelilingnya.

"Mengapa elu peduli sama gw, Amelia?"

Amelia tidak berkata sepatah kata apapun. Dia hanya terdiam selama beberapa saat.

"Aku peduli sama kamu karena aku tahu kamu layak mendapatkan kasih sayang itu setelah sekian lama kamu dikecewakan orang yang kamu cintai. Bukankah itu kata-kata yang sama pernah kamu ucapkan kepada aku sebelum kamu akhirnya memilih Jasmine daripada aku, Ananta?"

Seolah-olah, dia mengingatkanku pada janjiku yang dahulu pernah kulupakan bersamanya.

"Kita sama-sama saling menyayangi pada awalnya, bukan? Mengapa kita menyia-nyiakan perasaan itu kini?". Amelia bertanya dengan penuh harapan.

"Tapi saya belum bisa mencintaimu karena...", saya belum sempat menyelesaikan kalimat itu, namun Amelia sudah memotongnya.

"Apa itu cinta? Cinta hanyalah kedok yang dipakai oleh para pria hidung belang untuk membuat hidupku hancur berantakan. Saya lebih percaya dengan kata sayang, karena kata sayang jauh lebih tulus dan alami daripada kata cinta yang didasarkan oleh nafsu semata. Bukan begitu, sayangku?", Amelia menegaskannya kembali.

"Saya setuju, Amelia ku sayang"

- TAMAT -