PDA

View Full Version : A Signifier



Nowitzki
23-07-2012, 07:08 AM
Saya adalah manusia pelupa. Karena itu, saya ingin membuat tulisan ini, hingga apabila suatu hari saya lupa tentang hal yang sama, ada sebuah media yang bisa mengingatkan saya kembali. Hal yang baru saya renungkan pagi ini adalah tentang keikhlasan.
Sering kali hal yang terdengar sesederhana itu, ternyata tidak bisa dilaksanakan dengan sederhana. Berbeda jika hal semacam itu terjadi pada orang lain, kita akan mudah untuk menilai dan menghakimi.

Ya, keikhlasan.Anehnya, walaupun saya sudah belajar ilmu ini sejak jaman SD, baik dari kelas PMP (yang kemudian berubah jadi PPKn dan sekarang entah berubah jadi apalagi) maupun dari kelas agama, saya gak gak terlalu nyantol dengan maknanya. Saya malah sedikit “belajar” mengenai pemahaman kata ikhlas dari sinetron Kiamat Sudah Dekat yang tayang beberapa tahun lalu. Itupun hanya sekilas.

Kembali ke perenungan saya pagi ini. Saya baru menyadari bahwa takdir manusia itu memang sangat unpredictable. Sebagus apapun kita membuat rencana, akan selalu ada hal2 yang membuat kita harus berimprovisasi. Shits happen! Saya sempat marah ketika hal itu terjadi pada saya. Saya tidak suka Jakarta, dan sama sekali tidak pernah berpikir untuk tinggal dan bekerja di kota tanpa koma ini. Dari dulu saya bercita2 untuk tinggal di kota yang lebih tenang, hidup cukup tidak berlebihan, dan lebih menikmati waktu tanpa dikejar2 oleh jarak dan kemacetan.

Tapi, hidup membawa jalan yang sangat berbeda. Saya harus melepaskan pekerjaan impian saya, yang sudah saya perjuangkan susah payah, dan pindah ke Jakarta menjadi pengangguran. Saya sempat merasa begitu terasing di kota yang hiruk pikuk ini. Merasa begitu jauh dari jati diri saya, terlepas dari comfort zone saya (teman, orang tua, kolega, lingkungan). Saya ingat bahwa orang tua saya banting tulang untuk menyekolahkan saya agar saya bisa mandiri dan bekerja, dan bahwa mereka sangat bangga ketika saya mendapatkan pekerjaan terakhir saya. Dan rasanya begitu sedih, begitu saya sadari bahwa saya mengecewakan mereka. Saya semakin frustasi begitu menyadari kalau rencana2 yang sudah saya susun untuk membuat saya “sedikit” lebih nyaman di kota ini, ternyata gagal total.

Dan apa yang saya lakukan?

Saya marah. Menyimpan dendam. Saya menyalahkan semua orang. Saya menyalahkan keadaan yang membuat saya terpaksa untuk pindah ke Jakarta. Setiap ada hal yang tak mengenakkan, saya mengungkit2 masalah ini dan begitu seterusnya.
Lambat laun. Sambil tetap memendam amarah, satu persatu masalah saya terurai. Tapi, entah mengapa, bara di lubuk hati saya masih menyala.

Baru pagi ini, saya menyadari.
Kalaupun, seandainya, saya tetap di kota sebelumnya, tak pindah ke Jakarta, apakah semua hal akan tetap baik2 saja? Apakah saya tidak akan menyalahkan keadaan bila suatu hal terjadi di luar rencana saya?
Kalaupun, seandainya, saya pindah ke Jakarta dan semua rencana saya berjalan mulus, akankan saya tidak akan menyalahkan keadaan bila ternyata rencana itu terhenti tiba2 di tengah jalan?

Saya baru ingat, bahwa ternyata saya punya andil dalam kepindahan ini. Saya, dengan pertimbangan2 saya sendiri, akhirnya memutuskan untuk hijrah. Kalaupun ada kejadian yang tidak terduga, tetap saya sendirilah yang bertanggung jawab atas takdir saya, bukan orang lain. Karena saya punya wewenang untuk menentukan langkah saya, atau paling tidak, saya punya pilihan untuk menyikapi sebuah persoalan. Apakah saya mau terus2an marah dan diam di tempat karena menyalahkan keadaan, atau saya bergerak maju untuk meretas masa depan.

Lucunya, saya bahkan gak sadar bahwa saya baru saja menonton film yang bertema sama (The Dark Knight Rises). Bruce Wayne tidak mau move on karena dia merasa satu2nya alasan untuk melanjutkan hidup (Rachel Dawes) sudah meninggal. Selama 8 tahun dia tidak melakukan apa2, tidak mengurusi perusahaannya, rumahnya, kehidupan sosialnya, bahkan dirinya sendiri. Dia membuang 8 tahun secara sia2 dengan mengasingkan diri.

Saya tidak mau seperti Bruce Wayne. Saya harus bertindak.

Seperti kata Alfred Pennyworth, “You see only one end to your journey. But sometimes, a man rises from the darkness!”

Sangat mudah untuk menyalahkan orang lain atas hal yang terjadi pada diri kita, padahal tanpa kita sadari, bahwa kitalah yang menentukan jalan kita sendiri. Karena itu, saya merasa harus membuat tulisan ini, agar saya bisa mengingat kejadian ini dan tak mengulangi kesalahan yang sama.

etca
23-07-2012, 08:54 AM
proud with you, just go head,

maaf, dulu saya juga termasuk yang 'keras' menegurmu.
saya tahu semuanya butuh proses, keiklasan, pemahaman, dan bahkan lebih kompleks dari itu.
memang tidak mudah untuk mendapatkan pemahaman ini semua.
semuanya itu akan menjadi bagian pendewasaanmu.
kelak ini akan menjadi bekalmu untuk pengambilan keputusan.
katakata ini tidak bermaksud untuk menggurui, tapi untuk saling mengingatkan.
kalau saya lagi konslet silahkan ingatkan juga ;)

halhal tidak akan berubah, kecuali kitalah yang harus mengubah sudut pandang kita :)
Semper Fi.

deddy
23-07-2012, 09:38 AM
sebuah renungan keikhlasan yang cukup bagus by nowitzki .....

Nowitzki
23-07-2012, 11:50 AM
@mbak etca:
i know sist, kalo mbak etca "keras" karena emang sayang sama aq
cuma, penyadaran itu, gak bisa instan
dan emang pada dasarnya aq keras kepala

ndugu
25-07-2012, 09:35 AM
saya suka postnya ::up::
introspective. jujur.
saya harap saya juga bisa selalu sejujur itu pada diri sendiri

BundaNa
25-07-2012, 11:38 AM
great, now...

memang harus kita yang mencari alasan untuk bangkit dan hidup, dan kita sendiri yang harus menemukan...bukan orang lain, even itu ortu atau pasangan kita...

cha_n
25-07-2012, 12:44 PM
senang akhirnya dirimu yang sebenarnya sudah kembali...

tetap semangat!