PDA

View Full Version : DONGENG DARI JEPANG ..... Bagian 1.



punakawan
16-03-2011, 08:37 PM
Dongeng dari Jepang

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala; namun berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah air. Meski Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan universal terealisir yang menarik untuk disimak dan diaplikasikan di tanah air tercinta.
Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di Jepang.


**Kantor pemerintahan dan pelayanan publik**

Anda pernah melihat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam.

Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah tersebut.

Tata ruang kantor khas Jepang, mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja.
Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat. Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman.

Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut tidak bisa dikatakan berlebihan, sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.

Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota (shiyakusho) setempat, untuk mengisi beberapa dokumen.

Khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan.

Dalam berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb.
Dalam banyak hal, pertanyaan2 tersebut cukup dijawab dengan: ya atau tidak.
Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb.
Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran.
Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus sangat efisien.

Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali.
Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di
Jepang, maka semua urusan akan ada dan harus ada solusinya.
Lain hari saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang lebih
bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang beruntung.

Pemeo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di Jepang.

Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta untuk menyerahkan
surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana.

Memberikan kemudahan, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.

Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat.
Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas. Sebuah kesalahan yang tidak umum di negeri ini.

Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik wilayah Kansai untuk konfirmasi kesalahan tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut. Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik slip tagihan.

Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenal menyertai kartu nama petugas tersebut.
Saya hanya berharap waktu itu bahwa petugas pencatat yang keliru tidak akan bunuh diri, karena kekeliruan dalam bekerja, secara umum menyangkut kehormatan di negara ini.

Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja".

Saya membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor walikota (shiyakusho). Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja.
Versi Jepang tentu saja.

pasingsingan
16-03-2011, 09:08 PM
etos kerja bangsa jepang emang top

demikian pula dalam hal memegang janji :-bd

etca
16-03-2011, 10:33 PM
pakdhe punakawan, threadnya saya pindah ke Poleksosbud nggih.
rasanya lebih pas kalau di situ.

Terimakasih atas sharingnya tentang kehidupan di Jepang,
*dan ditunggu kelanjutannya...

*nyiapin tiker + kudapan ::elaugh::


Mengenai perilaku kebudayaan jepang dan kedisplinan.
Setuju, patut mencontohnya.
Tidak banyak yang saya ketahui, kecuali hanya baca-baca dari buku dan mr gugle.
Ada kalimat yang saya kutip dan memodifikasinya,
antara lain menjadi seperti ini :

PEDANG DAN KUAS
(Shinken & fude)

… Jalan pedang dan jalan kuas, antara keharmonisan dan kekerasan kehidupan yang melebur untuk meraih kemurnian yang sempurna…
… dan Samurai meminta maaf dengan memburaikan usus… .

fullmoonflower
16-03-2011, 10:37 PM
kata2ne langsung bikin mulessss.... [-(

itu lho yang "memburaikan usus"... hiiiiii... X_X

etca
16-03-2011, 11:53 PM
lah kan dia menghunuskan diri sendiri tho? suicide.
eh tapi kalau suicide kok konotasinya jelek ya..

Seppuku (切腹) lebih dikenal dengan istilah harakiri (腹切り, "merobek perut")
merupakan salah satu adat para samurai, terutama jenderal perang pada zaman bakufu yang merobek perut mereka dan mengeluarkan usus mereka agar dapat memulihkan nama mereka atas kegagalan saat melaksanakan tugas dan/atau kesalahan untuk kepentingan rakyat.
*from wikipedia

fullmoonflower
17-03-2011, 12:27 AM
ya memang budaya sana sih... aku cuma giris bacanya aja kok.. langsung kebayang.. ngeri.. X_X

AsLan
17-03-2011, 08:49 AM
Biasanya saat ada yg melakukan Seppuku, ada orang disamping yang siap memenggal kepalanya supaya penderitaannya tak perlu terlalu lama.
Tapi kadang2 ada juga orang yg tak mau dipenggal supaya bisa merasakan penderitaan yg penuh sampai akhir.

fullmoonflower
18-03-2011, 03:03 AM
waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah........ :nangis2:

Parameswara Li
21-08-2011, 03:59 PM
Saya selalu kagum dengan budaya dan masyarakat Jepang. Banyak sekali hal-hal yang ada di sana yang perlu diteladani. Hanya ada satu hal yang agak mengganjal buat saya, yaitu keengganan mereka untuk mengakui peranan Jepang yang sebenarnya dalam kurun waktu 1910-1945, khususnya pada periode Perang Dunia Kedua. Rasanya akan lebih elegan kiranya apabila mereka mengakui saja hal-hal tersebut. Mengakui sebuah kesalahan tidak akan melunturkan kehormatan. Saya kira kita semua akan lebih kagum kepada Jepang kalau mereka lebih jujur dalam mengungkap sejarah pada periode itu.