Nharura
16-03-2011, 01:07 PM
Cerpen ini aku dedikasikan Buat Jepang yang slalu kucinta (kota sakura nan Indah,, tersenyumlah)
http://i1191.photobucket.com/albums/z461/AISYAH28/Cerpen-Arjuna-Jatuh-Cinta.jpg
Ketika Arjuna Jatuh Cinta
Degup jantung Arjuna mulai naik turun, keringat dingin pun mulai membasahi kulit putihnya. Mulutnya bagai terkunci, pikirannya tiba-tiba saja hilang. Sosok cinta yang ditatapnya dengan tidak sengaja itu, langsung menancap dasar isi hatinya. Padahal sudah sekuat tenaga dia menahan untuk tidak melihatnya. Tapi apalah daya, disaat dia menonggakkan kepalanya perlahan. Cinta menatapnya dengan pekat, dia memperhatikan dengan serius, tanpa bicara.
“Arjuna…?!, kamu sedang sakit?” Miss Stefinaky yang saat itu menjadi moderator—tiba-tiba menepuk bahunya. Tak lama terdengar suara riuh mahasiswa Universitas Tokyo—Jepang, yang saat itu sedang mengikuti lomba Ikebana—merangkai bunga yang diadakan setahun sekali untuk menyambut Hinami—perayaan musim semi di Jepang, mereka tertawa dan geli melihat kecanggungan teman terpintar mereka. Arjuna makin gelagapan, cinta melihatnya, kini dia tertawa.
Oh Tuhan…cantik sekali. Bunga yang dirangkai Arjuna makin ia lupakan, pagi itu tiba-tiba saja menjadi hal yang membosankan dan melelahkan bagi Arjuna Dwitama, cowok impian semua mahasiswi di Universitas Tokyo, darah Indonesia itu sering kali menjadi bahan obrolan mahasiswi-mahasiswi karena ketampanan dan keramahan dia, Apalagi Arjuna adalah salah satu nominasi terbaik yang karya Ikebananya sering mengilhami Mahasiswa untuk mencintai Alam dan bunga-bunga, ini baru saja dilanda virus merah jambu kepada cinta yang saat itu sedang duduk tepat didepannya.
“Maaf, Miss…anuu…saya….eeh…”
”Kebelet nih, Jun!” Tawa riuh kembali menghiasi seisi ruangan. Membuat Arjuna merah padam. Tapi, bukan itu.. sungguh bukan itu, dia malu.. bukan karena ditertawai oleh teman-temannya. Sekali lagi, bukan itu—Cinta sedang tersenyum padanya. Oh God!, Biarkan waktu berhenti—benaknya memohon.
” Aku bingung, Tamaki!” Ucap Arjuna sedikit menerawang kearah langit-langit kantin yang mulai terlihat bocor akan tetesan air hujan akhir-akhir ini.
Tamaki Ikazura cuek sambil manggut-manggut, mulutnya penuh dengan Oden hangat—masakan lobak , mie rebus dengan dicampur telur rebus, bekal makanannya siang ini, katanya sih—pacarnya khusus membuatkan untuknya untuk menghangatkan tenggarokannya—yang katanya sedang terlanda Flu.
” Apa ini yang namanya cinta?” lanjutnya lagi.
Tamaki menyerumput kopi hangat dengan tanpa aba-aba, syukur-syukur kalau dia tidak tersedak. Kembali dia menyantap oden-nya dengan buas. Sekarang tanpa manggut-manggut, kini dia geleng-geleng. Mengangkat tangannya serta pundaknya sedikit. Arjuna memperhatikan mie yang terurai dalam Oden Tamaki yang sedang akan dimasukkan didalam mulut sobat satu asramanya ini. Mie, panjang seperti rasa penasaranku pada cinta. Rasa inginku ingin memilikinya. Yah, seperti mie itu. Tapi, sepanjang itu pula rasa maluku untuk bilang padanya— oh.. Tamaki bagaimana ini?—benak Arjuna melompat-lompat, cemas.
Tamaki bukannya menjawab, malah tengah serius bercengkrama bekal makan siangnya yang—tak mengugah hati Arjuna untuk makan bersamanya. Arjuna menelan napas panjang.
Dia baru tahu beginilah kalau sedang jatuh cinta. Padahal jujur saja, dia tidak percaya dengan cinta beserta embel-embelnya. Tapi gara-gara waktu itu. Waktu dia mencoba menyendiri dengan mengikuti mata kuliah dari jurusan lain tanpa disibukkan dengan pekerjaan mata kuliah yang menumpuk, ataupun proposal yang harus naik ’banding’ dengan Direktur tersayang, dia tak sengaja menangkap sosok alami cinta yang menyadarkannya dari puluhan tahun, puasa ’naksir’ cewek. Padahal cinta itu sudah ada lama didalam kampusnya. Hanya saja dia baru sadar kalau ternyata. Cinta itu ada.
” Maaf, ini bangku saya..” sosok Gempal itu menghampiri Arjuna yang sedang lesu duduk di bangku belakang. Arjuna memperhatikan sejenak. Suaranya lembut namun tegas—seorang gadis, dengan jilbab putih berbadan subur dihiasi dengan wajah oval mirip sekali dengan bola kesukaan Andi—Adik kesayangan Arjuna yang kini berada di kalimantan itu sering kali merengek minta dipecah tabungannya hanya demi membeli sebuah bola yang tidak bisa ’mentul’ alias bulat yang terbuat dari benang wol, sering kali ibu sering memanjakan Andi, hingga membeli bola setiap pulang dari supermaket.
”Maaf?, memangnya disini ada nama kamu, dut?” Ucap Arjuna cuek. Tak biasa memang ia bersikap angkuh. Hanya saja waktu itu dia sedang kehilangan sifat ’ramah’nya karena tersandung dengan mood yang tumpang tindih akibat urusan proposal yang hampir di ’Drop Out” dengan bagian administrasi staf Kampus. Langsung saja ia mengejek tanpa alasan.
Seakan tersinggung. Gadis yang ada didepannya itu mendelik, dengan marah.
”Kalau tidak mau memberi—ya— jangan menghina!” Iapun beranjak dari tempat duduk Arjuna. Kemudian keluar, dengan menenteng sebuah kursi. Suasana ruang kuliah Jurusan Lecture Art Japan itu tiba-tiba riuh dengan tawa seisi ruangan, ketika gadis berbadan subur tadi masuk dengan menenteng kursi.
Arjuna ternganga.
”Oh.. Ma—af” suaranya lirih, tersedak ditenggorokan. Baru kali ini dia tidak sengaja menghina seorang wanita. Didepan mahasiswa-mahasiswa—gawatnya lagi, dia baru sadar dia tidak lagi sendirian diruangan itu karena jurusannya sudah bubar hampir satu jam yang lalu.
Dia tidak sadar kalau cinta itu adalah gadis yang berbadan subur yang barusan ia hina. Kejadian itu terjadi saat Arjuna mencoba meminta maaf dengan gadis itu yang ternyata namanya adalah Yumiko Shafa. Namun Arjuna senang memanggilnya cinta.
”Saya memang sering dihina. Saya maklum” ucap Yumi—gadis imut—berjilbab lebar dengan lesung pipit di pipinya yang oval apel itu.
”Bukan itu maksud aku. Aku tuh...”
”Anda tidak pantas berteman dengan saya” Kata-kata terakhir Yumi ini, yang menepuk otaknya dengan keras. Hatinya pedih.
”Puuk!” Sakitnya kian terasa diotak. Arjuna menunjuk-nunjuk otaknya, seraya memukul-mukul dengan kertas mid test yang digulungnya bak bungkus kacang.
Tamaki cekikikan. Mendengar cerita Arjuna dengan raut wajah yang sebentar-bentar berubah jadi galak, kaget, tersipu-sipu, dan sedih.
”Kalau aku jadi kamu, Jun, cuekin ajalah, seperti gak ada yang lain saja— bukankah cewek-cewek disini cakep-cekep semua, kenapa kamu malah kepincut sama cewek model seperti itu”
”Namanya cinta, Tamaki!”
”Ho-oh.. Terus apa istimewanya?”
” Ya, dia istimewa—Dia itu beda, karena....”
Ucapan Arjuna terhenti. Dia mulai mengerlingkan matanya, aneh. Oh God!, dia baru sadar kalau selama ini dia menyukai cinta—dengan tanpa alasan.
”Karena...?” Mata dan mulut Tamaki pun mengikuti gerakan mulut dari sahabatnya tersebut. Arjuna Kelu, namun tak berbicara sepatah kata pun. Entahlah.. Kata-kata itu hanya sampai diujung tenggorokannya. Tamaki menyerumput kopi hangatnya lagi, sambil diudak-udaknya. Kemudian cegegesan tiba-tiba, dijulurkan lidahnya dengan sok centil.
”Karena dia ’endut ya?!, ha..ha..ha” celetukan Tamaki, langsung dibarengi dengan jitakan maut Arjuna.
”Sembarangan!”
” Orang Indo memang unik” cengir Tamaki menyindir Arjuna, Ia hanya mencibir dengan memburu jitakan ke arah kepala Tamaki.
***
http://i1191.photobucket.com/albums/z461/AISYAH28/Cerpen-Arjuna-Jatuh-Cinta.jpg
Ketika Arjuna Jatuh Cinta
Degup jantung Arjuna mulai naik turun, keringat dingin pun mulai membasahi kulit putihnya. Mulutnya bagai terkunci, pikirannya tiba-tiba saja hilang. Sosok cinta yang ditatapnya dengan tidak sengaja itu, langsung menancap dasar isi hatinya. Padahal sudah sekuat tenaga dia menahan untuk tidak melihatnya. Tapi apalah daya, disaat dia menonggakkan kepalanya perlahan. Cinta menatapnya dengan pekat, dia memperhatikan dengan serius, tanpa bicara.
“Arjuna…?!, kamu sedang sakit?” Miss Stefinaky yang saat itu menjadi moderator—tiba-tiba menepuk bahunya. Tak lama terdengar suara riuh mahasiswa Universitas Tokyo—Jepang, yang saat itu sedang mengikuti lomba Ikebana—merangkai bunga yang diadakan setahun sekali untuk menyambut Hinami—perayaan musim semi di Jepang, mereka tertawa dan geli melihat kecanggungan teman terpintar mereka. Arjuna makin gelagapan, cinta melihatnya, kini dia tertawa.
Oh Tuhan…cantik sekali. Bunga yang dirangkai Arjuna makin ia lupakan, pagi itu tiba-tiba saja menjadi hal yang membosankan dan melelahkan bagi Arjuna Dwitama, cowok impian semua mahasiswi di Universitas Tokyo, darah Indonesia itu sering kali menjadi bahan obrolan mahasiswi-mahasiswi karena ketampanan dan keramahan dia, Apalagi Arjuna adalah salah satu nominasi terbaik yang karya Ikebananya sering mengilhami Mahasiswa untuk mencintai Alam dan bunga-bunga, ini baru saja dilanda virus merah jambu kepada cinta yang saat itu sedang duduk tepat didepannya.
“Maaf, Miss…anuu…saya….eeh…”
”Kebelet nih, Jun!” Tawa riuh kembali menghiasi seisi ruangan. Membuat Arjuna merah padam. Tapi, bukan itu.. sungguh bukan itu, dia malu.. bukan karena ditertawai oleh teman-temannya. Sekali lagi, bukan itu—Cinta sedang tersenyum padanya. Oh God!, Biarkan waktu berhenti—benaknya memohon.
” Aku bingung, Tamaki!” Ucap Arjuna sedikit menerawang kearah langit-langit kantin yang mulai terlihat bocor akan tetesan air hujan akhir-akhir ini.
Tamaki Ikazura cuek sambil manggut-manggut, mulutnya penuh dengan Oden hangat—masakan lobak , mie rebus dengan dicampur telur rebus, bekal makanannya siang ini, katanya sih—pacarnya khusus membuatkan untuknya untuk menghangatkan tenggarokannya—yang katanya sedang terlanda Flu.
” Apa ini yang namanya cinta?” lanjutnya lagi.
Tamaki menyerumput kopi hangat dengan tanpa aba-aba, syukur-syukur kalau dia tidak tersedak. Kembali dia menyantap oden-nya dengan buas. Sekarang tanpa manggut-manggut, kini dia geleng-geleng. Mengangkat tangannya serta pundaknya sedikit. Arjuna memperhatikan mie yang terurai dalam Oden Tamaki yang sedang akan dimasukkan didalam mulut sobat satu asramanya ini. Mie, panjang seperti rasa penasaranku pada cinta. Rasa inginku ingin memilikinya. Yah, seperti mie itu. Tapi, sepanjang itu pula rasa maluku untuk bilang padanya— oh.. Tamaki bagaimana ini?—benak Arjuna melompat-lompat, cemas.
Tamaki bukannya menjawab, malah tengah serius bercengkrama bekal makan siangnya yang—tak mengugah hati Arjuna untuk makan bersamanya. Arjuna menelan napas panjang.
Dia baru tahu beginilah kalau sedang jatuh cinta. Padahal jujur saja, dia tidak percaya dengan cinta beserta embel-embelnya. Tapi gara-gara waktu itu. Waktu dia mencoba menyendiri dengan mengikuti mata kuliah dari jurusan lain tanpa disibukkan dengan pekerjaan mata kuliah yang menumpuk, ataupun proposal yang harus naik ’banding’ dengan Direktur tersayang, dia tak sengaja menangkap sosok alami cinta yang menyadarkannya dari puluhan tahun, puasa ’naksir’ cewek. Padahal cinta itu sudah ada lama didalam kampusnya. Hanya saja dia baru sadar kalau ternyata. Cinta itu ada.
” Maaf, ini bangku saya..” sosok Gempal itu menghampiri Arjuna yang sedang lesu duduk di bangku belakang. Arjuna memperhatikan sejenak. Suaranya lembut namun tegas—seorang gadis, dengan jilbab putih berbadan subur dihiasi dengan wajah oval mirip sekali dengan bola kesukaan Andi—Adik kesayangan Arjuna yang kini berada di kalimantan itu sering kali merengek minta dipecah tabungannya hanya demi membeli sebuah bola yang tidak bisa ’mentul’ alias bulat yang terbuat dari benang wol, sering kali ibu sering memanjakan Andi, hingga membeli bola setiap pulang dari supermaket.
”Maaf?, memangnya disini ada nama kamu, dut?” Ucap Arjuna cuek. Tak biasa memang ia bersikap angkuh. Hanya saja waktu itu dia sedang kehilangan sifat ’ramah’nya karena tersandung dengan mood yang tumpang tindih akibat urusan proposal yang hampir di ’Drop Out” dengan bagian administrasi staf Kampus. Langsung saja ia mengejek tanpa alasan.
Seakan tersinggung. Gadis yang ada didepannya itu mendelik, dengan marah.
”Kalau tidak mau memberi—ya— jangan menghina!” Iapun beranjak dari tempat duduk Arjuna. Kemudian keluar, dengan menenteng sebuah kursi. Suasana ruang kuliah Jurusan Lecture Art Japan itu tiba-tiba riuh dengan tawa seisi ruangan, ketika gadis berbadan subur tadi masuk dengan menenteng kursi.
Arjuna ternganga.
”Oh.. Ma—af” suaranya lirih, tersedak ditenggorokan. Baru kali ini dia tidak sengaja menghina seorang wanita. Didepan mahasiswa-mahasiswa—gawatnya lagi, dia baru sadar dia tidak lagi sendirian diruangan itu karena jurusannya sudah bubar hampir satu jam yang lalu.
Dia tidak sadar kalau cinta itu adalah gadis yang berbadan subur yang barusan ia hina. Kejadian itu terjadi saat Arjuna mencoba meminta maaf dengan gadis itu yang ternyata namanya adalah Yumiko Shafa. Namun Arjuna senang memanggilnya cinta.
”Saya memang sering dihina. Saya maklum” ucap Yumi—gadis imut—berjilbab lebar dengan lesung pipit di pipinya yang oval apel itu.
”Bukan itu maksud aku. Aku tuh...”
”Anda tidak pantas berteman dengan saya” Kata-kata terakhir Yumi ini, yang menepuk otaknya dengan keras. Hatinya pedih.
”Puuk!” Sakitnya kian terasa diotak. Arjuna menunjuk-nunjuk otaknya, seraya memukul-mukul dengan kertas mid test yang digulungnya bak bungkus kacang.
Tamaki cekikikan. Mendengar cerita Arjuna dengan raut wajah yang sebentar-bentar berubah jadi galak, kaget, tersipu-sipu, dan sedih.
”Kalau aku jadi kamu, Jun, cuekin ajalah, seperti gak ada yang lain saja— bukankah cewek-cewek disini cakep-cekep semua, kenapa kamu malah kepincut sama cewek model seperti itu”
”Namanya cinta, Tamaki!”
”Ho-oh.. Terus apa istimewanya?”
” Ya, dia istimewa—Dia itu beda, karena....”
Ucapan Arjuna terhenti. Dia mulai mengerlingkan matanya, aneh. Oh God!, dia baru sadar kalau selama ini dia menyukai cinta—dengan tanpa alasan.
”Karena...?” Mata dan mulut Tamaki pun mengikuti gerakan mulut dari sahabatnya tersebut. Arjuna Kelu, namun tak berbicara sepatah kata pun. Entahlah.. Kata-kata itu hanya sampai diujung tenggorokannya. Tamaki menyerumput kopi hangatnya lagi, sambil diudak-udaknya. Kemudian cegegesan tiba-tiba, dijulurkan lidahnya dengan sok centil.
”Karena dia ’endut ya?!, ha..ha..ha” celetukan Tamaki, langsung dibarengi dengan jitakan maut Arjuna.
”Sembarangan!”
” Orang Indo memang unik” cengir Tamaki menyindir Arjuna, Ia hanya mencibir dengan memburu jitakan ke arah kepala Tamaki.
***