Nowitzki
03-04-2012, 12:17 PM
Cuplikan percakapan kemarin sore:
A: Cepat minumkan obat ke anakmu
I: Tapi dia kan gak sakit
A: Sudah cepat kasih obat ke anakmu
I: Tapi dia gak sakit, saya yakin dia gakpapa
A: Sudah, kasihkan saja dia obat, kan baru kehujanan
I: Beneran saya yakin dia gak akan apaapa
A: Kupangkukan sini, cepat minumkan obatnya
I: Sudahlah, saya yakin dia sehat.
Percakapan itu terjadi setelah saya dan Ara pulang dari rumah tetangga, yang hanya berjarak 30 meter, dalam hujan di bawah lindungan payung.
Perbedaan pendapat sudah sering saya rasakan. Well, at least, saya sudah pernah ikut tim debat, pernah nyicipin politik kampus dan juga aktif dalam bidang teater. Argumen bukanlah hal yang asing dalam dunia saya. Tetapi, ada perbedaan antara beragumen dan ngeyel. Ini yang sering saya hindari. Beberapa kali berdiskusi dengan kawan (maupun lawan), akan selalu ada pro kontra, dan ada dialektika dinamis yang (semoga) berakhir pada sebuah kesimpulan sementara yang solutif.
Namun, hal tersebut jarang saya temui akhirakhir ini. Seringnya adalah sebuah argumen individual yang tak meminta kompromi, melainkan hampir selayaknya instruksi yang harus dijalankan. Bayangkan saja percakapn di awal tadi terjadi setiap hari, dan untuk hal kecil maupun besar, dan diulangulang seperti minum obat.
Selalu ada saja yang diperdebatkan, soal antibiotik, soal dokter, pilihan wisata weekend, kemungkinan sekolah Ara di masa depan, baju yang dipakai, masalah mandi air hangat, lokasi tempat tidur, keinginan untuk mandiri, yada yada yada.
Awalnya, saya mencoba berpikir positif. Seseorang dengan pengalaman yang lebih banyak dan telah melalui asam garam kehidupan, tentu saja sudah tahu mana yang baik dan buruk, tentu saja akan memberi saran yang baik untuk kita. Saya mencoba mengikuti apa yang katanya baik, dan mendengarkan setiap detil pilihanpilihannya.
Tetapi, ada di satu titik, saya merasa sangat terusik. Hampir setiap malam, saya diam di kamar, tak mampu terlelap, berpikir, kenapa sepertinya saya tidak bisa memutuskan sendiri atas kehidupan saya.
Dan seandainya saya berargumen, mengapa saya akhirnya merasa lelah dan kemudian menyerah karena saking ngeyelnya sang counter argumen. Saya sadari, saya tidak ikhlas dengan keputusankeputusan yang telah dibuat, dan itu adalah kesalahan besar. Seharusnya, apabila saya merasa sudah yakin dengan keputusan yang saya ambil, saya tak boleh goyah dan menyerah begitu saja. Saya harus memperjuangkannya.
Mungkin saya merasa terlalu lelah dengan perdebatan, dan memilih kompromi dengan memendam bara dalam hati, dan itu adalah kesalahan yang lain lagi. Tak seharusnya saya hanya ngedumel di hati, yang benar kan sebaiknya saya menyampaikan uneguneg itu. Lha, gimana lagi, saya hampir tak tahan didebat terusmenerus.
Kemudian saya jadi bercermin, apakah saya pernah memperlakukan hal yang yang sama terhadap orang lain. Yeah, mungkin, di masamasa senior saya di kampus, saya terlalu banyak menceramahi junior saya dan mocking keluguan mereka. Entah beberapa kali saya bersikap menggurui sehingga para junior hanya bias manggut manut tanpa harus belajar dari kesalahan. Mungkin itulah yang membuat beberapa organisasi di kampus hanya mampu mempertahankan masa kejayaannya selama beberapa 2-3 periode, karena anggota dan pengurus setelahnya hanya tahu “yang enakenak” tanpa mengerti pahitnya terjatuh dan tersandung batu.
Yang tidak kita sadari adalah, setiap generasi mempunyai masanya sendiri. Dan setiap generasi perlu untuk berkembang dan belajar dari pengalamannya sendiri, dengan begitu, maka dia bisa mandiri dan menapak dengan lebih tegas ke depan. Bagaimana kita bisa mengembangkan diri jika kita dibatasi? Bagaimana kita bisa melihat peluang, jika banyak larangan? Bagaimana kita bisa mandiri bila terus diarahkan?
Di Amerika, setiap anak yang sudah lulus SMA akan pergi dari rumahnya dan belajar untuk mandiri. Tinggal atau dibiayai orang tua adalah suatu aib bagi mereka. Kucing akan melepas anaknya untuk hidup mandiri, begitu dia sudah bisa mencari makan sendiri. Apalagi kura-kura, dia hanya bertanggung jawab menimbun telur ke dalam pasir di tepi pantai. Semenjak lahir, bayi kura-kura harus berjuang sendiri untuk hidup. Kerelaan memang adalah hal yang berat, dan sangat dibutuhkan kebijaksanaan dan kebiasaan.
Saya harus mengingat hal ini, agar suatu saat nanti, saya bisa member ruang gerak yang cukup untuk Ara.
A: Cepat minumkan obat ke anakmu
I: Tapi dia kan gak sakit
A: Sudah cepat kasih obat ke anakmu
I: Tapi dia gak sakit, saya yakin dia gakpapa
A: Sudah, kasihkan saja dia obat, kan baru kehujanan
I: Beneran saya yakin dia gak akan apaapa
A: Kupangkukan sini, cepat minumkan obatnya
I: Sudahlah, saya yakin dia sehat.
Percakapan itu terjadi setelah saya dan Ara pulang dari rumah tetangga, yang hanya berjarak 30 meter, dalam hujan di bawah lindungan payung.
Perbedaan pendapat sudah sering saya rasakan. Well, at least, saya sudah pernah ikut tim debat, pernah nyicipin politik kampus dan juga aktif dalam bidang teater. Argumen bukanlah hal yang asing dalam dunia saya. Tetapi, ada perbedaan antara beragumen dan ngeyel. Ini yang sering saya hindari. Beberapa kali berdiskusi dengan kawan (maupun lawan), akan selalu ada pro kontra, dan ada dialektika dinamis yang (semoga) berakhir pada sebuah kesimpulan sementara yang solutif.
Namun, hal tersebut jarang saya temui akhirakhir ini. Seringnya adalah sebuah argumen individual yang tak meminta kompromi, melainkan hampir selayaknya instruksi yang harus dijalankan. Bayangkan saja percakapn di awal tadi terjadi setiap hari, dan untuk hal kecil maupun besar, dan diulangulang seperti minum obat.
Selalu ada saja yang diperdebatkan, soal antibiotik, soal dokter, pilihan wisata weekend, kemungkinan sekolah Ara di masa depan, baju yang dipakai, masalah mandi air hangat, lokasi tempat tidur, keinginan untuk mandiri, yada yada yada.
Awalnya, saya mencoba berpikir positif. Seseorang dengan pengalaman yang lebih banyak dan telah melalui asam garam kehidupan, tentu saja sudah tahu mana yang baik dan buruk, tentu saja akan memberi saran yang baik untuk kita. Saya mencoba mengikuti apa yang katanya baik, dan mendengarkan setiap detil pilihanpilihannya.
Tetapi, ada di satu titik, saya merasa sangat terusik. Hampir setiap malam, saya diam di kamar, tak mampu terlelap, berpikir, kenapa sepertinya saya tidak bisa memutuskan sendiri atas kehidupan saya.
Dan seandainya saya berargumen, mengapa saya akhirnya merasa lelah dan kemudian menyerah karena saking ngeyelnya sang counter argumen. Saya sadari, saya tidak ikhlas dengan keputusankeputusan yang telah dibuat, dan itu adalah kesalahan besar. Seharusnya, apabila saya merasa sudah yakin dengan keputusan yang saya ambil, saya tak boleh goyah dan menyerah begitu saja. Saya harus memperjuangkannya.
Mungkin saya merasa terlalu lelah dengan perdebatan, dan memilih kompromi dengan memendam bara dalam hati, dan itu adalah kesalahan yang lain lagi. Tak seharusnya saya hanya ngedumel di hati, yang benar kan sebaiknya saya menyampaikan uneguneg itu. Lha, gimana lagi, saya hampir tak tahan didebat terusmenerus.
Kemudian saya jadi bercermin, apakah saya pernah memperlakukan hal yang yang sama terhadap orang lain. Yeah, mungkin, di masamasa senior saya di kampus, saya terlalu banyak menceramahi junior saya dan mocking keluguan mereka. Entah beberapa kali saya bersikap menggurui sehingga para junior hanya bias manggut manut tanpa harus belajar dari kesalahan. Mungkin itulah yang membuat beberapa organisasi di kampus hanya mampu mempertahankan masa kejayaannya selama beberapa 2-3 periode, karena anggota dan pengurus setelahnya hanya tahu “yang enakenak” tanpa mengerti pahitnya terjatuh dan tersandung batu.
Yang tidak kita sadari adalah, setiap generasi mempunyai masanya sendiri. Dan setiap generasi perlu untuk berkembang dan belajar dari pengalamannya sendiri, dengan begitu, maka dia bisa mandiri dan menapak dengan lebih tegas ke depan. Bagaimana kita bisa mengembangkan diri jika kita dibatasi? Bagaimana kita bisa melihat peluang, jika banyak larangan? Bagaimana kita bisa mandiri bila terus diarahkan?
Di Amerika, setiap anak yang sudah lulus SMA akan pergi dari rumahnya dan belajar untuk mandiri. Tinggal atau dibiayai orang tua adalah suatu aib bagi mereka. Kucing akan melepas anaknya untuk hidup mandiri, begitu dia sudah bisa mencari makan sendiri. Apalagi kura-kura, dia hanya bertanggung jawab menimbun telur ke dalam pasir di tepi pantai. Semenjak lahir, bayi kura-kura harus berjuang sendiri untuk hidup. Kerelaan memang adalah hal yang berat, dan sangat dibutuhkan kebijaksanaan dan kebiasaan.
Saya harus mengingat hal ini, agar suatu saat nanti, saya bisa member ruang gerak yang cukup untuk Ara.