PDA

View Full Version : Flash...flash...flash



BundaNa
17-12-2011, 03:34 PM
Di Kamar Itu


Bunyi dari dalam kamar itu makin keras. Pertanda yang di dalamnya sudah mulai lapar. Aku hanya mampu menghela napas. Sampai sore ini, aku tidak bisa mendatangkan makanan untuknya. Dan sejujurnya, aku juga bingung harus mencari makanan kemana lagi.

Bunyi-bunyian itu semakin keras. Dalam hatiku pun sudah ingin menangis.

"Hai, Jane!"

Willy! Benar-benar sesuatu yang mengejutkan. Dia seperti datang karena kupanggil. Sebuah senyum kusunggingkan untuknya.

"Hai, Will."

Bunyi-bunyian dalam kamar itu pun sudah mulai berubah menjadi amukan.

Willy menoleh ke arah kamar itu.

"Adikmu, Jane?"

"Yeah," jawabku pelan.

"Kenapa? Dia marah?" tanyanya penasaran.

Aku menganggukan kepala. Willy pernah kuceritakan tentang "adikku" itu. Meski tidak dengan versi sebenarnya.

"Kamu gimana, sih. Kog dibiarkan di dalam? Ajak main dong!" protes Willy yang memang sangat menyukai anak-anak.

Aku hanya mengangkat bahu.

"Aku masuk ke dalam, ya? Kuajak main, deh!"

"silahkan," jawabku.

Willy pun beranjak masuk ke dalam kamar itu.

Dan terdengarlah teriakan-teriakan minta tolong dari mulut Willy di dalam sana. Aku hanya mampu menggigit bibir dan segera mengunci pintu kamar itu. Lima menit kemudian, suara WIlly benar-benar hilang.

Mungkin adikku sudah kenyang dengan Willy.

---the end FF 01--

Chiizu Chan
21-12-2011, 01:29 PM
Kenapa namanya mesti Willy, ka?? ::nangis::
#prayforwilly

porcupine
21-12-2011, 02:06 PM
lagi lagi lagi

BundaNa
26-12-2011, 05:11 AM
Ntar ya kalu ngenet di kompi

BundaNa
26-12-2011, 07:19 AM
Secangkir Capucinno



Mereka sedang berkumpul di teras depan. Hari ini kami akan menghadiri pernikahan adik keduaku.

Kuhela napasku, menatap satu sosok yang sudah mengganggu tidur-tidur malamku.

"Mbak, sorry ya gak bisa bantu, maklum lagi hamil."

Arisa, adik iparku yang sedang hamil 6 bulan menghampiriku, dengan senyum manisnya.

Aku menoleh ke arahnya sambil membalas senyumnya.

"Iya, gak apa2 kog, Ar. Cuma bikin minum ini," jawabku.

Arisa tersenyum lebih lebar. Cantik, karenanya adik bungsuku tergila2 kepadanya dan mendadak percaya lembaga pernikahan.

"Udah, ikut gabung di teras aja. Ini juga mau anter minuman ke sana," ucapku lagi seraya membawa nampan berisi berbagai minuman.

Iparku berjalan mendahuluiku. Masih kuawasi sesosok yang dari tadi menguasai otakku.

Kopi hitam untuk adikku yang mau nikah, kopi susu untuk bapak dan si bungsu yang sebentar lagi mau punya anak, kopi manis untuk suamiku.

"Arisa masih suka cappucino, kan?" Tanyaku sambil lalu.

"Masih, Mbak. Dibikinin ya? Aduh makasih, banget," jawabnya renyah.

"Kita mesti ingat apa2 saja yang disukai oleh anggota keluarga," senyumku kepadanya.

Kemudian kuletakan kopi2 itu. Semua tertawa lebar dan langsung mengangkat cangkirnya masing2.

"Aduh...perutku kenapa?" Arisa berteriak histeris sambil menumpahlan cangkir kopi yang sudah dia minum separuhnya.

Darah segar mengalir di sela-sela kakinya. Dan dia terjatuh, bayinya hancur.

Aku tersenyum puas. Racun dalam cappuccino itu sudah bereaksi sangat cepat, untuk menghukum si pencuri adikku.

---ending---