Alip
10-09-2011, 12:27 PM
Saya terbangun ketika taksi melewati portal cluster perumahan saya. Pak Satpam memberi hormat militer dengan gagah yang saya balas dengan salam pandu tiga jari...
Melirik ke jam di dashboard mobil, sudah lewat tiga setengah jam sejak meninggalkan bandara. Lumayanlah membayar hutang tidur setelah seminggu menggali lumpur di pedalaman Kalimantan. Saya mengajak supir taksi untuk mampir dulu di Mesjid. Biasanya Mesjid di tempat saya masih belum dikunci meskipun sudah menjelang tengah malam seperti sekarang.
Masuk pelataran Mesjid, Pak Garin (di sini disebut Marbot) sedang bersandar di salah satu tiang di beranda. Beliau sedang sibuk memperbaiki hapalannya. Ya, Garin kami yang lulusan pesantren terpencil di Madura ini sedang berusaha menghapal Al-Qur'an lengkap 30 juz.
"Sholat dulu, Pak?" ujarnya sambil membuka mata.
"Iyah, biasa," jawab saya. Tadinya mau diam-diam masuk ke tempat wudhu tanpa mengganggu hapalan beliau, tapi sekarang saya mengubah arah untuk bersalaman. "Supaya sampai rumah sudah gak ada lagi hutang."
Selesai Isa, saya duduk sebentar. Mesjid ini sepi sekali, kecuali gumaman Pak Garin di beranda.
Mengenang kembali penugasan seminggu ini, saya bertanya-tanya apakah saya menjalani kehidupan yang wajar. Dibandingkan dengan Pak Garin yang tidak pernah lepas dari sholat sunat, melafal dan menghapal Qur'an, berbagai wirid, mengajar mengaji, dan berbagai tapa ngrame membantu berbagai orang yang kesulitan di lingkungan komplek... derajat kami tentu jauh berbeda. Saya boro-boro sholat sunat, sholat wajib saja seringkali harus dijamak. Baca Qur'an? Paling mendengarkan murrotal MP3 yang saya masukkan ke HP. Wirid? Biasanya itu trik saya supaya bisa tertidur di pesawat.
Tapi hidup kami memang berbeda... beliau masih menjalani pola hidup yang relatif sama dengan Rasulullah di abad ke-lima dulu. Dengar-dengar beliau masih rajin tidur siang (supaya malamnya bisa tahajud). Saya? Memang bangun jam tiga malam... tapi bukan untuk melaksanakan tahajud, kalau bukan karena mengejar pesawat pertama ke Cengkareng, biasanya karena ada teleconference dengan kolega di belahan dunia lain sana...
Untuk menghibur diri, atau lebih tepatnya membela diri, saya biasa mengatakan pada diri sendiri bahwa meski hanya berjarak beberapa ratus meter, tapi sesungguhnya kami terpisah lima belas abad jauhnya. Bahwa profesi saya adalah juga ibadah... bahwa ibadah itu tidak hanya yang ritual...
Tapi tetap saja saya iri dengan beliau.
Dalam tiga tahun terakhir ini saya sudah dua kali melewatkan kesempatan promosi. Semata-mata supaya tidak terjebak dalam pekerjaan yang akan menjauhkan saya dari keluarga. Istri saya tahun lalu mengundurkan diri dari perkerjaannya sebagai kepala departemen SDM di sebuah perusahaan nasional karena ingin dekat dengan anak-anak. Saya tentu tidak bisa mengambil jalan yang sama, tapi sebisa mungkin sayapun tidak ingin terpisah (terlalu lama) dari keluarga. Sukur-sukur bisa tambah ibadah ritual.
Kalau sudah duduk sendiri seperti ini, saya selalu kembali pada pertanyaan sederhana. Hidup ini untuk apa sih?
... dan mengamati Pak Garin... apakah saya sudah mengambil jalan hidup yang benar?
Mungkin nanti kalau saya ternyata diparingi surga, saya perlu melihat jauh ke atas untuk melihat surga tempat Pak Garin tinggal. Tidak apa-apa deh. Katanya di surga tidak ada lagi iri dan dengki.
Beranjak keluar dari mesjid, ternyata ada satu sms yang dari tadi mendekam di HP saya. Tidak terdengar karena saya pasang mode silent.
Ternyata dari teman lama, seorang ekspatriat mantan atasan saya yang beberapa tahun lalu pindah ke perusahaan kompetitor kami di luar negeri sana. Baca di koran, dia jadi CEO. Tulisannya singkat, "call me. we are to establish principality in Indonesia. I want you as my operational director"
Seolah belum cukup urusan...
Saya pamit ke Pak Garin yang sedang membuka-buka lagi Qur'an-nya. Rupanya ada hapalan yang masih perlu dikonfirmasi lagi.
Malam ini saya ingin main dengan anak-anak dulu seandainya mereka belum tidur. Besok saya harus menelpon dan mengecewakan seorang teman lama.
Selisih jarak saya dan Pak Garin memang lima belas abad.
Melirik ke jam di dashboard mobil, sudah lewat tiga setengah jam sejak meninggalkan bandara. Lumayanlah membayar hutang tidur setelah seminggu menggali lumpur di pedalaman Kalimantan. Saya mengajak supir taksi untuk mampir dulu di Mesjid. Biasanya Mesjid di tempat saya masih belum dikunci meskipun sudah menjelang tengah malam seperti sekarang.
Masuk pelataran Mesjid, Pak Garin (di sini disebut Marbot) sedang bersandar di salah satu tiang di beranda. Beliau sedang sibuk memperbaiki hapalannya. Ya, Garin kami yang lulusan pesantren terpencil di Madura ini sedang berusaha menghapal Al-Qur'an lengkap 30 juz.
"Sholat dulu, Pak?" ujarnya sambil membuka mata.
"Iyah, biasa," jawab saya. Tadinya mau diam-diam masuk ke tempat wudhu tanpa mengganggu hapalan beliau, tapi sekarang saya mengubah arah untuk bersalaman. "Supaya sampai rumah sudah gak ada lagi hutang."
Selesai Isa, saya duduk sebentar. Mesjid ini sepi sekali, kecuali gumaman Pak Garin di beranda.
Mengenang kembali penugasan seminggu ini, saya bertanya-tanya apakah saya menjalani kehidupan yang wajar. Dibandingkan dengan Pak Garin yang tidak pernah lepas dari sholat sunat, melafal dan menghapal Qur'an, berbagai wirid, mengajar mengaji, dan berbagai tapa ngrame membantu berbagai orang yang kesulitan di lingkungan komplek... derajat kami tentu jauh berbeda. Saya boro-boro sholat sunat, sholat wajib saja seringkali harus dijamak. Baca Qur'an? Paling mendengarkan murrotal MP3 yang saya masukkan ke HP. Wirid? Biasanya itu trik saya supaya bisa tertidur di pesawat.
Tapi hidup kami memang berbeda... beliau masih menjalani pola hidup yang relatif sama dengan Rasulullah di abad ke-lima dulu. Dengar-dengar beliau masih rajin tidur siang (supaya malamnya bisa tahajud). Saya? Memang bangun jam tiga malam... tapi bukan untuk melaksanakan tahajud, kalau bukan karena mengejar pesawat pertama ke Cengkareng, biasanya karena ada teleconference dengan kolega di belahan dunia lain sana...
Untuk menghibur diri, atau lebih tepatnya membela diri, saya biasa mengatakan pada diri sendiri bahwa meski hanya berjarak beberapa ratus meter, tapi sesungguhnya kami terpisah lima belas abad jauhnya. Bahwa profesi saya adalah juga ibadah... bahwa ibadah itu tidak hanya yang ritual...
Tapi tetap saja saya iri dengan beliau.
Dalam tiga tahun terakhir ini saya sudah dua kali melewatkan kesempatan promosi. Semata-mata supaya tidak terjebak dalam pekerjaan yang akan menjauhkan saya dari keluarga. Istri saya tahun lalu mengundurkan diri dari perkerjaannya sebagai kepala departemen SDM di sebuah perusahaan nasional karena ingin dekat dengan anak-anak. Saya tentu tidak bisa mengambil jalan yang sama, tapi sebisa mungkin sayapun tidak ingin terpisah (terlalu lama) dari keluarga. Sukur-sukur bisa tambah ibadah ritual.
Kalau sudah duduk sendiri seperti ini, saya selalu kembali pada pertanyaan sederhana. Hidup ini untuk apa sih?
... dan mengamati Pak Garin... apakah saya sudah mengambil jalan hidup yang benar?
Mungkin nanti kalau saya ternyata diparingi surga, saya perlu melihat jauh ke atas untuk melihat surga tempat Pak Garin tinggal. Tidak apa-apa deh. Katanya di surga tidak ada lagi iri dan dengki.
Beranjak keluar dari mesjid, ternyata ada satu sms yang dari tadi mendekam di HP saya. Tidak terdengar karena saya pasang mode silent.
Ternyata dari teman lama, seorang ekspatriat mantan atasan saya yang beberapa tahun lalu pindah ke perusahaan kompetitor kami di luar negeri sana. Baca di koran, dia jadi CEO. Tulisannya singkat, "call me. we are to establish principality in Indonesia. I want you as my operational director"
Seolah belum cukup urusan...
Saya pamit ke Pak Garin yang sedang membuka-buka lagi Qur'an-nya. Rupanya ada hapalan yang masih perlu dikonfirmasi lagi.
Malam ini saya ingin main dengan anak-anak dulu seandainya mereka belum tidur. Besok saya harus menelpon dan mengecewakan seorang teman lama.
Selisih jarak saya dan Pak Garin memang lima belas abad.