PDA

View Full Version : Buat para ortu



mbok jamu
01-06-2014, 03:09 PM
Kemaren seharian mbok menemani seorang ibu (IRT) dengan 2 anak, perempuan dan laki-laki. Seperti orangtua pada umumnya, si ibu pun curcol bagaimana susahnya menjadi orangtua. Mbok ndak tahu apakah menjadi ibu rumah tangga itu memiliki efek samping pembodohan karena sepertinya si ibu too mumet to realise that she is the adult.

Membesarkan anak memang ndak mudah tapi haruskah orangtua membuatnya menjadi sulit? Sehari bersama mereka, mbok bisa melihat sendiri.

1. Si ibu ndak pernah bisa mengontrol volume suaranya, berteriak-teriak setiap memanggil anak-anaknya. Ndak heran anak-anak itu cuwek karena hanya mamalia seperti kelelawar yang bisa mendengar suara si ibu. Bukankah jauh lebih baik jika si ibu mendekati anaknya dan dengan sopan berbicara pada si anak dengan volume yang sepantasnya?

2. Sewaktu menegur anak-anaknya, it was more like menceracau. Jangankan anaknya, mbok saja ndak bisa mencerna maksud si ibu yang sebenarnya. Maksudnya A, tapi nyinyir sampai Z. Seriously, is that really necessary? Ndak heran si anak pun bengong, what the hell are you talking about mum?
Apalagi si anak cowok. Ha ha..

3. Mempermalukan anak di depan orang lain. Anak itu manusia, mereka punya hati dan consequently bisa tersinggung. Ndak pantas menceritakan sesuatu, yang dianggap si anak very personal, pada orang lain. Bukankah anak seharusnya dapat mempercayai orangtuanya sendiri? Bukankah menceritakan kenakalan anak sendiri itu seperti menampar muka sendiri? Anakmu didikanmu toh..

4. No boundaries. Mbok perhatikan anak-anak itu berlarian kesana kemari, ndak bisa duduk dengan tenang seperti orang bisulan dan ketika duduk selalu dengan kaki di atas sofa, tanpa ragu atau malu-malu. Karena mbok dulu diajarkan ortu untuk duduk dengan sopan apalagi di rumah orang lain, perhatian mbok beralih pada ortunya, what have you taught these kids with? Si ibu pun kemudian bercerita. Ternyata anak-anak itu ndak dibesarkan dengan kursi atau sofa, tapi dengan full carpet. Bukan karena bapak ndak punya duit tapi karena ibu ingin "membebaskan" anak-anaknya di rumah. Dan itu berlaku di seluruh ruangan. Ndak ada istilah konsep waktu dan ruang orangtua yang harus dihormati si anak, seperti waktu untuk ortu berdua, ruang kerja untuk bapak atau ruang tamu untuk ibu di mana anak-anak itu bisa belajar mengenai konsep keterbatasan dalam kebebasan mereka.

5. Menganggap si anak ndak perlu penjelasan. Kebanyakan ortu put high expectations on their kids atau suka menceritakan prestasi anak-anaknya but they treat their kids like idiots. Ketika si anak cowok duduk dengan kaki di atas sofa, si ibu lalu meminta kaki-kaki itu turun dengan high note-nya. Si anak ndak bergeming dari ipad-nya, no response whatsoever. Si ibu mengeras, si anak melihat dengan pandangan bertanya, why?, si ibu pun frustasi. Mbok akhirnya buka mulut. Dengan lemah lembut tapi tegas mbok minta dia menurunkan kakinya then I explained to him bahwa dia sedang duduk di sofa pak mbok dan pakde ndak suka sofa-nya kotor. Kaki-kaki itu pun turun dan si anak tetap salim sama mbok ketika pamit.

6. Don't treat them like twins if they are not, apalagi kalau mereka beda jenis kelamin. Why? Because it makes the boy looks stupid. Anak laki-laki mana yang kelihatan ganteng wearing Lime? Warna itu hanya membuat si anak kelihatan seperti jeruk nipis. Menjadi atau dijadikan anak kembar itu ndak enak, selalu dibanding-bandingkan dengan the other egg or the other half of the egg.

7. Memaksa anak menjadi model. Honestly, how many of you (parents) have done this? Memaksa anak berdiri di depan mobil, foto. Memaksa anak berdiri di pintu depan dengan seragam sekolah yang masih kaku dan kedodoran di hari pertama sekolah, foto. Memaksa anak untuk tersenyum padahal ndak suka difoto, foto. If you didn't like it back then when your parents did it to you, most likely your kids do not like it now either. Kenapa ketidaknyamanan itu harus menjadi warisan turun temurun?


I'm not a parent but I've been a kid myself. So as a kid, I hope every parent out there can take this as a bit of slap on the face now and then.

Ronggolawe
01-06-2014, 03:18 PM
Kemaren seharian mbok menemani seorang ibu (IRT) dengan 2 anak, perempuan dan laki-laki. Seperti orangtua pada umumnya, si ibu pun curcol bagaimana susahnya menjadi orangtua. Mbok ndak tahu apakah menjadi ibu rumah tangga itu memiliki efek samping pembodohan karena sepertinya si ibu too mumet to realise that she is the adult.

Membesarkan anak memang ndak mudah tapi haruskah orangtua membuatnya menjadi sulit? Sehari bersama mereka, mbok bisa melihat sendiri.

1. Si ibu ndak pernah bisa mengontrol volume suaranya, berteriak-teriak setiap memanggil anak-anaknya. Ndak heran anak-anak itu cuwek karena hanya mamalia seperti kelelawar yang bisa mendengar suara si ibu. Bukankah jauh lebih baik jika si ibu mendekati anaknya dan dengan sopan berbicara pada si anak dengan volume yang sepantasnya?

well ngga tahu ya... it's happened in mine, apa
karena ibunya dibesarkan ditanah betawi ya?

NO SARA :)




2. Sewaktu menegur anak-anaknya, it was more like menceracau. Jangankan anaknya, mbok saja ndak bisa mencerna maksud si ibu yang sebenarnya. Maksudnya A, tapi nyinyir sampai Z. Seriously, is that really necessary? Ndak heran si anak pun bengong, what the hell are you talking about mum?
Apalagi si anak cowok. Ha ha..

kaya nomor 1 :)



3. Mempermalukan anak di depan orang lain. Anak itu manusia, mereka punya hati dan consequently bisa tersinggung. Ndak pantas menceritakan sesuatu, yang dianggap si anak very personal, pada orang lain. Bukankah anak seharusnya dapat mempercayai orangtuanya sendiri? Bukankah menceritakan kenakalan anak sendiri itu seperti menampar muka sendiri? Anakmu didikanmu toh..

belum kejadian, dan gw dah wanti-wanti tidak boleh :)




4. No boundaries. Mbok perhatikan anak-anak itu berlarian kesana kemari, ndak bisa duduk dengan tenang seperti orang bisulan dan ketika duduk selalu dengan kaki di atas sofa, tanpa ragu atau malu-malu. Karena mbok dulu diajarkan ortu untuk duduk dengan sopan apalagi di rumah orang lain, perhatian mbok beralih pada ortunya, what have you taught these kids with? Si ibu pun kemudian bercerita. Ternyata anak-anak itu ndak dibesarkan dengan kursi atau sofa, tapi dengan full carpet. Bukan karena bapak ndak punya duit tapi karena ibu ingin "membebaskan" anak-anaknya di rumah. Dan itu berlaku di seluruh ruangan. Ndak ada istilah konsep waktu dan ruang orangtua yang harus dihormati si anak, seperti waktu untuk ortu berdua, ruang kerja untuk bapak atau ruang tamu untuk ibu di mana anak-anak itu bisa belajar mengenai konsep keterbatasan dalam kebebasan mereka.

kebetulan sejauh ini si Zhazha tipe anak yang apik :)



5. Menganggap si anak ndak perlu penjelasan. Kebanyakan ortu put high expectations on their kids atau suka menceritakan prestasi anak-anaknya but they treat their kids like idiots. Ketika si anak cowok duduk dengan kaki di atas sofa, si ibu lalu meminta kaki-kaki itu turun dengan high note-nya. Si anak ndak bergeming dari ipad-nya, no response whatsoever. Si ibu mengeras, si anak melihat dengan pandangan bertanya, why?, si ibu pun frustasi. Mbok akhirnya buka mulut. Dengan lemah lembut tapi tegas mbok minta dia menurunkan kakinya then I explained to him bahwa dia sedang duduk di sofa pak mbok dan pakde ndak suka sofa-nya kotor. Kaki-kaki itu pun turun dan si anak tetap salim sama mbok ketika pamit.

NOTED :)

dan IPAD? gw melihat salah satu biang masalahnya :)



6. Don't treat them like twins if they are not, apalagi kalau mereka beda jenis kelamin. Why? Because it makes the boy looks stupid. Anak laki-laki mana yang kelihatan ganteng wearing Lime? Warna itu hanya membuat si anak kelihatan seperti jeruk nipis. Menjadi atau dijadikan anak kembar itu ndak enak, selalu dibanding-bandingkan dengan the other egg or the other half of the egg.
NOTED



7. Memaksa anak menjadi model. Honestly, how many of you (parents) have done this? Memaksa anak berdiri di depan mobil, foto. Memaksa anak berdiri di pintu depan dengan seragam sekolah yang masih kaku dan kedodoran di hari pertama sekolah, foto. Memaksa anak untuk tersenyum padahal ndak suka difoto, foto. If you didn't like it back then when your parents did it to you, most likely your kids do not like it now either. Kenapa ketidaknyamanan itu harus menjadi warisan turun temurun?
kalau ini gw lebih suka capture the moment saja :)

Bi4rain
01-06-2014, 07:12 PM
sering banget melihat yang begituan mbok. bisa jadi karena pola didik dari orangtua si ibu juga. jadi dia terjebak suatu kondisi yang menganggap hal itu adalah biasa, mungkin tidak pernah ada yg memberitahu dia "bukan begitu caranya" atau dia sama sekali belum mengenal pola didikan yg lebih baik. seperti yg sudah saya pernah kemukakan di KM yah...there's school for kids but none for parents. disini memang harus orangtuanya yang (lagi2 bekerja keras) untuk mencari ilmu menangani anak. *teori*

tapi konkritnya yang bisa saya lihat sesuai pengalaman dan lingkungan tempat tinggal saya ya...banyak yg begitu
kesannya kadang malah agak (maaf) norak dan tidak sopan.

ada murid saya yang punya potensi bagus. tapi pola didik orangtua-nya yang saya lihat agak kurang 'sopan'.
menegur anak dengan teriak dan bentak.
jika air minum anaknya hari itu tidak dihabiskan, bukannya bicara baik-baik dengan guru, malah marahin2 anak depan guru air minumnya masih banyak.
pernah juga marahin anaknya 'kurang ajar' karena sewaktu di 'da dah-in' lamabi tangan sebelum masuk kelas en anaknya ga denger.
di kelas, oke-oke aja anaknya dan bisa menurut.

perhaps she, too, was raised in the same way.
perhaps she, too, does not know how to ask her kids.

makanya gw setuju banget klo ada teman gw yg ngomong, seorang ibu itu harus cerdas, karena dialah yang akan mendidik anaknya.

kandalf
02-06-2014, 04:34 AM
Ada dua tipe orang tua:
tipe pertama adalah mereka yang mendidik seperti orang tuanya mendidik dia dulu;

tipe kedua adalah mereka yang trauma cara mendidik orang tuanya sehingga berlawanan dengan didikan orang tuanya dahulu.

Saya termasuk tipe kedua sementara istri saya termasuk tipe pertama.





1. Si ibu ndak pernah bisa mengontrol volume suaranya, berteriak-teriak setiap memanggil anak-anaknya. Ndak heran anak-anak itu cuwek karena hanya mamalia seperti kelelawar yang bisa mendengar suara si ibu. Bukankah jauh lebih baik jika si ibu mendekati anaknya dan dengan sopan berbicara pada si anak dengan volume yang sepantasnya?
Si Ibu yang sudah stress.
Stress di sini tidak sekedar menghadapi anaknya tetapi juga menghadapi tekanan sosial.
Seharusnya kalau dalam kondisi seperti ini, sang ayah, bila ada di rumah, menyuruh sang istri untuk istirahat (walau kenyataannya gak semudah itu.. biasanya para ibu tetap bandel pengen menangani sendiri) dan ia yang menghadapi sang anak.





2. Sewaktu menegur anak-anaknya, it was more like menceracau. Jangankan anaknya, mbok saja ndak bisa mencerna maksud si ibu yang sebenarnya. Maksudnya A, tapi nyinyir sampai Z. Seriously, is that really necessary? Ndak heran si anak pun bengong, what the hell are you talking about mum?
Apalagi si anak cowok. Ha ha..

Hanya terjadi bila istri sudah emosi.




3. Mempermalukan anak di depan orang lain. Anak itu manusia, mereka punya hati dan consequently bisa tersinggung. Ndak pantas menceritakan sesuatu, yang dianggap si anak very personal, pada orang lain. Bukankah anak seharusnya dapat mempercayai orangtuanya sendiri? Bukankah menceritakan kenakalan anak sendiri itu seperti menampar muka sendiri? Anakmu didikanmu toh..


Gak tahu soal ini.
Jujur saja, kami kalau cerita tentang kenakalan anak biasanya cuma karena nakalnya itu bikin lucu. Tapi kami sepakat untuk tidak mengejek anak.



4. No boundaries. Mbok perhatikan anak-anak itu berlarian kesana kemari, ndak bisa duduk dengan tenang seperti orang bisulan dan ketika duduk selalu dengan kaki di atas sofa, tanpa ragu atau malu-malu. Karena mbok dulu diajarkan ortu untuk duduk dengan sopan apalagi di rumah orang lain, perhatian mbok beralih pada ortunya, what have you taught these kids with? Si ibu pun kemudian bercerita. Ternyata anak-anak itu ndak dibesarkan dengan kursi atau sofa, tapi dengan full carpet. Bukan karena bapak ndak punya duit tapi karena ibu ingin "membebaskan" anak-anaknya di rumah. Dan itu berlaku di seluruh ruangan. Ndak ada istilah konsep waktu dan ruang orangtua yang harus dihormati si anak, seperti waktu untuk ortu berdua, ruang kerja untuk bapak atau ruang tamu untuk ibu di mana anak-anak itu bisa belajar mengenai konsep keterbatasan dalam kebebasan mereka.


Gak segampang itu, mBok.
Pengalaman kami, yang berpengaruh dalam mendidik anak bukan hanya kami orang tuanya tetapi juga kakek-neneknya serta orang-orang sekitar.
Jadi selain masalah mengajari anak, kami juga harus tegas dengan orang-orang sekitar kami.

Susahnya, sebagai orang tua juga kadang-kadang gak konsisten.
Kita melarang anak-anak makan sambil lari-lari, kenyataannya kadang-kadang juga kami lari sambil makan.



5. Menganggap si anak ndak perlu penjelasan. Kebanyakan ortu put high expectations on their kids atau suka menceritakan prestasi anak-anaknya but they treat their kids like idiots. Ketika si anak cowok duduk dengan kaki di atas sofa, si ibu lalu meminta kaki-kaki itu turun dengan high note-nya. Si anak ndak bergeming dari ipad-nya, no response whatsoever. Si ibu mengeras, si anak melihat dengan pandangan bertanya, why?, si ibu pun frustasi. Mbok akhirnya buka mulut. Dengan lemah lembut tapi tegas mbok minta dia menurunkan kakinya then I explained to him bahwa dia sedang duduk di sofa pak mbok dan pakde ndak suka sofa-nya kotor. Kaki-kaki itu pun turun dan si anak tetap salim sama mbok ketika pamit.


Yang lucu setelah mengamati anak sendiri. Anak itu justru lebih bisa menurut pada orang lain dibandingkan pada orang tua sendiri, segalak apapun orang tuanya.
Ara, lebih disiplin saat bersama neneknya atau saat di TK dibandingkan ketika bersama Bundanya. Padahal Bundanya galak banget.

Kadang saya dan istri juga bingung apa yang menyebabkan Ara lebih susah disiplin.
Kalau teori neneknya sih, karena kami gak disiplin dan Ara lebih melihat contoh disiplin kami daripada soal bentak-membentak.



6. Don't treat them like twins if they are not, apalagi kalau mereka beda jenis kelamin. Why? Because it makes the boy looks stupid. Anak laki-laki mana yang kelihatan ganteng wearing Lime? Warna itu hanya membuat si anak kelihatan seperti jeruk nipis. Menjadi atau dijadikan anak kembar itu ndak enak, selalu dibanding-bandingkan dengan the other egg or the other half of the egg.


Noted.


7. Memaksa anak menjadi model. Honestly, how many of you (parents) have done this? Memaksa anak berdiri di depan mobil, foto. Memaksa anak berdiri di pintu depan dengan seragam sekolah yang masih kaku dan kedodoran di hari pertama sekolah, foto. Memaksa anak untuk tersenyum padahal ndak suka difoto, foto. If you didn't like it back then when your parents did it to you, most likely your kids do not like it now either. Kenapa ketidaknyamanan itu harus menjadi warisan turun temurun?


Saya lebih suka foto snapshot apa adanya. Gak perlu harus dibuat-buat.

mbok jamu
02-06-2014, 06:29 PM
well ngga tahu ya... it's happened in mine, apa
karena ibunya dibesarkan ditanah betawi ya?

NO SARA :)




Hmm.. Si ibu yang mbok ceritakan berasal dan besar di daerah Jawa yang terkenal lemah-lembut dalam bertutur kata.

Apakah ortu berteriak untuk menunjukkan otoritas pada anak? Yelling to show authority? Apakah efektif?

tuscany
02-06-2014, 06:33 PM
Yelling is easier to do than being gentle but firm.

mbok jamu
02-06-2014, 07:17 PM
NOTED :)

dan IPAD? gw melihat salah satu biang masalahnya :)

Bisa jadi walau menurut si ibu, anaknya hanya main ipad di akhir pekan.

Fenomena anak diberi gadget seperti tablet, are parents really that helpless? Apakah ortu jaman sekarang ndak bisa bilang "tidak" ke anaknya sendiri? Mbok perhatikan, anak-anak balita pun sekarang sudah mengenal gadget dan bukan karena sang ibu ndak punya waktu bermain dengan anaknya tapi karena ibu asik ngobrol atau whatsappan.

Seharian bersama ibu dan 2 anaknya tersebut, ndak pernah sekalipun mbok lihat si ibu duduk di sebelah anak-anaknya, engaging in any conversation with them.

Ronggolawe
02-06-2014, 07:25 PM
Zhazha tiap malam mesti minjam HP ayah atau ibu
nya nonton youtube sebelum tidur :)

kayanya memang itu cara praktis menggantikan ke
giatan mendongeng... entah substitusi yang tepat
atau tidak :)

mbok jamu
02-06-2014, 07:49 PM
sering banget melihat yang begituan mbok. bisa jadi karena pola didik dari orangtua si ibu juga. jadi dia terjebak suatu kondisi yang menganggap hal itu adalah biasa, mungkin tidak pernah ada yg memberitahu dia "bukan begitu caranya" atau dia sama sekali belum mengenal pola didikan yg lebih baik. seperti yg sudah saya pernah kemukakan di KM yah...there's school for kids but none for parents. disini memang harus orangtuanya yang (lagi2 bekerja keras) untuk mencari ilmu menangani anak. *teori*

tapi konkritnya yang bisa saya lihat sesuai pengalaman dan lingkungan tempat tinggal saya ya...banyak yg begitu
kesannya kadang malah agak (maaf) norak dan tidak sopan.

ada murid saya yang punya potensi bagus. tapi pola didik orangtua-nya yang saya lihat agak kurang 'sopan'.
menegur anak dengan teriak dan bentak.
jika air minum anaknya hari itu tidak dihabiskan, bukannya bicara baik-baik dengan guru, malah marahin2 anak depan guru air minumnya masih banyak.
pernah juga marahin anaknya 'kurang ajar' karena sewaktu di 'da dah-in' lamabi tangan sebelum masuk kelas en anaknya ga denger.
di kelas, oke-oke aja anaknya dan bisa menurut.

perhaps she, too, was raised in the same way.
perhaps she, too, does not know how to ask her kids.

makanya gw setuju banget klo ada teman gw yg ngomong, seorang ibu itu harus cerdas, karena dialah yang akan mendidik anaknya.

I too wish there was school for parents. :luck:

Tapi kalau anak dimarahi hanya karena ndak waving back at the parent, kelihatannya si ortu punya gangguan kejiwaan. ;D

Pertanyaannya, apakah ortu really have no clue atau justru sebaliknya, merasa paling banyak tahu?

Dan kalau ada kasus seperti ini, apakah ortu tsb diberi 'clue' bahwa anaknya lebih menurut kalau ditegur sebagai layaknya anak?

mbok jamu
02-06-2014, 08:47 PM
Ada dua tipe orang tua:
tipe pertama adalah mereka yang mendidik seperti orang tuanya mendidik dia dulu;

tipe kedua adalah mereka yang trauma cara mendidik orang tuanya sehingga berlawanan dengan didikan orang tuanya dahulu.

Saya termasuk tipe kedua sementara istri saya termasuk tipe pertama.

Hmm.. What about orphans, yang ndak punya orangtua yang mendidik mereka dulu? :luck:

I'm not saying my parents has perfectly brought me up nor made a lot of mistakes in doing so. Tapi kalau mbok sekarang bisa mensyukuri hidup ini, they must have done at least one thing right.



Si Ibu yang sudah stress.
Stress di sini tidak sekedar menghadapi anaknya tetapi juga menghadapi tekanan sosial.
Seharusnya kalau dalam kondisi seperti ini, sang ayah, bila ada di rumah, menyuruh sang istri untuk istirahat (walau kenyataannya gak semudah itu.. biasanya para ibu tetap bandel pengen menangani sendiri) dan ia yang menghadapi sang anak.

Tekanan sosial seperti...?

Para ibu tetap bandel? Hmm.. interesting. :-? Jadi bukan karena sebagian ayah menganggap bahwa mengurus anak adalah tanggungjawab ibu?



Gak segampang itu, mBok.
Pengalaman kami, yang berpengaruh dalam mendidik anak bukan hanya kami orang tuanya tetapi juga kakek-neneknya serta orang-orang sekitar.
Jadi selain masalah mengajari anak, kami juga harus tegas dengan orang-orang sekitar kami.

Susahnya, sebagai orang tua juga kadang-kadang gak konsisten.
Kita melarang anak-anak makan sambil lari-lari, kenyataannya kadang-kadang juga kami lari sambil makan.

At least you admit the inconsistency, which is a big step. Kandalf tahu harus mencontohkan yang benar, bukan memerintahkan yang benar.

Mengenai pengaruh keluarga besar pada anak, memang sulit apalagi kalau masih tinggal serumah dengan kakek-nenek. Tapi mbok percaya kakek-nenek ndak akan ikut campur kalau ndak dibiarkan apalagi dilibatkan sehingga kakek-nenek pun akhirnya merasa serba salah. As the parents to the kid, you have to draw that boundary and be fair to the old folks.



Yang lucu setelah mengamati anak sendiri. Anak itu justru lebih bisa menurut pada orang lain dibandingkan pada orang tua sendiri, segalak apapun orang tuanya.
Ara, lebih disiplin saat bersama neneknya atau saat di TK dibandingkan ketika bersama Bundanya. Padahal Bundanya galak banget.

Kadang saya dan istri juga bingung apa yang menyebabkan Ara lebih susah disiplin.
Kalau teori neneknya sih, karena kami gak disiplin dan Ara lebih melihat contoh disiplin kami daripada soal bentak-membentak.

There you go. Yelling may worked with your wife back then but the kid got another gene, her dad's. Seperti ayahnya, kelihatannya Ara egepe dengan segala bentuk intimidasi.

Mbok sering mendengar dari teman kalau anaknya lebih menurut pada orang lain dan sadly, I can see the mothers sometimes get jealous dan berusaha supaya anak tersebut patuh pada mereka sehingga one good thing yang sudah si anak pelajari dari orang lain itu harus dilupakan.

Bi4rain
03-06-2014, 12:30 AM
Mbok sering mendengar dari teman kalau anaknya lebih menurut pada orang lain

nanggapin khusus kalimat ini secara umum ya...

memang kok anak biasanya lebih nurut sama orang lain. Sama deh contohnya kita waktu kecil, misalnya, ke rumah orang lain dan ditegur hal yang sama dengan yang biasa yang dinasehatin orangtua ke kita. Hampir semuanya lebih nurut sama orang lain ketimbang orang tua sendiri. Mungkin karena anak tidak familiar dengan 'ending' yg diberikan jika dia ga nurut sama orang baru tsb

apalagi klo sudah masuk sekolah atau suatu institusi, ga bisa sesuka hati si anak (yang biasanya ya sesuka hati ^^)
dia belajar namanya...kontrol.
jadi hal yang boleh, ga boleh, konsekuensi perbuatan dari guru atau ortu, pandangan temannya, dsb.
Hal-hal tentang hidup di komunitas yang bukan cuma ada 'gue ajah, orang lain ntar'.
Lebih gampang menerapkan di sekolah, dengan berbagai orang yg belum dia tau atau kenal dekat, kemudian sudah ada aturan main dengan rentang jam yg cukup.
Klo menjalankan di rumah butuh energi dan mental ekstra. 24 jam.
dan biasanya anak sudah tau apa konsekuensi yang biasanya diberi orangtuanya (sudah familiar)
jadi mungkin mereka siap melanggar dengan asumsi siap juga nerima konsekuensi yg bakal diberi

(again, just my theory) *banyak banget sih teori ;D


Pertanyaannya, apakah ortu really have no clue atau justru sebaliknya, merasa paling banyak tahu?

Dan kalau ada kasus seperti ini, apakah ortu tsb diberi 'clue' bahwa anaknya lebih menurut kalau ditegur sebagai layaknya anak?

kasus anak ini, orangtuanya sulit diajak komunikasi. Sudah diajak bicara beberapa kali, tapi kayaknya ga ada satu pun omongan saya yang nyangkut. Jadi saya fokus saja ke anaknya di kelas.

Lagipula saya menghindari banget memberi clue atau apa pun itu pada orangtua. Takutnya sok mengajari mbok. saya saja belum punya anak. Jika saya ditakdirkan ga punya pengalaman mengajar, barangkali saya pun akan 'mendongeng A-Z' pada anak saya yg ahem..bandel. Tipe ngedumel sih ;D

eve
03-06-2014, 02:32 AM
Dulu dulu aulia (anak saya), kalau awal2 ketemu saya setelah saya keluar kota, dia selalu membandel apa kata saya dan suka ngambekan. Saya kira karena dia pengen memonopoli saya karena beberapa hari tidak ketemu, lalu saya mulai lebih fokus kedia, (soalnya ada sepupu aulia yang sepantaran dan ternyata aulia tidak mau berbagi bunda), ternyata berubah loh, dia tidak lagi marah2/ngambekan dan terlihat lebih enjoy dalam berinteraksI.

mbok jamu
03-06-2014, 06:31 AM
nanggapin khusus kalimat ini secara umum ya...

memang kok anak biasanya lebih nurut sama orang lain. Sama deh contohnya kita waktu kecil, misalnya, ke rumah orang lain dan ditegur hal yang sama dengan yang biasa yang dinasehatin orangtua ke kita. Hampir semuanya lebih nurut sama orang lain ketimbang orang tua sendiri. Mungkin karena anak tidak familiar dengan 'ending' yg diberikan jika dia ga nurut sama orang baru tsb

apalagi klo sudah masuk sekolah atau suatu institusi, ga bisa sesuka hati si anak (yang biasanya ya sesuka hati ^^)
dia belajar namanya...kontrol.
jadi hal yang boleh, ga boleh, konsekuensi perbuatan dari guru atau ortu, pandangan temannya, dsb.
Hal-hal tentang hidup di komunitas yang bukan cuma ada 'gue ajah, orang lain ntar'.
Lebih gampang menerapkan di sekolah, dengan berbagai orang yg belum dia tau atau kenal dekat, kemudian sudah ada aturan main dengan rentang jam yg cukup.
Klo menjalankan di rumah butuh energi dan mental ekstra. 24 jam.
dan biasanya anak sudah tau apa konsekuensi yang biasanya diberi orangtuanya (sudah familiar)
jadi mungkin mereka siap melanggar dengan asumsi siap juga nerima konsekuensi yg bakal diberi

(again, just my theory) *banyak banget sih teori ;D

Menarik, karena hal itu ndak mbok alami. Mungkin karena my parents are my role model, mungkin karena ndak perlu dinasehati oeh orang lain karena cukup dibekali sebelum berinteraksi dengan dunia luar.

Mbok lebih suka menyebutnya bukan sebagai teori tapi Pembelajaran sosial, pandangan bahwa orang-orang dapat belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung.

to be continued