opera
11-11-2013, 01:06 PM
Kutang
Pada masa penjajahan Belanda dulu,pada waktu Daendels berkuasa pada pengerjaan proyek pembuatan jalan pos Anyer-Panarukan di kota Semarang (sekarang jl. Bodjong), banyak budak pribumi baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja hanya mengenakan pakaian bawah saja. Sedangkan bagian atas tubuh, mulai dari pusar hingga ke leher, telanjang (jawa :ngligo). Dan ini adalah hal yang biasa pada waktu itu.
Mandor yang bertugas di tempat saat itu, Don Lopez comte de Paris -kaki tangan Daendels yang berkebangsaan Prancis- merasa risih melihat keadaan ini. Akhirnya, ia memotong-motong kain putih dan memberikannya kepada salah satu budak perempuan untuk menutup payudaranya. Sambil memberikan kain tersebut pada si budak, dia mengatakan,”Tutup bagian berharga itu”. Don Lopez berbicara dalam bahasa Prancis ketika mengatakan hal itu. Dalam bahasa Prancis, berharga adalah "coutant"
Ternyata budak perempuan itu bertanya-tanya untuk apa kain itu. Don Lopez terus menunjuk-nunjuk payudara permpuan itu dan berkata,” Coutant! Coutant”.
Budak itu tetap tak mengerti juga. Ia hanya melihat bagian payudaranya apakah ada yang salah.
Orang yang melihat adegan tersebut serta merta mengira bahwa kain putih yang ditunjuk-tunjuk ke payudara untuk dipakai sebagai penutup adalah namanya coutant. Salah seorang budak yang ada di dekat perempuan itu lantas berkata “ o, kuwi jenenge kutang”.
Sejak itu lahirlah istilah baru yang sebenarnya salah kaprah.
Kelontong
Adalagi sejarah yang menarik, pada jaman dahulu rata-rata orang tionghoa di Jawa berjualan keliling dari desa ke desa bahkan kota menggunakan gerobak yang ditarik oleh sapi. Jualannya pun tidak main-main, istilahnya toko serba ada, dari pakaian sampai sembako, dari kebutuhan sehari-hari sampai ayam hidup pun ada. Sebagai penanda di leher sapi tersebut diberi lonceng yang akan berbunyi apabila sapinya bergerak (berjalan). "klontong....klontong..." begitu bunyinya.
Itulah sebabnya sampai sekarang orang Jawa menyebut toko yang berjualan bahan2 kebutuhan sehari hari dengan "toko kelontong"
Pada masa penjajahan Belanda dulu,pada waktu Daendels berkuasa pada pengerjaan proyek pembuatan jalan pos Anyer-Panarukan di kota Semarang (sekarang jl. Bodjong), banyak budak pribumi baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja hanya mengenakan pakaian bawah saja. Sedangkan bagian atas tubuh, mulai dari pusar hingga ke leher, telanjang (jawa :ngligo). Dan ini adalah hal yang biasa pada waktu itu.
Mandor yang bertugas di tempat saat itu, Don Lopez comte de Paris -kaki tangan Daendels yang berkebangsaan Prancis- merasa risih melihat keadaan ini. Akhirnya, ia memotong-motong kain putih dan memberikannya kepada salah satu budak perempuan untuk menutup payudaranya. Sambil memberikan kain tersebut pada si budak, dia mengatakan,”Tutup bagian berharga itu”. Don Lopez berbicara dalam bahasa Prancis ketika mengatakan hal itu. Dalam bahasa Prancis, berharga adalah "coutant"
Ternyata budak perempuan itu bertanya-tanya untuk apa kain itu. Don Lopez terus menunjuk-nunjuk payudara permpuan itu dan berkata,” Coutant! Coutant”.
Budak itu tetap tak mengerti juga. Ia hanya melihat bagian payudaranya apakah ada yang salah.
Orang yang melihat adegan tersebut serta merta mengira bahwa kain putih yang ditunjuk-tunjuk ke payudara untuk dipakai sebagai penutup adalah namanya coutant. Salah seorang budak yang ada di dekat perempuan itu lantas berkata “ o, kuwi jenenge kutang”.
Sejak itu lahirlah istilah baru yang sebenarnya salah kaprah.
Kelontong
Adalagi sejarah yang menarik, pada jaman dahulu rata-rata orang tionghoa di Jawa berjualan keliling dari desa ke desa bahkan kota menggunakan gerobak yang ditarik oleh sapi. Jualannya pun tidak main-main, istilahnya toko serba ada, dari pakaian sampai sembako, dari kebutuhan sehari-hari sampai ayam hidup pun ada. Sebagai penanda di leher sapi tersebut diberi lonceng yang akan berbunyi apabila sapinya bergerak (berjalan). "klontong....klontong..." begitu bunyinya.
Itulah sebabnya sampai sekarang orang Jawa menyebut toko yang berjualan bahan2 kebutuhan sehari hari dengan "toko kelontong"