PDA

View Full Version : Ketika Rindu Melintasi Jarak



komporminyak
02-05-2011, 12:41 AM
Pindahan dari me****.blog.friendster.com

Hanya sebuah blog, untuk melepas apa yang tersimpan dalam benak. Tentang apa saja. Memenggal batas yang pernah ada, menyinggahi semua yang pernah menyapa. Lalu apakah kerinduan memiliki wajah? Bahkan ketika rindu melintasi jarak rasanya masih saja ada yang tak mampu diucapkan.


Kesalahan Pertama?!
January 24th, 2006

Bwahahaha…. sebuah kesalahan pertama terjadi (lagi). Menarikan jari di atas keyboard. Padahal sebenarnya enggan. Kurang lama kaw nak di depan kompie?? *huh* bukankah semalam suntuk kau sudah berada di depannya? Egh, bukan saja di depannya. Namun juga di kolong tempat tidurmu juga ada CPU meski tinggal kerangka, juga di atas meja, belum lagi monitor-monitor yang berserakan meski ‘hanya’ 3 buah dalam kamar kecil itu, bahkan masih ada CPU milik orang yang harus kau benahi. Masih kurang lama? bukankah tadi pagipagi buta kau lanjutkan lagi. Huah! settingan kompiemu amburadul garagara ganti motherboard dan processor, parah partisinya ada yang gak terbaca. OS juga acakadul! Syukur sekarang semuanya sudah terselesaikan.

Ngelongok kamar jadi mikir, "Kayak gitu kamar ce?" Bwahahahhaha lagilagi ingin tertawa kalau melihatnya. Jadi teringat sms kawan, "Ngapain nangis? Kayak cewek aja!! Emangnya lo cewek?!" Kaco. Uff.. sengaja pindah sejak 31 Desember 2005, milih lebih kecil agar lebih hangat. Gak atis. Ben ora seseg. Memendam kesunyian dalam tenggelamnya kata yang bernama ‘asik ngoprek kompie’. Juga masih ada kalimat milik seorang kawan yang berdengung di telinga, "Ingat! Aku masih menunggu 5 atau 10 tahun lagi, jangan siasiakan semua yang sudah ada?!" Ternyata kesalahan pertama sudah dilakukan. Demi kawan, seseorang yang tak pernah lelah nguwongke diriku.

Bedebah dengan semua rasa. Bedebah dengan semua orangorang. Bedebah dengan idealis yang berulang kali terpatahkan. Ojo ngenteni bejo, bejo lagi turu <catt: jangan nunggu keberuntungan, keberuntungan lagi tidur>. Mo sendirian juga bakal dilakoni. Jangan kau tuliskan kata desperate dalam kamusnya. Kau tak mampu mengejanya, karena kau tak mau mengenalnya. Apa yang kalian tahu tentang future? Menggenggamnya menjadi mimpi. Hah! mimpi memang bikin hidup. Samurai dengan tanda silang di pipi, Kenshin Himmamura berkata, "Mati bisa kapan saja tapi butuh keberanian untuk hidup."

Aku masih ingin hidup dan mendapatkan ‘kejelasan’ tentang sebuah hidup meski dewi fortuna sedang indehoi ke hawai.

komporminyak
02-05-2011, 12:44 AM
Males Kok Dipiara?!
January 24th, 2006

Weeks, males kok dipiara. Lah aku enggan ‘ngantor’ ik. Wingi-wingi wis lembur, kerjaanku dah rampung, ada tambahan tugasmu yang kuselesaikan saat kau tak datang ‘ngantor’ karena layat. Padahal itu garapanmu. Sidang tinggal 2 hari lagi, ra mungkin rampung kalau hanya ku tinggal! Ini Rabu. Besok Kamis, dan esoknya standy dari pagi hingga sore. Mungkin malam. Waaa yo emoh. Bukankah katamu pada saat sidang aku hanya standy by di satu tempat? Gak bisa ke mana-mana. Musti konsen pada sebuah sidang. Padahal ngetik dan baca berkas materi sidang saja sudah bisa ngebayangin nuansa sidang. Walaaaah… isinya lha kok bapak-bapak dan ibu-ibu semua? Gak dapat vitamin A deh. Kekekkekeke. Dodolz ah.

Pulang gih, sekalian nengok kantor, meski itu bukan staff di sana. Nah Lo! Binun kan? Pulang sore? Siapa takut? Males kok dipiara?!

komporminyak
02-05-2011, 12:46 AM
My Left Palm
January 30th, 2006

Apa yang kau eja tatkala melihatnya? Tak ada garis tegas, yang ada acakadul begitu semrawut. Tapi apa peduliku dengan itu? Bukankah hidup hanya mengeja langkah dengan kasih, doa, dan usaha. Bukan pada sebuah ‘watak’ berkedok paranormal yang digambarkan pada garis rajah tangan. Yang aku tahu, aku tak pernah akan dapat mengganti kartu kehidupanku, tapi justru aku harus tahu bagaimana cara memainkannya. Meski untuk bermainmain dengannya kadangkala.. Paw!!! aku terjatuh kejungkel. *gedubrak*
Hmmm, ada jari serupa milik (alm) kakek, meski miliknya telah cacat terkena granat semasa perang dengan Belanda. Ada jemari dengan trah pewaris milik bunda. Itu kata babe jika memerhatikan jemariku.

Setidaknya dengan jemari ini, ajarkan aku menjamah setiap orang yang aku temui demi sebuah kedamaian hati.


-note 2011, pic my left pam dihilangkan. *terpaksa*-.

komporminyak
02-05-2011, 12:49 AM
Besi Menajamkan Besi
February 5th, 2006

Siang itu, katanya kau mau datang. Baiklah, maka aku menunggumu. Tapi tetap saja mendung berarakan. Lalu kau bilang, malam itu kau akan singgah. Hmmm, aku enggan. Bukan karena ingin menolak tamu, hanya saja aku terlalu letih. Lalu kubilang, "Sori, aku ada perlu. Besok saja sekalian."


Siang harusnya kau datang, tapi lagi-lagi mendung mengintaimu. Pukul 14.30 akhirnya kau datang. Ternyata kau sungguh banyak kata. Aku saja yang perempuan hingga penih mendengar kalimatmu yang berulang-ulang. Memperpanjang masalah yang tak terlalu prinsipil. Belum lelah pembicaraan di rumah, masih saja kau sambung lewat kabel elektromagnetik. Dan… ah, kekasihmu juga berucap kata yang sama. Duh, hari itu aku begitu lelah. Tidakkah kau lihat?


Beberapa waktu lalu aku seperti perempuan nakal. Meski sebelumnya ada pembicaraan serupa kawan lama, tapi aku langsung bicara sekenanya minta ‘nunut’ bonceng pada stranger yang aku temui di gerai ponsel. Ke jalan besar untuk ‘nyegat’ bus. Bukankah hari itu bus "Sumber Rahayu" sedang dijamas? Sudah mogok 3 hari. Aku lelah, barangkali karena aku salah waktu meminumnya sirop obat itu. Kantuk yang begitu menyengat kala harus antre berdiri selama puluhan menit, juga berdiri menunggu yang lainnya yang lagi-lagi harus memakan puluhan menit. Duh, bagaimana mungkin aku bisa sekenanya nunut pada stranger? Karena aku terlampau letih.


Tentang pembicaraan itu, aku meniti benang tipis. Aku beranikan terus berjalan. Tapi kau bilang, "Terlalu berani, bukankah harus belajar yang kecil, lalu bertumbuh bersama?" Aku tahu itu, meski dalam hati aku bisa saja menamparmu balik dengan kata-kata, "Untuk apa kau desain kartu itu? lalu memburuku agar menyelesaikannya?" Tapi aku urungkan, bukankah aku belum mengenalmu. Dan aku enggan mengenalmu terlalu jauh. Aku hanya ingin bisa urip, meski untuk itu besi yang aku miliki harus bergesekan dengan besi milikmu. Kita berbeda konsep. Hati-hati memang perlu, tapi aku tak mau terlalu ketakutan untuk sekedar melangkah. Wake up! Aku tak seperti dirimu. Waktuku tak banyak, dan tak banyak yang kumiliki. Kau memiliki dia untuk menata sambil ngecharge hidupmu, sementara aku? Semua ini harus kulakukan sendiri. Lepas kau ada atau tidak. Ketika kau bilang, "Jangan down dengan kalimatku ini." Aku bengong. Aku diam karena letih. Bukan karena down. Bukankah lalu kujawab, "Kenapa musti down? Itu ‘hanya’ kata-kata. Orang perang aja belum tentu bisa menang, apalagi kalau enggak perang. Aku down bila aku sungguh-sungguh telah terjatuh karena gagal."


Jangan terlalu banyak bicara, jangan pernah punya keinginan "ngemperi jagat". Cukup satu atau dua saja, tapi konsentrasi penuh. Dan tetap berjalan, atau bahkan mengusahakan agar terus menggelinding. Dengan atau tidak bersamamu, aku tetap meneruskan lakuku. Mewujudkannya, sekalipun itu aku harus berpeluh sendirian. Dan aku berjuang bukan tentang itu saja, tapi masih ada hal lain harus kutelateni. Meski aku tak pernah berucap pada kalian, meski aku selalu aktif di siang hari bahkan bila ada kegiatan sampai larut. Masih banyak yang harus ku perjuangan agar aku tetap bisa menjalani lakuku. Barangkali aku yang terlalu "dingin" memandang jagat kehidupan yang sedang aku jalani ini.


Maaf, aku kadung tak pernah mempercayai orang lagi, yang tersisa tinggal pada orangtua.

komporminyak
02-05-2011, 12:52 AM
Huah?! Service unavailable?
February 8th, 2006

Gelooo… Service unavailable itu yang terpampang di homepagenya. Ga ngartri napa. Bedebah pisan neh bagian IT-nya. Hhhhh. Mosok gak nyadar kalau seantero Indonesia pada ngakses kalau mo ngulik infonya. Hueeee. Kemaren dah ngerepoti temen, sampe dia meeting disambi browsing, he said, "Lelet banget website-nya! Rame yg akses kayaknya nih". Itu pukul 17:12. Then pukul 19:45, dia sms again, tulisnya, "Non, sampe 5 mnt yg lalu msh blm berhasil bgecek ke websitenya. Kyknya mending midnite ke warnet deh." Tuiiinngg ga mungkinlah malemmalem ngelayap. Mmmmm, lalu malem pukul 20.05, dapet mandat disuruh coba pake modem rumah. Gak yakin apa masih bisa dipake. Weeeks, dipasang ke kompie gw ga mau. Itu mah masih card juaman baheulak?!! Yo wis, angkat kompie masa perjoeangan jaman ehek. Mau kepasang. Goodlah. Tapi… weeeeitsss, lha kok jebulnya settingan kompie dudulz. Drivernya ga mo detek. Alamak jan!! Kan ga punya CD Driver Originalnya? Dipaksa ama driverdriver yang laennya. Ya ada pokoknya. Tetep keukeuh ga bisa. Taelah. Malam makin larut. Hmmm belum dink. Baru pukul 21.30. Tapi badan ude ringsek, mata 3 watt, otak dah oon kalau diajak ngumung. Benerbener low-batt deh. Nape juga getoo? Benerbener lagi drop kondisinya sementara aktivitas terus saja berlari. Enggan membiarkan istirahat barang sejenak.

Back to topic, eh Topik lagi pulang kampung dink… hehehhehe. Hmmm, semoga kakak ipar dapet infonya. Semoga kalau pas pulang, masih ada temen yang aksesin dari opisnya. Yupe, masih ada satu temen yang maren disms tapi ga taunya dia gi perjalanan pulang. Hayah… nee lagunya kok malah "Demi Waktu"-nya Ungu yang lagi memantul di ruangan. Empet kalau liat video klipnya. Ekspresi si pelantun suara benerbener dingin dengan ninggalin ceweknya begitu saja!! Enak aja, emangnya barang yang bisa ditinggaltinggal begitu saja? Meski katanya "maafkan aku, menduakan cintamu berat rasa hatiku bla bla bla.. dan demi waktu.. bla bla bla…" *ga apal neh*

Hmm, sakerepmulah. Trus gimana neh? Nunggu doank? sementara untuk membunuh waktu malah nulis blog kaya genee. Tadi ude donlot Indeo buat Ulead, sukursukur cracknya juga bisa dah. At least, kalau sampe plan B ini failed, masih ada plan D. Hmmm, mana yang plan C? Ada tapi entaran, toh plan C bisa jalan berseberangan dengan plan D. Pokoknya plan D tetep kudu jalan. Hmmm napa gw masih nulis genee? Pada boring baca ga? sebodo teuing ah!

komporminyak
02-05-2011, 12:55 AM
EHDn
February 8th, 2006

Bukankah kita masih berdebat tentang nama, several times. Belum lagi kalian berdua yang begitu wewet membuatku ngilu di sekujur tulang. Hahahah pakai energizer yak? Lalu terakhir kali kau bilang, "Pake ini saja, EHDn. Gak papa." Kalimat yang kau lontarkan garagara melihat label CD Program milikku. Tuiiingg.. tentu saja aku mengerenyitkan dahi. Walah kok malah jadi nama individu? Hmmm apa ini gejalagejala menuju….. . Duh, ga tega neh ngumungnya. Ternyata demikian, aku tahu… sementara ini sepertinya yang terforsir tetep tubuh ini. Even kau katakan serius menekuni bidang ini, tapi aku sangsi akan tanggung jawabmu. Aku tahu kau lebih memilih memanggul berat perusahaan ayahmu ketimbang "bisnis ecek-ecek kita". Itu terpampang jelas bagaimana kau membombardir katakata saat pembahasan strategi pemasaran kita. Tentang ketidaksetujuanmu. Kau bilang terlalu dini. Okay, aku bisa terima, tapi bukankah hal itu tetep perlu kita pikirkan?

Wow… bikin melek mata. Setidaknya aku bisa nata ati. Bersiap, kalaukalau suatu saat aku harus berjalan sendirian. Maaf, aku sudah biasa meski itu membuatku perih sebenarnya. I need a partner, plan A yang telah tersusun rapi justru gagal karena keadaan di sana. Bukan karena kondisiku seperti yang sudahsudah. Yo wis, usah dibikin risau Gusti pasti pilihkan jalan yang terbaik.


Kalau toh kelak harus memakai nama EHDn.. Lebih baik pikirkan kembali.

komporminyak
02-05-2011, 12:59 AM
The New Testament in Javanese
February 15th, 2006



http://kopimaya.com/forum/images/ruparupa/newtestament.jpeg
Amazing!!! Bergetar nadi ketika aku merabanya. 1933, dicetak di Singapore, sebuah karya yang sepertinya tak semua orang beruntung menyentuhnya. Karya yang begitu indah



http://kopimaya.com/forum/images/ruparupa/bible_jowo2_1.jpg
karena memuat karya penyelamatan dari Allah yang diberikan kepada manusia yang berdosa. Sebuah kasih karunia yang cuma-cuma. Dan ketika jaman pergolakan Belanda, betapa getir perjalanan pertumbuhan iman mula-mula pada sebuah daerah yang enggan disapa karena terlalu gelap untuk disinggahi. Sekalipun aku terengah kala mengeja tulisan huruf jawa itu, tapi aku mencium semangat juang milik leluhur yang telah terlebih dahulu menuju rumah Bapa. Betapa dasyatnya. Juang yang tak pernah sirna, sementara sekeliling tak pernah ramah. Diberkatilah semua orang yang telah membacanya, mengimaninya dan mempercayaiNya. God Bless You.


http://kopimaya.com/forum/images/ruparupa/huruf_jawa2_2.jpg
(http://meetca.blogs.friendster.com/.shared/image.html?/photos/uncategorized/huruf_jawa2_2.jpg)

komporminyak
02-05-2011, 01:08 AM
Kala Kompie Berdiam Sejenak
February 15th, 2006


http://kopimaya.com/forum/images/ruparupa/kompie.jpeg
Huh! Mata mengerling pucat melihat kabel beruntaian, sampai berapa lama mau bertahan? Apakah hingga usai scanning 894 halaman buku lawas itu? *emoh* Lantas? Bukankah katamu dengan seperti ini kamu lebih cepat bekerja ketimbang di atas meja? *mengangguk*, "Untuk kali ini, dalam kasus ini mungkin iya?" Baiklah, Juli 2006 kan? Semoga semua pihak memberimu restu kali ini. Bedebah dengan semua gagal yang sudah kamu kecap di tahun ini. *mengangguk*. "Setelah itu rapikan seperti semula." *mengangguk (lagi)*. Kamu sudah memakan bongkar pasang 3 generasi, bahkan kali ini kamu tega membunuh si Mandrake. "Kali ini aku harus, agar space dipakai untuk yang lain, agar performance lebih banter. Betapa sulitnya menemukan space itu, memakai bootable Mandrake bahkan Knoppix tak juga mendeteksi. Payah ganti mobo AMD ternyata settingnya berubah, celakanya aku lupa mana yang hda, hdc. *huh*"


Okay, okay, setidaknya kali ini sudah kembali normal untuk mengerjakan segalanya. "Belum soundnya masih payah. Aku mo pasang souncard lawasku. Onboard ga mantep. Atau aku yang bego?!!"

komporminyak
02-05-2011, 01:15 AM
Apakah Kedamaian Begitu Mahal?
February 17th, 2006

Sebuah kejadian 16.02.2006
Pagi itu, perempuan penyuka kereta api akhirnya kembali menaiki gerbong di mana roda baja besinya menggelinding ke kota sebelah. Sudah lama sekali, sampaisampai kondukter yang memeriksa tiket berkata, "Mbak, kok sudah lama sekali?" Hehehhe ternyata dia belum melupakan tampangku, perempuan yang dulu hampir dua minggu sekali atau malah kadang pernah seminggu dua kali berada dalam rangkaian kereta api itu.

Akhirnya aku sampai beruntung aku mendapatimu yang seperti hendak pergi. Kulihat kamu kaget,
"Sama siapa?"
"Sendiri" jawabku singkat.
Kau langsung meluruh hingga tubuhmu tertunduk, aku tahu kamu pasti tidak akan tega membiarkanku sendirian seperti ini.
"Lha urusan kita kan belum selesai? Makanya aku ke sini, kan sudah kukabari sebelumnya?" kalimat itu terucap dengan nada yang begitu tenang walau sesungguhnya ada air yang menggenang meski sedikit.
"How dare you!" kataku dalam hati.

Dia tak pernah tahu kalau aku mengkhususkan hari untuk menyelesaikan urusan ini, sempat tersesat di pinggiran jalan dekat jalan Wates.
Seandainya aku naik bis dari arah RingRoad Utara, aku tahu betul harus naik apa jika mau ke jalan Godean.
Tapi ini tadi aku dari Mangkuyudan, tempat di mana dia tinggal dulu.
Aku betulbetul tak tahu jalan, tahunan di kota Yogyakarta tapi jarang sekali sampai ke daerah itu.
Memalukan sampaisampai hari itu aku sengaja bawa peta Yogyakarta yang kudapat dari Toko Mirota Batik untuk sekedar mengetahui kirakira aku harus naik bis apa.

Dia tidak pernah tahu kalau tadi aku sempat bentrok dengan kenek bis padahal aku bertanya baikbaik apa ini bis yang sama dengan yang kutumpangi (sempat turun karena bis seakan menuju sebuah pedesaan, ketimbang tambah tersesat aku memutuskan untuk telpon di wartel), dia tak tahu kalau aku diomeli istri tukang becak garagara istrinya tak mengijinkan suaminya mengayuh becak untukku. Sampaisampai cowok berambut punk itu hendak mencarikan becak untukku. Cowok yang baru kukenal detik itu dan sempat ngobrol sekedar menghabiskan waktu untuk menunggu becak yang kukira bisa kutumpangi itu. Dia juga tak tahu bagaimana aku berusaha mengambil hati seorang ibu yang sedang membawa kayu bakar sambil menuntun sepedanya. Mengajaknya berbicara bertanya tentang arah perumahan itu dengan menggunakan bahasa Jawa kromo inggil, padahal sorot mata ibu itu begitu keras, wajahnya tak ramah. Seperti curiga setiap kali menatap orang yang baru. Dia juga gak pernah tahu betapa peluh mengucur karena aku harus berjalan kaki di bawah terik yang menyegat tanpa ada pepohonan di sekitar jalan Godean km 4. Aku datang di saat yang tidak tepat. Tapi itu bukan salahku, kau sendiri yang tidak mengirimkan kabar.

"Meski percaya itu tinggal segaris, tapi aku berusaha memegangnya, karena kamu selama ini selalu baik padaku. Selalu. Tahu gak? Tadi aku mendengar omongan gak enak tentangmu?!" lagilagi aku masih berkata dengan nada yang begitu datar meski peluh masih mengucur.
"Siapa? Siapa yang ngomong gitu?" tandasnya.
Aku masih terdiam. Bijakkah aku berkata seperti ini? "Siapa yang ngomong, cepet katakan siapa orangnya?!"
Kujawab dengan sangat pendek, "satpam".
"Satpam yang mana?! Ayo sekarang kita ke sana?!! Satpam sing ngendi?!! Wani aku.. sing ngendi?! ayo rono!!" Kalimatnya yang bernada tinggi membuatku begitu ngilu.
Tahunan aku mengenal dia, tapi aku tak pernah sekalipun melihatnya begitu marah seperti ini. Matanya berkilatkilat. Sungguh aku melihat api di telaga mata miliknya.
Tuhan, apa yang membuatnya berubah menjadi seperti ini? …… *speechless* Aku benarbenar ngilu.

Lalu aku berkata dengan nada yang begitu lirih,
"Kau tahu mengapa aku datang sendirian? Bisa saja aku mengajak teman ke sini, tapi aku enggan melakukannya. Karena aku hanya ingin menanggung ini sendirian. Aku masih ingin percaya denganmu, meski ku tahu beberapa kali kamu ingkar. Aku masih ingin percaya karena selama ini kamu baik denganku. Aku tak peduli orang lain bilang apa, aku tak peduli. Selama kita berteman tak pernah sekalipun kamu merugikan aku. Iya kan? meski mungkin ini adalah percaya yang tinggal tersisa. Tapi aku masih ingin mempercayaimu". ….*speechless*

Karena rikuh dengan mertuanya dan nyaris bentrok dengan istrinya. Meski kenal dengan istrinya semasa sekolah dulu, tapi tetap saja aku tak nyaman. Aku tahu ada yang tidak beres di sini. Aku bisa merasakan nuansa itu. Karena hendak pergi memeriksakan istrinya yang sedang hamil dan dia rikuh kalau aku menunggu di rumahnya. Rumah yang dia tempati dengan mertuanya. Maka dia memintaku untuk menunggu di tempat kerja budhenya di bilangan jl. Bhayangkara dekat Pasar Pathuk.

Lagilagi aku tak merasa nyaman. Ternyata tempat itu adalah persinggahan saudarasaudaranya. Apalagi mereka bertanya segala macam tentangku. Duh, kayak mau dijodohin saja. Dari si budhe aku tahu dia memang sedang dalam masalah yang sangat besar, "Dia itu lugu banget mbak orangnya, tapi mertuanya menggencet dia ini itu…" Aku hanya bisa menghela nafas dalamdalam. Mungkinkah ia hanya dijadikan pion bagi mertuanya hingga dia menjadi seperti ini? Aku tak tahu. Aku bingung melihat antara kenyataan dan katakata orang di sekelilingnya. Aku benarbenar bingung.

Terlalu lama aku menunggu. Aku tahu baru kali ini dia meminta seorang kawan menunggu di tempat saudaranya. Kalau bukan karena kawan karib tak mungkin dia memintaku di sini. Budhe mulai gelisah, "Mbak, dikerasi wae. Bilang kamu dari luar kota, gak berani naik bis kalau kemalaman. Dia nanti kalau ketemu ya ta marahi!" Sungguh aku tak ada amarah, atau dongkol dengan semua peristiwa yang membuatku sampai di ruang tunggu itu. Meski penat dan waktu yang melelahkan. Aku bisa memahami perasaan budhe. Karena beliau tidak lagi memiliki putrinya. Barangkali beliau tak rela kalau putrinya diperlakukan seperti ini. Apalagi dia tahu aku tadi telah bertemu ponakannya di Godean.

"Barangkali saja dia masih ada perlu dengan istrinya, atau malah hujan teramat deras mengguyur.." kataku menenangkan resahnya.
Hari sedemikian gelap karena mendung. Kalau hujan turun pasti deras sekali. Tak berapa lama, budhe harus tutup.
"Kamu akan nunggu di mana?" kata perawat asisten Budhe sebelum menutup rolling door itu.
"Gak papa, Bu santai aja. nderekake ya Bu.." aku memberi salam sebelum ibu itu pulang.
Seiring kepergiannya. hujan mengguyur begitu deras.
Duh… akan berapa lama aku berdiri terpojok di sini? Aku menempel di dinding pintu rolling door.
Mendekap tubuhku sendiri agar tak kedinginan. Karena aku tahu, aku tak boleh kedinginan.
Aku melongok ke kanan kiri. Sekalipun itu areal pertokoan, tapi jalanan begitu sepi demekian juga tokonya.
Hujan betulbetul deras. Ada air hujan jatuh dari gerigir atap toko memercik tubuhku.

Aku semakin erat mendekap tubuhku. Terdiam. *speechlees*

komporminyak
02-05-2011, 01:17 AM
kelanjutan cerita di atas.

Ada motor berhenti. Dia datang bersama istrinya yang sedang mengandung 8 bulan.
Benarbenar gila mereka, aku justru mengkhawatirkan janin itu. Dia menyerahkan barang itu, meski belum sepenuhnya selesai.
Katanya hendak pergi ke Solo hari Sabtu atau Senin depan. Entahlah, aku tak begitu meresponnya. Tak terlalu berharap.
Bersyukur, aku masih bisa naik Pramex pukul 16.00 padahal waktu begitu mepet nyaris kepancal.

Malam di rumah, aku rebah, meski penat memenuhi sekujur raga tapi otak masih dipenuhi framegrame tentang tadi siang. Hidup memang teramat sulit di bumi Indonesia, sekedar mencari sesuap nasi apalagi sebuah kebahagiaan. Namun apakah kedamaian begitu mahal? Hingga orang setiap orang yang aku temui, memancarkan wajah kegelisahan akan hidup lalu memantulkan wajahwajah yang tak lagi bisa ramah. Bahkan senyum yang begitu hambar ketika aku mengakhiri semuanya dengan ucap terimakasih. Pada bapak tukang becak yang aku tanya, pada kenek setiap kali aku turun dari bus bahkan bus yang sekalipun kenek itu tadi mengomeli diriku, pada ibuibu atau bapakbapak di sejumlah warung, pada sejumlah penjaga wartel yang sempat aku gunakan jasanya, pada ibu pembawa kayu bakar, lelaki berambut punk, entah pada siapa lagi, aku tak bisa mengingatnya.

Tentang percaya, aku masih teringat kata seorang ibu di gerbong sore itu,
"Perempuan harus kerja meski hanya untuk bantu keuangan suami. Egois itu Mbak kalau dia berkata ‘nek gajimu luwih duwur soko aku yo nyambut gawea’. Semua orang gak ada yang lurus, mungkin sekarang iya, tapi suatu saat. Bisa jadi dia meleng. Lalu kamu akan makan apa? Kelak kalau anakanak sudah gede, kamu akan menyesal karena dulu tak bekerja. Beneran itu Mbak. Saya tidak nakutnakutin lho." Ibu itu berujar pada perempuan yang sedang memangku putri semata wayangnya. Ucapannya yang begitu keras, sampaisampai aku dapat mendengar pembicaraan itu. Pada siapa kita bisa menaruh percaya? Jangankan pada orang yang baru dikenal, pada kawan karibpun telah tertikam. Bukan seorang, dua atau malah tiga orang dalam waktu sebulan ini. Meski bukan sebuah pengkhianatan, tapi *maaf* simpatiku telah sirna. Apakah pertemanan yang lebih dari 8 tahun itu akan retak begitu saja? Lalu semuanya menjadi baikbaik saja hanya karena tak pernah ada pembicaraan di dalamnya. Seakan begitu saja terhapus lalu dilupakan. "Ah, dia kawan lama, dia pasti bisa mengerti." Ya. Mungkin itu benar. Lalu aku ini apa? Jika hidup sedemikian sulit, apakah pantas merusak sebuah damai. Apakah pantas memanfaatkan kepercayaan seorang teman, melakukan kesalahan lalu begitu saja dilupakan karena dia adalah kawan karib. Aku benarbenar tak tahu. Apakah mungkin aku akan seperti Dumbledore? Dia yang menjadi celaka bahkan meninggal karena salah menaruh kepercayaan? Hmmm, bukankah tiap orang memiliki perjuangannya sendirisendiri? Sekalipun itu harus berimbas pada kepercayaan. Sebuah perjuangan, keberanian untuk meneruskan hidup. Tidak untuk menikam perasaan kawan lama. Agar bisa membahagiakan jiwa dengan apa yang dimiliki saat ini. Halhal tidak akan berubah, tapi justru kita harus mengubah sebuah sudut pandang. Maka kedamaian akan selalu terasa, bahwa sesungguhnya Tuhan selalu mengguyurkan damai untuk kita.


Semalam aku memang meringkuk dalam air mata yang menggenang hingga tengah malam. Bukan air mata kesedihan tapi kekecewaan yang mendalam. Tuhan aku masih ingin mempercayai mereka. Sekalipun saat ini aku merasa pedih persis seperti 6 tahun yang lalu. Membuatku gigil dalam tangis untuk waktu yang lama. Pedih gak bisa dibohongi terutama kala sendiri. Padahal rasa itu telah lama kulupakan. Entahlah, saat ini aku merasa jijik pada dua orang itu (ternyata mereka sama dengan kebanyakan orang lain), pesanku pada mereka pun terlupakan. ufff…, dan merasa ngilu pada seorang lagi. Ijinkan aku melepaskan rasa kecewa itu dalam sebuah tulisan. Manjain pedih dalam aksara. Di sini pada kawankawan lama tak mungkin cerita pada siapapun. Aku terlalu malu mengatakannya meski hanya pada seorang saja untuk sekedar meringankan pikiran. Lebih baik aku simpan sendiri namanama mereka, sekalipun ini termuat dalam sebuah blog. Aku tahu ini tak bijak bercerita di sini. Bahkan aku sendiri manusia yang berlumuran dosa. Buat tiga orang kawan lama berikan samudra ampunmu. Lihat.. justru aku bukan kawan yang baik bagi kalian.

komporminyak
02-05-2011, 01:19 AM
Kay, Jiwa dan Ragamu Masih di Sini
February 22nd, 2006

Kay, sorot mata itu bukan milikmu seperti yang biasa aku lihat. Biasa? Ah kata itupun barangkali terlalu muluk. Bukankah kita jarang bersama? Meskipun satu tim dalam periode ini.

Kay, kalimatmu itu bukan milikmu. Lebih polos ketimbang anak kecil berusia 4 tahun. Juga pemikiranmu yang begitu ‘cethek’.
Kay, ada apa dengan dirimu? Apakah supply oksigen pada otakmu masih begitu minim hingga kamu begitu kesulitan untuk mencerna sebuah kalimat? Bahkan menyebut nama lengkapmu sendiri kau tak mampu. Apakah ini karena thrombositmu yang pernah 29 sempat membuatmu tak sadarkan diri tempo lalu? Bukankah DBmu telah berlalu? Lalu apa ini yang merasuki jiwamu?

Kay, aku tak menangkap katakata dalam doamu. Aku baru tahu kalau kamu memiliki karunia bahasa roh. Kay, apakah kamu bisa memaknai bahasa roh itu? Kay, mengapa kau berulangkali berkata berkata, “Kay, anak Tuhan, Kay harus lemah lembut, Kau harus rendah hati.” Lalu kau tak mau dilayani oleh siapapun. Kau bilang dulu kamu hanya selalu minta dilayani lalu kamu mempraktekkan posisi duduk seperti raja lalu matamu melotot. Sebentar kemudian kau menangis histeris saat teringat ayahmu pergi. Kay, ayahmu hanya menjemput ibumu. Tapi kamu tetap meronta dan berkata, “Mana ayah? Mana ibu? Mereka tak kan kembali ke sini?” Kay, mereka pasti pulang. Ini rumah mereka bukan? Begitu sulitnya kami membujukmu untuk tenang. Sama seperti begitu sulitnya kami membujukmu agar ayahmu menjemput ibu, mumpung kami di sini dan menemani kamu.

Kay, aku masih ingat betapa setiap kali sebelum berbicara dengan ayahmu kamu menyembah beliau seperti abdi kepada raja. Lalu kau bilang, “Ini bukan inginku. Tapi seperti ada sesuatu yang menyuruhku berbuat demikian.” Kehidupan melayani bukan harus berperilaku demikian Kay.

Kay, kau bilang kami harus meniupkanmu agar roh yang mendiami kamu keluar. Kay, ini kamu Kay, ini tubuh dan jiwamu. Kay, sekalipun kamu berkata, “Jiwaku sudah berada di atas sana, di sana aku menangisi ayah dan ibu yang masih di sini. Aku kasihan melihat penderitaan mereka di sini. Aku sudah tidak bisa balik lagi, karena rohku telah terangkat. Cubitlah aku, aku tak merasakan tubuhku.” Kay, sadarlah! Kamu hanya depresi. Kamu tak merasakan tubuhmu, itu hanya karena kamu kekurangan supply oksigen dalam tubuhmu. Darah yang mengikat oksigenmu hanya sedikit. Bukankah kamu habis opname di rumah sakit karena demam berdarah? Kay, jangan kamu biarkan semua yang menjadi kecemasanmu menjadi satu. Kay, kamu bukanlah kakakmu. Kamu beda! Sekalipun kakakmu kini telah memasuki yayasan rehabilitasi untuk pengobatan jiwanya. Kamu masih bisa cepat sembuh tanpa harus masuk rehabilitasi. Bukankah tak ada gangguan pada sarafmu? Itu yang ibumu katakan padaku. Kay, Percayalah… harus dari dirimu sendiri memiliki keinginan untuk sembuh.

…. Kamis hingga Sabtu malam, Kay masih ngomyang tak terkontrol ucapan dan perilaku emosinya. Tapi puji Tuhan, Kay pada hari Minggu siang sudah lebih genap seperti yang dulu sekalipun dia masih lambat dalam memaknai kalimat… Kay, cepat sembuh yak!

* Kay, seorang kawan bukan nama yang sebenarnya.