PDA

View Full Version : Catatan Seorang Perempuan



BundaNa
07-10-2013, 02:11 AM
TIDAK SEPERTI ITU

Aisa memandang tumpukan uang di yang ada di tangannya. Hendi, suaminya, baru saja memberikan gajinya kepadanya. Ada rasa magsyul, tetapi tidak mampu dia katakan. Hanya sorot matanya mencerminkan semua kegalauan hatinya.

“Kamu yang hemat, Bu. Ini hasil kerjaku selama sebulan. Tolong kamu bisa qona’ah dan berhemat,” kata Hendi seolah menjawab rasa hati yang tercermin di bayangan mata Aisa.

Aisa menghela napas.

“Yah, bukannya Ibu tidak bersyukur, tetapi memang Ibu bingung mengaturnya,” jawab Aisa perlahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat dan tidak menyinggung perasaan suaminya.

“Itu tugas Ibu sebagai seorang istri,” sergah suaminya itu.

Kemudian Hendi masuk ke kamar untuk berganti baju. Tinggal Aisa yang diam dalam kebingungan.
Selalu seperti ini setiap akhir bulan, setiap Hendi memberikan gaji bulanannya. Sejumlah uang yang sesungguhnya hanya sampai tanggal 20 setiap bulannya sudah habis. Dan sepuluh hari sampai tanggal 30, Aisa harus memutar otaknya agar jangan terlalu bengkak hutangnya di warung Bu Ani, sehingga bulan berikutnya tidak banyak terpotong untuk membayar hutang.

Tiga juta, untuk segala keperluan rumah dan anak-anak. Hendi memberikan sejumlah itu untuk semua urusan.

Tak terasa, air mata mengalir di pipi putih ibu muda itu. Tidak ada sedu sedan, hanya air mata. Tangannya meremas-remas ujung rambutnya yang ikal, yang menjuntai di dadanya.

“Ibu, Ibu nangis ya?”

Aisa menoleh, Mia, berdiri di sebelah kanannya.

Dengan cepat Aisa menggeleng dan mengusap air matanya.

“Ada apa, Mia?” tanya Aisa lembut.

“Belum bayar uang SPP sama buku panduan,” jawab Mia.

Aisa menerima kartu SPP yang disodorkan oleh sulungnya itu. Tanpa menoleh, dia hapal besaran yang harus dibayar.

“Sebentar ya, Ibu kasih tahu Ayah dulu,” kata Aisa, kemudian berjalan meninggalkan Mia dan masuk kamar.
Di kamar, Hendi masih sibuk membaca koran pagi yang belum sempat dibacanya.

“Yah, ini,” kata Aisa mengangsurkan kartu SPP dan pembayaran buku panduan kepada Hendi.

“Apa ini?” tanya Hendi tanpa menoleh dari koran yang dia baca.

“Kartu bayar sekolahnya Mia,” jawab Aisa, kartu-kartu itu masih diacungkan Aisa tanpa dipedulikan oleh Hendi.

Dengan kasar, Hendi meletakkan korannya dan berdiri.

“Lho, tadi kan sudah kuberikan gajiku sama Ibu. Nah itu uangnya masih dipegang Ibu!”

“Ya kalau SPP memang diambil dari uang belanja yang diberikan Ayah. Tapi ini ada angsuran uang buku panduan yah, agak mahal. Dua ratus ribu, bisa diangsur dua kali,” jawab Aisa, menahan sesak di dadanya, melihat sikap Hendi tadi.

“Nah itu bisa diangsur. Ya Ibu angsur saja! Ibu ini, tidak bisa bersyukur dengan apa yang kita dapat. Masak semua gaji Ayah kasih ke Ibu. Memangnya Ayah tidak punya keperluan?”

Suara Hendi sudah meninggi. Kalau Aisa tidak segera meredakan, tetangga dan anak-anak mereka bisa mendengar keributan ini.

“Iya...Yah, maaf. Iya maaf membuat Ayah repot,” jawab Aisa segera. Dia pun segera keluar kamar. Mia masih di sana, di tempat dia berdiri tadi.

Wajah sulungnya itu cemas, sepertinya sudah mendengar teriakan ayahnya kepada ibunya.

“Ibu, Ibu nggak ada uang ya buat beli buku panduan?” berondong Mia kepada Aisa.

Aisa menggeleng dan tersenyum. “Ada kog, tetapi nyicil ya, seratus dulu,” jawabnya pelan, mengangsurkan uang 130 ribu rupiah kepada anaknya.

Mia menerima uang itu dengan ragu-ragu. “Bu, apa nggak usah beli buku panduan? Mia fotocopy aja, kan lebih murah. Nggak apa-apa kog, yang penting ada buku panduan.”

Aisa tergugu dengan usulan putri sulungnya itu. Dia langsung bersimpuh di hadapan gadis kecilnya itu. “Nggak boleh. Kalau kita fotocopy, artinya kita tidak menghargai yang buat buku itu dengan susah payah. Kasihan yang buat buku,” bisiknya.

“Tapi kata Bu Guru, boleh kog,” jawab Mia.

Aisa mengghela napas. “Ya gak apa-apa, tetapi lebih baik dibeli saja ya bukunya.”

Mia mengangguk, menatap wajah ibunya dengan kebingungan.

“Sudah sana, belum sikat gigi dan sholat Isya kan? Besok kan sekolah. Adik sudah tidur, lho,” ucap Aisa, mencoba memberikan senyum terbaiknya kepada putrinya.

Mia menganggukkan kepalanya. Mencium kedua pipi ibunya kemudian pergi mengikuti perkataan ibunya itu.
Tinggal Aisa. Menatap kosong pintu kamarnya. Dan dengan segan dia masuk ke sana. Tempat dimana dia harus memenuhi kewajiban sebagai seorang istri.

***

---------- Post Merged at 01:08 AM ----------

“Gak bisa dibiarin, lah. Gila aja, dari gajinya yang enam juta, kamu Cuma dikasih tiga juta? Keterlaluan!”
Aisa tersentak, dia pikir selama ini sebagian besar gajinya Hendi diberikan kepadanya selaku istri, mengingat keperluan rumah pasti lebih besar. Ternyata, ini separuh dari keseluruhan gaji suaminya.

“Nanti kuceritain Mas Anjar, biar dia diomelin sama suamiku itu!” sentak Fira kesal.

“Jangan! Nanti Mas Hendi bisa marah sama aku!” seru Aisa ketakutan. Dimarahi Hendi di rumah adalah hal yang sangat dia hindari. Dia tidak mau anak-anaknya kebingungan dan jadi gunjingan tetangga.

Aisa tidak menyangka, kedatangannya ke rumah Fira, sahabatnya menjadikan dirinya membuka mata.

Niat awalnya hanya ingin membayar hutang yang pertengahan bulan dia pinjam, karena uang habis saat beras juga habis. Meminta lagi ke suaminya, itu cari mati. Terpaksa dia berhutang kepada Fira, alasannya pun bukan karena beras habis, tetapi ada keperluan mendadak.

Tadi ketika mengembalikan uang itu kepada Fira, percakapan itu mengarah kepada masalah gaji suaminya. Dari sana dia tahu gaji suaminya yang sesungguhnya. Itu dia tahu karena Anjar, suami Fira, adalah supervisornya Hendi. Makanya informasi dari Fira pasti benar.

“Mungkin Mas Hendi mau nabung, Fir,” gumam Aisa, masih mencoba membela suaminya itu.

“Ya nabung juga kira-kira kali! Mesti beresin dulu urusan rumah, baru deh nabung! Ini istrinya jungkir balik ngatur ekonomi rumah, eh nabung setengah dari gaji!” sentak Fira kesal.

Aisa tidak bisa menjawab.

“Sudah, suamimu itu harus kamu kasih pelajaran,” kata Fira, setelah reda marahnya.

“Maksudnya?” tanya Aisa tidak mengerti.

“Ya, bukan mempermalukan dia, kog. Cukup membuat suamimu mengerti, bahwa kamu kerepotan ngurusin ekonomi rumah,” sahut Fira.

“Caranya?” Aisa masih bingung dengan segala perkataan sahabatnya.

Fira hanya tersenyum, di sorot matanya, terlihat jelas segala rencana untuk “menyadarkan” Hendi.

---------- Post Merged at 01:10 AM ----------

Malamnya, ketika Hendi pulang, mereka sudah siap untuk makan malam bersama.

Hendi yang paling belakangan bergabung di meja makan. Aisa, Mia dan Mara sudah menantinya untuk makan bersama.

Saat mulai makan, Hendi mulai merasakan kejanggalan yang terjadi di hadapannya.

“Kak Mia makan ayamnya cuma setengah potong ya?” tanya Hendi kepada Mia, saat dilihat Mia memotong-motong ayam yang dipiringnya.

“Iya, Yah. Separoan sama Adik Mara,” jawab Mia sambil terus melanjutkan makannya.

Hendi langsung menoleh kepada Aisa yang bahkan hanya makan dengan sayur dan keripik tempe.

“Ibu, kog anak-anak hanya makan ayam goreng setengah potongan gitu?” Hendi protes kepada Aisa.

Melihat Aisa hanya tersenyum, Hendi langsung mengeluarkan serentetan ceramah tentang pentingnya gizi bagi anak-anak mereka.

“Kalau gizi mereka kurang, kan kasihan anak-anak, Bu,” tutup Hendi.

“Ayah, mereka kan hanya dikurangi jatah makan ayamnya, bukan dikurangi asupan gizinya. Biasanya satu anak sepotong sekarang hanya setengah potong,” balas Aisa dengan suara datar.

“Ya berarti kan asupannya kurang. Ibu kan dikasih uang belanja sama Ayah buat serius kasih gizi ke anak-anak,” suara Hendi sudah mulai meninggi.

Aisa mendorong piringnya ke tengah meja, hilang sudah selera makannya. DI kepalanya berloncatan setiap kata yang ingin dia ucapkan kepada suaminya sejak lama.

Dia menghela napas sebentar, kemudian memandang suaminya serius. “Ayah, coba kita hitung ya...ayam itu setengah kilonya isinya enam potong paha bawah. Harganya itu dua belas ribu rupiah. Kalau anak-anak makan siang dan malam masing-masing satu potong berarti ada empat potong, dua potong buat siapa? Padahal ayam itu juga buat anak-anak sarapan besok. Kalau semua buat anak-anak, Ayah makan apa? Kalau beli satu kilo nggak mungkin Yah, selain mahal, juga pemborosan karena jadi kepake dua hari,” jawab Aisa panjang lebar.

Hendi diam, menyimak jawaban Aisa.

“Padahal satu hari jatah belanja Ibu maksimal lima puluh ribu rupiah, karena masih banyak keperluan, Uang sekolah anak-anak, cicilan sekolah anak-anak, uang jajan Mia, buat bekal Mara, listrik, air, beli beras dua puluh kilo sebulannya, sembako, dan lain-lain,” lanjut Aisa setelah dilihatnya suaminya diam.

“Nah kan lima puluh ribu, masih cukup kan buat beli ayam lebih banyak?” sela Hendi.

“Itu baru ayam, Yah. Beli sayurannya? Gasnya? Bumbu? Bensin? Minyak gorengnya? Coba Ayah hitung,” jawab Aisa lugas.

Hendi diam. Lalu dia lihat piring Aisa yang tidak ada sepotong ayam pun.

“Ibu nggak makan ayam gorengnya?” tanyanya makin heran.

Aisa menggelengkan kepala. “Untuk Ayah dan anak-anak saja sudah kurang, kog.”

Kemudian mereka melanjutkan makan malam dalam diam. Dalam hatinya, Aisa tersenyum dan berdoa semoga suaminya paham dengan segala perkataannya tadi.

Pluk! Setengah potong ayam goreng mendarat di piring Aisa. Perempuan berwajah peranakan itu menoleh ke arah Hendi yang melanjutkan makannya setelah meletakkan setengah potong ayam tadi.

“Terima kasih, Yah,” gumam Aisa.

Besok paginya, Aisa menghampiri Hendi yang masih asyik dengan motornya.

“Ayah, bisa berangkat agak pagi?” pinta Aisa.

Hendi mengangkat wajahnya. “Kenapa?”

“Enggak, bir sekalian bareng sama anak-anak,” jawab Aisa.

“Lho, biasanya kan diantar sama Ibu,” ujar Hendi, keheranan dengan permintaan istrinya itu.

Aisa melempar senyumnya lagi. “Biar irit bensin di motor Ibu, Yah. Kan sekolah anak-anak sama kantor Ayah juga searah.”

“Lho, biasanya kan juga antar anak-anak sekolah sekalian ke pasar,” sanggah Hendi.

“Enggak naik motor, Yah. Kalau jalan kaki mungkin lebih irit, bensinnya aman,” jawab Aisa lugas.

Hendi menghela napas, kemudian akhirnya mengangguk. Laki-laki itu pun bergegas bersiap-siap ke kantor lebih pagi.

---------- Post Merged at 01:11 AM ----------

Malamnya, suasana ruang makan kembali seperti makan malam yang lalu, minim lauk dan Mia serta Mara masih harus berbagi lauk mereka.

“Yah, boleh nggak saya menerima pesanan kue dari Bu Anna?” tanya Aisa di sela-sela makan malam mereka.
Aisa memang pintar bikin kue, tetapi tidak pernah menerima pesanan dari orang luar lingkungan keluarganya, karena memang tidak berniat untuk jadi pekerjaannya.

“Lho, kog tumben Ibu mau terima pesanan kue?” tanya Hendi keheranan.

Aisa menghela napas, seperti ingin mengumpulkan keberaniannya yang masih di ujung tenggorokannya.

“Ya kan gini, Yah...gaji Ayah sudah banyak sih, tapi mungkin karena keperluan di rumah lebih banyak, ya jadi agak sedikit kurang sih...,” Aisa menggantungkan omongannya. Hendi tetap diam untuk menyimak.

“Lalu Ibu pikir, kenapa tidak bantu Ayah sedikit-sedikit? Mungkin terima pesanan kue bisa menambah sedikit untuk keperluan rumah,” lanjut Aisa lancar.

Hendi memandang wajah Aisa, dari tatapan matanya, Aisa tahu kalau suaminya itu merasa sedang ditampar oleh istrinya.

“Boleh ya, Yah? Kan tidak sering-sering,” bujuk Aisa.

Hendi menghela napas, membuat Aisa makin dag dig dug.

“Ya, Bu. Dicoba saja dulu,” jawab Hendi akhirnya.

Aisa tersenyum. “Terima kasih, Yah.”

Dan beberapa hari kemudian, Hendi merasakan ketidaknyamanan di rumah sejak Aisa menerima pesanan kue. Sedikit-sedikit bunyi mixer berbunyi, meski saat Hendi sedang istirahat. Rumah juga jarang dirapikan, karena Aisa selalu bilang tidak sempat, karena diburu-buru orang untuk mengambil pesanan kuenya.
Setelah pesanan dari Bu Anna, ternyata ada pesanan-pesanan lain dari orang yang berbeda. Di satu sisi Hendi senang, istrinya punya kesibukan lain. Tetapi di sini lain, dia merasa terganggu dengan pekerjaan Aisa yang mulai menyita waktu dan agak mengabaikan urusan rumah dan anak-anak.

Suatu malam, ketika anak-anak sudah tidur dan Aisa masih berkutat dengan pesanan kuenya, Hendi merasa ingin berduaan dengan istrinya itu. Tetapi Aisa masih sibuk dan tidak menggubris suaminya yang sudah mondar-mandir di sekitar dapur, tempat dia mengurusi kue pesanan.

Menoleh pun tidak,meski Hendi sering batuk-batuk untuk memancing perhatian istrinya.
“Belum selesai, Bu?” tanya Hendi agak keras.

Aisa menoleh. “Oh maaf yah? Terganggu ya? Ini soalnya mau diambil besok jam enam pagi, mana pesanannya banyak lagi.”

Kemudian Aisa kembali sibuk dengan pekerjaannya. Hendi langsung naik darah. Ditariknya tangan istrinya yang belepotan tepung dan mentega.

“Kamu itu sudah berlebihan!” sentak Hendi.

“Lho, Yah? Ada apa?”

“Aku mengijinkan kamu buat terima pekerjaan ini untuk mengisi waktu luang, bukan malah merusak rumah!”
seru Hendi kesal.

“Maksud Ayah apa, sih?”

“Lihat!” Hendi menuding Aisa dengan kesal.

“Sekarang kamu lebih mementingkan pesanan kue!”

“Lho kan Ayah sudah mengijinkan,” sahut Aisa kalem.

“Tapi tidak sampai menganggu urusan rumah tangga kita!”

“Saya kan buatnya setelah ngurusin rumah dan anak-anak sudah beres, yah,” ucap Aisa seolah-olah tidak tahu kemana arah pembicaraan suaminya.

“Lalu bagaimana dengan aku? Suamimu?!”

Aisa menghela napas. “Ada kalanya harus ada yang dikorbankan walau sedikit kan, Yah.”

“Ibu itu Ayah ijinkan begini untuk mengisi waktu luang, bukan bener2 cari duit! Ingat, Aku sudah kasih Ibu uang belanja dari jerih payahku!” sentak Hendi emosi.

---------- Post Merged at 01:11 AM ----------

Aisa menatap wajah Hendi yang sudah merah padam. Dibersihkan tangannya, dan tanpa berkata-kata dia menghampiri laci meja belajar Mia, menarik lacinya dan menarik sebuah buku. Dan buku itu diserahkan kepada suaminya.

“Ayah bisa lihat bahwa pengeluaran kita, meskipun sudah dibuat seirit mungkin, ternyata masih perlu tambahan dari jumlah uang yang Ayah kasih,” ucap Aisa.

Meski geram, Hendi tetap membuka buku itu. Dibacanya baik-baik buku yang ternyata berisi tentang perincian pengeluaran selama sebulan dari istrinya itu.

“Empat juta setengah totalnya?” bisik Hendi, intnasi suaranya tidak lagi garang.

“Ya, dan itu sudah yang sangat irit. Ayah kasih Ibu tiga juta tiap bulannya, Ibu tahu itu kekuatan yang bisa Ayah berikan. Tetapi Ibu masih perlu kurang lebih satu setengah juta lagi, karena itu Ibu terima pemesanan kue, dengan harapan akan bisa membantu Ayah,” ucap Aisa panjang lebar.

Dia tidak menyinggung sama sekali informasi dari Fira tentang besaran gaji suaminya itu.

BundaNa
07-10-2013, 02:44 AM
Hendi masih diam, memandang buku itu.

“Ibu tidak bermaksud memaksa Ayah untuk mencari kekurangan uang belanja itu. Tidak seperti itu, Ayah,” ungkap Aisa.

Kali ini bahu Hendi naik turun, seperti menahan tangis.

“Maaf kalau Ibu belum bisa atur waktu, Yah...tapi mudah2an ke depannya bisa,” lanjut Aisa.

“Maaf Yah, Ibu harus melanjutkan pekerjaan Ibu,” bisik Aisa, kemudian meninggalkan Hendi yang kini terisak.


TAMAT

eve
25-12-2013, 02:54 AM
Damn! Kalau ayahnya aulia bisa ngomong, pasti endingnya bakal sama kea gini...

In my story? Buku yang disodorkan aisa hanya dilemparkan di tempat tidur tanpa dilihat sebentar pun. Tak ada pertanyaan, hanya tembok keras dan dingin....

#edisi curcol

BundaNa
25-12-2013, 04:55 AM
ehehehehe bukan ceritamu, di sekitar saya banyak lah yg kek giini

eve
25-12-2013, 07:31 AM
Iye bun, makanya gw bilang kalau di cerita saya bla bla bla..

cherryerichan
25-12-2013, 09:49 AM
keknya bayar cicilan rumah juga..hehe. 3juta banyak kalo disini. sehari makan 50 ribu juga banyak (kalo masak sendiri sih).
di fb grup mak mak yang begini ini selalu bikin rame threadnya. ada mak yang ngeluh2..mak yang laen sih ada lah yang menghibur, tapi kebanyakan malah nyombongin gaji n pendapatan suaminya.
inti nya kalo kata diriku yg sotoy ini, kalo kurang ya minta nambah..kalo g nambah ya..nambahin sendiri..(jiah..sama aja kaya si aisha ).

BundaNa
25-12-2013, 11:44 AM
eh ini cerita fiksi....bukan thread merenung...ntar kalau mood mau nulis lagi, sekarang moodnya lagi ke hobby bikin kue

cherryerichan
25-12-2013, 12:01 PM
asekk..aseek..bagus kok bun. kemaren dapet link kekomunitas yg nerbitin buku sendiri.bisa dijual ni kayaknya. hehehe.