KEMBANG API


Desember, tanggal 31, malam.

Di alun-alun itu, di tengah ribuan manusia yang tengah berpesta, aku berdiri.

Suara terompet plastik bersahutan dari berbagai penjuru. Beberapa keluarga tengah asyik membuka bekal makanan yang mereka bawa dari rumah. Pasangan muda-mudi berbincang sambil tertawa-tawa.

Tinggi menjulang di antara kerumunan adalah jam raksasa tua, warisan masa lalu kota ini. Dalam beberapa menit, tahun akan berganti, dan seperti biasa akan ada kembang api meriah. Dan itu yang ditunggu orang-orang ini.

Suara klakson motor menyadarkanku dan aku bergeser dari tempatku semula, sambil menyeret koperku yang besar.
Aku membayangkan wajah anakku, dan suara tawa mereka. Wajah istriku dan harum masakan buatannya.

Akhirnya aku akan bisa bertemu mereka lagi. Setelah kembang api usai, pasti, itu janjinya di telepon. Kuseka air mata yang mengalir tanpa kusadari, dan aku melangkah lebih dekat ke jam tua itu.


10!, 9!, 8!, 7!,..

Ah, hitungan mundur sudah dimulai.

6! 5! 4! 3!..

Aku menahan nafas

2!......

1!

Selamat tahun baru, kataku dalam hati.

DUAR! DUAR! DUAR!

DUAAAAAAAR!!

Kembang api aneka warna mewarnai langit, dan bau darah dan daging hangus memenuhi udara.