Aku, adalah kucing kampung yang bulunya berwarna putih. Tidak bertuan, karena sejak usiaku satu bulan, majikanku membuangku ke pasar. Mungkin dia tak mampu memberiku makan. Mungkin juga karena anaknya ada yang sakit bengek jadi musti dijauhkan dari bulu-buluku. Entahlah...aku tak tahu pasti
Yang jelas, aku sekarang hanya menggelandang. Sesekali ada sisa ikan yang bisa kumakan, sesekali hanya sampah yang harus kukais, bersaing dengan para pemulung itu.
Tapi...aku tidak meratapinya.
Karena ada banyak kejadian yang membuatku merasa bisa menikmati hidupku sebagai kucing tak bertuan. Dan banyak cerita itu, bisa kuceritakan di sini. Mungkin, kalian, para manusia, pernah mengalaminya?
*******
Anak itu, lagi-lagi duduk di depan toko roti "BU SAIDAH". Toko roti yang lumayan ngetop di kota Magic ini. Roti-roti buatannya terkenal lezat dengan harga terjangkau. Keluarga Wali Kota Magic pun merupakan langganan tetapnya.
Bukan, bukan toko itu yang ingin kuceritakan. Tetapi anak itu. Anak laki-laki berusia mungkin sekitar 8 tahun. Rambutnya panjang sebahu, acak-acakan, berwarna coklat karena sering terkena sinar matahari. Kulitnya coklat terbakar, dengan raut wajah yang menarik. Ganteng, tapi sayang tak terawat.
Siapa dia? Mengapa setiap pagi selalu duduk di depan toko roti itu? Dia bukan Mang Pardi, tukang parkir yang biasa mangkal di depan toko. Dia juga bukan Mak Imun, pengemis yang selalu minta jatah roti sisa kemarin. Dia juga tidak pernah membeli roti itu.
Siapa dia? Pencopet? Pencuri?
Ada sekitar setengah jam dia duduk di sana, kemudian berdiri dan meninggalkan toko itu.
Penasaran, kuikuti langkahnya.
KISAH I: ANAK YANG TAK DIAKUI
Anak itu terus berjalan, menyusuri gang-gang yang ada di belakang pasar. Di sana berjajar rumah-rumah kumuh dan semi permanen. Bedeng, orang biasa menyebutnya.
Dan si rambut panjang itu masuk ke dalam sebuah bedeng, tepat di ujung belokan.
"Rohim! Kamu dari mana?"
Teriakan dari dalam bedang itu membuatku terlonjak kaget. Tetapi tidak menyurutkan niatku untuk tetap masuk, mengikuti langkah anak itu.
"Ya, aku dari luar!"
Ternyata anak itu bernama Rohim. Menjawab sapaan yang tidak ramah tadi, yang berasal dari dalam bedeng, yang sudah kami masuki.
Dengan penasaran, kumasuki lagi ruangan bedeng dimana suara itu berasal.
Ada seorang perempuan, usianya mungkin berkisar 25 tahun. Wajahnya mirip dengan Rohim. Manis, sayang tidak terawat, sehingga kemanisan itu tersaput dengan kerasnya hatinya.
Alisnya berkerut menatapku.
"Rohim! Kamu bawa kucing ini, ya?!" seru perempuan itu sambil menendangku.
Aku kaget dan langsung mengeong.
Rohim langsung masuk dan menggapaiku lalu mengelus perutku yang terkena tendangan perempuan itu.
"Mak! Ini kucing nggak salah apa-apa kenapa ditendang?" tuntut Rohim kepada perempuan itu, ibunya.
"Kamu ini! Kita makan berdua saja sudah susah, kog masih saja mau pelihara Kucing!" tuduh si ibu kepada anaknya itu.
"Aku tidak ada niatan pelihara kucing, Mak!" sergah Rohim.
"Lah, itu Kucing siapa yang bawa kalau bukan kamu?" bantah maknya Rohim.
"Ikut sendiri kali, saking lapernya. Dikasih apa aja juga ini Kucing bakal tetep hidup," sanggah Rohim sambil menggendongku keluar.
Kemudian, aku pun tinggal sementara bersama Rohim dan emaknya. Emaknya Rohim, biar suka ngomel-ngomel karena kehadiranku, dia tetap mau merawatku. Memberiku makan dari sisa-sisa makanan mereka atau bahkan ikan-ikan asin yang terbuang di pasar. Bahkan aku diberikan kerdus bekas dengan dilapisi kain-kain lusuh sebagai tepat tidurku.
Sejauh ini aku tetap mengikuti Rohim yang setiap pagi selalu datang ke toko roti "BU SAIDAH", kemudian duduk di depan toko sampai setengah jam lamanya, dan kembali lagi ke bedengnya. Itu saja yang dikerjakan Rohim setiap harinya.
Sampai di hari ketiga aku bersamanya, emak Rohim marah besar kepada anaknya itu, saat kami baru saja pulang dari toko roti itu.
"Kamu ke toko itu?" tanya Emak.
Rohim mengangguk.
"Mau ngapain? Diguyur laki-laki itu baru tahu rasa!"
Laki-laki itu? Siapa? aku penasaran sekali.
"Aku pengen lihat wajahnya," gumam Rohim seraya menundukkan wajahnya.
Emak melotot mendengarnya.
"Mau melihat wajahnya? Buat apa? Dia sudah tidak mengakui kita sebagai bagian dari hidupnya!" teriak Emak nyaris histeris.
"Tapi dia bapakku, Mak!" seru Rohim.
"Emang dia pernah mengakui kamu?" kata si Emak mangkel.
"Aku tidak peduli, Mak! Aku kangen sama Bapak!" Rohim menghentak-hentakkan kakinya.
Aku mengeong, mencoba meredam amarah Rohim.
"Tapi dia enggak kangen sama kamu!"
Rohim berlari keluar Bedeng. Kukejar dia yang terus berlari, sedang Emak juga ikut menyusul sambil memanggil-manggil nama anaknya.
Ternyata Rohim menuju toko roti itu dan masuk ke dalamnya. Aku berlari menyusulnya.
"Bapak!" Rohim memanggil, tatapan matanya terarah kepada laki-laki yang berdiri di balik kasir.
Aku terpana, menatap Pak Rahmat, putra sulung Bu Saidah si pemilik toko. Pak Rahmat lah yang berdiri di balik kasir itu.
Pak Rahmat menatap Rohim. Bibir laki-laki itu bergetar. Kemudian berlari menghampiri Rohim.
Tetapi sebelum sempat mereka saling berpelukan, ada dua suara yang serempak menghentikan mereka.
"Jangan sentuh!"
Aku menoleh ke pintu toko, Emak berdiri sambil berkacak pinggang, sedang Bu Saidah berdiri di pintu penghubung dengan dapur.
Suasana sunyi. Pelanggan toko yang sedang sibuk berbelanja, seketika menoleh ke arah mereka dan saling berbisik memperbincangkan adegan yang ada di depan mereka.
"Imah!" Pak Rahmat semakin shock, kali ini tergopoh-gopoh mencoba menghampiri Emak. tetapi langkahnya dihentikan oleh Bu Saidah.
"Mereka sudah bukan apa-apamu lagi, Rahmat!" seru si pemilik toko.
Pak Rahmat menoleh ke arah ibunya.
"Ibu, apakah Ibu tahu keberadaan mereka selama ini?" tanyanya.
Kulihat Bu Saidah tergagap, seperti tidak mampu menjawab lagi. Tetapi sorot matanya tetap angkuh, seperti yang kutahu selama ini.
"Rohim! Ayo pulang!" teriak emak garang.
"Imah, selama ini kalian kemana? Aku sudah mencari-cari kalian kemana-mana! Kata Ibu kalian pulang ke kempung kalian!" seru Pak Rahmat mencoba berbicara dengan emak.
"Tanya ibumu," desis Emak dingin. Tangannya segera menggapai Rohim dan menyeret anaknya itu keluar dari toko.
Sambil beruai air mata, Emak menyeret Rohim pulang.
"Mak, aku pengen sama Bapak!" Rohim meronta-ronta mencoba melawan. Tetapi kali ini tenaga Emak lebih besar dan menyret Rohim dengan sekuat tenaga. Aku tergesa-gesa mengikuti langkah mereka.
"Buat apa? Sedang dia sudah gak peduli lagi sama kita!"
Langkah emak makin cepat.
"Tapi Bapak selalu nyari kita!"
"Bohong! Dia gak peduli lagi sama kita!"
"Rohim! Imah!"
Seruan dari belakang kami membuatku menoleh. Pak Rahmat berlari mengejar kami. Tetapi Emak sepertinya tidak peduli dan terus menyeret Rohim ke Bedeng tempat tinggal kami sementara Rohim menoleh ke arah laki-laki yang dipanggilnya Bapak itu.
Begitu kami masuk ke Bedeng, Pak Rahmat pun juga sampai di sana beberapa detik kemudian. Langsung merangkul mereka berdua seraya menangis sengungukan.
"Maafkan aku, selama ini Ibu berbohong kepadaku," bisiknya.
Aku menatap mereka dengan haru dan sedih yang campur aduk di hatiku. Entah apa yang terjadi sesungguhnya, tetapi yang aku tahu Bu Saidah adalah tokoh antagonisnya. Mungkin Bu Saidah malu bermenantukan Emak? Entahlah.
Aku pun membalikkan badanku, berjalan menjauhi mereka. Mencari kisah-kisah yang mudah-mudahan tidak sepilu ini.
--------------End Kisah I---------
Ps. buat pelanggan warung selanjutnya, silahkan dilanjut dengan benang merah si Mr. Pussy