Results 1 to 19 of 19

Thread: [Rumah Cerpen/Flash Fiction Kopimaya Recomendasi]

  1. #1
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072

    [Rumah Cerpen/Flash Fiction Kopimaya Recomendasi]

    Teman-teman Kopiers, Tread Rumah Cerpen/Flash Fiction Kopimaya,, yang isinya saling berbagi cerpen-cerpen yang pernah di baca, bagus, berkesan, dan jika di baca oleh orang banyak akan menginspirasi, jadi ikutan ya.., cerpen bahasa indonesia tentunya ya^_* kalau bahasa inggris, bisa dengan terjemahannya.

    Okay.. Mari Ikutan dan Share Cerpen/ FF kesukaanmu...^_* kalau yang pengen request cerpen juga bisa disini? cerpen yang udah lama pernah di baca tapi tak menemukannya, kita akan sama-sama mencarinya buat Kopiers pencinta fiksi (cerpen)... ^^
    ================================================== ================================================== =======

    Bisa Cek Index Rumah Cerpen Kopimaya disini

    ================================================== ================================================== =======


    Spoiler for Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan:
    Umar Kayam- Seribu Kunang-Kunang di Manhattan


    Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.

    “Bulan itu ungu, Marno.”

    “Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”

    “Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”

    “Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”

    “Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”

    “Kuning keemasan!”

    “Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”

    Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.

    “Marno, Sayang.”

    “Ya, Jane.”

    “Bagaimana Alaska sekarang?”

    “Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke asana.”

    “Maksudku hawanya pada saat ini.”

    “Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”


    “Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju. Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”

    “Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”

    “Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”

    Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.

    Dari dapur, bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”

    “Ya, ada apa dengan dia?”

    “Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”

    Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno. "Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
    “Tapi minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
    “Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
    “Oh.”
    “Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”

    Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.

    “Marno, Manisku.”
    “Ya, Jane.”
    “Bukankah di Alaska, ya, ada menyuguhkan istri kepada tamu?”
    “Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
    “Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
    “Kenapa?”
    “Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
    “Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”

    Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
    “Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”

    Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.

    “Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
    “Kau anak yang manis, Marno.”

    Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.

    “Marno.”

    “Ya, Jane.”

    Bersambung....
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:31 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  2. #2
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Lanjutannya:
    “Bukankah di Alaska, ya, ada adapt menyuguhkan istri kepada tamu?”

    “Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”

    “Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”

    “Kenapa?”

    “Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”

    “Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”

    Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.

    “Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”

    Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.

    “Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”

    “Kau anak yang manis, Marno.”

    Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.

    “Marno.”

    “Ya, Jane.”

    “Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

    “Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

    “Oh.”

    Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.

    Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.

    “Eh, kau tahu, Marno?”

    “Apa?”

    “Empire State Building sudah dijual.”

    “Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”

    “Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”

    “Tidak. Bisakah kau?”

    “Bisa, bisa.”

    “Bagaimana?”

    “Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”

    Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.

    “Oh, kalau saja …..”

    “Kalau saja apa, Kekasihku?”

    “Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”

    “Lantas?”

    “Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”

    “Kau anak desa yang sentimental!”

    “Biar!”

    Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.

    “Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”

    “Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”

    Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.

    Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.

    “Jet keparat!”

    Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.

    “Aku merasa segar sedikit.”

    Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……

    “Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”

    “He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”

    “Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”

    “Marno.”

    “Ya.”

    “Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”

    “Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”

    “Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

    “Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

    “Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”

    Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?

    “Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”

    “Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”

    “Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”

    “Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”

    “Aku membosankan jadinya.”

    Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.

    “Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”

    Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya.

    Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.

    “Marno, kemarilah, duduk.”

    “Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”

    “Kemarilah, duduk.”

    “Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”

    “Kunang-kunang?”

    “Ya.”

    “Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”

    “Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”

    “Begitu kecil?”

    “Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”

    “Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”

    “Ya, pohon-hari-natal.”

    Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.

    “Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”

    “Ya.”

    “Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”

    “Mainan kekasih?”

    “Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”

    “Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”

    “Itu bukan mainan, itu piaraan.”

    “Piaraan bukankah untuk mainan juga?”

    “Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”

    “Siapa dia?”

    “Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”

    “Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”

    “Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”

    Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.

    “Marno, Sayang.”

    “Ya.”

    “Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”

    “Belum, Jane.”

    “Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”

    Marno tersenyum

    “Aku tidak tahu, Jane.”

    “Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”

    Marno tersenyum

    “Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”

    Sekarang Jane ikut tersenyum.

    “Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”

    “Apakah itu, Jane?”

    “Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”

    Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.

    “Aku harap kausuka pilihanku.”

    Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.

    “Kausuka dengan pilihanku ini?”

    “Ini piyama yang cantik, Jane.”

    “Akan kaupakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”

    Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.

    “Jane.”

    “Ya, Sayang.”

    “Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”

    “Oh? Kau banyak kerja?”

    “Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”

    ”Kaumerasa tidak enak badan?”

    “Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”

    “Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”

    “Terima kasih, Jane.”

    “Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”

    “Oh”.

    Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.

    “Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”

    “Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”

    ‘Tentu, Jane.”

    “Kapan, aku bisa mengharapkan itu?

    “Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”

    “Kautahu nomorku kan? Eldorado”

    “Aku tahu, Jane.”

    Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.

    Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.***
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:31 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  3. #3
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for My Idiot Brother-Agnes Danovar:
    My idiot brother-Agnes Danovar


    ” Ketika tidak ada lagi cara untuk mencari kebahagiaan maka kita hanya memiliki satu pilihan untuk mengorbankan apa yang kita sebut kebencian, sebab hanya dengan itulah kebahagiaan akan terlahir disamping kita ” Agnes Davonar
    ------
    Sebenarnya apa sih arti kebahagiaan. Buat gua, kebahagian itu dilihat dari siapa saja yang ada di sekitar kita. Buat gua, kebahagiaan itu. Seharusnya dalam hidup gua, hanya ada orang-orang yang berarti. Tapi, sayangnya kebahagiaan yang gua miliki rasanya dikotorin oleh pikiran gua sendiri. Alkisah, gua punya keluarga lengkap, ayah, ibu dan seorang kakak laki-laki. Tapi kakak laki-laki gua ini sangat berbeda. Dia seperti penghalang kebahagiaan dalam hidup gua, bukan karena dia pinter ataupun bisa merebut kasih sayang orang tua gua. Tapi karena dia idiot. tapi dari dia, gua belajar akan satu hal, satu hal yang mengajarkan bahwa dialah malaikat dalam hidup gua yang berwujub manusia

    Idiot dalam arti kata bego, cacat dan bikin malu gua sebagai adik. Ga ada yang bisa gua banggakan dari dia, umurnya uda 5 tahun lebih tua dari gua, tapi begonya seperti 10 tahun lebih mudah dari gua. Gua gak heran, nyokap sampai harus rela nunda kelahiran gua 5 tahun kemudian, hanya demi merawat dia. Dalam bahasa kedokteran, dia itu kena sindrom Down yang bikin otak dia itu bego. Ga penting apa penyakit yang dia bawa sejak lahir, seharusnya dia itu ga pernah ada aja, karena menurut gua, dia itu hanya bikin malu gua.

    Sejak kecil, gua selalu bilang ke nyokap. Kalau mau jemput gua di sekolah, jangan pernah bawa Hendra ( nama kakak gua) atau gua ga kan akan pernah pulang bareng mereka. Nyokap tetap cuek aja bawa kakak gua itu. Akhirnya kalau mereka datang, gua kabur dari sekolah dan memilih pulang sekolah dengan jalan kaki.

    Sampai di rumah, nyokap bakal marah sama gua dengan kata2 yang sama,

    “ Angel, kamu ini ga tau berterima kasih, Mama sama kakak kamu sudah cape2 jemput kamu, kenapa malah kabur?”

    “ Siapa bilang Angel kabur?”

    “ Kakak kamu walau seperti ini, tapi dia itu gak akan lupa muka adiknya yang lari dari dia?”

    Gua terdiam dan bisa bayangkan kalau kakak gua nunjuk2 tangannya saat gua berusaha lari dari mereka,

    “ Siapa suruh bawa dia, Angel kan malu punya kakak bego kayak gitu.. angel sudah bilang jangan jemput kalau ada dia.. ” kata gua langsung lari ke kamar.

    Gua, ga pernah mau mengerti? Apakah kalimat yang gua ucapin itu, bisa membuat kakak gua ngerti kalau gua ga suka sama dia. Tapi kalimat itu cukup bikin nyokap marah. Ga peduli ya.. yang penting. Gua gak mau diledekin teman-teman karena punya kakak idiot seperti dia.

    ***

    Sebenarnya kakak gua, gak terlalu jahat dan bikin repot gua dalam kesehari-hariannya. Dia bisa makan sendiri, bisa mandi sendiri dan bisa main sendiri tanpa perlu ditemenin siapa-siapa. Kalau tiba-tiba dia muncul saat gua lagi asyik nonton tv, gua selalu suruh dia pergi, dengan wajah dia yang bego dan mukanya yang culun. Dia malah maksa ikut nonton sama gua. Karena kesel gua teriak.

    “ Eh idiot pergi deh, gua males banget loe nonton sama gua.. sana pergi..”

    “ Angel.. adik.. kenapa benci sama kakak..” kata dia sepatah-patah,

    Gua terdiam.

    Sebenarnya ga ada jawaban kenapa gua harus benci dia. Gua Cuma merasa, hidup gua ini ga seperti teman-teman gua yang lain. Punya kakak yang normal, bisa jadi pelindung gua. Jadi teman ngobrol gua. Tapi kakak gua.. rasanya mustahil.

    Akhirnya gua mengalah dan pergi dari ruang tamu, membiarkan dia nonton tv sendiri.

    Dulu, gua gak terlalu peduli dan gak pernah sebenci itu sama kakak gua, waktu kecil, gua sering main boneka sama dia, main lari-larian. Atau berbagi tv yang sama. Gua merasa semua baik-baik saja sama dia, sampai akhirnya ketika gua mulai remaja dan pindah ke sekolah menengah pertama (SMP), semua berubah. Awalnya teman-teman gak ada yang tau kalau kakak gua itu idiot, sampai akhirnya seiring waktu banyak yang melihat sendiri kakak gua ketika nyokap jemput gua sama dia, gua mulai merasa malu. Teman teman gua yang mulai tau, kalau gua punya kakak idiot, mulai suka ngomongin gua di belakang. Kalau ada soal pelajaran yang di depan kelas ketika gua harus maju untuk jawab saat disuruh pak guru, dan gua gagal. Ada suara teriakan yang bikin hati gua sakit.

    “ pantes aja ga bisa, secara.. kakaknya aja idiot, apalagi adiknya..”

    Mendengar itu, gua jadi kesel sendiri. Dan pulang ke rumah, kalau dulu kakak gua langsung ajak gua main boneka, kali ini boneka yang dia kasih ke gua, langsung gua lempar,

    “ jangan main sama gua lagi,..”

    “ Ke.. napa ?” Tanya kakak gua.

    “ Gua malu punya kakak idiot kayak loe..”

    Dia terdiam. Mungkin berpikir apa yang gua lakuin ke dia.tapi gua ga peduli. Jadi mulai saat itu setiap dia ajak gua main, gua akan marah dan gak mau. Nyokap selalu suruh gua main sama dia dan gua malah nangis.

    “ Mama, kenapa sih Angel punya kakak cacat kayak gitu, Angel kan malu di sekolah teman-teman pada ledekin angel.. idiot, bego-lah ini itu, angel malu ma..”

    Mama malah nampar gua dan kakak gua ngeliat itu. Dia langsung tarik tangan mama gua.

    “ dasar anak gak tau diri, berani-beraninya kamu ngomong gitu ke mama dan kakak kamu..”

    “ salah apa Angel, salah kalau ngomong jujur kalau angel malu.. malu punya kakak kayak gitu.. cacat, bego, idiot…” kata gua sambil lari ke kamar.

    nyokap hanya bisa peluk kakak gua, kakak gua yang mungkin cacat, dia pasti mengerti rauk wajah gua yang emosi dan marah. Nyokap hanya bisa nangis dan kakak gua belai rambut dia dengan perlahan seperti membelai kucing yang sering dia temukan di jalan.

    ***
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:32 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  4. #4
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Sambungan Part 1:
    sambungannya

    Bokap gua, kerja di di pertambangan jadi gak pernah pulang kalau setahun sekali. Kalau pulang pun, dia lebih banyak habisin waktu sama kakak gua yang cacat, padahal gua juga anaknya, tapi kasih sayang ke gua Cuma sebatas ngasih duit dan cium di kening, beda sama kakak gua yang dianggap anak emas. Gua ga perlu iri dengan yang ini, yang penting gua dapat uang saku sebab gua tau, nyokap ga akan kasih duit ke gua kalau ga ada ember-ember mau temenin kakak yang idiot untuk main bersama.

    Yang namanya remaja, pasti mulai merasakan jatuh cinta. Jadi, di sekolah seberang, ada anak ganteng yang gua suka banget namanya Aji. Gua sering ngeliat dia main basket bareng anak-anak cowok di sekolah gua di taman. Suatu ketika, gua sampai rela-rela jadi pembokat klub basket sekolah yang khusus bawain minum buat pemain basket Cuma untuk kenal sama dia. Gua gak jelek dan juga cantik, tapi gua yakin kalau cinta yang tulus pasti kelak akan terbalas.

    Tanpa gua sadari, Aji sering liat gua jalan kaki pulang ke rumah, dia kan naik motor. Merasa kasihan atau emang suka sama gua, akhirnya dia nawarin tumpangan. Astaga, hati gua benar-benar berbunga-bunga banget ketika tawaran itu datang ke gua. Tapi gua tau, akan jadi masalah kalau sampai dia tau rumah gua dan ngeliat kakak gua yang cacat, dengan terpaksa gua suruh dia anterin gua jauh 100 meter dari rumah gua, sebab gua tau, kakak gua selalu sambut gua di depan rumah setiap gua mau pulang. Apa jadinya kalau dia tau gua punya kakak cacat, pasti dia ilfeel sama gua.

    Tanpa terasa , gua semakin dekat sama dia. Impian gua untuk punya pacar seperti dia nyaris tercapai ketika dia undang gua ke ulang tahun dia sebagai tamu istemewa. Gua tentu harus kasih dia hadiah yang istemewa. Oleh karena itu, gua harus sogok nyokap gua dengan berpura-pura baik dan mau main sama kakak gua yang idiot itu sampai duit gua ke kumpul untuk kasih hadiah ke Aji. Diam-diam, gua pernah nanya ke dia, mau hadiah apa kalau nanti ultah.

    “ apa aja dari kamu aku terima kok, walau hanya bunga di jalan..” ujar Aji yang bikin jantung gua nyaris copot karena romantis

    Dari teman-teman dia, gua tau. Aji paling suka yang namanya helm sport. Tapi harganya mahal banget, dan gua tau, apapun yang gua lakukan sekaligus jadi baby sister kakak gua yang cacat, gak akan dapat beli itu helm. Terpaksa gua mikir hadiah lain untuk dia. Sambil nemenin kakak gua main, gua jadi baying-bayangin apa yang harus gua beli. Kakak gua yang merasa gua suka bengong lalu nanya.

    “ Kok , main monopolinya lama , adik bengong ya..?” kata kakak gua yang walau idiot jago sekali itu duit.

    “ mau tau aja, “ kata gua sambil melangkahkan langkah monopolinya.

    Tiba-tiba gua jadi kepikiran, mungkin gak ya, kakak gua yang idiot ini punya duit untuk sumbang bantu gua beli helm.

    “ Eh, kak, punya duit gak?” kata gua dan dia langsung nyodorin duit monopoli yang bikin gua BT.

    “ Duit beneran *****, bukan duit kayak gini, duit kayak gini gua juga banyak..”

    “ buat.. apa?” Tanya dia kalau ngomong suka kepatah-patah khas orang *****.

    “ ada kagak..?” Tanya gua kesel.

    Tiba-tiba dia hilang ke kamarnya dan balik lagi dengan toples yang berisi uang benaran.

    “ ini.. untuk adik..”

    “ sumpeh loe.. duit ini hasil tabungan loe selama ini, banyak bener..”

    “ untuk adik.. kakak kasih..”

    “ yakin..”

    “ ia.. tapi temanin kakak beli permen di supermarket..”

    “ Cuma itu doang syaratnya.. gampang banget. Capcus yukkk” kata gua sambil gandeng dia ke supermarket terdekat.

    Akhirnya berkat kakak gua, gua bisa beli hadiah terindah untuk Aji. Rasanya bahagia sekali, tapi gua tau, aji ini pasti bakal undang banyak orang dalam ulang tahunnya. Jadi gua harus jadi special di hari itu, gua harus dandan yang cantik dan benar-benar terlihat hebat di pesta ulang tahun dia.

    Sampailah tiba pada waktunya.

    “ mau kemana Angel?:” Tanya nyokap gua sambil nonton tv sama kakak gua.

    “ mau ke ulang tahun teman. “

    “ kamu ada ambil duit kakak kamu ya?” Tanya nyokap.

    “ kagak tuh, dia yang ngasih sendiri, Tanya aja sendiri sama dia..”

    “ ooo. Pantesan duit tabungan dia habis,. Kamu tau gak, dia nabung duit itu buat beli kado ulang tahun kamu minggu depan.. “ kata nyokap yang langsung bikin gua sadar kalau minggu depan gua ulang tahun.

    “ oo. Gitu, makasih deh, sama aja kan duitnya juga ke angel sekarang.”

    “ mau ke ulang tahun dimana Angel..”

    “ disamping sekolah itu, kafe hijau. Si kakak juga tau, kan sering minta beli es hijau disana..”

    “ yauda, hati-hati..”

    Dengan perasaan bebas merdeka tanpa larangan nyokap, akhirnya gua melangkah kaki seribu menuju ulang tahun Aji. Sampai disana, gua benar-benar ga salah tebak, banyak cewek2 yang diundang ke ulang tahun dia, termasuk Agnes, musuh bubuyutan gua di sekolah yang suka reseh. Saat gua masuk ke dalam dia langsung negur gua.

    “ eh adiknya si idiot, datang juga kesini.. ngapain? Gak bawa kakak loe kesini? “ kata dia dan gua diem aja.

    Gua melihat Agnes uda bawa kado dan tiba-tiba teringat kalau kado gua ketinggalan di rumah.

    “ kado dari gua istemewa loh, kado dari loe mana ngel? Jangan bilang loe datang Cuma mau numpang makan gratis.’

    “ gak usah reseh deh u. gua punya kado, kado yang gak perlu gua kasih liat ke loe..”

    “ oh ya.. Alhamdulillah ya..( berujar mirip arti syarini) masih tau diri juga..”

    Agnes pergi ninggalin gua, dan gua merasa bodoh sekali ketinggalan kado untuk Aji, kalau balik lagi ke rumah pasti acara penting pemberian kue ulang tahun pertama dari Aji bakal kelewat. Gua gak akan rela kalau si Agnes yang dapat kue pertama. Gua pun berpikir memeras otak untuk membuat suasana jadi gak rusak.

    Dirumah.

    Kakak gua yang bodoh itu, tiba-tiba ngeliat hadiah kotak yang gak sengaja terletak di lantai, jadi kado itu ketinggalan saat gua lagi iket tali sepatu, dan langsung ninggalin begitu aja. Dia tau dan pasti inget kalau gua akan ke pesta ulang tahun yang tadi gua sebutin, dengan nekad dia bawa kado itu sendirian tanpa sepengetahuan nyokap gua yang lagi cuci piring di dapur. Walau bersusah payah mengingat jalan, akhirnya dia tiba juga di depan tempat kafe hijau sambil bawa kado di tangannya.

    Ketika pesta berlangsung dan Aji mulai mau sebutin kue pertama dia, gua dan Agnes saling berpikir untuk mendapatkannya. Tapi tiba-tiba Aji menyebut nama gua, gua senang banget dan maju dengan muka kemenangan di depan Agnes yang sewot mampus.

    “ aji maaf ya, kadonya ketinggalan nanti aku kasih besok pas di lapangan basket ya..”

    “ iya gapapa, ini kue pertama special untuk kamu.”

    Dan saat moment penting itu, kakak gua yang idiot muncul. Sambil berteriak.

    “ adik.. adik.. adik… ini kadonya.. kadonya..”

    Semua orang melihat ke kakak gua. Dan aji pun gitu. Muka gua langsung terkejut. Agnes mengunakan kesempatan itu sambil berkata.

    “ wah, kakaknya si Angel datang tuh, si idiot.. akhirnya adik dan kakak idiot berkumpul hahahaha ”

    Kakak gua yang marah kerena merasa Agnes meledek gua, langsung menyerang Agnes hingga mukanya jatuh ke depan kue ulang tahun dan terceplak di mukanya. Gua yang malu melihat kejadian itu langsung panic. Aji bertanya.

    “ itu kakak loe..” gua bengong sambil tak bisa menjawab apa-apa

    “ bukan.. dia bukan kakak gua..” kata gua lari keluar dari pesta dan merasa malu sekali, karena panic tanpa sadar sepeda motor melaju cepat dan menabrak gua sampai akhirnya gua terpentar tanpa bisa melihat apapun selain orang terakhir di atas bayangan mata gua adalah kakak gua yang berteriak-teriak

    Adik.. adik..

    *
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:33 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  5. #5
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Sambungan Part 2:
    **

    Dua minggu kemudian, gua terbangun, terbangun dengan kondisi tanpa bisa mengerakan kaki dan tangan gua, tulang leher gua patah karena tabrakan itu. Nyokap sama bokap ada disamping gua. Tapi ada yang kurang lengkap dari kedua orang itu, yaitu kakak gua.

    “ ma, aku dimana?” kata gua sambil merasakan mata yang sakit.

    “ dirumah sakit.. kamu uda gak bangun sejak 5 hari lalu, kamu koma selama itu.”

    Gua melihat sekeliling dan memang gua ada di rumah sakit dan beberapa alat kedokteran,. Tapi bukan itu yang gua mau lihat. Gua mau lihat kakak gua, gua merasa dalam tidur gua, selalu terbayang dia. Bayangan dimana mimpi saat masa kecil yang bahagia bermain sama dia, dia gendong gua, dia kasih makanan yang gua suka dan terakhir dia bilang dia sayang gua dengan terpatah-patah.

    “ kakak mana?”

    Nyokap menangis, dan bokap terdiam dengan berat hati berkata.

    “ dia lagi dirawat di ruang sebelah ..”

    “ loh dia sakit apa? Kok juga masuk rumah sakit?”

    Gua bangkit dan bonyok membantu gua berjalan ke ruangan sebelah dan melihat kakak gua yang sedang tertidur sambil meluk boneka yang dulu sering dia kasih ke gua.. gua melihat kakak gua dengan keprihatinan dan matanya kedua tertutup dengan perban,

    “ kakakmu memberikan kedua matanya untuk kamu, ketika kecelakaan kamu terjatuh dan kedua matamu rusak karena cairan laksa yang dibawa motor itu terkena mata kamu.”

    “ astaga. Jadi kakak ga bisa ngelihat lagi dong..”

    Gua menangis saat mendengar kalimat itu.

    “ bukan Cuma itu, ada pendarahan yang terjadi setelah operasi dan kakak kamu jadi kritis gini.”

    Gua meraih tangan kakak gua, sambil berkata.

    “ kakak, bangun, maafin Angel.. kakak, bangun. Angel janji setelah kakak sembuh, angel akan sayang sama kakak lagi.. angel mohon..”

    Tangan kakak gua bergerak dan berkata dengan seperti biasanya.

    “ adik.. adik.. kakak sayang kamu.. selamat ulang tahun” kata kakak gua untuk ucapaan terakhir dia

    Dan kalimat itulah terakhir yang gua dengar dari dia. Dia telah pergi untuk selamanya, selamanya untuk membuat gua tetap hidup dengan kado kedua matanya untuk gua. dokter sempat menolak untuk memberikan matanya ke gua, tapi kakak gua ngotot. dia merasa tidak boleh ada orang lain yang cacat yang sama di keluarga ini selain dia, mama juga nolak, tapi kakak gua marah dan gak mau makan sampai dia bisa kasih kedua matanya untuk gua. akhirnya mama luluh, dia ikhlas, dan opearasi ke gua berhasil tapi kakak gua alami pendarahan dan akhirnya kritis dan pergi untuk selamanya. Selamanya untuk membuat gua merasa tak perlu merasa malu memiliki kakak seperti dia. Dia bukan hanya seorang kakak yang bertahan atas penderitaan yang dia miliki sebagai anak yang lahir dengan kerterbatasannya, tapia dia adalah seorang kakak berhati malaikat yang tanpa pernah berhenti mencintai gua sebagai adiknya.

    Tanpa pernah merasa sakit hati oleh kalimat kalimat yang terkadang lebih menusuk daripada gua memukulnya dengan keras.

    Kakak, karena dirimu lah kini aku sadar,

    Aku tidak terlahir untuk sempurna tanpamu, walau dunia ini mungkin tidak pernah adil untuk kehidupanmu saat ini, apapun yang kamu lakukan atas dasar yang kau pikirkan, kaulah tetap kakakku yang terbaik, terbaik yang ingin pernah kusampaikan kepada dunia.

    Bahwa hanya ada satu kesempatan untukku bersamamu dalam hidup ini yaitu saat saat kau hidup bersamaku.

    selamat jalan kakak tercintaku.
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:34 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  6. #6
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Laki-Laki Sejati- Putu Wijaya:



    Laki-Laki Sejati by Putu Wijaya

    Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
    Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?

    Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.

    Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.

    Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
    Sebab aku ingin tahu.
    Dan sesudah tahu?
    Aku tak tahu.

    Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
    Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.

    Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
    Maksud Ibu?
    Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
    Kenapa tidak?

    Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
    Apakah itu salah?

    Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.

    Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
    Ibunya tersenyum.
    Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
    Kenapa tidak?
    Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
    Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.

    Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:34 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  7. #7
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Sambungannya:
    Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
    Adalah?
    Adalah seorang laki-laki yang sejati.
    Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.

    Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
    Laki-laki sejati adalah…
    Laki-laki yang perkasa?!

    Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
    O ya?

    Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
    Kalau begitu apa dong?

    Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
    Perempuan muda itu tercengang.
    Hanya itu?
    Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
    Orang yang konsekuen?
    Lebih dari itu!
    Seorang yang bisa dipercaya?
    Semuanya!
    Perempuan muda itu terpesona.

    Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.

    Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?

    Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
    Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
    Untuk apa?

    Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
    Dada perempuan muda itu turun naik.

    Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
    Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
    Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
    Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
    Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
    Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
    Apa? Tidak mungkin?
    Ya.
    Kenapa?
    Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
    Oh, perempuan muda itu terkejut.
    Sudah tidak ada lagi?
    Sudah habis.
    Ya Tuhan, habis? Kenapa?
    Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
    Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
    Sudah amblas?

    Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
    Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
    Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
    Patah hati?
    Ya. Aku putus asa.
    Kenapa mesti putus asa?
    Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
    Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.

    Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
    Aku tidak ngumpet!
    Jangan lari!
    Siapa yang lari?
    Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
    Keluar ke mana?
    Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
    Gadis itu termangu.
    Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
    Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
    Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!

    Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
    Perempuan muda itu menggeleng.
    Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
    Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
    Keluar?
    Ya.

    Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.

    Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
    Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
    Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
    Untuk apa?

    Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!

    Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
    Perempuan muda itu tercengang.

    Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***

    Denpasar, akhir 2004
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:35 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  8. #8
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Jendela rara- Asma Nadia:


    Jendela Rara By Asma Nadia

    Sebuah rumah imut
    dengan dinding hijau berlumut,
    Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
    dan halaman mungil berumpun melati

    Apa lagi?

    Rara, anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menggambari belakang kertas bungkus cabai, yang diambilnya dari los sayur Yu Emi. Sebuah pensil pendek terselip di jarinya. Mata Rara masih memandangi gambar rumah mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang senyum. Manis.

    “Mak, kapan kita punya rumah?”

    Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap disampaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia empat puluh limaan, yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap hari, akan apa yang bisa dimakan anak-anak esok. Maka pertanyaan apapun dari anak-anak lebih sering hanya lewat di telinga.

    “Mak, kapan kita punya rumah?”

    Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyandarkan punggunggnya di dinding tripleks mereka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dari tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami dan lima anaknya—sekarang empat—memulai dan mengakhiri hari-hari. Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekadar lalu lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat ketidakberaturan pendirian rumah-rumah tripleks di sana.

    Beberapa yang beruntung mendapatkan tiang rumah yang lebih kokoh,langsung dari beton tebal yang menyangga jalan tol di atas mereka. Kamar mandi? Ada MCK umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah bisa mandi puas.

    Belasan tahun mereka tinggal di sana. Tidak perlu bayar pajak, hanya uang sewa setiap bulan yang disetorkan ke Rozak, Ketua RT mereka, sekaligus orang paling berkuasa di perkampungan sini, juga uang listrik ala kadarnya. Memang semua sangat sederhana, tapi baginya tempat tinggal ini tetap…

    “ini rumah kita, Ra!”

    Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang kemerahan, karena sering ditempa garang matahari bergoyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan tumah tinggal yang diimpikannya:

    Sebuah rumah imut
    dengan dinding kehijauan berlumut,
    Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
    dan halaman mungil berumpun melati

    Emak tampak kaget dengan tanggapan anaknya.

    “Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!”

    “Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak apa, kan?” ujar Emak sambil tertawa. Kemana jendela itu akan menghadap nanti? pikirnya, ke rumah Mas Dadang tetangga merekakah? Apa iya mereka mau diintip kegiatannya setiap hari?

    Tapi siapa tahu. Paling tidak hal itu mungkin bisa membuat Rara senang. Kalau dia menolak mengamen di perempatan lampu merah nanti, apa tidak repot?

    Anaknya lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul di tempat Mami Lisa, kompleks pelacuran dekat tempat tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya, kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perempuan, sebetulnya dulu rajin sekolah, apa daya ia tak sanggup lagi menyolahkan si Asih. Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang kabarnya sudah jadi anak buah Mami. Entahlah. Anaknya yang keempat, bocah laki-laki, selisih dua tahun dari Rara, tewas dua bulan lalu, dengan luka di bagian leher dan anus. Mungkin jadi korban laki-laki gendeng yang suka menyantap anak-anak kecil.

    Rara anaknya yang bontot. Keras kepala dan punya keinginan kuat. Sekarang masih sekolah di madrasah ibtidaiyah, itu pun karena kebaikan hati kakak pengajar di sana, ia tak harus membayar sepeser pun. Syukurlah.

    “Jendelanya bisa masuk matahari, enggak, Mak?”

    Rara menggoyang bahu Emanknya. Tapi kali ini perempuan yang melahirkannya itu hanya menghela napas berat dan meninggalkan Rara dengan bayangan jendela-jendela besar yang menjaring sinar matahari.
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:36 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  9. #9
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Sambungannya:
    Di Madrasah, sorenya. “Kata Mak, rumahku akan punya jendela!”

    Rara berbisik ke telinga teman sebangkunya. Di sekitarnya, kawan-kawan sedang mengikuti surat Al-Ma’un yang diucapkan Kak Romlah.

    “Yang bener, Ra?”

    Dua bola mata bulat milik Inah membesar. Ia ikut senang jika impian Rara terwujud. Sejak dulu Rara sering bicara soal keinginnannya memiliki rumah kecil dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalamnya.

    “Kita bisa hemat listrik! Enggak usah idupin lampu lagi kalo siang!”

    Rara menambahkan. Giginya yang kecil-kecil tampak seiring senyumnya yang lebar.

    “Bisa belajar di sana dong?”

    “Iya! Enggak harus ke gardu dulu untuk baca buku. Kan udah terang?”

    Senyum lebarnya terkembang lagi. Inah tampak ikut senang.

    “Aku mau minta ibuku bikin jendela juga, ah!”

    “Aku juga!”

    “Apa? Jendela di rumah Rara?”

    “Gue juga deh. Mau bilang Bapak!”

    “Enak ada jendela!”

    Tiba-tiba suasana kelas riuh seperti pasar. Berita Rara yang rumahnya akan punya jendela menyebar luas. Ternyata apa yang diinginkan gadis kecil itu juga menjadi mimpi anak-anak yang lain.

    “Jendelaku nanti paling buesar!”

    Ipul, anak salah satu karyawan Mami Lisa, mengakhiri obrolan mereka sore itu sepulang dari madrasah.
    ——
    “Jadi bikin jendela, Ra?”

    Bang Jun, mencolek pipinya. Mata laki-laki berusia dua puluh tahun itu mengamati hasil coretan adiknya.
    “Udah malam kok belum tidur?”

    Rara tidak menjawab. Tangannya masih asyik menari-nari di atas secarik kertas usang yang diambilnya lagi dari Yu Emi.

    “Eh, itu gambar apa, Ra?” komentar abangnya lagi.

    “Jendela? Kok gede banget!”

    Rara menghentikan kegiatan menggambarnya. Bola matanya yang cokelat menatap Bang Jun yang perhatiannya terpusat pada gambar. Gadis kecil itu menganggukkan kepala. Senyumnya cerah.

    “Jadi kan, Bang Jun bikinin Rara jendela?” kalimatnya dengan tatapan penuh harap.

    Jun hanya menatap Emak dan Bapak yang tiduran di atas sehelai tikar using. Wajah kedua orangtuanya itu tampak letih. Pastilah. Bukan pekerjaan ringan mencomoti barang dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Belum jika hasil mulung Bapak, ternyata besi-besi tua. Memang bawa untung yang lebih besar. Tapi berat yang dipikul juga jelas jauh dibandingkan sampah botol plastik atau barang-barang lain . Malah akhir-akhir ini cuaca makin panas saja.

    “Bang…”

    Rara menarik kaus oblong yang dipakai abangnya. Beberapa saat Rara dan abangnya bertatapan, dengan pikiran masing-masing yang tak terpantulkan. Tapi keheningan mereka segera buyar oleh langkah-langkah yang terdengar dari depan. Asih muncul di balik pintu. Matanya yang sayu segera saja menatap keduanya tak semangat.

    “Masih ngeributin soal jendela?”

    Rara tak menjawab, tangannya meraih tas murahan yang dibawa Asih. Dengan sigap, gadis kecil itu mengambil air di teko dan mengulurkan ke kakaknya. Tapi Asih yang mulutnya bau minuman keras itu menepis.

    “Gue ngantuk. Malah tadi laki-laki yang gue temenin minumnya kuat banget. Mau nolak, engga enak sama Mami.”

    “Bilang aja lo sakit, sih! Tadi aja gue pulang duluan. Lagian pegawai Mami Lisa kan enggak cuma elo.”
    “Iya, tapi itu kan sama aja nolak rezeki!

    Rara diam, mendengarkan saja percakapan kedua saudaranya. Tapi kalimat kakaknya barusan, mengusiknya untuk menimpali, “Kata guru Rara di madrasah, rezeki kan dari Allah, Kak. Bukan dari tamu!”

    Kalimat lugu yang dengan cepat dipatahkan kakaknya.

    “Ahh, anak kecil sok tau. Tunggu nanti kamu gede, baru ngerasain. Hidup tuh cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!”

    Rara menundukkan kepala. Kakaknya dulu lembut dan baik hati. Sempat juga ngaji di madrasah seperti dia. Tapi setelah putus sekolah dan jadi karyawan di tempat Mami, gadis berkulit hitam manis itu berubah. Dandanannya makin menor. Ke mana-mana pake kaus dan celana panjang serbaketat. Omongannya juga jadi kasar.

    Rara tahu, tidak Cuma kakaknya yang berubah. Tapi juga kakak si Inah, ibu si Ipul, dan banyak lagi. Konon mereka dulu juga anak madrasah. Tapi daya tarik rumah pelacuran, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari madrasah terlalu menggoda. Itu jalan pintas dapat duit. Realitas masyarakat di sudut-sudut Jakarta yang bukan tidak diketahui orang.

    Rara tercenung. Mungkin benar hidup jadi orang dewasa itu sulit, pikirnya. Mungkin itu sebabnya mereka jarang tersenyum.

    “Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!” lantang suara kakaknya mengagetkan Rara.

    “Asih!”

    Asih yang mabuk terus bicara dan tak menggubris teguran Jun.

    “Kebutuhan tuh banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang lebih penting dong!” cerocos Asih, tangannya menjewer kuping Rara.

    Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap lurus kearah Asih yang menyalakan rokok dan menghirupnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih harus tahu kalo jendela itu…

    “Jendela itu penting, Kak. Buat keluar-masuk udara. Terus kalo siang kita enggak perlu nyalain lampu. Udah terang karena sinar matahari yang masuk!” jawab Rara tak kalah keras.

    “Tapi banyak yang lebih penting dari jendela,” Asih tak mau kalah, “Makan kamu misalnya!” lanjutnya kesal. Bayangkan ia sudah capek-capek tiap malam, kadang lembur merelakan badannya melayani empat tamu dalam semalam. Apa adiknya itu tahu?

    “Tapi kata Emak, Bang Jun bakal bikinin Rara jendela. Ya, kan, Bang?”

    Suara Rara lirih, bercampur isakan. Jun yang melihatnya jadi tidak tega. Tangan cowok itu membelai-belai kepala adiknya. Lalu menatap Rara lunak.

    “Iya. Tapi Rara juga ikut kumpulin duit, ya? Jangan dipake jajan! Kita perlu uang untuk beli kayu, kaca, bikin kusennya…”

    “Dan itu mahal, tau, Ra!”

    “Ssst… Asih!”

    Keributan yang kemudian tak terelakkan antara Jun dan Asih membuat Rara melarikan diri ke sudut rumah. Ia berjongkok sendiri, mata cokelatnya berkaca. Bertambah-tambah perasaan gundahnya kala Bapak terbangun lantaran suara berisik yang timbul, lalu menempeleng keduanya.

    Dan semua gara-gara jendela besar Rara.

    Ahh. Rara mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Besok ia akan mengamen lebih giat. Kalau perlu sambil jual koran, semir sepatu, atau membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir Rara.

    Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak membawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari kepadanya. Juga kerlip bintang-bintang malam hari.

    Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya ngamen dan bekerja di perempatan , tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo di warung, kwaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat.

    Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut hemat gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan itu, perasaan Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi.

    “Assalamu’alaikum! Emak?”

    Rara menghambur kearah Emak yang sedang menyapu lantai. Bohlam sepuluh watt, mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang.

    “Mak, sini.”

    Rara menyeret tangan perempuan itu, memaksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah.

    “Apaan sih, Ra?”

    Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa lagi sekarang? Baru semingguan ia merasa lega, karena Rara tidak lagi mengutarakan keinginannya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara memang benar. Anak kecil enggak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang memang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat menguap dan hilang dari ingatan.

    Rara masih memandang Emak dengan mata bercahaya. Keriangan anak-anak terpancar di wajahnya yang oval.

    “Mak, tebak!”

    “Apaan?”

    Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? Batin perempuan itu sedikit cemas.

    Rara menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah keringat.
    “Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih gosong, bukan karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita! Papar gadis kecil itu ceriwis.

    Jendela?

    Mata penat Emak menatap berganti-ganti, dari uang di tangannya, dan raut wajah di bungsu. Begitu terus selama beberapa saat. Sayang, Rara terlalu riang untuk memperhatikan perubahan wajah Emak. Bocah perempuan itu malah terus bicara dengan kalimat-kalimat panjang, kadang nyaris tersedak, karena kebahagiaan yang meletup-letup.

    “Jendelanya nanti di sebelah sini, ya, Mak. Rara mau nya kayunya warna cokelat tua. Malam ini Rara mau begadang nungguin Bang Jun. Mau kasih tau modelnya. Besok pagi, biar Rara temenin Bang Jun ke toko material. Kita bisa beli kayu, terus kaca, terus…”

    Emak tak mendengar lagi penjelasan Rara. Benaknya digayuti kejadian siang tadi, ketika Pak RT datang bersama sekretarisnya dan berbicara serius.

    “Gara-gara Rara, semua anak di sini pada minta dibuatin jendela sama orangtuanya. Saya bukannya tidak mau mengizinkan. Tapi kan Emak tahu sendiri situasinya. Rumah-rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang lain. Lagi pula, kalau dipaksakan, percuma tidak akan bisa masuk sinar matahari. Kecuali kalau mau ngebor jalan tol di atas sana! Saya sebagai Ketua RT tidak bisa mengizinkan!”

    Mata lelah Emak mulai menggenang. Andai saja ia bisa memantulkan pikiran di benaknya. Pastilah seperti cermin yang memantulkan dua sisi bayangan. Rumahnya dan penduduk lain di bawah kolong jembatan ini, di satu sisi. Dan rumah Pak RT, di sisi lain, dengan jendela-jendela kaca yang besar.
    Waktu masih terisi celotehan antusias Rara. Di dekatnya, Emak masih menatapi gumpalan uang kertas dan receh di tangannya.

    Rumah kami, 2003
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:36 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  10. #10
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Dodolitdodolitdodolibret by Seno Gumira Ajidarma:


    Dodolitdodolitdodolibret by Seno Gumira Ajidarma

    Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.

    “Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.

    Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.

    ”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”

    Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.

    Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.

    Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.

    ”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”

    Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.

    Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.

    Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.

    Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.

    ”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.

    Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.

    ”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, ”dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”

    Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.

    Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.

    Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.

    ”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.

    ***

    Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

    ”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”

    Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.

    Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.

    ”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.

    Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!

    ”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”

    Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.

    Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.

    Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!

    ”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.

    Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.

    ”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.

    Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.

    Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.

    ”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.

    Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.

    Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.

    ”Guru! Lihat!”

    Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!

    Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?

    Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.

    ”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”

    Ubud, Oktober 2009 /
    Kampung Utan, Agustus 2010.

    *) Cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi.
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:37 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  11. #11
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Sahabat- Agnes Danovar:


    Sahabat

    ” tiada kasih yang lebih abadi daripada pemberian seorang sahabat yang sempurna- tidak akan mati walau ia pergi untuk selamanya dalam hidup kita” Agnes Davonar

    Aku tidak pernah berpikir kalau hidupku masih bisa bernafas setelah kecelakaan tabrakan mobil yang membuatku koma selama 1 bulan lamanya. Istriku Angel berkata padaku, bahwa Tuhan masih sangat mencintaiku sehingga ia memberikan aku satu kehidupan baru dalam hidupku. Selama proses pemulihan aku hanya bisa duduk terbaring di kursi roda untuk melakukan aktifitas, sebagai anak tunggal satu-satunya dalam keluargaku, ayah dan ibu sangat mencintaiku.

    Hidupku terlahir dengan kekayaan berlimpah, istriku cantik dan sejak kecil aku terbiasa dimanjakan sebagai anak orang kaya. Aku bersekolah di Australia saat lulus dari SMA dari Jakarta, menjadi orang kaya tidak membuatku dapat memiliki sahabat karena sifatku yang pendiam terlebih kata ibu sejak kecil aku mempunyai jantung yang lemah. Tidak heran mereka selalu mencemaskan keadaanku yang tidak pernah aku pikirkan, lucunya aku baru tau jantungku membusuk saat kecelakaan itu terjadi.

    Aku duduk di teras rumahku yang menghadap ke laut Jawa dan memilih tempat itu sebagai masa penyembuhan dan rehabitasiku. Istriku sedang membuatkan aku segelas susu dan aku tanpa sengaja melihat sebuah buku novel tergeletak di meja teras, mungkin saja istriku baru membacanya dan menaruhnya disana. Aku membuka lembaran itu dan terselip sebuah foto antara aku, istri dan seorang sahabat yang telah lupa dalam ingatanku bernama Fernando.

    Bukankah ini foto saat kami berada di Australia, Fernando berkerja sebagai pelayan kafe dan saat itu aku, istriku dan dia berfoto bersama saat berdiskusi. Istriku datang dan menghampiriku sembari meletakkan segelas susu di meja.

    “ Mengapa foto ini ada disini sayang?” tanyaku
    Istriku terkejut, mungkin karena ia takut gambar itu membuat aku teringat masa lalu.
    “ Maaf aku tidak sengaja menemukan novel itu dari kiriman pos seseorang dan ketika membukanya terdapat foto kita semasa kuliah.”
    Aku terdiam, istriku langsung seperti salah tingkah.
    “ Ngomong-ngomong sekarang dimana Fernando, bukannya terakhir kita masih melihatnya saat bulan madu di Perth?”

    Istriku terdiam, suara telepon tiba-tiba berdering dan dia langsung meminta izin untuk mengangkat. Aku hanya bisa mengenang foto kenangan itu, Fernando adalah sahabat pertama yang menjadi temanku saat aku nyaris mati karena kedinginan terserang hujan deras, ia bukan laki-laki beruntung seperti hidupku. Bahkan untuk menyambung hidupnya ia harus bekerja sebagai pelayan restoran, aku berterima kasih padanya karena berkatnya aku masih bisa hidup sampai detik ini.

    Berkatnya juga aku bisa mengenal istri yang kucintai saat ini, persahabatan kami baik-baik saja hingga sebuah tragedi terjadi dalam hidup kami. Suatu ketika semua orang mempergunjing aku di kampus dan mengatakan aku seorang gay karena terlalu dekat dengan Fernando. Terang saja aku marah, kami normal dan dekat karena dialah satu-satunya sahabatku di Australia dan aku bahkan rela menghajar orang-orang yag menjelek-jelekkan sahabatku itu. Tapi pertanyaan it u terus menghantuiku, sebagian dari sahabatku memang pernah berbisik kalau sahabatku itu gaytapi Angel tidak pernah mengatakan begitu walaupun mereka sudah mengenal sebelum hadirnya aku.

    Tapi hidup memang pahit, di mataku sendiri Fernando berciuman dengan sesama pasangan gay-nya. Aku hancur dan malu memiliki sahabat seperti dia, ada yang aneh ketika melihatnya berbuat demikian. Sidney memang kota bebas bagi gay, tapi tidak buat aku. Aku melupakan semua kebaikan yang pernah dia berikan padaku, jijik rasanya aku melihat monster itu hidup bersamaku selama ini. Aku tau Fernando melihatku memergokinnya saat itu, ia panik dan meminta maaf karena selama ini tidak jujur dengan statusnya, hal terakhir yang kudengar dari mulutnya adalah

    “ Aku mungkin gay, tapi aku bukanlah monster yang ada disampingmu selama ini. Bagiku siapapun boleh menganggap aku manusia hina tapi janganlah kau sahabatku, karena kaulah satu-satunya sahabat dalam hidupku yang yatim piatu tanpa siapapun”

    Aku tidak tergoda oleh kalimat itu walau terasa menyedihkan, kutinggalkan Sidney saat itu juga dengan membawa Angel pindah ke Perth. Aku tau Angel ingin menyarankan aku untuk menerima kenyataan tapi hatiku membeku dan tidak sudi memiliki sahabat gay dan menjijikkan seperti dia. Sejak saat itu aku tidak pernah melihatnya seperti yang aku katakan sebelumnya kami kembali bertemu saat aku sedang berbulan madu bersama istriku tepatnya 3 tahun setelah kami berpacaran di sebuah restoran mewah ketika Fernando mulai menjadi koki di restorant itu.

    Aku sadar ini saat terakhir aku berjumpa dengannya, karena aku akan kembali ke Jakarta. Saran istriku padaku untuk setidaknya mengucapkan kata perpisahan dengannya aku turuti, aku pun mengundangnya minum kopi bersama sebagai sahabat lama walaupun di hatiku tidak pernah mau memaafkan statusnya sebagai gay. Kami bicara seadanya tentang hidup kami , dia mengucapkan selamat atas pernikahan kami. Dan kami pun berpisah, ketika pulang aku tidak mengingat semuanya selain sebuah mobil menabrakku dan aku pun koma hingga tidak sempat mengingat Fernando.

    Istriku kembali, dengan wajah sedikit senduh dia duduk di sampingku.

    “ Sayang, sebenarnya apa yang kamu pikirkan tentang foto itu”
    “ Tidak ada selain pertanyaan ke mana Fernando saat ini?”

    Istriku menunduk sambil berkata “ Dia ada disini..”. Aku menjadi bingung,
    “ Maksudmu apa?”
    “ Fernando tidak akan pernah ada di dunia ini lagi, tapi dia akan selalu ada di sini, tepatnya di jantung yang kamu miliki saat ini.”
    “ Aku tidak mengerti maksudmu?”

    Istriku menangis sambil bercerita, di saat-saat terakhir usai kecelakaan terjadi. Orang yang membawaku ke rumah sakit adalah Fernando, Dokter mengatakan bahwa jantungku sudah tidak berfungsi. Aku hanya memiliki waktu sedikit untuk tetap hidup dan dokter menyarankan Fernando mencari donor jantung. Istriku Angel begitu terkejut dengan berita kecelakaan itu, ia menangis di samping Fernando. Tidak mungkin mencari jantung yang tepat dalam waktu saat kondisi kritis seperti ini.

    ” Fernando, sebentar lagi Anthony akan menjadi seorang ayah, aku tidak lagi sanggup hidup bila bayi dalam kandunganku ini tidak memiliki ayah..” ujar Angel.

    Fernando tersenyum dan berkata

    “ Percayalah kalau Anthony ( namaku) akan tetap hidup di samping kamu untuk selamanya”

    Itulah kata-kata terakhir dari istriku, Fernando mendekat pada dokter dan berkata ia mau mendonorkan jantungnya padaku. Dokter terang saja menolak keinginan Fernado karena tidak ada hukum yang mengizinkan orang sehat untuk berbuat demikian. Fernando tidak putus asa, baginya hidupnya yang sebatang kara tidak akan memiliki masa depan terlebih tak akan ada seorang pun yang peduli padanya. Ia dengar kalau hanya orang yang sekarat boleh mendonorkan dirinya, sahabatku melakukan tindakan bodoh.

    Sesaat sebelum kematiannya ia menelepon Dokter dan mengatakan bahwa seseorang donor yang bersedia menyumbangkan jantungnya. Dokter bertanya siapa orang itu, dengan tersenyum dibalik telepon Fernando berkata “ Saya menunggu anda di belakang rumah sakit, jantung ini hanya bisa bertahan selama beberapa saat, saya mohon dokter kemarilah dalam waktu 10 menit.” Dengan berani Fernando menabrakkan dirinya pada sebuah truk yang lewat, dia mengorbankan dirinya untuk menjadi donor dalam keadan sekarat.

    Angel menerima kabar itu usai operasiku berjalan lancar saat itu ia hendak bertanya sosok donor yang menyumbangkan jantungnya dan berpikir untuk mengucapkan terima kasih pada keluarga, dokter mengatakan sang donor adalah Fernando. Angel tidak mungkin mengatakan kejadian itu padaku, ia hanya ingin menunggu saat yang tepat dan saat inilah aku tau. Aku hanya bisa menangis di atas makam sahabatku. Entah bertapa bodohnya aku tidak pernah mengerti arti sahabat dalam kehidupanku. Kalau saja saat itu aku memaafkan apa yang terjadi mungkin tidak akan ada penyesalan dalam hidupku.

    “ Dia sahabat yang tidak hanya menolong hidupku satu kali tapi dua kali, bukanlah dia yang seharusnya meminta maaf tapi akulah yang meminta maaf tidak pernah mengerti bertapa dia adalah sahabat sejati dalam hidupku, aku terlalu egois mengatakan bahwa dia gay dan dia adalah petaka dalam hidupku. Mungkin kata dia terakhir padaku tidak akan pernah terlupa dalam ingatanku, ia memang gay tapi ia bukanlah monster yang akan mencintai sahabatnya sendiri.”

    Aku tidak akan pernah melupakan hal ini, walaupun hidupku berjalan dengan waktu, semoga kisahku tidak membuat kalian menjadi seperti aku. Ingatlah sahabat itu hadir dalam hidup kita tanpa pernah kita sadari bahwa sejatinya tidak ada manusia yang sempurna dalam hidup ini. anakku terlahir beberapa bulan kemudian dan untuk mengenang sahabatku, keberikan nama Fernando padanya.

    Gay, lesbi , pria buta, wanita bisu mereka adalah manusia yang memiliki hati untuk mencintai dan kasih dalam persahabatan. Setidaknya kita menyadari saat ini sebelum terlambat
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:38 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  12. #12
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Bidadari Terakhir- Agnes Danovar:


    BIDADARI TERAKHIR

    ” Karena sekeras apapun aku berpikir tentangmu-hanya ada satu hal yang bisa kupahami bahwa kaulah hal terindah yang pernah kumiliki dalam hidup ini” agnesdavonar

    diangkat dari sebuah kisah nyata cinta seorang pria dengan PSK


    Malam itu, seharusnya bukan jadi malam milik gua. Malam yang sesungguhnya bukanlah yang gua harapkan. Adit, temen kecil gua. Entah harus bagaimana gua mengatakan? Tiba-tiba ketika habis pulang dari hang out di kafe, mengarahkan motornya ke sebuah tempat yang mungkin baru dalam hidup gua. Tempat pelacuran, ya.. semua juga tau kalau daerah yang sedang gua injakkan kaki ini adalah daerah protistusi. Gua sempat protes sama Adit, kenapa tiba-tiba ngajak gua ke tempat kayak ginian. Umur gua kan masih 17 tahun dan baru aja dapat ktp resmi seumur-umur hidup gua.

    Gua gak bisa ngelarang teman gua untuk menyalurkan apa yang dia inginkan walaupun harus dengan cara seperti ini. yang terbaik buat gua adalah tidak ikut dalam permainan dia. Akhirnya kita berdua memarkirkan motor di sebuah rumah. Banyak cewek-cewek cantik yang berdiri sambil menggoda. Adit masuk, dan gua memutuskan untuk tunggu di luar. Sesekali dia nanya ke gua,

    “ yakin loe gak mau coba? Gua bayarin deh!”

    “ ogah, gua masih tahan iman, loe aja sana! Jangan pakai lama! Entar kalau digrebek polisi, disangka gua lagi yang mau!”

    “ iya-iya, anteng aja loe disana.. “

    Dengan wajah cemburut dan tatapan beberapa perempuan gua seperti orang bego yang nunggu diluar sambil megangan helm gua. Adit uda memilih cewek yang harus jadi teman dia malam itu. Gua menunggu di luar dan tiba-tiba salah satu cewek di dalam rumah itu keluar sambil menghisap rokok. Dia ngeliat gua, lalu menawarkan rokok kepada gua.

    “ Enggak makasih, gua gak ngerokok “ kata gua menolak dengna harus.

    “ Hah, jaman gini masih ada yang gak ngerokok.. aneh..” Tanya cewek itu dan gua hanya senyum-senyum.

    Dia duduk disebelah gua, menatap mata gua dengan tajam sambil sesekali membuang asap rokok ke langit-langit atap.

    “ Kok nunggu disini, ga ikutan aja sama temen kamu!”

    “ Enggak , biarian aja si adit yang pengen,.. Cuma nemenin aja”

    “ uda, loe sama gua aja mau? “

    Gua memandang cewek disamping gua, sejujurnya dia cewek yang cantik, putih dan idaman gua. Tapi ketika dia menawarkan dirinya ke gua, tiba-tiba gua jadi ilfell. Kenapa cewek secantik ini harus menjadi seorang pelacur, dunia ini memang gak adil.

    “ enggak mbak ,makasih”

    “ uda maulah, gua kasih diskon.. “ tawar dia lagi.

    “ beneran mbak, saya gak mau..” tolak gua dengan halus.

    “ apes deh gua, daritadi gak ada yang mau ama gua..”

    “ loh mbak kan cantik, kok ga ada yang mau..!”

    “ ya nasib lah, namanya juga jualan, kadang laku, kadang kagak, malah gua lagi ada masalah lagi,,.”

    Entah mengapa gua jadi merasa ingin tau masalah dia.

    “ masalah apa mbak?” Tanya gua

    “ umur loe berapa?” Tanya dia ke gua

    “ masuk 17 tahun ini,., “

    “ yailah, masih brondong, masih belum tau namanya dunia dewasa..” ledek dia.

    “ kata siapa.. setiap orang punya masalah, gak mandang gede atau kecil umurnya..”

    Dia melihat gua, mungkin dia merasa gua pinter merangkai kata-kata.

    “kayanya loe bukan cowok brengsek ya.. beda sama cowok-cowok yang suka kesini Cuma pengen cari cewek buat kesenangan sesaat’

    Gua tersenyum manyum dipuji dia.

    “ Hehe, ga semua cowok brengsek kok mbak..

    “ mungkin aja… hm.. gua lagi butuh duit..” kata dia tiba-tiba.

    Dalam hati gua, mungkin ini masalah klasik. Kalau ga butuh duit, buat apa dia kerja sebagai pelacur.

    “ Maaf kalau boleh tau, duit buat apa ya?”

    “ nasib jadi orang miskin, selalu kena masalah, nyokap gua tiba-tiba ada benjolan di perut, kemarin sempat dibawah ke puskemas, kata dokter sih tumor ringan. Mesti cepat-cepat di operasi kata dokter, tapi ya tau sendiri Negara kita, apa-apa butuh duit. Ujung-ujungnya duit buat operasi. Makanya gua lagi sial, semingguan ini jarang dapat pelanggan. Apes..”

    Entah mengapa, gua merasa, ada kejujuran dari apa yang cewek ini ngomongin. Dia gak seperti lagi sandiwara.

    “ namanya mbak siapa?”

    “ panggil gua Eva aja! Loe?”

    “ Gua, Rasya.. “

    Tiba-tiba kita terdiam, melihat wajahnya yang tampak sedih sehabis cerita kehidupan dia, gua merasa iba dan menawarkan dia setulus hati.

    “ kalau eva emang butuh duit, gua ada, tapi gak banyak, kali-kali aja bisa bantuin nutupin kekurangan.”

    Dia ngeliat gua.

    “ loe kan masih 17tahun, mau dapat duit dari mana 1,5 juta kekurangang gue..”

    “ oo, jadi kurangnya 1,5juta. Tenang aja Va, gua ada kok kalau segitu, tapi kalau sekarang.. gua ga bawa duitnya.. kalau besok gimana?”

    Dia tertawa kecil.

    “ gua sih uda biasa digombalin sama pelanggan. Tapi kalau digombalin berondong sih baru kali ini..” ledek dia.

    “ sumpah gua ga bohong, gini aja, nomor hendphone loe berapa? Nanti besok gua telepon dan kasih duitnya, tapi jangan disini ya.. soalnya gua ga nyaman..”

    “ terserah mau dimana, neh nomor gue..” kata dia sambil ngasih kertas dengan angka nomor telepon dia.

    ” inget loe, gua ini bukan orang baik. ”

    ” gua juga bukan orang baik. tapi juga bukan orang jahat, gua dan loe hanya terlahir di dunia yang keduanya gak bisa kita hindari..”

    Tiba-tiba adit selesai, dan dia langsung menuju gua. Sebelum adit ngajak gua pergi, gua pamitan sama eva. Dia tersenyum. Dari wajahnya gua tau, dia pasti berharap banget apa yang gua katakan ke dia itu benar. Walau sebenarnya gua sendiri ga punya duit sebanyak yang dia mau. Duit yang gua punya Cuma ada 900 ribu dan masih kurang 600 ribu buat ngasih ke eva. Akhirnya gua mesti nunggu seminggu hingga terkumpul 1,5 juta. Bermodalkan duit yang sesungguhnya hasil uang jajan gua. Akhirnya gua nelepon dia. Sebelum memastikan apa eva benar-benar sungguh-sungguh atau bohong, gua sempet survey ke psk sekitar tempat kerja eva dan hasilnya positif dia ga bohong makanya gua usahain duit terkumpul cepat.

    Eva terkejut ketika gua nelepon dia, gua meminta janjian ketemu sama dia di kafe yang telah gua tentukan. Seumur-umur dalam hidup gua, baru kali ini gua beramal cukup besar untuk orang lain. Gua masukan duit itu dalam tas gua. Mungkin bonyok gua akan marah besar kalau tau duit jajan gua habis untuk dia. Tapi gua cukup beruntung terlahir dari keluarga yang mampu, jadi gua yakin. Bonyok gak akan tega biarin gua hidup tanpa duit sedikitpun andai gua bilang, gua butuh duit.

    ***
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:39 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  13. #13
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for sambungan Part 1:
    Eva muncul dengan pakaian yang lebih tertutup kebanding pertama kali gua lihat. Kita makan dan sesekali gua jelaskan kenapa gua baru hubungi dia dengan alasan sibuk ujian, padahal sesungguhya sibuk nabung untuk bantu dia. Eva mungkin gak pernah kepikiran kalau gua ngajak dia ketemu untuk bantu keuangan dia, dia lebih berpikir kalau gua ini ketemu dia sebagai seseorang yang membutuhkan dia seperti laki-laki lainnya.

    Kita sempat jalan-jalan sebentar sampai akhirnya motor gua membawa dia ke pantai. Kebetulan mal di kota gua selalu dekat dengan pantai. Gua duduk disamping dia. Dia langsung menyodorkan pertanyaan.

    “ sebenarnya , loe manggil gua untuk make gua? Atau temenin loe jalan sih?”

    “ coba tebak?” Tanya gua.

    “ dua-duanya juga ga masalah, gua uda lama gak jalan sama cowok. Terakhir pacaran juga apes. Dari sekian cowok yang nembak gua, Cuma dia yang gua terima. Ujung-ujungnya cowok emang brengsek. Cuma mau tidur sama gue.. makanya sejak sekarang gua mati rasa sama yang namanya cinta.. !”

    “ loh kayaknya loe dendam banget ya sama cowok. Maaf loh kalau lancang, Cuma ngerasa gitu”

    “ ngapain minta maaf, emang nasib gua kok. Terlahir sebagai cewek hina, miskin, keluarga berantakan. *****..” tiba-tiba eva nangis dengan kalimat terakhir itu.

    “ loe nangis..” Tanya gua jadi ikut sedih.

    “ *****.. gua uda sering denger kalimat itu dari mulut orang lain buat gua, rasanya nyakitin banget. Asal loe tau , kalau aja dunia ini lebih indah dari yang gua mau. Gua juga gak mau jadi *****.. siapa sih di dunia ini yang mau jadi pelacur, *****. Ini karena terpaksa. Masih ada adik sama keluarga yang butuh gua untuk bertahan hidup..”

    “ eva.. jangan nangis dong. Tujuan gua kesini, Cuma pengen ngasih ini..” kata gua sambil ngasih duit ke dia.

    “ gua emang masih berondong seperti yang loe bilang, tapi gua juga punya hati. Walau hidup gua cukup, tapi gua mengerti perasaan loe.. mungkin Tuhan Cuma lagi kasih ujian buat hidup loe. Kalau pun itu berat saat ini, gua harap bantuan dari gua, bisa bantu meringankan beban loe..”

    “ loe.. kenapa sih mau bantu gua.. kan gua ini bukan siapa-siapa loe, bukan temen loe. Bahkan bukan orang yang pantes kenal sama loe..” kata dia sambil menangis.

    “ gua juga gak tau. Yang jelas, kita uda ditakdirkan buat jadi orang yang mengenal.. gua senang kok kenal sama loe. Sekarang pakai duit ini buat operasi nyokap loe ya,. Biar cepat sembuh dan loe bisa kerja yang lain.. bukan seperti sekarang..”

    Dia terdiam sambil merenung.

    “ kalau pun gua gak kerja kayak gini, gua juga uda pasti gak ada yang mau. Palingan laki-laki berengsek yang mau sama gua..”

    “ kata siapa gak ada yang mau..”

    “ ya kata gua lah.. mana ada sih yang mau sama bekas pelacur!! Bekas *****…”

    “ gua mau..”

    Eva terdiam mendengar kalimat gua.

    “ umur loe masih muda, belum tau yang namanya cinta. Ya sudah, terima kasih buat bantuan loe. Kelak kalau gua ada duit. Gua akan balikin duit ini.. sekali lagi, terimakasih”

    “ sama-sama eva..”

    Selang beberapa hari, eva sempat sms dan memberi kabar ke gua kalau nyokapnya sukses dengan operasi dia. Kita jadi rutin saling sms dan telepon hingga akhirnya dia ngundang gua ke rumah dia untuk bertemu nyokap dia. Gua menerima tawaran dia sekaligus ingin tau apakah benar kalau nyokap dia habis dioperasi. Ketika gua sampai kerumah, nyokapnya berlinang air mata ngucapin terima kasih, gua bersyukur ternyata eva jujur apa adanya. Dan yang paling gua senang, dia bilang ke gua, kalau dia lagi cari kerjaan buat hidup sebagai orang bersih.

    Saat itu, tanpa sepengetahuan eva. Bokap tirinya tiba-tiba minjem duit ke gua, dia bilang buat bayar utang. Karena gua gak enak nolak, akhirnya gua kasih duit ke bokapnya tanpa sepentahuan eva. Gua juga sering bantuin ngaterin eva untuk cari kerjaan yang baik. Sampai akhinya dia dapat kerjaan sementara. Selama ini, keluarga dia gak tau kalau eva kerja sebagai pelacur, eva berusaha nutupi dan akhirnya lembaran gelap itu terkubur dengan sendirinya.

    Tanpa kita sadari, gua dan eva samakin dekat. Setelah pendekatan itu, akhirnya kita menjadi sepasang kekasih. Mungkin cinta itu memang buta ya, baru kali ini gua merasakan cinta yang begitu dalam dari seorang perempuan di usia gua yang masih muda. Ketika dulu gua punya cinta monyet. Gua gak pernah ngerasa sebahagia ini selain bersama eva. Walaupun dia punya masa lalu kelam, cinta berhasil membuat gua menghapus semua pandangan buruk itu. Seminggu setelah jadian, dengang uang jajan yang gua kumpulin, gua membeli cincin yang sama untuk kita pakai sebagai lambang cinta. Buat eva mungkin ini aneh, tapi dia sadar, gua masih berondong dan pasti gaya pacarannya juga kayak sinetron di tv jadi dia maklumin.

    Tapi sepanjang waktu kami pacaran, gua merasa eva semakin hari semakin kurus dan tubuhnya jadi lemes gitu, ketika gua Tanya ke dia, dia Cuma bilang kalau dia mungkin kecapean. Tapi sebenarnya ada hal yang gua takutkan dengan kondisi dia. Gua masih ingat, untuk memastikan kalau eva ga bohong pas bilang butuh duit, gua sempat kembali ke tempat pelacuran dia kerja, dan iseng-iseng gua ngobrol sama cewek disana tentang dia.

    “ loe siapanya eva?”

    “ temen aja mbak, kalau boleh tau, dia kan cantik, kok bisa ga ada pelanggan sih?”

    “ nasib mas, eva kena penyakit sifilis( penyakit kelamin). Kayaknya banyak pelanggan yang uda tau dia itu kena penyakit gituan, makanya ga ada yang mau sama dia! Disini kan pesaingan ketat, ada yang bocorin gitu, makanya kasihan dia..”

    “ kenapa ga berobat aja dia..?”

    “ maunya sih gitu! Tapi nyokapnya kan sakit, jadi dia mati-matian cari duit buat nyokap dia dulu, baru nanti mikirin sembuhin penyakit dia.. “

    “ kasihan ya..”

    “ iya mas, susah hidup sekarang. Saya yang dulu anterin dia ke dokter aja jadi sedih kalau bayangin hidup dia..”

    Dari apa yang teman dia bilang, gua jadi yakin kalau eva jadi kurus ini pasti karena penyakit dia dulu. Walau dia ga pernah mau cerita ke gua, mungkin karena dia takut. Kalau dia penyakitan maka gua akan ninggalin dia. Padahal gua gak pernah peduli dengan sakitnya dia. Sakit eva makin buruk sampai akhirnya dia ga kerja. Gua akhirnya nyamperin ke rumah, dan dia ga bisa bangun karena tiba-tiba tubuhnya jadi kayak lumpuh gitu.

    Saat itu juga gua putuskan untuk bawa dia ke rumah sakit, dia sempat menolak.

    “ Rasya, rumah sakit itu mahal, orang miskin kayak gua kalau sakit itu ga ada keadilan, jadi biarin aja gua minum obat biasa, nanti juga sembuh”

    “ loe itu uda gak bisa bangun. Gak usah pikirin duit. Gua ada tabungan, yang penting sekarang kita ke rumah sakit.”

    Dengan penuh kesedihan, akhirnya eva gak bisa nolak kemauan gua. Gua menggendong dia sampai ke rumah sakit, dia dirawat dan dokter mengatakan ke gua dengan berat hati kalau eva sudah kenapa sifilis akut dan seluruh tubuhnya uda terkontiminasi sama sel-sel neurosifilis yang kemungkinan sembuhnya kecil. Dengan penuh air mata gua memohon kepada dokter untuk sembuhin dia. Gua dan nyokap serta adiknya saling bergantian jaga dia. Saat itu lagi ujian akhir kelulusan sekolah, gua harus bertahan dalam dua hal. Konsetrasi ke ujian dan konsetrasi ke eva.
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:39 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  14. #14
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Spoiler for Part 2:
    Mungkin kedua cobaan itu berat tapi akhirnya gua berhasil mengerjakan semua ujian yang datang silih berganti bersamaan dengan waktu gua menjaga eva. Eva semakin kritis. Dia gak banyak bicara lagi seperti sebelumnya. Sepertinya dia tau, hidup dia tidak akan lama lagi. Dia nyerahin sebuah diary ke gua. Dimana disana dia bilang hanya boleh dibaca setelah tiba saatnya nanti.

    “ jangan dibuka ya sampai nanti kalau gua uda ga bisa bangun lagi..”

    “ kok loe ngomong gitu..”

    “ Sya, mungkin.. selama ini gua gak pernah jujur tentang panyakit gua, tapi gua Cuma ga mau kalau loe tau gua punya penyakit ini, loe ninggalin gua. Ternyata gua salah, loe benar-benar hadiah paling indah dalam hidup ini yang dikasih Tuhan buat gua. Gua pikir.. Tuhan gak akan pernah ngasih kebahagiaan buat gua karena memang gua ga pantes. Ternyata gua salah, Tuhan itu adil. Dan keadilan itu dia tunjukkan lewat loe..”

    “ jangan ngomong gitu eva.. gua yang harusnya bersyukur punya pacar seperti loe dalam hidup gua, loe benar-benar anugrah..loe harus kuat ya, kita sama-sama berjuang untuk kebahagiaan kita..”

    Eva hanya menangis mendengar gua bicara begitu. Gua pun menangis. Entah mengapa, gua seperti merasa ini adalah ujung dari akhir kisah kami.

    “ sya, gua mau minta tolong satu hal lagi sama loe. .boleh?”

    “ ngomong aja eva, kita kan pacaran, terbuka aja..”

    “ gua gak punya apa-apa untuk ngasih loe sebagai balasan atas kebaikan loe, tapi gua Cuma punya ini.. bisa loe ambil kalung ini dari leher gua, soalnya.. tangan gua uda gak bisa bergerak lagi..”

    “ kenapa bicara begitu.?”

    “plz.. ambill” dengan berat hati gua melepas kalung itu dan mengambilnya.

    “ disimpan ya.. sama buku harian yang gua tulis itu..”

    “ iya eva.. tadi kamu bilang mau minta tolong, kenapa gak dilanjutkan?”

    “ kalau gua mati, tolong jangan kubur gua di sini, gua mau dikubur di tanah kelahiran gua.. bisa..”

    Mendengar kalimat itu dari mulut dia. Hati gua hancur. Gua gak tau harus bagaiman mengungkapkan kata-kata yang pantas untuk membuat gua bangkit dan percaya kalau dia akan sembuh. Gua hanya bisa menangis dan mengiyakan permintaan dia. Karena ada ujian lagi di besok. Gua pamitan sama dia. Gua mencium kening dia dan dengan berat hati saat itulah gua merasa ini terakhir kalianya gua akan melihat dia.

    Dengan penuh tangis, gua pulang dan berharap Tuhan sekali lagi memberikan keadilan untuk hidup dia. Besoknya gua ujian terakhir dan ketika gua ingin jenguk dia, gua melihat sudah banyak orang di kamar dia di rawat. Semua menangis dan disitulah gua tau, eva telah pergi untuk selamanya. Gua hanya bisa tertunduk lesuh dan menangis dalam hati. Berat rasanya harus melepas kebahagiaan sesaat yang ada dalam hidup gua. Permintaan terakhirnya untuk di makamkan di tanah kelahirannya gua lakukan sebagai tanda cinta terindah dalam hidup gua untuk dia.

    Kini, gua menyadari bahwa. Hidup itu sesungguhnya tidak pernah memihak kepada siapapun di dunia ini. tapi hidup itu membuat kita hanya bisa memihak kepada satu hal, bertahan untuk hidup dengan segala cara apapun. Eva mungkin telah berjuang hidup dengan ketidakberpihakan hidup tapi ia berhasil membuktikan kepada gua kalau disaat akhir hidupnya, dia benar-benar merasakan keadilan hidup sesungguhnya. Dengan cinta dan kasih sayang murni tanpa air mata penderitaan. dia mampu mengubah dirinya yang dulu adalah makluk hina menjadi seorang bidadari , walaupun itu hanya di hati gua, tapi gua percaya kelak semua orang akan setuju dengan apa yang gua bilang kalau dia adalah bidadari terakhir yang hidup di dunia ini

    Saat hanya bisa mengenangnya , hanya buku harian ini yang tersimpan dan membuat hati gua merasa mungkin jalan terbaik dalam hidup kita adalah seperti saat ini. 30-april 2010, itulah hari paling memilukan dalamn hidup gua dimana saat itulah gua memiliki kesempatan untuk membaca

    tulisan terakhir eva untuk gua..

    To : My Lovely …..


    Dear,makasih kamu udah mau jadi pendamping aku
    selama ini…makasih juga udah mau jadi malaikat
    penyelamat untuk ibu aku…
    Andaikan kamu tau aku punya penyakit gini,
    aku yakin kamu pasti kecewa trus tinggalin
    aku,yakin banget makanya aku ngerahasiain
    ini semua…maaf ya?
    Dear,Kamu Laki-laki paling baik yang pernah aku temuin
    ,kamu mau terima aku apa adanya..
    Aku perempuan kotor,miskin,keluarga semrawut,
    tapi kamu tetep mau deket ma aku
    Dear,andaikan aku udah gak hidup lagi di dunia
    ini,kamu jangan sedih ya ? masih banyak perempuan
    yang lebih baik dari aku..kamu orang baik,harus
    punya pendamping yang baik juga :’)
    Inget,jangan lagi datang-datang ke tempat kotor
    gitu.setebal apapun iman kamu,pasti bisa
    runtuh ama yang namanya perempuan.
    Dear,walau dunia kita udah beda,aku tetep ada di
    hati kamu kan?janji?aku akan slalu disamping
    kamu,aku akan jaga kamu…….Maaf andai
    slama ini aku&keluarga udah nyusahin kamu :*
    Goodbye…….



    Semoga kamu bahagia disana eva, aku selalu ada untuk kamu walau kita telah berbeda dalam dunia ini. dan percayalah loe adalah bidadari terakhir dalam hidup gua,
    (TAMAT)
    Last edited by Nharura; 24-08-2012 at 02:40 PM.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  15. #15
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    LAUNDRY
    by Kaine (Pemenang Pertama Flash Fiction Kopimaya)


    Saat itu adalah malam Minggu kira-kira pukul 7 malam, sebuah mobil berhenti di depan toko laundry kami. Seorang pria berumur 30 tahunan keluar dari pintu pengemudi lalu masuk ke toko kami dengan membawa sehelai kemeja putih dengan noda hitam di hampir seluruh permukaannya.

    "Ini ketumpahan kopi, mbak. Dan saya perlu untuk besok siang," katanya.

    Setelah membayar dan mengambil tanda terima, ia kembali ke mobil. Sekilas kulihat ada seorang perempuan di sana. Mungkin kekasihnya. Mereka tampak sedang tidak rukun. Mungkin kopi di kemeja ini pun perbuatan kekasihnya. Aku hanya menghela napas, kutaruh di keranjang cucian lalu mulai membereskan toko karena sudah waktunya tutup.

    Dua minggu kemudian, Sabtu malam lagi, kira-kira pukul 7. Kulihat mobil yang sama, dan pria yang sama. Kali ini ia membawa sehelai kemeja biru tua, yang juga tertutup noda pekat.
    "Ketumpahan kopi lagi?," tanyaku sedikit bercanda.

    Ia hanya tersenyum, menaruh sehelai uang lima puluh ribuan lalu pergi. Cepat. Tak sempat aku membuat tanda terima atau memberi kembalian. Aneh. Ia juga tampaknya sendirian malam itu.

    Aku tengah meletakkan kemeja itu di keranjang cucian saat kulihat noda di kemeja itu menempel di tanganku.

    Itu bukan noda kopi.

    Itu darah.
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  16. #16
    Barista BundaNa's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Na...Na...Na
    Posts
    12,679
    mending dibikin spoiler aja, nharura...jadi biar orang gak ribet bacanya...

  17. #17
    Barista Nharura's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Di Hatimu
    Posts
    5,072
    Malam Tahun Baru yang Romantis by Kingform

    Kita berdua menikmati malam yang benar-benar romantis. Makan malam ditemani oleh remang cahaya lilin. Dengan beratapkan langit malam yang dipenuhi oleh bintang-bintang. Hanya kita berdua. Kita duduk saling berhadapan, sehingga bisa saling menatap sorot mata masing-masing.

    Kita saling bercerita tentang kehidupan kita. Tentang bagaimana dirimu sudah berhasil merintis usaha sendiri yang kini berkembang pesat. Tentang kenangan masa-masa SMA kita dulu. Dan saat jam menunjukkan pukul 12.00 kita berhenti sejenak untuk menikmati kembang api yang bertebaran di langit. Langit malam seketika berubah menjadi terang dihiasi warna warni kembang api. Kita saling berpengangan tangan sambil menatap takjub pada keindahan kembang api yang menghiasi langit.

    Kugenggam erat jemari tangan yang halus itu seolah tak ingin kulepaskan. Tangan yang sama yang empat tahun lalu pernah kulepaskan dari genggamanku. Tangan yang kini jari manisnya sudah dihiasi oleh cincin emas berhiaskan berlian yang sangat indah.

    Cincin yang sayangnya, bukanlah pemberian dariku
    Penulis Sastra, Penyayang Hewan, PNS biasa

    "Sedekah Aja "

    Sastra - > Dear Diary Inspirasi

    Kucing - > Semua Tentang Kucing

    PNS - > Sukses Mengabdi Pada Negara

  18. #18
    pelanggan setia Alethia's Avatar
    Join Date
    Jan 2012
    Posts
    4,059
    knp cerpennya ga di spoiler aja? kalau terlalu panjang dan bersambung di post di bawahnya, jadi terkesan acak2an. Maap.cuma saran dari seorang nubie
    dan foto2nya terlalu besar -again, knp ga di spoiler juga. Dan sebelum di spoiler well, yah ditulislah ini cerpen ttg apa, tanggapan si yang posting gimana. Jadi kesannya emang sedang berbagi, bukan menyebarkan dan menempel bgt saja.

    cuma saran loh buk

    ---------- Post Merged at 08:53 AM ----------

    knp cerpennya ga di spoiler aja? kalau terlalu panjang dan bersambung di post di bawahnya, jadi terkesan acak2an. Maap.cuma saran dari seorang nubie
    dan foto2nya terlalu besar -again, knp ga di spoiler juga. Dan sebelum di spoiler well, yah ditulislah ini cerpen ttg apa, tanggapan si yang posting gimana. Jadi kesannya emang sedang berbagi, bukan menyebarkan dan menempel bgt saja.

    cuma saran loh buk
    Jangan kamu bilang dirimu kaya, bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
    -Rendra

  19. #19
    pelanggan JOSERENTCAR's Avatar
    Join Date
    Jun 2016
    Location
    Surabaya, Indonesia
    Posts
    201
    saya ngikut dulu. bagus juga

Tags for this Thread

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •