Tiga Mahasiswa UII Tewas Usai Ikuti Pendidikan Dasar Mapala
TEMPO.CO, Yogyakarta - Keluarga mahasiswa Program Studi Teknik Industri Angkatan 2015 Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Syaits Asyam yang meninggal dunia usai mengikuti Pendidikan Dasar The Great Camping (TGC) Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Unisi UII di lereng selatan Gunung Lawu, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah menyatakan melihat sejumlah luka pada tubuh almarhum. Syaits meninggal dunia pada 21 Januari 2017 pukul 14.45 WIB saat mendapat perawatan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
“Saya shock. Tadinya (anak saya) ganteng, tapi saat ketemu kotor dan penuh luka,” kata ibu Syaits, Sri Handayani, 46 tahun, saat ditemui di kediamannya di Jetis, Caturharjo, Sleman, Senin, 23 Januari 2017.
Luka-luka luar pada tubuh yang dilihat antara lain pada punggung kedua tangan, kuku kaki sebelah kanan ada yang lepas. Syaits pun kesulitan bernafas saat tiba di Bethesda maupun saat ditemui ibunya. Berdasarkan hasil otopsi RS Sardjito yang dimintakan ayah Syaits, Abdullah Arby, ditemukan luka pada paru-paru sebelah kanan yang diduga membuat Syaits kesulitan bernafas.
Sri mendapatkan telepon dari teman kuliah Syaits yang bernama Tegar pada 21 Januari 2017 pukul 10.30 WIB. Dia tiba di rumah sakit pada pukul 11.30 WIB. Melihat kondisi Syaits yang sudah kepayahan, dokter yang merawatnya menyarankan Sri untuk mengambil kertas dan pena untuk mencatat setiap pesan yang disampaikan Syaits.
Beberapa hal yang sempat dicatat Sri dari hasil dialog dengan Syaits, antara lain korban mengaku dipukul dengan rotan pada bagian punggung sebanyak 10 kali, disuruh mengangkat air dengan leher sehingga kesakitan, serta kakinya diinjak oleh seniornya. “Dia juga menyebut nama senior yang melakukannya,” kata Sri.
Padahal, berdasarkan cerita seorang teman Syaits yang juga peserta diksar saat melayat pada 22 Januari 2017 kepada ayah Syaits, bahwa korban sempat menyatakan mengundurkan diri sebagai peserta diksar karena merasa tidak kuat dengan aktivitas fisik yang dialami.
“Setelah mengundurkan diri, Syaits malah dipisahkan dari peserta lain,” kata Sri yang menyatakan tidak mengetahui apa yang selanjutnya menimpa anaknya.
Syaits pun dibawa ke Bethesda dari lokasi kejadian oleh anggota Mapala Unisi yang tidak menjadi panitia diksar. Berdasarkan keterangan anggota Mapala tersebut, Syaits sempat diare.
“Kami menyesalkan tidak ada yang menyatakan bertanggung jawab pada kasus ini. Tidak ada yang menjelaskan kronologi yang menimpa Syaits,” kata paman Syaits atau kakak Sri, Lilik Margono (51 tahun).
Lantaran itu pula, keluarga menyerahkan kasus tersebut kepada polisi untuk diproses secara hukum yang saat ini tengah ditangani Polres Karanganyar. Dia berharap, kejadian tersebut tidak berulang kembali.
Sementara itu, Rektor UII Harsoyo mengakui Syaits meninggal dunia usai mengikuti diksar mapala. Sebelumnya, peserta diksar lainnya, mahasiswa Teknik Elektro Angkatan 2015 UII Muhammad Fadli juga meninggal dunia dalam perjalanan ke RSUD Karanganyar pada 20 Januari 2017. Jenazahnya sudah diserahkan kepada keluarganya di Batam. Sebelumnya, total jumlah peserta diksar ada 37 orang. Langkah yang dilakukan UII saat ini adalah membentuk tim investigasi internal yang antara lain terdiri dari pimpinan UII, psikolog, juga dokter forensik.
“Tapi proses klarifikasi terhadap panitia diksar dan pengurus Mapala UII masih berlangsung. Hasilnya nanti akan kami sampaikan,” kata Harsoyo dalam keterangan pers di Gedung Rektorat UII di Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang Km 14.
Berdasarkan keterangan awal yang disampaikan pihak Mapala Unisi, Wakil Rektor III UII Abdul Jamil membenarkan Syaits sempat diare sebelum dibawa ke Bethesda.“Almarhum menginginkan pulang ke Yogyakarta. Mungkin diare itu yang membuatnya lemas,” kata Jamil.
Sementara itu, alumni Mapala Unisi yang juga pengacara Achiel Suyanto yang pernah menjadi Ketua Mapala Unisi pada periode 1980-1981 menyatakan sebelumnya tidak pernah ada tindak kekerasan dalam diksar. “Belum pernah ada kejadian seperti ini. Baru kali ini terjadi,” kata Achiel.
Begini Indikasi Kekerasan dan Penganiayaan 3 Mahasiswa UII
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kepolisian Resor Karanganyar, Jawa Tengah, membentuk tim khusus untuk mengungkap tewasnya tiga peserta Pendidikan Dasar Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Tim tersebut sudah bekerja dengan mengumpulkan keterangan dari para saksi. "Kami bergerak cepat," kata Kapolres Karanganyar Ajun Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak, Selasa, 24 Januari 2017. “Indikasinya memang terjadi kekerasan,” kata Ade.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Harsoyo mengakui ada indikasi kekerasan dalam acara pelaksanaan Pendidikan Dasar The Great Camping (TGC) XXXVII Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Unisi UII. Kekerasan itu dilakukan terhadap peserta pendidikan dasar yang ikut berlatih di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Dugaan kekerasan itu, kata Harsoyo, berdasarkan hasil investigasi awal yang dilakukan tim kampus UII yang bekerja sejak 21 Januari 2017. Selain Syaits Asyam, korban meninggal dalam acara pendidikan dasar Mapala adalah Ilham Nurpadmy Listia Adi dan Muhammad Fadhli. Masing-masing mahasiswa jurusan Teknik Industri, Fakultas Hukum, dan Teknik Elektro.
Dengan demikian, total korban meninggal 3 orang. "Ada pengakuan dari peserta kalau ada kekerasan. Tapi hanya dipukul dengan ranting, bukan rotan,” kata Harsoyo yang ditemui di Rumah Duka Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, Selasa, 24 Januari 2017.
Harsoyo mengatakan ada kejanggalan dalam kasus tewasnya mahasiswa UII, terutama banyak ditemukan luka pada tubuh korban. Sebelum meninggal, tak banyak yang diungkapkan korban. "Sulit membuat mereka mengaku. Mungkin karena takut,” kata Harsoyo sembari menambahkan, hingga Selasa belum ada pengakuan dari panitia pendidikan dasar Mapala.
Almarhum Syaits Asyam, 20 tahun, kata Harsoyo, menderita cukup banyak luka di tubuhnya. Luka-luka pada tangan mirip goresan benda kecil dan tajam. Berdasarkan informasi yang diperoleh Harsoyo, goresan itu akibat dari kegiatan merangkak di lereng Gunung Lawu. Karena banyak kerikil, bagian tubuhnya tergores saat merangkak.
Harsoyo menjelaskan, dari 37 peserta pendidikan dasar Mapala, 33 orang menjalani pemeriksaan medis ulang di Jogja International Hospital. Pemeriksaan ini untuk mengecek ulang kondisi mereka.
Syafii, ayah llham Nurpadmy Listia Adi, meyakini ada penganiayaan yang dilakukan panitia. Anak bungsunya itu, kata Syafii, sempat menelepon sebelum meninggal. “Anak saya sempat telepon dan bilang kalau disiksa. Dia bilang dipukul. Tapi saya enggak tanya dipukul bagian mana,” kata Syafii.
Simak: Mahasiswa UII Tewas, "Pak Menteri" Itu Berpulang
Dan dari luka-luka yang dilihatnya, Syafii yakin penganiayaan dilakukan tidak dengan tangan kosong. “Melihat bukti fisiknya enggak mungkin pakai tangan," ujarnya. Jenazah Ilham dibawa ke Ruang Forensik RSUP Sardjito untuk diautopsi atas permintaan Syafii. Autopsi diperlukan untuk melengkapi berkas laporannya kepada polisi. “Proses hukum tetap jalan. Saya minta UII bertanggung jawab,” kata Syafii.
https://nasional.tempo.co/read/news/...-mahasiswa-uiiTragis, korban meninggal berjatuhan dan puluhan mahasiswa dirawat di rumah sakit. Kenapa seringkali bullying disertakan dalam pendidikan dasar ala mahasiswa? Sebelumnya mahasiswa STIP tewas akibat dianiaya senior.Mahasiswa UII Tewas, LPSK: Kekerasan Harus Diproses Hukum
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2008-2013 Abdul Haris Semendawai. Tempo/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan kekerasan pada lembaga pendidikan harus diproses secara hukum. "Pendidikan yang diperuntukkan bagi para siswa itu hendaknya memiliki dan mengandung rasa kemanusiaan," kata Semendawai melalui keterangan tertulis di Jakarta Rabu 24 Januari 2017.
Pernyataan Semendawai terkait dengan penganiayaan yang menewaskan taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta Utara dan kematian tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta saat mengikuti pendidikan dasar Mapala Unisi UII di lereng Gunung Lawu.
Semendawai berharap penegak hukum menangani dugaan kasus kekerasan terhadap pelajar pada lingkungan pendidikan yang menimbulkan korban meninggal dunia. "Kasus itu tidak hanya diselesaikan secara kekeluargaan saja melainkan dibutuhkan penegakan hukum sehingga ke depan tidak lagi terjadi," tutur Semendawai.
Semendawai juga menekankan pihak lembaga pendidikan bertanggung jawab dan meningkatkan kepedulian terhadap dugaan kekerasan yang terjadi di lingkungannya. "Berapa banyak dari pelaku kekerasan yang dimintai pertanggungjawaban apalagi sampai dihukum," kata Semendawai.
Ketua LPSK itu mengimbau pengelola lembaga pendidikan termasuk siswa harus lebih peduli dan berani melaporkan kepada penegak hukum ketika menemukan aksi kekerasan. Bahkan LPSK siap memberikan perlindungan ketika saksi maupun korban yang mengetahui kejadian menerima ancaman.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Harsoyo mengakui ada indikasi kekerasan dalam acara pelaksanaan Pendidikan Dasar The Great Camping (TGC) XXXVII Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Unisi UII. Kekerasan itu dilakukan terhadap peserta pendidikan dasar yang ikut berlatih di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Sebanyak tiga orang meninggal dalam kekerasan yang diduga dilakukan senior di Mapala. Selain Syaits Asyam, korban meninggal dalam acara pendidikan dasar tersebut adalah Ilham Nurpadmy Listia Adi dan Muhammad Fadhli. Masing-masing mahasiswa itu mengambil jurusan Teknik Industri, Fakultas Hukum dan jurusan Teknik Elektro. Harsoyo mengatakan, tim investigasi akan memastikan pelaku kekerasan itu.
Sementara itu Syafii, ayah Ilham, datang ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melaporkan dugaan kekerasan yang menimpa anaknya. “Disarankan untuk lapor ke Polres Karanganyar. Padahal berkas laporan di Polda DIY sudah selesai,” kata Syafii.
Setelah dari Polda, Syafii melanjutkan menemui jenazah anaknya di RS Bethesda. Di tempat ini paman dan bibi Ilham yang berasal dari Magelang lebih dulu tiba. Begitu pula teman-teman Ilham dari Asrama Lombok, sudah berkumpiul sejak pagi. “Ada luka memar pada pundak kanan, wajah, juga luka di dagu." Syafii menyakini ada penganiayaan yang dilakukan panitia pendidikan dasar Mapala.
https://nasional.tempo.co/read/news/...diproses-hukum