Jagat media beberapa waktu yang lalu sempat dihebohkan dengan isi ceramah di sebuah televisi swasta pada 15 Juli 2017 yang mengatakan bahwa “salah satu kenikmatan terbesar di surga adalah pesta sex”. Jujur saya ketika melihat langsung videonya yang saat itu jadi viral, langsung saya mikir ini orang ngaji dimana, dan sejauh mana kepandaiannya dalam memahami teks-teks al-Qur’an, hadits maupun kitab-kitab klasik. Tentu saja, ceramah yang begitu sangat-sangat tidak pantas, tapi itulah media, ketika sebuah acara ratingnya sudah tinggi, maka apapun akan dipertahankan, karena yang dicari adalah popularitas. Padahal TV itu jadi media untuk pembelajaran bagi anak-anak kita juga lho.
Hmm….saya masih ingat, ceramahnya yang kontroversial itu begini isinya: “Salah satu nikmat yang ada dalam surga adalah pesta seks. Minta maaf, karena inilah yang kita tahan-tahan di dunia, inilah yang kita tahan-tahan di dunia. Kenikmatan terbesar yang diberikan Allah swt adalah pesta seks. Karena inilah yang sudah ditahan di dunia oleh para lelaki. Laki-laki disuruh menahannya, lagi musim panas. Perempuan lebih kuat sebenarnya, saya tidak setuju kalau perempuan dikatakan lemah. Laki-laki kalau naik pesawat pasti pakai jaket. Perempuan pakai tanktop, Masya Allah kuatnya.”
Nah, kira-kira, apakah isi ceramah yang itu layak untuk ditayangkan di TV? tentu jawabannya tidak sama sekali. Jangankan di stasiun TV, di pengajian kampung saja tidak pantas. Ngga usah di pengajian kampung lah, di pengajian arisan ibu-ibu RT juga tetap tidak pantas. Kenapa? Karena itu ngga jelas. yang ada masyarakat tidak tercerahkan, tapi malah jadi disempitkan pemahamannya tentang surga itu ***. Ustadz kok “cabul”. Ya, kalau pun itu pemahaman pribadi, yang ngga jelas juga dapatnya dari referensi ulama siapa gitu, ya silahkan saja buat sendiri, tapi ngga perlu disampaikan di publik. Anda itu ustadz, bukan agen obat kuat. Huuufft.
Padahal, dulu saya diajar di pesantren bahwa nikmat terbesar adalah فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَب إِلَيْهِمْ مِنْ النظَرِ إِلَى رَبهِمْ عَز “Tidak ada satupun kenikmatan yang lebih kami cintai dari memandang wajah Allah Ta’ala.” (HR. Muslim no. 181). Jelas kan, bukan pesta ***, tapi memadang wajah Allah, yang jelas itu kenikmatan yang melebihi kenikmatan apapun di dunia. Jadi, apakah ceramah itu menista? Menurut saya iyalah, malah ngaco juga dan menjadikan perspektif orang di luar Islam juga ngga baik. “Owalah, surga itu pesta *** to.”
Tapi, tenang saja, Ustadz Syam atau yang bernama lengkap Syamsuddin Nur Makka telah minta maaf ke MUI. Ia meminta maaf karena telah salah ucap dan salah pemahaman. Bagaimana reaksi para pembela al-Qur’an? Mereka saya yakin memaafkan, karena sejauh ini tidak ada berita-berita tentang gerakan para pembela al-Qur’an yang melaporkan karena dugaan penistaan agama. Atau aksi-aksi serupa yang lebih dahsyat karena dianggap merusak citra Islam dan sebagainya. Alhamdulillah semua anteng meneng.
Lalu, apa bedanya dengan Ahok? Ahok sama juga kepleset, dan itu malah tidak dilakukan di televisi, hanya disebuah daerah pinggiran Jakarta, tepatnya di Kepulauan Seribu. Tapi, kemudian pidatonya diupload di media sosial. Namun, karena nilai politiknya tinggi, maka terjadilah berbagai aksi atas nama umat Islam yang membela al-Qur’an dengan tuduhan penistaan agama, karena yang ngomong bukan orang Islam. Inilah yang saya katakan bahwa isu penistaan itu adalah isu politis bukan teologis. Itu kepentingan politik bukan kepentingan agama. Ahok lho sama-sama sudah meminta maaf, tapi nyatanya, meski sudah meminta maaf, kelompok-kelompok yang mengatasnamakan umat Islam itu masih tetap marah, hingga melakukan aksi berjilid-jilid, bahkan sampai mengancam untuk membunuh hingga revolusi kepada pemerintahan yang sah. Terus ini apa kalau bukan politik?
Mari cermati, jika mereka konsisten membela al-Qur’an dan selalu mengatasnamakan umat Islam, mengapa mereka menjadi pemaaf ketika tidak ada urusannya dengan politik, dan sebaliknya menjadi pemarah jika itu urusannya dengan politik. Sekali lagi saya katakan, karena urusan mereka bukan urusan agama, tapi politik. Lihat saja kasus Hari Tanoesoedibyo yang dijadikan tersangka, bahkan dibela oleh Presidium Alumni 212 agar bos MNC itu tidak dikriminalisasi. Alasannya, adalah toleransi. Ini juga akhirnya jadi menyudutkan makna toleransi, karena toleransi akhirnya berlaku hanya kepada orang-orang tertentu, terutama mereka yang berjasa pada aksi-aksinya. Sementara orang lain yang merugikan kelompoknya, toleransi itu tidak berlaku.
Tapi, apapun kenyataan hari ini, semakin menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok yang konsisten dalam inkonsistensi. Bahasa kerennya, istiqomah dalam ketidak istiqomahan. Ada saja dalil untuk membenarkan apa yang dilakukan oleh kelompoknya mesti itu salah, dan ada saja alasan untuk menyalahkan kelompok lain meski itu benar. Bingung? Jangan bingung, karena ada yang lebih membingunkan lagi, yaitu ngapalin lirik lagu Despacito yang dipopulerkan oleh Luis Fonsi dan Daddy Yankee. Despacito…….