Page 1 of 2 12 LastLast
Results 1 to 20 of 28

Thread: Petani miskin

  1. #1
    Chief Cook ndableg's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    5,910

    Petani miskin

    Sang kancil curi laser discnya
    Pak tani lupa pasang alarm
    Untung TV warnanya nggak ilang
    Untung Mobil BMW nya juga nggak dibawa

    Kapan-kapan ? semua itu akan terjadi
    Entah kapan ? para petani hidup bagai orang di kota

    coda:
    Nggak mungkin, nggak mungkin
    Semua itu akan terjadi
    103 tahun mungkin
    Nggak mungkin, nggak mungkin
    Semua itu terjadi
    100 tahun lagi mungkin

    Petani bajak sawah pake traktor
    Kerja rutin kontrol sawah
    Numpak harley ngitung laba panen pake komputer
    Ngirim order beras pake helikopter
    Lirik lagu mas2 Slank ini selalu mengganggu pikiran saya. Kenapa petani di Indonesia begitu miskin?
    Kalo nonton acaranya kick andy ttg orang miskin di desa yg ga mampu melanjutkan sekolah biasanya karena ortu nya yang petani tidak mampu melanjutkan sekolah.

    Waktu slank ke Belanda, saya cuman bilang, ga usah dinyanyikan lagu pak tani nya mas, karena lagu tsb ga laku di Belanda. Petani2 di sini ud persis spt di lagu tsb.
    Ya. Walaupun ada mentalitas yg disebut dgn mentalitas petani (Boeren) atau kampungan di Belanda, kesejahteraan petani sangat terjamin. Jangankan traktor, mobil mewah, rumah besar, bahkan online shop petani pun punya.

    Lalu kenapa petani di Indonesia bisa hidup dibawah garis kemiskinan? Di mana ini pembela kaum petani? Kalo buruh bolak balik demo sampe gaji jutaan, siapa yg memperjuangkan nasib petani Indonesia di mana Indonesia adalah negara agraris? Sedangkan partai komunis yg basisnya adalah petani dan buruh dilarang. Benarkah 100 taun lagi? jangan2 malah 1000 taun..

  2. #2
    Barista AsLan's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    9,288
    kemarin kwik kian gie ngomong di radio...

    "bulog itu harus rugi, bulog harus beli mahal dari petani dan jual murah ke masyarakat"

    tanpa bulog, kalo petani jual mahal masyarakatnya jadi susah karena bahan pangan naik, kalau harga pangan ditekan, masyarakat senang, tapi petaninya miskin.

    kedua, teknologi pangan sangat berperan.
    di amerika, lahan sebesar2nya bisa dikerjakan oleh sedikit orang.
    membajak, menanam benih, memanen dll menggunakan mesin2 otomatis.

    kalau satu petani bisa mengerjakan puluhan hektar perkebunan seorang diri mana mungkin miskin?

  3. #3
    ★★★★★ itsreza's Avatar
    Join Date
    Apr 2011
    Posts
    10,216
    thread yang cocok buat [MENTION=7]cha_n[/MENTION] & [MENTION=196]noodles maniac[/MENTION]


    *gelar tiker*

  4. #4
    Barista BundaNa's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Na...Na...Na
    Posts
    12,679
    di desa gwe sini emang bisa dibilang pertanian kelas menengah ke bawah (cuma punya 1-2 petak sawah) itu kategori miskin, ga dapet untung. Bulog dan Dolog dikuasai tauke, mana mau rugi?

    Itung2annya gini, mau tanam aja butuh minimal 6 orang buruh tani dalam satu petak, buat icir benih. Terus nanti tanam. Selama bikin benih sampe tanam, buruh dapet makan dari pemilik sawah 3x sehari (meski kerjanya jam 6 mpe jam 11), masih gaji harian juga.

    Nanti panen malah butuh waktu berhari2 buat jadiin padi ke gabah, butuh mpe 10 orang (sama yang nguruh jerami), makan 3x sehari dan upah harian. Kadang pake selametan. Belum tau hasil panenya, duitnya udah kesedot banyak.

    Kalau panen sukses satu desa, ya harga gabah jatuh di tingkat dolog/bulog atau tempat selep beras. Bisa sekilo 5rb yang C64 ato IR. Gwe selalu beras di selepan paling mahal 7000.

    Pas masa tanam, tiba2 pupuk langka dan mahal juga obat2an dan benihnya...

    Kalau masa panen, panen sukses ya harganya jatuh...gimana petani mau dapet untung

    Dan petani bukan buruh yang mau itung2an rumit dan kebanyakan demo

  5. #5
    Chief Barista cha_n's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    11,544
    hush... yang MMA kan [MENTION=152]itsreza[/MENTION]
    saya mah kuli komputer...

    monggo dilanjutkan, saya tanya narasumber dulu
    ...bersama kesusahan ada kemudahan...

    “Aku Rela di Penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” ― -Mohammad Hatta
    “Aku Rela di Penjara asalkan bersama akses internet, karena dengan internet aku bebas.” ― -cha_n

    My Little Journey to India

  6. #6
    pelanggan setia TheCursed's Avatar
    Join Date
    Apr 2011
    Posts
    3,231
    Quote Originally Posted by ndableg View Post
    ... Sedangkan partai komunis yg basisnya adalah petani dan buruh dilarang. ...
    Nggak solusi. US yang negara kapitalis, petaninya makmur. Jerman yang negara sosialis(yes, ini negara sosialis), juga petaninya makmur.
    So, sistem politik sebagai faktor penentu kemakmuran petani jadi sangat di pertanyakan.

    Yang jadi pertanyaan, apa miripnya antara treatment profesi petani di US dan Jerman yang bikin keduanya memiliki tingkat kemakmuran yang mirip ?
    Terus apa bedanya dengan treatment profesi petani di Indonesia, yang Demokrasi Pancasila ini, yang tingkat kesejahteraan petaninya makan hati dan jantung ?
    A proud SpaceBattler now.

  7. #7
    pelanggan setia Ronggolawe's Avatar
    Join Date
    Apr 2011
    Posts
    5,137
    Pertama, Petaninya harus pintar (dipintarkan), jadi
    ngga lagi ngejual produk pada tauke atau tengkulak.
    Kedua infrastruktur transportasi dan komunikasi yang
    memadai.

    di kampung gw, sudah 5 tahun ini jalan kampung sam
    pai ke ujung sawah dibeton, jadinya sekarang petani
    menjual langsung ke konsumen (pengusaha rumah ma
    kan dan katering se kabupaten Agam), jadinya petani
    menjual di atas harga jual ke tengkulak, dan konsumen
    membeli di bawah harga pasar.

    tidak ada lagi kapitalis yang mengambil keuntungan di
    jalur distribusi

  8. #8
    Barista AsLan's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    9,288
    china pernah pake sistim komunal, orang gak boleh masak atau makan dirumah, semua makan gratis didapur umum.

    kerja disawah gak digaji, hasil panen setor semua ke negara.

    hasilnya?

    petani makan sebanyak2nya, tidur disawah, seluruh negara jatuh pada masa kelaparan, puluhan juta orang mati kelaparan.

    ---------- Post Merged at 06:18 PM ----------

    Quote Originally Posted by Ronggolawe View Post
    Pertama, Petaninya harus pintar (dipintarkan), jadi
    ngga lagi ngejual produk pada tauke atau tengkulak.
    Kedua infrastruktur transportasi dan komunikasi yang
    memadai.

    di kampung gw, sudah 5 tahun ini jalan kampung sam
    pai ke ujung sawah dibeton, jadinya sekarang petani
    menjual langsung ke konsumen (pengusaha rumah ma
    kan dan katering se kabupaten Agam), jadinya petani
    menjual di atas harga jual ke tengkulak, dan konsumen
    membeli di bawah harga pasar.

    tidak ada lagi kapitalis yang mengambil keuntungan di
    jalur distribusi
    bukannya gak ada kapitalis, si petani diajar jadi kapitalis.

    spekulan diblokir.

  9. #9
    pelanggan setia TheCursed's Avatar
    Join Date
    Apr 2011
    Posts
    3,231
    Quote Originally Posted by Ronggolawe View Post
    Pertama, Petaninya harus pintar (dipintarkan), jadi
    ngga lagi ngejual produk pada tauke atau tengkulak.
    Kedua infrastruktur transportasi dan komunikasi yang
    memadai.

    di kampung gw, sudah 5 tahun ini jalan kampung sam
    pai ke ujung sawah dibeton, jadinya sekarang petani
    menjual langsung ke konsumen (pengusaha rumah ma
    kan dan katering se kabupaten Agam), jadinya petani
    menjual di atas harga jual ke tengkulak, dan konsumen
    membeli di bawah harga pasar.

    tidak ada lagi kapitalis yang mengambil keuntungan di
    jalur distribusi
    Ini solusi banget juga.
    Tiap pagi Jum'at/kamis/Sabtu di depan kirche, mall, dan uni sini ada pasar pagi yang jual produk pertanian dari petani dan peternak langsung ke konsumen.
    Supermarkt sekitar sini juga beli langsung obs, gemuse, eier & fleisch(buah, sayur, telur, & daging) dari petani & peternak. Dan produk yang langsung dari petani & peternak biasanya di kasi label frisch(fresh) dan di iklankan punya nilai lebih dari produk pabrikan.
    A proud SpaceBattler now.

  10. #10
    pelanggan tetap purba's Avatar
    Join Date
    Mar 2011
    Posts
    1,672
    Quote Originally Posted by AsLan View Post

    bukannya gak ada kapitalis, si petani diajar jadi kapitalis.
    Di Amerika, petaninya gak diajarin kapitalis, tapi dibeking pemerintah.

    http://en.wikipedia.org/wiki/Agricul..._United_States :

    ... Government aid includes research into crop types and regional suitability as well as many kinds of subsidies, some price supports and loan programs. ...

  11. #11
    Chief Cook ndableg's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    5,910
    Quote Originally Posted by BundaNa View Post
    di desa gwe sini emang bisa dibilang pertanian kelas menengah ke bawah (cuma punya 1-2 petak sawah) itu kategori miskin, ga dapet untung. Bulog dan Dolog dikuasai tauke, mana mau rugi?

    Itung2annya gini, mau tanam aja butuh minimal 6 orang buruh tani dalam satu petak, buat icir benih. Terus nanti tanam. Selama bikin benih sampe tanam, buruh dapet makan dari pemilik sawah 3x sehari (meski kerjanya jam 6 mpe jam 11), masih gaji harian juga.

    Nanti panen malah butuh waktu berhari2 buat jadiin padi ke gabah, butuh mpe 10 orang (sama yang nguruh jerami), makan 3x sehari dan upah harian. Kadang pake selametan. Belum tau hasil panenya, duitnya udah kesedot banyak.

    Kalau panen sukses satu desa, ya harga gabah jatuh di tingkat dolog/bulog atau tempat selep beras. Bisa sekilo 5rb yang C64 ato IR. Gwe selalu beras di selepan paling mahal 7000.

    Pas masa tanam, tiba2 pupuk langka dan mahal juga obat2an dan benihnya...

    Kalau masa panen, panen sukses ya harganya jatuh...gimana petani mau dapet untung
    Kalo melihat ini memang harapan satu2nya petani adalah perlindungan pemerintah.

  12. #12
    pelanggan setia eve's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    4,118
    Gak mungkin bleg, kea mengharapkan salju di bulan april di indonesia bag barat...

    Karena backingnya pemerintah di orang2 yang mengambil untung di jalur distribusi..
    (Contoh kecil cabe, di konsumen 100k, di petani cuma 25k, 75k diraup oleh 25jalur distribusi)

    Bulog yang seharusnya jadi pengaman, malah ikut ambil untung dari masyarakat..
    (Menjual beras premium/g ada gizinya ke rakyat miskin yang disebut RASKIN.) Tau tujuan utamanya ada raskin apa? Biar orang2 miskin gak perlu mikir lg beli beras, sudah ada yang nyiapin beras...
    Tapi realnya? Beras 15kg/24.000 di warga (dari bulog 6600/kg-99.000) tapi dijual ke tengkulak 80.000/15kg(ada yang 50.000/15kg) . Tengkulak/penadah sudah untung 19.000rebu.(Dengan harga 80.000)

    Tengkulak jual ke bulog (misal 6.000/kg) 90rebu, (untung 10,000/15kg)

    Bulog beli 6000/kg, dijual ke pemerintah/raskin 6.600kg.

    Bisa bayangin gak kalau misal 200orang saja...
    Tengkulak udah untung 2jt, bulog untung 1,8jt

    Padahal... Per desa bisa 200-300kk/org/RTS...

    Dan satu kabupaten bisa beratus2 desa....

  13. #13
    Barista BundaNa's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Na...Na...Na
    Posts
    12,679
    nah tuh orang BPKP udah ngasih perhitungannya...intinya, berani kagak orang2 doyan duit itu mau membagi keuntungannya ke petani? kagak ada yang mau.

    Gwe kadang lebih suka beli ke selepan, karena motong banyak jalur distribusi. Cuma dari petani ke pemilik selepan trus gwe...gwe juga dapetnya ga semahal beli di toko, petani juga ngejualnya lumayan tinggi dibanding kalau dia setor ke tauke

  14. #14
    pelanggan setia eve's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    4,118
    Iye bun.. Sepokat... Itu bisa kalau kita hidup di kabupaten...

    Kalau di kota sekaliber jakarta? Surabaya? Saya yakin belum tentu ketemu itu namanya selepan...

    ---------- Post Merged at 06:32 AM ----------

    Btw, saya gak tahu... Tapi saya baca di profil partai RI-1 yang banyak jual gambar pak soeharto, katanya kangen sama program2nya pak harto soal pertanian... Dimana katanya jamannya pak harto petani itu diperhatikan betul2...

    Saya gak punya ilmunya.. Bener gak sih?

    ---------- Post Merged at 06:38 AM ----------

    Btw, bapak saya petani... Kalau diitung2, keuntungan jadi petani itu cuma satu, bisa punya stok makanan selama beberapa bulan atau sukur2 setahun..
    Awal2 kudu nyewa traktor, bayar buruh tani, bayar air, terus begitu siap tanam, bayar buruh tani, bayar air, beli bibit, terus udah besar dikit, beli pupuk, terus panen kudu bayar buruh, nyewa mesin, ini masih jadi gabah kalau tanaman padi..

    Tiap kerjaan gitu duitnya gak sedikit...
    Kata bapak sih, sebenernya gak untung... Tapi ya cuma buat konsumsi sendiri.. Cmiiw
    Soalnya kan begitu musim tanam, harga pupuk melambung (mekanisme pasar), begitu panen, (karena banyak yang panen), harga gabah (atau tanaman lain) cenderung rendah...

  15. #15
    Btw, saya gak tahu... Tapi saya baca di profil partai RI-1 yang banyak jual gambar pak soeharto, katanya kangen sama program2nya pak harto soal pertanian... Dimana katanya jamannya pak harto petani itu diperhatikan betul2...

    Saya gak punya ilmunya.. Bener gak sih?
    Infrastruktur petanian memang diperhatikan. Tapi petaninya sendiri, sih tidak. Contohnya kasus penyangga cengkeh. Habis tuh petani cengkeh dikerjain.

  16. #16
    Barista BundaNa's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Na...Na...Na
    Posts
    12,679
    jaman segitu, cengkeh dimakan sama si tommy

  17. #17
    Barista AsLan's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    9,288
    petani harus pintar berdagang, pintar mengatur modal dan pintar mencari jalan keluar dari masalah.

    mungkin banyak tengkulak yg aslinya petani, tapi setelah menemukan celah, mereka lebih suka memutar dana daripada bertani.

    seperti kata ronggo, permudah pertemuan antar petani dan konsumen secara langsung.

    konsumen besar seperti starbuck, kfc, mcd itu biasanya punya link langsung ke petani dan peternak.

    kalo petani sudah pada melek internet lebih bagus lagi, bisa dagang online.

  18. #18
    pelanggan setia Ronggolawe's Avatar
    Join Date
    Apr 2011
    Posts
    5,137
    menurut gw sih yang disebut petani miskin di Indo
    nesia itu cuma satu, yaitu Buruh Tani yang ngga pu
    nya lahan sendiri, atau kalaupun punya, luasnya ti
    dak signifikan.

    Program Transmigrasi pun, sering mendapat hambat
    an dari penduduk asli maupun provokasi dari pengua
    sa-penguasa HPH/Perkebunan besar

    ---------- Post Merged at 06:48 PM ----------

    http://kisahsukses818.blogspot.com/2013/07/suprapno-dan-kisah-sukses-petani-kakao.html

    Suprapno dan Kisah Sukses Petani Kakao

    SUPRAPNO menyapa ramah. Raut mukanya semakin terlihat berkerut, saat membalas senyum saya. Keriputan kulit cokelatnya pun sudah tak bisa ia sembunyikan. Suprapno, kini memang tak lagi muda. Malah, bisa disebut telah menapaki usia senja. Persis 78 tahun pada 10 Mei lalu. Suatu masa yang lazim dimanfaatkan oleh orang-orang untuk bisa menikmati sisa hari tua.

    Namun, kebiasaan umum itu, sepertinya tak berlaku bagi Suprapno. Tanpa berhenti berucap, kakinya terus saja melangkah saat mengajak saya menyelusuri perkebunan kakao di sepanjang jalan Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Lampung Selatan. ”Nah, coba lihat yang itu! Berapa rata-rata buah kakao dalam satu pohon? Kalau saya hitung, di sini bisa mencapai 300—400 buah per pohon,” katanya kepada saya sembari menunjukkan satu batang pohon terdekat di pinggir jalan.

    Dengan seksama, saya pun mengamati pohon kakao berbuah merah hati yang dimaksud Suprapno itu. Sambil berusaha menghitung satu per satu, saya lalu bertanya, ”Kok bisa begini banyak pak? Diapakan?”
    Suprapno lantas mengajak saya semakin mendekati pohon kakao tersebut. Tak berselang lama, ia memulai menjelaskan secara rinci, apa rahasia yang dilakukan para petani kakao di Sungai Langka dalam membudidayakan tanaman itu.

    ”Kamu lihat kan? Banyak semut hitam di pohon?” ”Iya pak. Tapi apa gak mengganggu waktu panen dan membuat penyebaran penyakit baru?” ”Justru tidak! Ini rahasianya itu.”

    ”Maksudnya?” ”Semut hitam ini justru menangkal serangan hama dan penyakit. Dan, yang penting tak menggugurkan bunga. Berbeda kalau pakai pestisida. Waktu nyemprot malah banyak bunga gugur.”

    Saya pun manggut-manggut mendengar perkataan Suprapno. Sebab, selama ini tak sedikit para penyuluh pertanian di lapangan yang lebih menyarankan petani menggunakan bahan kimia berupa insektisida dan fungisida untuk membasmi hama dan penyakit kakao.

    Tetapi, petani di Sungai Langka malah antipati. Suprapno sendiri mengaku sangat alergi menggunakan zat kimia yang mengandung racun tersebut. ”Soalnya unsur kimia itu berdampak buruk bagi kakao. Tanamannya bisa jadi kerdil dan tak sehat,” tuturnya.

    Sebab itu, dia lebih menyarankan, para petani kakao membiarkan semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) hidup di pohon. Jenis insekta ini, ujar dia, dapat menangkal hama dan penyakit kakao, selain tidak mengganggu daun, bunga dan batang. Bahkan, dapat membantu proses penyerbukan tanaman. ”Semut hitam bukan predator.”

    Keyakinan Suprapno itu, tentunya bukan tanpa dasar. Selama ini, ia giat mempelajari ilmu baru, bereksperimen di lapangan, dan membuktikan sendiri dari hasil budidaya kakao yang diciptakannya.

    Dia juga juga tak perlu merogoh kantong terlalu banyak, untuk merawat delapan hektare kebun kakaonya. Bayangkan, dengan biaya produksi hampir 0 persen untuk perawatan, setiap tahun dia mendapatkan 20 ton biji basah per hektare atau 1,7 ton biji basah per bulan. Bila harga kakao basah minimal Rp5.000 per kilogram, maka setiap bulannya Suprapno mendapatkan penghasilan Rp8,5 juta per hektare.

    Suprapno adalah Ketua Koordinator Induk Kelompok Tani Satria Utama Desa Sungai Langka. Dia merupakan pensiunan kesatuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1974. Meski masih mendapat tawaran terus berkarir di kesatuan, tapi Suprapno memilih pensiun. Veteran yang meniti karir tentara sejak 1946 tersebut, lalu menetap di Sungai Langka bersama keluarga.

    Awalnya, Suprapno sendiri memilih berkebun kopi dan cengkeh dari peninggalan perusahaan Belanda di Sungai Langka. Agar lebih menguasai teknik bercocok tanam, pada 1988, dia lalu mengikuti Pelatihan Bidang Pertanian dan Perkebunan Tingkat Nasional di Simalungun Sumatera Utara.

    Setelah pulang dari pelatihan tersebut, dia jatuh hati untuk lebih serius membudidayakan kakao. Dia mengatakan kakao diekspor ke banyak negara, waktu panennya juga sangat singkat sehingga memberikan nilai tambah bagi petani.

    Dari bekal pengetahuan di Simalungun tersebut, kemudian dia mencoba mempraktekkan di kebun miliknya. Waktu itu, bibit yang dia budidayakan berasal dari Dinas Pertanian Provinsi Lampung yang didapat dari Sumatra Utara.

    Suprapno membeli 15 peti bibit jenis F1 (filial pertama untuk turunan satu). Lalu, bersama rekan-rekannya di Sungai Langka, bibit itu ditanam pada lahan seluas 75 hektare. Bibit-bibit tersebut kemudian tumbuh dan berkembang. Sekitar empat tahun, tanaman bibit kakao tersebut dapat panen.

    Hasilnya, sangat memuaskan, 1,5 ton biji kakao kering dapat dipanen. Budidaya kakao pun terus ditingkatkan. Hingga akhirnya, Sungai Langka menjadi penyuplai terbesar kakao di Lampung.

    Kini, produk panen kakao di sungai langka tidak pernah menurun. Pada 1997 saat krisis moneter menerpa, warga Sungai Langka justru kebanjiran uang karena saat panen kakao harganya relatif tinggi. Kala itu, menyentuh Rp18 ribu per kilogram.

    Bagi masyarakat Sungai Langka, sumbangsih Suprapno memberikan pengetahuan dalam bertanam kakao, menjadikan desa yang tadinya miskin menjadi maju. Kini, desa seluas 900 hektare tersebut, 750 hektare dikelola menjadi kebun kakao dan berhasil menghasilkan 1.500 ton biji kakao kering per tahun.

    Berkat tanaman kakao pula, masyarakatnya kini mendapatkan nilai tambah penghasilan sekitar Rp3 juta hingga Rp10 juta per bulan. ”Siapa lagi, kalau bukan karena Suprapno,” kata Mulyono, seorang petani kakao di kawasan tersebut.

    Dia menambahkan, petani kakao di Sungai Langka menerapkan metode yang telah diajarkan Suprapno.
    Transmigran asal Blitar Jawa Timur tersebut merasa bersyukur, karena pengetahuan budidaya kakao yang dimilikinya ekonomi masyarakat desa Sungai Langka dapat berubah. Kawasan yang tadinya miskin kini telah siap untuk dimekarkan menjadi kabupaten baru di Lampung.

    Saat saya berkunjung ke desa tersebut, jarang ditemukan rumah warga yang berbalut geribik ataupun masih berbata merah. Umumnya, telah berbalut tembok dan bercat rapih. Bahkan ada yang mentereng laiknya rumah pejabat kota.

    Keberhasilan bapak sembilan anak tersebut tak terlepas dari motivasinya untuk menemukan metode praktis dalam budidaya kakao. Ilmunya hanya didapat dari pengalaman di lapangan. Kebun kakao seluas 8 hektare miliknya adalah laboratorium untuk bereksperimen.

    Di usianya yang lanjut, petani sukses yang lahir di Gandu Sarkak Gunung Kelud, Blitar, Jawa Timur itu masih terlihat bugar. Bicaranya masih terlihat tegas dan daya ingatnya masih cemerlang. Kesederhanaan tampak membalut pada dirinya. ”Semua masyarakat di sini maju karena kakao,” tuturnya.

  19. #19
    Barista BundaNa's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Location
    Na...Na...Na
    Posts
    12,679
    di jawa sih, sawahnya pada ga luas...di desa gwe malah tadah hujan

  20. #20
    Barista AsLan's Avatar
    Join Date
    Feb 2011
    Posts
    9,288
    yg sukses ada.

    tapi yg kesulitan juga banyak.

    jusuf kalla pernah bilang bahwa pulau jawa butuh 100 trilyun untuk membangun irigasi yg baik, tapi dananya gak ada.

    banyak petani mengandalkan cuaca, kadang bagus kadang paceklik.
    belum lagi serangan hama, tak semua hama bisa teratasi oleh semut hitam.

    wilayah2 tertinggal seperti papua lebih mengenaskan lagi, banyak warga mati kelaparan, banyak yg ingin bisa bertani seperti orang jawa tapi tak ada yg mengajari, lahan pun masih belum dibuka...

Page 1 of 2 12 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •