Urusan sekitar Privatisasi vs Nasionalisasi biasanya jadi kontroversial karena intervensi politik ketimbang manfaat riil. Privatisasi terbesar di dunia misalnya, yaitu water system di Argentina yang mencakup 60% populasi, mulai dan berhenti karena pergantian pimpinan politik bukannya lewat evaluasi komprehensif.

Ada bukti empiris parsial yang mengkaitkan 6 tahun privatisasi water system tersebut dengan penurunan angka kematian anak 8% secara nasional dan 20% pada slum area. Bicara soal kesejahteraan sosial, bukannya mortality rate itu indikator penting. At least, bukti parsial menunjukkan privatisasi punya sisi positif yang dapat dieksplorasi lebih jauh. Misalnya, perlu ada lebih banyak lagi penelitian untuk membuktikan atau membalik klaim nasionalisasi bahwa privatisasi hanya melayani kaum urban dan tidak bersedia ekspansi ke wilayah kumuh dari segi ekonomi, sosial dll. Karena yang jelas-jelas nyata adalah water system sebelum diprivatisasi kondisinya mengenaskan. Tidak ada investasi dan maintenance di bidang insfrastuktur, tidak efisien, tingkat pembayaran rendah bahkan merugi.

Barusan baca wall dari seseorang yang mengharapkan nasionalisasi di berbagai bidang. Can't really make my point there, karena selama ini juga perusahaan negara mana yang kompetitif dan efisien, at least sebelum bosnya Dahlan Iskan. Terlalu banyak kepentingan politik dan celah di sana sini. Jika Freeport dinasionalisasi misalnya, apakah rakyat Papua akan lebih sejahtera? Hipotesa yang sepertinya belum bisa dijawab dalam waktu dekat.

I am not siding between them, though. Nasionalisasi maupun privatisasi punya jalan sendiri-sendiri untuk sukses selama pengambilan keputusannya rasional, regulasi jelas, menjaga akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaan serta evaluasi jalan terus. Lalu lihat ukuran akhirnya, yaitu meningkat tidaknya kesejahteraan rakyat secara nyata dan merata, dan bukan sebagian kecil saja. Sayangnya, isu nasionalisasi lebih dikedepankan dalam kerangka sentimental politik bukan kesejahteraan rakyat.