Page 2 of 2 FirstFirst 12
Results 21 to 25 of 25

Thread: My imagery corner

  1. #21
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Serakan Fragmen

    Edisi: Gunung


    Prasanti melangkah dengan anggun dan tenang. Berbeda dengan hatinya yang berdebar semakin kencang, sekencang kemben yang kini telah terbiasa dikenakannya. Dia sengaja berangkat ke pendapa utama lewat jalan ini. Saat itu dia pernah tersesat sekali karena salah belok. Tak jauh dari sini ada pertigaan, dan salah satunya adalah jalan kecil yang kelihatannya menyusuri tepi desa. Saat itu dia buru-buru karena nyaris terlambat. Saat ini berbeda. Setelah serangkaian latihan menari yang melelahkan, Prasanti berhasil bangun lebih awal.

    Pertigaan itu kini tak jauh di depan matanya. Prasanti tanpa sadar semakin bersemangat melangkah.

    Brak!!!

    Tubuhnya terguling ke samping setelah menabrak sesuatu yang entah datang dari mana. Saat berusaha bangkit, Prasanti menemukan di sisi jalan satunya seorang perempuan juga tengah bangkit sambil setengah mengaduh. Celana jins ketat membungkus kaki jenjangnya dengan kaos putih dan jaket berbahan flanel. Kacamata hitam dan tas merahnya terlempar ke tanah tak jauh dari situ. Leher Prasanti menegang. Dia dilarang bertemu dan berbicara dengan orang asing. Maka segera dibatalkannya rencana awal dan dengan cepat berdiri hendak berlari ke pendapa.

    "Tunggu!". Perempuan itu berteriak. Prasanti refleks menoleh.

    "Kau tidak kedinginan?" tanya perempuan itu dengan wajah setengah bingung. Ini nyaris dua ribu meter di atas permukaan laut.

    Mulut Prasanti terkunci rapat. Dia sangat ingin berbicara sebenarnya, meminta tolong perempuan ini untuk menghubungi suaminya. Namun ingatan akan kemarahan ndoro putri beberapa hari yang lalu membuat niat itu urung dilakukan. Tak boleh ada yang tahu bahwa dia belum menyerah.

    "Ehem"!

    Suara itu membuat kedua perempuan yang tengah saling bertatapan itu menoleh. Pupil mata Prasanti melebar. Itu ndoro putri.

    "Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tatapnya tajam mengarah ke Prasanti.

    "Saya hendak ke pendapa, ndoro. Terlalu buru-buru hingga tersesat."

    Ndoro putri menoleh ke wanita satunya. "Saya rasa sudah ada peringatan di pintu masuk desa bahwa area ini terlarang untuk dimasuki turis".

    Saraswati merasakan tengkuknya meremang saat ditatap oleh perempuan setengah baya ini.

    "Saya tak sengaja. Maaf." Dia langsung mengambil tas dan kacamatanya, berlalu dari situ secepatnya. Prasanti juga hendak berbalik ke arah datang saat suara ndoro putri terdengar kembali.

    "Ada yang ingin kutanyakan padamu."

    "Ya, ndoro?"

    "Aku melihat kain cemarmu di jemuran. Apa kau sedang datang bulan? Akan kukirim lebih banyak lagi ke tempatmu nanti."

    "Iya. Terima kasih ndoro". Prasanti membungkuk dan segera pergi. Terasa olehnya tatapan dingin menembus hingga ke punggungnya. Apakah ndoro putri mencurigai sesuatu?

    Setelah Prasanti menghilang dari pandangan, ndoro putri menepuk tangannya dua kali. Seorang perempuan muda muncul dari balik rerimbunan pohon di belakangnya.

    "Sudah kau tes kain cemar itu?"

    "Sudah, ndoro. Bersih."

    "Hmm...sudah kuduga. Siapkan ramuan untuknya. Perempuan ini tak boleh dianggap remeh ternyata."
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  2. #22
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Serakan Fragmen

    Edisi: Warteg

    Bagas menatap bayangan wajahnya di kaleng kerupuk model lama berbahan seng, dengan cat hijau di sekeliling plastik transparan yang dulu pasti bening. Hidungnya masih terlihat jelas, namun di bawahnya telah bertumpuk kerupuk-kerupuk berwarna putih, melingkar dan agak tanpa aturan di satu sisi.

    Matanya sendiri terlihat cekung dan gelap. Cambangnya menebal di sepanjang pipi hingga ke rahang. Rambutnya berantakan dan ujungnya mencuat di luar kerah baju kaos. Dia perlu karet gelang. Rambutnya sudah mulai terasa mengganggu kulit leher.

    Di sebelahnya, Siwi makan dengan sangat relijius. Satu persatu tusuk sate yang telah bersih diletakkan dengan rapi di samping piring. Membentuk diorama pagar bambu tinggi, atau koleksi tombak milik seseorang. Pemilik warteg tak keberatan Siwi memesan sate dari depot sebelah dan duduk di situ. Toh es teh manis masih dipesan di sini.

    Tadinya Bagas sudah tak berhasil membujuk Siwi untuk tinggal di hotel yang telah dipesannya. Begitu turun dari bis, Siwi langsung melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.

    "Hei...tunggu. Kau mau ke mana?"

    Siwi berbalik dengan tatapan heran, seakan baru menyadari mereka pergi bersama.

    "Ah...ya aku lupa mengatakan bahwa aku akan menginap di pasar."

    Kening Bagas mengernyit. "Aku sudah memesan hotel. Letaknya strategis di Simpang Lima. Lebih enak di sana."

    Siwi menggeleng sekali dan meneruskan langkahnya. Bagas segera mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya dan menjejalkannya ke tangan Siwi. Lain kali dia akan membeli sebuah ponsel murah dengan nomor yang sudah teregistrasi.

    "Ini kartu namaku. Aku tidak tahu apa kau bisa memakai telepon atau email. Tapi kau bisa tanya orang jika tidak bisa."

    Siwi mengangkat alisnya. Sepertinya mau mengatakan sesuatu namun akhirnya berbalik begitu saja. Bagas pun berbalik ke arah lain, hendak memesan taksi ketika dia tiba-tiba tahu apa yang tadinya akan Siwi katakan.

    Sial, pikirnya dalam hati. Siwi pasti tertawa - sebentar, apa dia pernah tertawa. Kartu nama itu tak ada gunanya. Dia tak butuh telepon atau email untuk menemukanku. Mestinya yang kulakukan tadi adalah membuat janji kapan akan bertemu lagi. Kelihatannya sudah terlambat.

    Di sisi jalan yang berdebu, berderet-deret taksi, resmi dan gelap, menanti penumpang. Sebuah hatchback keluaran lama berwarna kusam tanpa permisi mendatanginya. Kepala sang sopir terlihat secara dramatis dari balik kaca jendela yang diturunkan cepat-cepat.

    "Ke mana, mas?"

    "Simpang Lima." Tawar menawar terjadi sejenak. Bagas kemudian membuka pintu belakang, dan hampir masuk ketika sudut matanya menatap bayangan Siwi berada di belakangnya.

    "Pasarmu ke arah Simpang Lima juga?"

    "Pasarnya terbakar."

    "Oh iya, saya barusan dikasi tau lima menit yang lalu sama sodara yang tinggal di sana, Pasar Gang Baru katanya tau-tau terbakar hebat. Eh, si mbak taunya dari mana?" cerocos si supir taksi, persis sepertinya mobilnya yang suka beraksi tanpa permisi.

    Bagas membiarkan pintu belakang terbuka dan dia melangkah ke pintu depan. Siwi menghempaskan pantatnya di kursi dan pikirannya langsung melayang ke bau gosong yang amat menyengat.

    Mereka menemukan orangmu, Pani. Dan membumihanguskan tempatnya. Kota ini pun tak aman rupanya.

    Apa kau bisa menemukan tempat lain, sementara aku mengatur markas barumu?


    Siwi melirik sedikit ke arah depan.

    Itu tak masalah sama sekali. Dengannya aku mungkin lebih aman. Mereka tidak mendeteksi hubungan kita dengan orang luar sejauh ini.

    Dengan Siwi berada di dekatnya, Bagas merasa lebih mudah untuk mengatur strategi pencarian selanjutnya. Namun terlebih dahulu dia harus mengatur beberapa hal. Mengabarkan rekan kerjanya tentang cuti yang diperpanjang entah hingga kapan, mencairkan beberapa instrumen investasi dan deposito, serta hal-hal lain. Dan ah...mengabarkan tentang sedikit petunjuk yang telah kabur lagi kepada keluarga besarnya dan Prasanti.

    Sementara itu, tanpa mereka sadari sepasang mata bernaungkan bulu mata lentik memandang mereka berdua dengan penuh minat dari posisi yang tidak terlalu jauh. Pikir si mata lentik, masa iya orang ini makan di warteg. Meskipun di samping hotel keren sih. Mungkin cuma mirip saja ya.

    Si mata lentik meneruskan makannya sambil waspada mengintai. Sungguh aneh, baru minggu lalu ia merasa mengenali seseorang di sebuah desa wisata di puncak gunung, kini ada lagi wajah familiar di masa remajanya sedang makan di warteg dengan ...

    Hmmm...siapa itu? Dia pasti wanita. Tapi kehadirannya nyaris tak terasa sama sekali. Seakan melebur dengan suasana sekitar. Mata lentiknya melebar, lalu memicing, berusaha untuk merekam lebih jauh sosok perempuan misterius ini. Berpakaian gelap nan ringkas, rambut sebahunya yang ikal diikat sederhana. Yang paling aneh, mereka berdua duduk bersisian namun tak berkomunikasi sama sekali.

    Baiklah, lupakan dulu perempuan ini. Mari konsentrasi ke nama sang pria. Dia ini terkenal, dulu. Sering masuk majalah-majalah. Namun sudah lama tak ada kabarnya. Sang editor mungkin akan tersenyum dengan update tak disangka-sangka tentang orang ini. Sayang, aku masih belum ingat namanya.

    Matanya mengekori saat kedua buruan beritanya melangkah dari meja mereka. Sang pria mengeluarkan dompet dan membayar makanan ke pemilik warung. Jadi, apa hubungan keduanya? Romantis kah? Sepertinya tidak. Berbicara soal romantis...hei...bukankah wanita yang kutabrak minggu lalu itu ada hubungan dengan orang ini?

    Dengan frustasi, Saraswati melesat menuju ke pintu keluar warung. Kini dia sudah ingat siapa nama mereka berdua. Pasangan artis remaja terkenal yang sudah lama berhenti dari dunia hiburan.

    "Argh....!" pahanya menabrak ujung meja. Sakit sekali. Pasti akan membiru hingga minggu depan.
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  3. #23
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Serakan Fragmen

    Edisi: Jurang


    Kain tetoron berkibar-kibar di sisi kakinya. Model ini belumlah terlalu ketinggalan zaman. Sempit di atas, lebar di bawah. Celana ala Koes Ploes ini didapatkannya di pasar loak tak jauh dari rumah kos dengan harga yang sesuai kantong. Siwi bilang, celana ini pas dengan postur tubuhnya yang kering.

    Pani menghela nafas, lagi. Dari sini sudah nampak pelabuhan. Dermaga kecil dari potongan-potongan kayu kasar dan tali tambang melintang seadanya. Beberapa sampan terombang-ambing di sekitarnya dipermainkan gelombang laut. Semakin mendekat ke sana, semakin tak nyaman perasaannya.

    Dia melompat turun saat kapten kapal membenturkan perlahan geladak ke tiang dermaga dan anak buahnya baru hendak melempar sauh. Tak lama kemudian tubuhnya telah menikmati aksi berkelok-kelok truk sembako di atas jalanan tanah yang tak rata. Untung ini musim kering. Jika musim hujan, kemungkinan dia harus ikut bantu mendorong jika truk terjebak lumpur.

    Dari sudut terjauh kota kecamatan, perjalanan dilanjutkan dengan ojek hingga ke desa di tepi sungai. Lalu dengan perahu motor berkapasitas dua puluh orang, membelah sungai selama empat jam. Pani duduk membisu di bangku kayu, di antara karung-karung beras, tepung dan gula. Air sungai kecokelatan kadang memercik ke dekat lengannya yang bersandar di tepi jendela perahu.

    Dua tahun tempat ini ditinggalkannya. Nyaris tak ada perubahan sama sekali. Gemerlap kota tempatnya belajar sama sekali tak sampai ke sini. Betapa dua tempat bisa begitu berbeda. Dalam sebuah negara yang bernama sama.

    Perahu kayu ternyata tak dapat mendarat ke tempat tujuan karena air sungai di bagian dermaga sedang surut. Maka Pani membuka sepatu, memintal talinya agar menyatu dengan tas punggung dan memasukkan kaus kaki ke dalam saku baju. Berikutnya, dia menggulung celana setinggi lutut. Wanita tua di sampingnya tersenyum seraya bertanya, apa dia bisa mengangkat cucu lelakinya juga. Pani mengangguk dan memanggul bocah itu.

    Perairan setinggi paha membuat usahanya menggulung celana tetoron tidaklah begitu berguna. Bersama wanita tua yang mengawal cucunya, mereka beriringan dengan penumpang lain melangkah pelan-pelan menuju dermaga.

    Air sungai masih menetes-netes di pergelangan kakinya. Ada celana ganti, tapi Pani memutuskan untuk langsung berjalan lagi. Terik panas hari ini akan membantu celananya mengering dengan cepat. Saat ini batinnya lebih terganggu dengan hal-hal lain.

    Desa yang dilewatinya adalah desa terakhir sebelum kampung halamannya sendiri. Biasanya jam segini para penduduk sedang sibuk di ladang masing-masing, dan baru akan pulang menjelang matahari terbenam. Jalanan utama desa sungguh sunyi, jauh lebih sunyi dari yang diingatnya. Sesekali dia berpapasan dengan para peladang yang sedang memetik buah kopi di tepi kebun. Namun mereka hanya diam, seakan semakin menunduk di bawah topi caping lebar yang menyembunyikan wajah keseluruhan.

    Ujung jalan utama desa ini berbatasan dengan bukit, dan untuk menuju kampungnya sendiri, Pani berbelok ke jalan yang lebih kecil menyusuri punggung bukit. Di ujung jalan kecil itu ada jurang yang menggandeng bukit ini dengan bukit di desanya. Mestinya ada jembatan gantung di situ. Namun Pani hanya melihat bekasnya saja. Sisa serabut tambang yang berceceran di tempat seharusnya tiang pancang jembatan gantung itu berada semakin memperkeruh suasana hatinya. Inikah sebabnya surat-suratnya ke rumah tak lagi berbalas?

    Sebuah desiran halus di nadinya membuat Pani tiba-tiba waspada seutuhnya. Dia berbalik dengan cepat dan mendapati seseorang sedang mengamati punggungnya. Baru saja Pani hendak membuka mulut, ketika dia menyadari siapa orang ini. Dan juga, apa yang sedang dibawa dalam genggamannya.

    "Bagaimana Bapak tahu saya ada di sini?"

    "Kakakku bilang kau membantu memanggul cucunya." Lalu dia mengangsurkan beberapa amplop yang tertutup rapat. Surat-suratnya.

    Pani menyambutnya dengan gelisah. "Kenapa tak ada orang yang berusaha memperbaiki jembatan ini, Pak?"

    Lelaki itu terdiam sejenak, berusaha mengumpulkan kata-kata terbaik yang bisa dirangkaikannya.

    "Ini bukan soal jembatan, Pani. Kami satu desa tak ada yang berani menuruni jurang untuk mendatangi kampungmu karena terlalu takut untuk melihat hal-hal yang mengerikan."

    Pak tua itu bercerita singkat tentang apa yang terjadi di desa-desa sekitar, termasuk desanya sendiri. "Menurutku desamu yang terkena paling parah. Karena tempatnya jauh dan terisolir. Selain itu, kalian masih menganut kepercayaan kuno. Amat gampang bagi pihak lain untuk memanfaatkannya dan menuduh yang tidak-tidak."

    "Jadi selama tiga bulan ini tak ada satu pun penduduk kampung kami datang menghubungi?"

    Pak tua menggeleng. "Ikutlah ke rumah. Istirahat. Kau butuh tenaga, juga alat dan bekal, untuk menuruni dan mendaki jurang lagi."
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  4. #24
    pelanggan setia
    Join Date
    May 2011
    Posts
    4,952
    Serakan Fragmen

    Edisi: Monster

    Siwi membuka matanya dan menemukan kepekatan di sekelilingnya. Dia tenggelam entah berapa lama dalam gelombang nafasnya sendiri, hingga intervensi asing merasuki dan menggugah kesadarannya kembali. Di sebelah kirinya, tirai panjang tipis pintu geser menuju balkon melambai-lambai, mengantarkan rasa dingin yang menerpa kulitnya dengan cepat. Dan ada suara-suara di luar sana.

    "Belum Dal. Aku belum tahu sampai kapan bertahan di sini. Pencarian berakhir di candi paling ujung di Petung Sewu. Baunya kata Siwi sudah lebih dari dua bulan yang lalu. Jejak yang sangat dingin."

    Siwi menelan ludah perlahan. Jadi suara Bagas yang menginterupsi latihan pernafasannya.

    "Jadi aku harus bergantung pada siapa lagi? Kalau ada petunjuk lain yang lebih akurat tentu aku dengan senang hati mendatangi. Siwi..."

    Dari sini, suara Bagas berubah menjadi sangat pelan. Siwi memejamkan matanya kembali, dan menggunakan sedikit energi yang baru saja dikumpulkannya selama latihan pernafasan untuk menarik gema suara Bagas di balkon kamar sebelah.

    "Dia tak terbaca. Sejak awal aku tahu dia punya urusan sendiri. Hobinya berdiam diri. Dalam bis pun kelihatan seperti sedang bermeditasi sepanjang waktu. Ya...justru karena dia aneh seperti itu aku tahu dia punya kekuatan khusus dan bisa diandalkan. Kau tidak melihat sendiri sih caranya mengatasi monster air sewaktu kami akhirnya berhasil keluar dari gili maut itu."

    Di malam yang pekat, gelombang laut menghantam perahu kecil mereka. Dalam kondisi basah kuyup mereka berdua berjuang mengayuh perahu, berharap dapat mencapai gili terdekat yang berpenghuni. Lalu, sesuatu yang aneh terjadi. Laut tiba-tiba tenang. Tak ada riak sedikit pun. Angin bahkan tak bersuara. Bagas yang duduk di depan mengawasi dengan cermat ke arah depan, berharap menemukan sinyal cahaya terlemah. Dia kurang menyadari perubahan cuaca, sampai terlihat olehnya satu cahaya kemerahan di depan sana.

    Tidak, bukan satu tetapi dua.

    "Siwi, lihat!" Bagas menoleh ke belakang sambil terteriak gembira, menunjuk ke arah sana. Dilihatnya telah Siwi berkonsentrasi memandang ke arah yang dituju telunjuknya tanpa senyum. Laut tanpa ombak adalah sesuatu yang tak lazim. Saat Bagas menoleh kembali ke depan, cahaya itu menghilang. Lalu muncul lagi.

    Bagas mendadak tahu, perahu mereka sedang menuju ke arah sepasang mata yang sesekali berkedip. Entah masih berapa jauh jarak mereka. Dengan refleks, Bagas membelokkan arah perahu mereka ke kiri. Namun secepat dan sekuat apa pun dia mengayuh, mata itu terlihat selalu pada jarak yang sama setiap kali ia menoleh. Dia mengikuti kami, pikirnya dalam hati.

    "Apa kau tahu makhluk apa itu?" tanya Bagas setelah merasa tangannya dingin dan kebas. Terasa sia-sia usahanya untuk menjauh.

    Siwi menggeleng. "Dia menyerap energi angin. Aku tak memiliki gambaran apa-apa. Mungkin jarak kita harus sedikit lebih dekat baru aku bisa merasakan energi tubuhnya."

    Bagas berjengit mendengar ide Siwi. "Aku tidak segila itu. Bagaimana kalau dia mahluk yang amat besar. Terlihat dari ukuran matanya. Juga warna merah memberiku firasat yang tidak baik."

    Siwi menatapnya tanpa ekspresi. "Tak ada jalan lain. Kecuali kau punya solusi yang lebih konkrit."

    Seluruh tubuhnya basah, namun Bagas merasakan uap kemarahan mulai mendaki ubun-ubunnya. "Hei! Aku tahu kau tidak ikut mengayuh tadi. Jika kita kompak, mungkin perahu ini bisa sedikit lebih cepat!"

    "Ya, aku berhenti mengayuh. Aku perlu energiku untuk hal-hal yang lebih strategis."

    Siwi lalu melanjutkan. "Lagipula kau saja tidak tahu itu mahluk apa. Kenapa bisa mengira kita akan mampu menjauhinya kalau aku ikut mengayuh. Dia penguasa teritori sini, dan tidak akan melepaskan kita dengan gampang."

    "Ho, jadi kau sebenarnya sudah tahu itu mahluk apa." Bagas semakin merasa kesal.

    "Jangan membuat dirimu terdengar konyol. Lihat, dia mendekat."

    Siwi benar. Mata itu kini terlihat semakin besar dan datang dalam keccepatan konstan. Bagas menarik dayung dari air, bersiap menghadapi kejadian tak terduga.

    Siwi, sementara itu, membuka tas kanvas yang isinya pasti telah basah semua. Dia mengeluarkan serulingnya, dan sehelai kain.

    "Pakai ini untuk menyumbat kupingmu."

    "Apa ini?"

    "Pakai saja! Kita tidak punya waktu lagi!" suara Siwi yang terdengar penuh otoritas nyaris seperti bentakan. Bagas melingkarkan kain basah itu ke sekeliling kupingnya sambil menatap sosok Siwi yang telah bangkit dan berdiri tegak di tengah perahu menghadapi sang mata. Lalu dia mulai meniup seruling.

    Nadanya semula tak terdengar, lalu teramat pelan, menguat, hingga telinga Bagas bergetar. Isi kepalanya seakan terguncang dan mulai terbakar. Bagas melengkungkan tubuhnya, mencoba melindungi sisi kepalanya dengan tekanan sepasang lengan dan paha. Lalu ada rasa hangat mengalir di sela-sela lengannya. Dia pun tak ingat lagi kejadian selanjutnya.

    Yang jelas, besok paginya mereka berdua masih berada dalam perahu yang diayun lembut ombak. Darah kering menempel di lengan dan pipinya. Di ujung perahu, Siwi tergeletak menyamping, antara sedang pingsan dan tertidur.

    "Wow...keren sekali. Seperti kisah di komik. Memangnya mahluk apa itu?"

    "Entahlah, kami tak pernah membahasnya."

    Siwi tersenyum simpul dan bangkit dari tempat tidurnya. Pertarungan itu menguras seluruh energinya, termasuk mempertahankan Bagas yang hampir diseret oleh ekor mahluk itu ke dalam laut.

    Malam ini dia ada janji. Tapi terlebih dahulu dia harus melakukan sesuatu. Mencukur alisnya yang mulai menebal agar tak mencuri perhatian. Juga mengolesi lagi tanda lahir di pipinya dengan ramuan tertentu agar warnanya senada dengan warna kulit dan tahan hingga seminggu.

    Malam ini, dia mungkin berhasil melihat wajah salah satu dari mereka.
    There is no comfort under the grow zone, and there is no grow under the comfort zone.

    Everyone wants happiness, no one wants pain.

    But you can't make a rainbow without a little rain.

  5. #25
    pelanggan JOSERENTCAR's Avatar
    Join Date
    Jun 2016
    Location
    Surabaya, Indonesia
    Posts
    201
    lagi hangat hangatnya berhenti.

Page 2 of 2 FirstFirst 12

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •