Yang Pergi dan Yang Kembali
Aku mengikuti langkah Dion masuk ke dalam apartemen studio miliknya. Sebagai langkah akhir dari proses wawancara yang menghabiskan cukup banyak waktu, aku ingin memotret tempat tinggalnya. Selain itu ada beberapa foto lama yang kuperlukan sebagai dokumentasi.
Wawancara kami sambil makan siang tadi berjalan cukup lancar. Dion lebih terbuka padaku ketimbang wawancara pertama. Aku berhasil mendapatkan cerita tentang sisi lain saat kisah pribadinya dulu diekspos media besar-besaran. Kini aku bersandar di pintu masuk sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Studio ini,
surprisingly, tak seperti dugaanku yang kukira akan sekalian menjadi perpustakaan pribadi. Ini tempat tinggal biasa. Dengan cat putih yang diselingi oleh furnitur warna cerah berdesain minimalis.
"Silakan masuk", katanya sambil menunjuk ke arah sofa mungil di sudut ruangan. Aku mengangguk dan mengambil kamera dari dalam ransel. Sudut pandang dari sini harus diambil sebelum kelupaan. Dion langsung menuju lemari tinggi yang menempel di dinding dan membuka pintu kaca langsing di sebelah kanan untuk menemukan album foto.
Aku tidak langsung duduk melainkan berjalan pelan, mencari sudut yang tepat untuk memotret semua sisi ruangan. Namun cuaca sore yang terlalu cerah kurang mendukung. Foto-fotoku menjadi terlalu terang dan aku segera saja sibuk sendiri mengoptimalkan fitur kamera.
Dion membawa sebuah album foto ke hadapanku. Itu foto-fotonya saat kuliah di Amerika. Aku persilakan dia memilih beberapa, kemudian bertanya jika masih ada foto lain saat dia lebih muda. Bersama keluarga besar lebih baik. Dion kembali lagi ke lemari besar.
Saat kamera memutari bagian kamar yang lebih polos, di balik lensa aku melihat beberapa lukisan yang digantung dengan jarak yang tidak sama. "Itu lukisanmu?"
Dion menoleh dan memperhatikan lukisan-lukisan tersebut selama beberapa waktu. "Iya", dia akhirnya menjawab, "Itu semua lukisan lama. Dulu majorku Seni sebelum ganti ke Sastra".
"Tidak ada yang baru?" mataku masih mengintip dari balik lensa. Kurang dekat. Aku memutar tombol zooming.
"Tidak. Aku sudah lama berhenti melukis."
"Kenapa berhenti?"
Tidak ada jawaban. Hanya suara gemerisik tanda dia kembali ke pencariannya di lemari. Mataku kembali ke balik lensa. Semua lukisan memiliki tanggal sebelum tragedi itu terjadi. Jika bukan karena hal itu, bisa jadi yang kuwawancarai sekarang adalah pelukis terkenal, bukan penulis berbakat.
Kini Dion berdiri dengan setumpuk album di tangan. Aku membeo langkahnya ke arah sebuah meja, yang kuduga meja kerja tempat kreativitasnya mengalir. Novel pertama Dion adalah keajaiban seorang penulis pemula. Namun novel keduanya benar-benar dahsyat. Kisah tentang kehidupan suku berekor panjang di hutan-hutan terdalam Sulawesi membuat orang bertanya-tanya apakah mereka masih ada atau sudah punah. Dion sendiri sama misteriusnya seperti suku yang ditulisnya. Dia tidak bersedia menjawab bagaimana caranya melakukan riset untuk bahan penulisan novel tersebut. "Rahasia Chef", katanya sambil tersenyum simpul tadi.
"Ini meja kerja kamu?" tanyaku berusaha menetralkan suasana. Kamera sekalian kualihkan ke sana dan mengambil beberapa jepretan.
"Iya. Di sini aku biasanya mengetik. Tapi untuk mencari inspirasi aku biasanya duduk di sana," tunjuknya pada kursi duduk dan meja kecil bergaya antik di sudut ruangan paling jauh. Meja itu menghadap langsung ke sebuah jendela yang memiliki sudut pandang terluas ke arah kota. Aku langsung terhipnotis pada bagian studio yang itu. Ada sesuatu di sana, tapi apa?
Alma Mater Studiorium
Aku tersentak. Apa hubungannya antara kampusku dengan studio ini?
Dion menyodorkan sebuah foto. "Ini saat kami sekeluarga main ke Salabintana". Aku mengangguk setuju dan mendengar suara scanner dihidupkan. Tapi mataku masih tak bisa lepas lama-lama dari meja di sudut itu.
Alma Mater Studiorium. Universita Di Bologna.
Apa karena desain mejanya? Pengetahuan ekstensifku di bidang dokumentasi dan preservasi warisan arkeologi mengatakan itu bukan desain Italia, yang dulu atau yang sekarang. Tapi nama kampusku terus bergema di kepala. Pasti ada sesuatu yang berhubungan dengan masa saat aku kuliah di Bologna. Benakku mulai membuka laci-laci ingatan, berusaha mencari kecocokan. Sambil menggali memori, kamera kuarahkan ke sana. Jika laci benakku masih belum berhasil mendapatkan sesuatu saat ini, foto-foto akan membantuku nanti.
Tiba-tiba cuaca cerah di luar berubah menjadi mendung, membuatku harus mengatur ulang setting kamera. Saat hendak memotret kembali, aku melihat cahaya matahari seakan berganti-ganti terang dan gelap. Ini akibat filter dari awan di atas sana yang kadang tebal atau tipis, tergantung seberapa cepat angin membawa.
Lalu aku melihatnya. Pelan tapi pasti dia muncul di sana.
Tubuhku menegang dan mataku tak bisa lepas memperhatikan. "Kau gila!" desisku.
"Kau bisa melihatnya?" suara Dion terdengar kaget. Aku membelalakkan mata dan berjalan mundur. Album foto berdebam jatuh ke lantai saat tangannya menggapai bahuku. Namun sumsum tulang belakangku bereaksi lebih cepat dan dalam sekejap kakiku sudah menapak di lorong-lorong apartemen dalam kecepatan tinggi, meninggalkan gema dan Dion di belakangku.
Willa Cornelia pada usia 20 tahun memiliki segala yang diimpikan gadis seusianya. Dia adalah
the next big thing. Bintang iklan termahal, aktris terfavorit, duta budaya, pacarnya seorang prodigy. Apa yang akan kau lakukan dalam hidupmu jika telah memiliki segalanya? Bagi Willa mungkin tak ada lagi yang perlu dikejar. Malam setelah menerima penghargaan sebagai aktris terfavorit, dia dibawa ke UGD akibat keracunan obat-obatan dan meninggal di sana. Saat itu kami para gadis yang mengidolakannya merasa kaget, sedih juga marah. Apa dia tahu seberapa ingin kami berada di posisinya?
Setelah semua pemberitaan reda, akal sehatku kembali. Lulus dari jurusan sejarah dan arkeologi di kampus biru aku mendapatkan beasiswa ke Bologna. Pada
motivation letter yang membawaku ke sana, aku menuliskan hasrat untuk mempelajari sejarah seni dengan ketertarikan riset di bidang Mediveal Graffiti, seni yang hilang dari abad pertengahan. Aku berkutat selama berbulan-bulan di perpustakaan kampus tidak hanya di Bologna, tapi juga ke Roma, Milan dan Florence untuk mengelaborasi, memodifikasi dan memperkaya faktor-faktor penyebab hilangnya Medieval Graffiti dari sudut pandang religi, civil society, asimilasi budaya dan sebagainya.
Riset yang panjang itu mengantarku ke beberapa tulisan yang dibuat jauh sebelum abad pertengahan. Ketertarikanku di bidang seni yang hilang membuatku rela menyisihkan waktu untuk belajar alfabet Etruscan, bentuk tertua dari huruf Rune, supaya bisa membaca sendiri beberapa teks kuno tentang kaitan seni dengan ritual keagamaan di masa itu. Salah satunya adalah yang jika diterjemahkan disebut sebagai teknik Yang Pergi dan Yang Kembali.
Tak perlu kukatakan bagaimana rumitnya teknik ini. Melukis wajah mereka yang telah pergi dalam bayang-bayang senja di atas kaca. Menurut teks yang kubaca, sangat sedikit pelukis dapat melakukannya dan itu pun harus dilakukan dalam keadaan
trance. Hasilnya adalah lukisan transparan tiga dimensi yang dapat bergerak sesuai arah angin, namun hanya dapat dilihat pada intensitas cahaya tertentu. Saat itu aku tak dapat membayangkan seperti apa lukisan tersebut, hingga...
Sore itu, aku melihat Willa Cornelia kembali. Terpaan cahaya matahari dan mendung yang bergantian menghidupkan wajahnya di kaca jendela secara perlahan. Mula-mula aku melihat untaian transparan berwarna cokelat muda. Rambutnya yang terkenal bergelombang indah alami itu membentuk sempurna dalam sekejap, membingkai wajah bulat telur dengan tatapan mata ke arah luar jendela.
Lalu angin mulai menyibak rambutnya perlahan, menonjolkan leher langsingnya. Cantik. Seanggun saat dia terakhir kulihat menerima penghargaan di televisi dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dalam gerakan pelan, dia menoleh ke dalam ruangan. Seiring dengan itu, senyum lembut yang tadi terukir di wajahnya perlahan berganti dengan sudut runcing menekuk ke bawah. Matanya membara. Kelihatannya dia siap keluar dari bingkai jendela dan menerkamku.
Ingin rasanya aku terbang kembali ke kampus saat itu juga, menambahkan satu paragraf pada tesisku tentang alasan mengapa ada seni yang hilang dan sebaiknya tidak ditemukan kembali.