danalingga
17-02-2011, 01:37 PM
Salahkah Presiden?
COBA BAYANGKAN bila anda sebagai Direktur Utama perusahaan, anda tidak punya kebebasan mengangkat Direktur tanpa kompromi dengan pemegang saham. Anda tidak punya kebebasan menentukan SATPAM tanpa persetujuan dari pemegang saham. Anda tidak berhak menentukan Budget tanpa persetujuan pemegang saham. Anda tidak berhak buat aturan perusahaan tanpa persetujuan pemegang saham.
Anda tidak berhak mengangkat kepala cabang, tanpa persetujuan pemegang saham. Dan secara berkala orang yang bekerja untuk anda itu harus berhadapan dengan para pemegang saham sebagai cara mengawasi jalannya perusahaan. Auditor dipilih oleh pemergang saham dan bertanggung jawab kepada pemegang saham. Harap dicatat lagi, pemegang saham yang saya maksud itu hanyalah nominee bukan real share holder tapi haknya lebih tinggi dibandingkan real share holder.
Sementara anda dipilih bukan oleh nominee tapi dipilih oleh real share holder. Nah, bayangkanlah, apakah anda nyaman duduk sebagai DIRUT? Apakah anda pantas disalahkan bila anda salah? Apakah anda pantas berbangga bila anda berhasil?
Itulah analogi yang mungkin tepat untuk jabatan presiden dalam sistem ketata-negaraan kita sekarang ini. Inilah sistem yang di-create oleh rezim reformasi, yang menempatkan presiden tidak berkuasa untuk menentukan Gubernur BI, ketua MA, Ketua MK, Kapolri, Dubes, Pangab, Gubernur, Bupati, Lurah. Bahkan untuk jabatan menteripun, walau presiden punya hak prerogatif ,tetap harus mempertimbangkan kepentingan dari Partai yang eksis.
Dengan kondisi itulah , seorang presiden harus menempatkan dirinya sebagai simbol kekuasaan tanpa hak absolut kekuasaan. Tidak seperti Imam Sholat yang satu tanpa dipersekutukan. Tidak seperti seperti Soeharto yang INPRES nya lebih ditakuti dibandingkan UU. Tidak seperti Soekarno yang kata katanya lebih ditakuti dibandingkan UU.
Kalau terjadi mafia hukum, mafia pajak, korupsi tak tuntas ditangani ,itu semua bukanlah kesalahan presiden seorang. Karena hak kekuasaan lembaga peradilan tidak ditangan presiden. Presiden hanya bertugas sebagai manager untuk memastikan procedure jalan sesuai UU., Kalaupun terjadi kesalahan prosedure maka kembali lagi kepada hak Lembaga peradilan yang bukan wewenang Presiden. Contoh, presiden minta adanya pembuktian terbalik tapi seketika Polri bilang " tidak bisa " karena dasar hukumnya tidak ada. Siapa yang buat hukum, ya DPR, bukan presiden.
Pembangunan Ekonomi hanya bicara tentang pertumbuhan makro ekonomi. Karena memang wewenang presiden sesuai UU yaitu menjaga makro ekonomi. Soal Mikro itu ada ditangan Daerah sesuai undang undang otonomi daerah , UU Perimbangan Pendapatan Pusat daerah. Tidak ada lagi kanwil Kementrian di setiap daerah. Itu semua sudah diserahkan kepada Pemda, seperti Dinas perindustrian, Dinas Perdagangan, Dinas Kehutanan, Dinas Kependudukan. Dan lain lain.
Soal Privatisasi, juga tidak atas dasar kemauan presiden. Karena itu sesuai amanat UU Pebendaharaan negara dimana negara tidak bisa lagi memberi BUMN dana ekspansi lewat APBN dan juga tidak bisa menjamin resiko atas financing BUMN lewat hutang . Nah pelepasan saham adalah pilihan yang dibenarkan lewat UU. Kita marah karena sebagian besar sumber daya alam kita dikuasai oleh Asing. Inipun tidak bisa disalahkan kepada presiden karena TNC masuk ke SDA itu berdasarkan UU yang dibuat oleh DPR. Presiden tidak bisa melarang asing masuk karena itu melanggar UU.
Kita marah kepada presiden yang lemah terhadap Malaysia soal perbatasan. Tapi lagi lagi Presiden tidak berhak mengumumkan perang tanpa persetujuan DPR. Kalau TNI lemah karena anggaran, itupun bukan kesalahan presiden karena yang menentukan anggaran adalah DPR. Kita marah kepada Presiden soal Ham dan Kebebasan beragama. Tapi lagi lagi itu bukan kesalahan presiden karena UU yang di-create DPR tidak memberi ruang bagi presiden untuk mencampuri lembaga peradilan dan Hukum demi tegaknya HAM dan kebebasan beragama sesuai maunya kita. Itulah sebabnya kasus Munir tak tuntas, Lapindo tidak tuntas, Century tidak tuntas dan banyak lagi yang tak tuntas.
Dengan mengetahui sistem kekuasaan dinegeri ini, saya berharap kita lebih bijak bersikap. Kebobrokan negara kita bukanlah kerja tangan seorang presiden.Ini kesalahan sistem. Kebobrokan sistem. Sistemlah yang harus dirubah. Contoh Garindra, mengajukan gugatan kepada MK soal BHP ( Badan Hukum Pendidikan ) dan berhasil. PGRI mengajukan gugakan soal anggaran pendidikan lewat MK dan berhasil. Dan banyak lagi yang dapat kita lakukan untuk perubahan yang lebih baik kalau kita paham dimana kesalahan. Inilah demokrasi, Inilah civil society. Bagaimanapun itu membuktikan bahwa rezim demokrasi liberal ini tidak seratus persen solid. Mereka renta karena dibangun tanpa idiologi yang kuat.
Para cerdik pandai, tokoh agama, siapapun yang peduli untuk perbaikan negara ini harus mampu berbuat untuk satu proses perubahan yang berkelanjutan untuk kebenaran,kebaikan dan keadilan. Tak elok bila energi kita habis untuk larut dalam amarah karena provokasi media massa, apalagi terfocus kepada seorang presiden yang notabene tidak punya kekuasaan by system untuk melakukan perubahan seperti apa mau kita. Rubahlah sistem! Karena sistem, orang baik bisa menjadi jahat, dan karena sistem pula orang jahat bisa menjadi baik.
Tulisan Pak Erizeli Bandaro
Saya sendiri merasa ada benarnya, kok rasanya sistem bernegara kita tidak seperti yang dicita-citakan para founder sebagai sistem presidensil ya.
COBA BAYANGKAN bila anda sebagai Direktur Utama perusahaan, anda tidak punya kebebasan mengangkat Direktur tanpa kompromi dengan pemegang saham. Anda tidak punya kebebasan menentukan SATPAM tanpa persetujuan dari pemegang saham. Anda tidak berhak menentukan Budget tanpa persetujuan pemegang saham. Anda tidak berhak buat aturan perusahaan tanpa persetujuan pemegang saham.
Anda tidak berhak mengangkat kepala cabang, tanpa persetujuan pemegang saham. Dan secara berkala orang yang bekerja untuk anda itu harus berhadapan dengan para pemegang saham sebagai cara mengawasi jalannya perusahaan. Auditor dipilih oleh pemergang saham dan bertanggung jawab kepada pemegang saham. Harap dicatat lagi, pemegang saham yang saya maksud itu hanyalah nominee bukan real share holder tapi haknya lebih tinggi dibandingkan real share holder.
Sementara anda dipilih bukan oleh nominee tapi dipilih oleh real share holder. Nah, bayangkanlah, apakah anda nyaman duduk sebagai DIRUT? Apakah anda pantas disalahkan bila anda salah? Apakah anda pantas berbangga bila anda berhasil?
Itulah analogi yang mungkin tepat untuk jabatan presiden dalam sistem ketata-negaraan kita sekarang ini. Inilah sistem yang di-create oleh rezim reformasi, yang menempatkan presiden tidak berkuasa untuk menentukan Gubernur BI, ketua MA, Ketua MK, Kapolri, Dubes, Pangab, Gubernur, Bupati, Lurah. Bahkan untuk jabatan menteripun, walau presiden punya hak prerogatif ,tetap harus mempertimbangkan kepentingan dari Partai yang eksis.
Dengan kondisi itulah , seorang presiden harus menempatkan dirinya sebagai simbol kekuasaan tanpa hak absolut kekuasaan. Tidak seperti Imam Sholat yang satu tanpa dipersekutukan. Tidak seperti seperti Soeharto yang INPRES nya lebih ditakuti dibandingkan UU. Tidak seperti Soekarno yang kata katanya lebih ditakuti dibandingkan UU.
Kalau terjadi mafia hukum, mafia pajak, korupsi tak tuntas ditangani ,itu semua bukanlah kesalahan presiden seorang. Karena hak kekuasaan lembaga peradilan tidak ditangan presiden. Presiden hanya bertugas sebagai manager untuk memastikan procedure jalan sesuai UU., Kalaupun terjadi kesalahan prosedure maka kembali lagi kepada hak Lembaga peradilan yang bukan wewenang Presiden. Contoh, presiden minta adanya pembuktian terbalik tapi seketika Polri bilang " tidak bisa " karena dasar hukumnya tidak ada. Siapa yang buat hukum, ya DPR, bukan presiden.
Pembangunan Ekonomi hanya bicara tentang pertumbuhan makro ekonomi. Karena memang wewenang presiden sesuai UU yaitu menjaga makro ekonomi. Soal Mikro itu ada ditangan Daerah sesuai undang undang otonomi daerah , UU Perimbangan Pendapatan Pusat daerah. Tidak ada lagi kanwil Kementrian di setiap daerah. Itu semua sudah diserahkan kepada Pemda, seperti Dinas perindustrian, Dinas Perdagangan, Dinas Kehutanan, Dinas Kependudukan. Dan lain lain.
Soal Privatisasi, juga tidak atas dasar kemauan presiden. Karena itu sesuai amanat UU Pebendaharaan negara dimana negara tidak bisa lagi memberi BUMN dana ekspansi lewat APBN dan juga tidak bisa menjamin resiko atas financing BUMN lewat hutang . Nah pelepasan saham adalah pilihan yang dibenarkan lewat UU. Kita marah karena sebagian besar sumber daya alam kita dikuasai oleh Asing. Inipun tidak bisa disalahkan kepada presiden karena TNC masuk ke SDA itu berdasarkan UU yang dibuat oleh DPR. Presiden tidak bisa melarang asing masuk karena itu melanggar UU.
Kita marah kepada presiden yang lemah terhadap Malaysia soal perbatasan. Tapi lagi lagi Presiden tidak berhak mengumumkan perang tanpa persetujuan DPR. Kalau TNI lemah karena anggaran, itupun bukan kesalahan presiden karena yang menentukan anggaran adalah DPR. Kita marah kepada Presiden soal Ham dan Kebebasan beragama. Tapi lagi lagi itu bukan kesalahan presiden karena UU yang di-create DPR tidak memberi ruang bagi presiden untuk mencampuri lembaga peradilan dan Hukum demi tegaknya HAM dan kebebasan beragama sesuai maunya kita. Itulah sebabnya kasus Munir tak tuntas, Lapindo tidak tuntas, Century tidak tuntas dan banyak lagi yang tak tuntas.
Dengan mengetahui sistem kekuasaan dinegeri ini, saya berharap kita lebih bijak bersikap. Kebobrokan negara kita bukanlah kerja tangan seorang presiden.Ini kesalahan sistem. Kebobrokan sistem. Sistemlah yang harus dirubah. Contoh Garindra, mengajukan gugatan kepada MK soal BHP ( Badan Hukum Pendidikan ) dan berhasil. PGRI mengajukan gugakan soal anggaran pendidikan lewat MK dan berhasil. Dan banyak lagi yang dapat kita lakukan untuk perubahan yang lebih baik kalau kita paham dimana kesalahan. Inilah demokrasi, Inilah civil society. Bagaimanapun itu membuktikan bahwa rezim demokrasi liberal ini tidak seratus persen solid. Mereka renta karena dibangun tanpa idiologi yang kuat.
Para cerdik pandai, tokoh agama, siapapun yang peduli untuk perbaikan negara ini harus mampu berbuat untuk satu proses perubahan yang berkelanjutan untuk kebenaran,kebaikan dan keadilan. Tak elok bila energi kita habis untuk larut dalam amarah karena provokasi media massa, apalagi terfocus kepada seorang presiden yang notabene tidak punya kekuasaan by system untuk melakukan perubahan seperti apa mau kita. Rubahlah sistem! Karena sistem, orang baik bisa menjadi jahat, dan karena sistem pula orang jahat bisa menjadi baik.
Tulisan Pak Erizeli Bandaro
Saya sendiri merasa ada benarnya, kok rasanya sistem bernegara kita tidak seperti yang dicita-citakan para founder sebagai sistem presidensil ya.