PDA

View Full Version : [ Bukan JATUH CINTA Lagi ]



Jevo Jett
27-03-2012, 07:27 PM
Semacam basa-basi.

Naskah di thread ini adalah naskah yang TIDAK ADA di dalam novel RELOAD JATUH CINTA terbitan GagasMedia.
Daripada dibuang kan sayang, masih bisa buat bacaan.

Sinopsis versi buku ada di sini (http://www.gagasmedia.net/artikel/1036-cinta-lama-yang-bersemi-kembali.html)

Bagi yang udah baca novelnya, selamat menikmati lagi, mudahan menemukan sesuatu.
Posisi naskah ini berada setelah scene pertama halaman 249, sebelum scene 2 pada halaman 250.
Bagi yang belum baca bukunya, selamat mencicipi.

Ya udah, yuk berangkat !


[ ! ]

---------- Post added at 06:27 PM ---------- Previous post was at 06:19 PM ----------

Penghujung sore di hari Sabtu, CBR merah itu melesat di Jalan BST yang lengang, melewati kawasan perumahan elit yang sunyi senyap, seolah tak ada hiruk pikuk kehidupan yang menghiasinya. Hanya suara halus mesin bikinan Honda itu yang terdengar menderu. Namun kawasan elit itu bukanlah tujuan si pengendara, ia hanya sekedar melintas untuk memperpendek jarak tempuh saja.

Ryd mengurangi laju motornya, memindahan gigi dan belok kanan memasukin jalanan berbatu yang di beberapa titik mulai terlihat rusak berlubang. Semakin pelan ia menjalankan motornya, tampak hati-hati sekali. Bukannya apa-apa, itu tanda kalau ia begitu menyayangi motornya, karena system upside down -shock breaker motornya hanya untuk jalanan aspal yang mulus, bukan untuk medan off road menuju rumah Teby itu.

Masih ada persawahan dan ladang di sisi kanan-kiri jalan kecil tersebut. Lokasi rumah Teby memang agak pelosok, jauh dari keramaian pusat kota. Hanya teman-teman dekatnya saja yang tahu persis di mana letaknya.

Dari kejauhan terlihat Defender-nya Jimi sudah parkir di depan pagar sebuah rumah sederhana, rumah yang temboknya masih bermotif bata, alias belum diplester semen, dengan kata lain: rumah setengah jadi. Di situ tempat Teby tinggal.

CBR merah tadi tetap merayap perlahan, pengendaranya masih tetap hati-hati sekali ketika melewati jalanan tanah berlempung yang agak licin, sesekali zig-zag untuk menghindari kubangan, berbelok ke kiri, dan akhirnya tiba juga di pekarangan rumah yang ditujunya.

Anak-anak yang lain sudah pada berkumpul. Selain Jimi, ada pula Tomi, juga si Yoris,cowok gendut berkulit putih yang biasa dipanggil ‘Bakpau’, ia satu-satunya anak IPS yang ikutan nongkrong di situ.

Ryd mematikan mesin, lalu melepas helm Arai kebanggaanya. Ekspresi wajahnya disetel seakan-akan tidak peduli. Tomi yang asyik gitaran langsun mencibir, tapi Ryd tetap cuek sok cool. Setelah menurunkan standar motornya, ia mulai melangkah menuju teras rumah, diiringi genjrengan gitarnya Tomi yang mencoba memainkan “Thank You” by Led Zeppelin.

“B minor!” tegur Ryd ketika telinganya mendengar ada nada yang kurang pas.

Spontan jemari Tomi langsung berpindah ke chord yang disebut tadi. “Terus kemana?” tanyanya kalem.

“D, ke C, B minor lagi.”balas Ryd serius. “Terus ke Afrika aja sana!” candanya dengan nada sinis, lalu meringis.

Anak-anak lainnya langsung nyengir.

”Kebagusan gitar tuh emang!” celetuk Jimi setengah meledek.

”He’eh, belum pantes Tom, kamu pake Ibanez.” Si Bakpau ikutan nyela. Gitar akhirnya sudah pindah ke tangannya. Nggak lama Ia pun mulai genjrang-genjreng.”Kemanaaa…kemana…kemaaana…” nyanyinya dengan cengkok dangdut yang dikentel-kentelin bergaya konyol.

“Asiiik…” Jimi meringis.

“Hahai…Ayu Tong Tong!” Ryd langsung ngakak.

Karuan Tomi makin bete karena gitar barunya dipake buat dangdutan. Yoris tidak peduli, malah makin manas-manasin dengan menggoyangkan kedua bahunya naik turun ala dangdut. Ryd dan Jimi semakin keras tertawanya.

Di SMANSI, siswa yang badannya kelihatan gede banget kalau pas upacara memang cuma Teby dan Yoris, mereka sama-sama tukang ngebanyol juga. Bedanya, kalau Teby badannya kencang berotot, sementara Yoris badannya buntal penuh tetelan.

“Eh, si Kingkong ke mana, Jim?” tanya Ryd kemudian.

“Tadi sih mandi katanya, tapi tauk tuh, dari tadi nggak keluar-keluar.”

“Nggak keluar-keluar, apa nggak kelar-kelar, nih?”

Jimi meringis, seolah paham arah konotasinya.

“Diseeeeneee… tempat cari senang!” teriak Tomi yang udah ganti set list [I]jadi lagunya Slank.

“Yak! Sekarang duet Kaka dan Bom Bom!” sorak Jimi bertepuk tangan dengan noraknya.

Ryd ngakak lagi, teman-temannya memang lagi pada kumat sintingnya. Maklum, dari Senin sampai Sabtu siang tadi mereka habis babak belur dihajar badai ulangan semester. Jadinya gitu deh, otaknya masih pada porak poranda.

Di langit barat, mentari mulai tenggelam, sinarnya semakin meredup seakan-akan hampir sekarat dilindas malam minggu yang akan tiba sebentar lagi. Tapi anak-anak itu kali ini tidak peduli, mereka memang tidak ada rencana mau pergi ke suatu gigs, soalnya sama-sama sedang bokek. Namun meskipun begitu, yang namanya kumpul-kumpul, acara makan-makan harus tetap dilaksanakan. Untuk itulah saat ini mereka kumpulnya di rumah Teby. Satu tempat dimana kalau mau bakar jagung tinggal petik, mau bakar singkong tinggal cabut, mau bakar ayam tinggal potong, lalapan juga sangat berlimpah dan tinggal petik aja. Asiknya lagi, lingkungan di situ rumahnya masih jarang-jarang, jadi kalau mau berisik sekalipun, tidak akan ada tetangga yang merasa terganggu.

“Hmm, bau apa nih?” tiba -tiba Tomi seperti mengendus-endus sesuatu. “Wangi banget!”

“Iya.” Yoris menghentikan permainan gitarnya.

Semua langsung terdiam dan mempertajam penciuman masing-masing.

“Kayak bau kembang.” pelan Jimi berkata.

Suasana mendadak hening, anak-anak itu saling berpandangan. Rasa takut yang bercampur penasaran mulai hadir menyelimuti. Hari yang mulai gelap semakin menambah perasaan was-was, apalagi di daerah tersebut memang banyak terdapat pohon-pohon besar dan tidak jauh dari kuburan.

“Bakpau sih tadi pipis sembarangan!” gerutu Tomi sambil melotot.

Yoris langsung pucat. “Ampun mbah, jangan ambil ***** saya, mbah.” ucapnya seakan-akan ada mahluk lain di sekitar mereka.

Teman-temannya malah menahan cekikikan geli.

Dan aroma wangi pun semakin kuat.

Kembali mereka semua terdiam.

“Wanginya sih wangi kembang, tapi kayaknya bukan melati, nih.” setengah berbisik Jimi berujar.

“Lavender nih kayaknya.” Ryd ikutan mengendus.” Tapi masak demit pake aroma lavender?”

“Ini kan malem Minggu, Ryd.” balas Tomi polos.

Mereka malah cekikikan sendiri.

[I]Kreeeeeek… ada suara kursi yang bergeser.

Spontan anak-anak itu langsung menoleh karena kaget, spontan pula dari mulut mereka keluar umpatan-umpatan kasar yang khas. Rupanya aroma wangi tadi berasal dari Teby yang terlihat sudah berpakaian rapi, dan sepertinya bersiap untuk pergi.

“Kirain setan, eh nggak taunya iblis yang nongol!” Yoris langsung bersuara.”Mau kabur ke mana kamu?” Ia mendelik sewot.

Teby cuma cengengesan aja. “Jadi, motornya siapa nih yang malam ini bisa dipake?” tanyanya santai sembari memakai sepatu sandalnya.

Teman-temannya langsung berlagak tidak mendengar.

Ada CBR-nya Ryd, Byson punya Yoris, dan KLX-nya Tomi yang parkir di halaman. Hanya itu pilihan Teby, kalau Defender-nya Jimi jelas bukan pilihannya, karena Teby memang belum bisa nyetir Jip Inggris itu. Sementara Vespa tua yang teronggok di samping rumah, sama sekali tidak bisa diandalkan, rawan mogok masalahnya.

“Tom…” Panggil Teby penuh harap.

“Apa?!”Tomi langsung melotot.”Emangnya cuma kamu yang mau ngapel, heh?”

“Halah! Sari palingan juga lagi sama yang satunya.” Teby menyeringai usil.

“Matamu! ” maki Tomi sewot.

Teby dan tiga lainnya langsung ngakak. Sesaat kemudian ia menoleh ke Yoris.

Si Bakpau itu menggeleng.” Saya ada kencan juga, hehe! Sori, bos!”

Jimi mengernyit,” Sama siapa, Pau? Heh?” tanyanya heran.

“Sama Irene, dong.” ucap Yoris bangga menyebut nama primadonanya cowok-cowok IPS.

“Kok bisa?” Jimi masih heran.

“Ya bisa, lha wong seminggu ini dia minta contekan ke aku terus.” Yoris tersenyum jumawa.” Kamu mau titip apa Jim? Pipi apa bibir, heh?”

“Jiah! Gayamu, Pau, Bakapau!” sergah Jimi jadi rada sirik juga.

Yoris langsung terbahak.”Kegantengan itu bukan segalanya, bos! Otak saya memang lebih keren dari tampang anda! Setuju?”

Jimi cuma meringis garing. “Eat my ass!”

Mereka berdua pun masih terus berbincang sambil sesekali saling meledek.

Teby menghela napas berat, harapan terakhirnya untuk pinjam motor tinggal ke Ryd.

“Sori bro, abis ini aku mau jemput Dinda dulu di Samantha Krida.” tanggap Ryd kalem.

“Aku sih nggak pengen ke mana-mana, Teb.” sahut Jimi santai. “Kalo mau pake Landy, pake aja dulu deh sana.” Ia menawarkan mobilnya sambil cengengesan.

Teby cuma meringis masam.

“Salah sendiri! Dari jaman dulu disuruh belajar nyetir nggak mau sih!”

Teby coba tersenyum, tapi hambar, lalu dengan pasrah melangkah lesu menghampiri Vespa butut di samping rumah. Ekspresi wajahnya tak seceria tadi, terlihat tidak bergairah. Namun ia tetap harus pergi ke rumah Intan, walaupun dengan resiko Vespa tua itu bakal mogok di jalan.

Seorang Teby, juga mempunyai impian yang sama seperti kebanyakan remaja laki-laki lainnya. Ingin memiliki motor sport keluaran terbaru. Tapi apa daya, ayahnya cuma seorang pegawai swasta biasa yang gajinya pas-pasan, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja, dan ia sangat mengerti akan hal itu, sehingga mau tidak mau harus menerima keadaan. Tidak lantas merengek-rengek atau mengancam bunuh diri segala hanya karena tidak dibelikan motor.

Teby masih berusaha menyetater Vespa tua itu, tapi dari tadi mesinnya tidak mau hidup. Keningnya sudah mulai berkeringat, bagian belakang kemejanya pun sudah mulai basah. Ia masih berusaha tetap tenang, walau perasaan mulai jengkel tidak karuan. Itu terbaca dari gerak rahangnya yang terkatup.

“Udah, nggak usah pake perasaan.” celetuk Jimi enteng lalu terkekeh.”Cewek gitu aja dibela-belain segala!” Ia bangkit dari duduknya dan meraih gitar. Sebentar kemudian mulai terdengar suara anak itu memainkan Beautiful Day-nya U2.

Sambil berkacak pinggang, Teby menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskanya perlahan. Ia tampak mulai putus asa dan gelisah karena mesin Vespa tua tadi tidak mau hidup juga, sementara waktu terus bergerak tanpa henti.

Ryd menatap sobatnya itu penuh rasa empati yang begitu dalam. Ya, Teby yang hidupnya tidak sebahagia anak-anak lain, tapi hari-hari selalu dilewatinya dengan penuh keceriaan. Dengan Intan, itu pertama kalinya dalam sejarah Teby bisa merasakan nge-date bareng cewek. Dan yang membuat Ryd senang, setiap kali Teby habis nge-date, sobatnya itu tampak lebih bersemangat, dan keceriaannya pun jadi bertambah lagi, seperti ada kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Jimi masih terus bernyanyi riang, ngebagus-bagusin suaranya.

Teby makin tampak gelisah, seakan-akan kalau ia tidak datang malam ini, besok bakalan mati.

Tidak tega melihat sobatnya itu murung, Ryd merogoh saku jaketnya, mengeluarkan kunci motornya.”Teb…” panggilnya datar.

Teby menoleh, lalu dengan sigap menangkap kunci motor yang dilempar ke arahnya. Seketika itu pula raut wajahnya langsung sumringah, memancarkan gairah yang tadi sempat meredup.

“Bawa aja sana, entar aku jemput Dinda bisa pake mobilnya Jimi.” Ryd berkata kalem

“Thank you my man!” pekik Teby girang seraya meraih STNK yang disodorkan. “Sampe ketemu tengah malam nanti!”

Ryd mengangguk saja.

Dan Jimi masih terus bernyayi. “It’s a beautiful day…!”

Jreng…jreng…jreng…jreng…jreng…jreng…


[ ! ]

Jevo Jett
27-03-2012, 07:45 PM
Masih di malam yang sama, di lokasi yang berbeda.

Bino baru aja keluar dari rental DVD. Sambil terus melangkah ia nampak sedang memikirkan sesuatu, yang kemudian disusul gerakan tangannya mengambil ponsel dari saku jaketnya. Lantas mengutak-atik dan memilih satu nama untuk dihubungi.

“Halo selamat malam…” suara di ponselnya.

Bino bisa mengenali kalau itu suara Jessie, maka ia pun segera ‘menyetel’ suaranya sendiri supaya terdengar beda tersamar. “Selamat malam, bisa bicara dengan Pak Handoko?” tanyanya dengan gaya formal.

“Oh, papa masih di Solo.”

“Kalau ibu Handoko, ada? ”

“Mama juga ikut sama papa tuh, om.”

“Oh, gitu. Pulangnya kapan, ya?”

“Lusa kayaknya, om.”

Bino tampak berusaha keras menahan tawa gelinnya. “Bisa minta nomer hapenya Papa, dek?”

“Sebentar ya, om.”

Bino menarik napasnya dulu dalam-dalam, berusaha keras agar tidak menertawakan kekonyolannya itu. Sebenarnya ia hanya ingin memastikan kalau ‘target ’ malam ini memang lagi sendiri, tidak sedang bersama teman-temannya, juga tidak sedang dalam pengawasan orang tuanya. Memastikan kalau situasi aman dan kondusif.

“Halooo…” suara Jessie terdengar lagi.

“Iya…”

“0812…..”

“Iya…” Bino manggut-manggut, seolah-olah sedang mencatat. Memberi jeda beberapa detik sebelum mengucap,“Oke, makasih ya, dek.”

“Sama-sama.”

Klek!

Disimpannya lagi ponsel ke dalam saku jaket. Mulutnya bersiul-siul kecil.

Bino sudah duduk di atas Tiger-nya. Memakai helm, lalu tersenyum penuh makna sembari memasukan kunci kontak dan memutarnya sekali. Dipencetnya tombol stater, selang beberapa saat kemudian langsung memacu motornya ke arah jalan menuju rumah Jessie.

Langit gemerlap penuh bintang, jalanan cukup ramai dengan arus kendaran yang lalu lalang. Di pinggiran Jalan Suhat banyak terlihat anggota club motor maupun mobil dari beragam tipe tertentu yang sedang mejeng, ada juga orang-orang yang berdagang.

Bino terus melaju ke arah Piere Tendean, potong kompas melewati jalan alternatif yang tembus ke Jalan Veteran. Memutar arah melewati Matos, belok kiri dan terus lurus ke arah perempatan Dieng, mulai mengurangi laju di Raya langsep, hingga akhirnya belok kiri memasuki sebuah komplek perumahan.

Reflek ia mengerem motornya ketika melihat ada Defender yang parkir di depan pagar rumah Ryd. Lantas Bino memutar arah dan memilih jalan lain yang tidak melewati rumah sobatnya itu. Sialan! Katanya pada nongkrong di rumah Teby? Batinnya sempat bertanya. Rupanya ia mengira ada sobat-sobatnya yang nongkrong di rumah Ryd itu, padahal Ryd cuma balik sebentar pakai mobilnya Jimi buat nganterin Dinda pulang.

Beberapa puluh meter kemudian, barulah Bino tiba di halaman rumah nomer 18 yang menjadi tujuan utamanya.

Ia pun mematikan motornya.

Jessie mengintip dari jendela, tersenyum kecil sambil geleng-geleng kepala. Sebentar kemudian ia membuka pintu. “Baru aja aku mau nelpon, kok udah nongol sih?”

“Soalnya aku tau, kamu pasti lagi nungguin aku, kamu pasti lagi kangen!”

Jessie langsung mencibir.

“Papa- mama, ada?” tanya Bino sok berbasa-basi.

“Kenapa? Mau ketemu mereka?”

Ditanya gitu, Bino cuma cengengesan.

“Motormu masukin dulu gih ke garasi.” Jessie mengedipkan mata.

Oh yes! Batin Bino bersorak.

Tanpa menunggu lama, ia pun langsung bergerak cepat. Menuntun motornya ke garasi, lalu menutup pintu pagar, serta tidak lupa pula menguncinya dengan gembok.

Ceklik!


[ ! ]

---------- Post added at 06:38 PM ---------- Previous post was at 06:33 PM ----------

Dengung serangga malam dan gesekan daun terembus angin telah memberikan ritme tersendiri dalam gulita, semakin menegaskan kuasa sunyi yang menyelimuti. Mungkin saja dalam kegelapan itu ada tatapan nyalang dari mahluk tak kasat mata yang mengawasi, namun beberapa teguk whiskey telah mengusir rasa ngeri, hingga kelima remaja laki-laki itu tetap asyik bernyanyi.

When I see you smile, I can face the world… Oh, you know I can do anything….yeeah!

Api yang tadi digunakan untuk membakar ayam masih menyisakan bara, memberikan sedikit kehangatan dalam dinginnya udara yang lembab, serta memancarkan temaram seadanya, sekilas menampakan mata-mata sayu pada wajah-wajah berseri itu.

Ryd yang main gitar, sementara teman-temannya kompak jadi backing vocal saja, karena memang tidak ada yang benar-benar jadi vokalis utama, jadinya malah terdengar seperti kelompok paduan suara.

When I see you smile…I can face the world…oh.
You know I can do anything…

Sambil ikutan nyanyi, sejak tadi tangan Teby juga nyambi ngetik sms, jempolnya sedang sibuk rupanya. Mungkin ia merasa kalau tak segera membalas sms yang masuk itu, malaikat maut akan segera menjemput pada saat itu juga.

“Berisik banget sih itu hape jelek!” protes Tomi.

“Biasa, yang baru belajar pedekate!” celetuk Jimi.

“Hah, belajal? Mau ulangan kali, belajal!” Yoris menimpali.

Terkekeh lagi.

“Biarin aja deh ah, emang lagi masanya.” cetus Ryd memaklumi. “Entar kalo udah jadian juga palingan males-malesan ngebalesnya.”

Teby tak menggubris lagi celotehan teman-temannya, ia masih terus memandangi ponselnya sambil senyum-senyum sendiri .

Satu menit, dua menit, ia masih menunggu. Sepuluh menit berlalu, pikirannya mulai kacau, seperti pecandu yang sedang sakaw. Bingung sendiri , gelisah tak menentu.

Padahal, dulu Teby selalu sesumbar bilang, ”Urusan cinta itu cuma buang-buang waktu aja! Apa pentingnya sih ngejar-ngejar cewek? Urusan kita sebagai pelajar itu ya harus mentingin belajar!“ gitu katanya.

Tapi itu dulu, waktu masih kelas satu, saat ia masih lugu bin cupu. Dan waktu itu, sebenernya dia naksir Sari, tapi karena nggak enak bersaing dengan Tomi yang juga sahabatnya sendiri, Teby memilih untuk mengalah saja.

Begitu mulai masuk kelas tiga, mendadak ada seorang gadis yang pesonanya langsung menarik perhatiannya, menyapa hasrat dan sanggup membuatnya jatuh hati. Itu juga awalnya gara-gara keusilan seorang Veryd. Gimana ceritanya, tuh? Baca dong di versi bukunya…hehe! ;p

Keajaiban cinta sanggup membuat Teby yang berangasan itu jadi melankolis, senang mendengar lagu-lagu rindu. Jika ada Intan di dekatnya, mendadak ia jadi anak manis, kesan berandalannya langsung minggat seketika. Walaupun kadang masih malu-malu, namun di status facebook mereka sudah tampak mesra.

“Kok smsku belum dibales-bales, ya?” tanya Teby tidak pada siapa-siapa.

Spontan Jimi iseng aja mengirim sms ke nomer Teby, hanya dalam hitungan detik aja sudah langsung sampai. Tanpa menunggu lama, Teby langsung nampak sumringah membuka inbox-nya, namun langsung dongkol ketika membaca nama pengirim dan tulisan smsnya: [ Met bobo, Kingkong ******! ]

“Raimu, cuk!” balas Teby dengan mulutnya. Ia tidak rela membuang pulsanya hanya untuk me-reply sms iseng tadi.

Teman-temannya terkekeh.

“Sms lama nggak dibales tuh cuma masalah sepele, Kong!” cetus Ryd kalem.”Nggak pantes tau nggak? Kamu berlagak galau kayak gitu.” Ia jadi geli sendiri. “Sori ya, kita bukan generasi galau!”

“Sepakat!” Yoris mengangkat telapak tangan.

Tos!

“Kingkong lagi kasmaran,tuh!” ledek Jimi seraya bangkit dan melangkah menuju mobilnya. “Aku pulang duluan, ya!” pamitnya kemudian.

Anak-anak lainnya mengangguk saja.

“Salam buat mama kamu ya, Jim!” teriak Yoris. “Bilang ‘Wo ai ni’, gitu, ya!”

Jimi meringis geli, “Dasar odhipus complex!”

Yoris cengengesan aja.

“Awas kamu kalo main ke rumah! “seru Jimi ketika membuka pintu mobilnya.”Kubilangin beneran deh pokoknya!” ancamnya dengan nada bercanda.
Waktu sudah menunjukan angka 00:45. Tak seberapa lama setelah Defender-nya Jimi berlalu, Ryd dan Yoris pamit pulang juga. Hanya Tomi yang memilih menginap di rumah Teby, ia masih menyimpan satu botol berbentuk pipih yang masih bersegel di tasnya, isi botol tersebut ingin dihabiskannya sendiri nanti.

Dingin semakin kuat, kabut tipis mulai turun, udara kian terasa lembab. Teby masih tampak bingung dan gelisah karena smsnya belum terbalas. Ada perasaan takut yang tak beralasan, takut gebetannya jadi ilfil atau gimana, gitu. Namun ketika ia sadar bahwa malam telah sedemikian larutnya, perasaan was-was itupun perlahan sirna. Mungkin saja Intan sudah tidur, begitu pikirnya.

Lantas, ia pun mulai merindukan pagi, Teby memilih untuk segera pergi tidur agar mentari lekas datang menyinari hari.


[ ! ]

---------- Post added at 06:45 PM ---------- Previous post was at 06:38 PM ----------

Letupan suara senjata dan aksi Angelia Jollie di film Wanted yang diputar tengah malam itu sudah tidak menarik lagi bagi Bino, ia menyenderkan punggungnya di sandaran sofa. Sementara Jessie yang duduk di sebelahnya masih terlihat asyik menonton adegan-adegan action yang absurd di film tersebut.

Pukul satu dini hari. Dari dalam ruang tengah rumah Jessie itu, mereka sempat mendengar suara deru motor yang sudah tak asing lagi sedang lewat di luar sana.

“Abis ngelayap ke mana tuh Ryd? Jam segini baru pulang?” Bino mengernyit.

“Palingan juga abis nongkrong sama anak-anak.” Jessie acuh tak acuh menyahut.” Kamu tumben nggak ikutan nongkrong ama mereka?”

“Lagi males aja, enakan berduaan ama kamu.” Bino cengengesan seraya mendekatkan wajahnya ingin mencium Jessie.

“Apaan sih! Gangguin orang nonton aja,deh!” Jessie mendelik, lalu merengut.

“Aduh, Jessie ngegemesin deh kalo kayak gitu.” Bino mulai menggoda.

Jessie masih sok cuek, lalu meraih ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Ada nama Jimi muncul di layar. “Halo…”

“Halo sayang!” suara Jimi terdengar merdu.

“Sayang, sayang…siapa kamu?!” canda Jessie di telpon.”Kok belum tidur jam segini, Jim?”

“Harusnya aku yang nanya gitu! Gimana sih?” terdengar Jimi terkekeh. “Aku kan belum bisa tidur kalo belum denger suara kamu.”

“Halah preeeet!”

Bino menghela napas panjang dan berat, lalu memilih diam.

Jessie masih terus ngobrol dengan Jimi lewat telpon.

Bino masih tak bersuara apapun. Ada sedikit rasa cemburu. Tapi ia cukup sadar, bahwa jenis hubungannya dengan Jessie itu memang sulit untuk dinamai. Mereka sama-sama tidak pernah mengikrarkan kata sepakat untuk jadian, namun sesekali dengan sadar bercumbu disela-sela waktu saat berduaan, bahkan sampai melewati batas. Jessie memberikan kecupan terliarnya, juga kehangatan tubuhnya, tapi tidak pernah mau memposisikan dirinya sebagai seorang kekasih bagi Bino.

Jessie meletakan lagi ponselnya di atas meja, sisa senyum masih terkulum di bibirnya. Kadang ia suka geli sendiri kalau Jimi mulai kumat sok perhatian padanya.

Sebentar kemudian, paras bertanya heran mulai terlihat di wajahnya ketika melihat Bino yang rada cemberut. “Kenapa kamu?”

Kembali Bino menghela napas. “Jess,” terdengar pelan suaranya.”Kamu nganggep aku ini apa, sih?”

“Nanya itu lagi!” gerutu Jessie.

“Kamu nganggap aku ini apa?” ulang Bino sedikit lebih tegas.

Jessie tak menjawab, hanya mengangkat bahu seenaknya.

“Sahabat?” suara Bino masih bertanya serius.” Sahabat nggak pake cipokan, Jess! Nggak pake ML!”

“Tapi kamu juga suka, kan?” goda Jessie sembari tersenyum nakal. Enteng saja ia bicara.

Bino masih nampak serius, namun lama-lama tak tahan juga dengan kerlingan maut itu. Entah mengapa, Jessie selalu saja bisa membungkam emosinya, meredam amarahnya.

“Kan aku udah pernah bilang,” ucap Jessie lembut.” Aku cuma melakukan sama orang yang aku sayang dan aku percaya.” Lekat-lekat matanya menatap Bino. “So, nggak perlu nanya-nanya lagi kamu itu aku anggap apa. Ngerti?” ada penekan di kata terakhir tadi. Ia lalu beranjak dari sofa, “Aku mau tidur, ikut nggak?” tanyanya sebelum mengayun langkah menuju kamarnya.

Bino tersenyum tipis agak dipaksakan.

“Ikut nggak?” Tanya Jessie menoleh lagi ketika sampai di depan pintu. ”Nggak?” Ia pun terus masuk dan menutup pintu kamarnya begitu saja.

Bino menarik napas dalam-dalam demi menenangkan hatinya, kedua tangannya meremas rambutnya kuat-kuat. Rusaaaak! Batinnya teriak.

Tanya, Bin! Seru iblis dalam dirinya.

Ya, silahkan.

Nyesel nggak?

Nyesel sih sebenernya.

Halah bohong!

Nyesel!

Bohong!

Nyesel, setan!

Bohong!

Iya deh, nggak nyesel! Udah terlanjur juga!

Nah, gitu dong, bro! Masuk deh sana! Jessie udah buka baju tuh.

Sok tau!

Ya tau dong! Dia suka pake kutang item, kan? Bodinya yahud, kan? Ramping dan kencang tanpa lemak! Mulus pula! Gue aja demen liatnya!
****! Makinya menutup ‘chatting ‘dengan iblis.

BUZZ!

Bino tak peduli.

Enam langkah lagi menuju gerbang dosa. Ia pun beranjak dari sofa, melangkah pelan dengan tenang, lalu membuka pintu pelan-pelan, juga masih dengan tenang.

Jessie yang hanya mengenakan pakaian dalam saja langsung menoleh agak terkejut.” Tutup dulu pintunya, Bin!” pintanya dengan nada manja.

Dengan kikuk Bino mundur selangkah dan menutup kembali pintu itu.

“Maksudku, kamunya masuk, terus tutup lagi pintunya dari dalam! Blo’on!”suara Jessie kembali terdengar, namun nadanya tak lagi manja.


[ ! ]

Jevo Jett
27-03-2012, 07:56 PM
Suasana gereja masih ramai, riuh rendah suara-suara percakapan mulai menggema. Kebaktian di Minggu pagi itu sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu. Dengan tertib para jemaat mulai beranjak dari tempat duduk masing-masing.

Teby juga terlihat diantara mereka, ia melangkah santai sambil celingak-celinguk mencari seseorang, namun penglihatannya masih belum menemukan sosok manis rupawan yang akhir-akhir ini sering menghiasi mimpi-mimpinya. Seorang gadis yang juga telah membuatnya rela bangun pagi di hari Minggu untuk pergi ke gereja itu. Bahkan pagi tadi ia rela menambah dosa dengan ‘ngembat’ KLX-nya Tomi yang menginap di rumahnya.- mumpung yang punya masih hangover dan tepar di kamarnya.

Jam delapan empat puluh, matahari mulai meninggi, tapi tak terasa panas.

Teby sudah duduk di bangku beton di taman dekat parkiran.

Ada tabloid wanita - entah milik siapa- yang tergeletak pasrah di bangku itu. Iseng aja ia meraihnya, sekedar ingin tahu isi artikelnya. Namun begitu tahu hanya berisi gosip-gosip seputar selebritis yang tidak penting untuk dibaca, dilipatnya kembali tabloid tadi.

Lantas ia mulai menunggu.

Sesekali nyengir jika ada teman satu sekolah yang menyapa dan menatapnya dengan pandangan heran bercampur senang. Mungkin mereka pikir anak bengal itu sudah mulai tobat. Atau mungkin juga mereka pikir Teby sedang menjaga parkiran.

“Udah lama, kak?” Akhirnya suara yang ditunggu terdengar juga. Intan melangkah mendekati.

Teby mendongak, lalu mengeleng-gelengkan kepala dengan tatapan takjub melihat Intan yang tampil anggun dengan rok panjang. Juga takjub karena senyum manis gadis itu yang menyegarkan mata dan begitu menyejukan hatinya. Uhui!

Harap maklum, Teby tuh baru pertama kalinya berani usaha ngedektin cewek. Biasanya paling cuma berani ngegodain, itupun hanya sebatas iseng ngegodain, bukan karena naksir. Tapi dengan Intan yang rada-rada agresif gitu, malah bikin Teby jadi tertantang. Ditambah lagi teman-temannya yang selalu ngomporin untuk pedekate.

“Kok ngeliatin gitu, sih?” tanya Intan memberengut manja.

“Abisnya kamu…” Teby malah garuk-garuk belakang kepalanya yang sebenernya tidak gatal. Tuh kan, ngegombal aja dia belum sangup. Badannya aja yang gede, tapi nyalinya langsung mengkeret kalau urusannya udah menyangkut soal flirting.

“Abisnya kamu apa?” tanya Intan lagi dengan suara lembut, seolah menanti sebuah jawaban manis.

Namun Teby cuma mengulum senyum nervous. Idih!

“Ah udah lah, pulang aja yuk…”

“Entar aja deh, parkirannya masih penuh tuh, motornya belum bisa keluar.” ungkap Teby memberikan alasan yang logis. Padahal masih ingin duduk berduaan dulu di taman itu seperti biasanya.

Intan menoleh ke arah parkiran, lalu menghela napasnya, sedikit kesal dan pasrah. Sebentar kemudian gadis itu duduk di sebelah sang kakak kelas. Diraihnya tabloid wanita yang tergeletak di bangku itu, sejenak keningnya berkerut. “Suka baca ginian, kak?”

“Punya orang itu, ketinggalan kayaknya.”

Intan cuma manggut-manggut ringan sembari membuka-buka tabloid tersebut. Matanya kemudian terfokus pada kolom horoskop.

“Itu sih ramalan buat ibu-ibu.” Teby melirik sekilas. “Sini aku aja yang ramalin.”

“Emang bisa?” Intan bertanya tanpa menoleh.

“Bisa dong, aku kan ahlinya.” Teby mulai improvisasi.

Intan meletakan tabloid di sisinya. “Emang bisa ngeramal apa aja?”

“Soal jodoh, keuangan, nilai-nilai ulangan kamu, apa aja bisa deh pokoknya.” Teby berusaha meyakinkan. ”Siniin deh tangan kanan kamu…” ucapnya dengan manis.
Intan menyodorkan telapak tangan kanannya.

Teby meraih dan menggenggamnya, lalu dengan jari jempolnya ia mengelus-elus telapak tangan Intan yang halus banget itu.”Gini ya aturannya,” ujarnya mulai serius. “Kalo aku tanya apapun, kamu harus jawab dengan jujur. Nah, abis kamu jawab itu, kamu harus gantian nanya aku dengan pertanyaan yang sama.” Ia menjelaskan aturan mainnya.”Ngerti?”

Intan diam sejenak, lalu manggut-manggut.”Oke, ngerti.”

Teby memejamkan mata sambil menarik napasnya dalam-dalam seolah sedang berkonsentrasi. Jempolnya masih terus mengelus-elus telapak tangan Intan dengan gerakan yang sangat lembut. “Siap?”

Intan mengangguk.

“Nama kamu siapa?”

“Intan Savitri. Nama kamu siapa?”

“Teby Bernandus. Rumah kamu di mana?”

“PBI. Rumah kamu di mana?”

“Tidar coret. Ibu kamu siapa?”

“Christy Widiyanti. Ibu Kamu siapa?”

“Kim Kardashian.” Balas Teby mulai asal-asalan, tapi rupanya Intan belum sadar. “Kamu anak ke berapa?” lanjutnya lagi sambil berusaha keras menahan tawanya yang mau meledak.

“Dua. Kamu?”

“Satu. Kamu udah punya pacar, belum?”

“Belum. Kamu?”

“Belum.” Teby lalu diam sesaat, menarik napas dalam-dalam. ”Kamu, mau nggak jadi pacar aku?”tanyanya kini dengan suara yang lebih merdu.

“?!?” Intan sempat bengong, lalu cekikikan geli seraya menarik tangannya.”Yee! Kirain serius bisa ngeramal!” ujarnya setengah mencibir.”Dasar ih!” dengan gemas dicubitnya lengan kakak kelasnya itu.

Teby terkekeh nggak karuan, jantungnya pun ikut berdetak nggak karuan. Ada perasaan takut yang bercampur dengan bakal malu, juga perasaan lega di dada.

“Bilang aja mau pegang-pegangan tanganku.” sindir Intan, tapi ada senyum tipis yang tertahan, jadi gemes juga ia rupanya.

Keduanya lalu terdiam, seakan-akan menikmati semilir angin yang berhembus merontokan dedaunan kering.

Teby langsung deg-degan. Eee ******, apaan sih tadi? Ia membatin. Perasaan bakal malu semakin memuai seiring detik-detik yang terus berdetik tanpa henti.

Intan sempat menoleh sekilas, ekspresi wajahnya antara mencibir dan meledek.

“Say Y to Yes, deh.” goda Teby.

Diam-diaman lagi.

“Why?!” pelan suara Intan terdengar seperti bertanya.

Teby yang nilai listening-nya bagus sempat bingung. ”Way? Or Why?” tanyanya serius dengan coba melafal pronounciation ala British yang dikental-kentalin.

Bagi Intan terdengar sama saja. Ia masih terdiam beberapa jenak. “Orang belum selesai ngomong udah dipotong aja.” Intan mendelik manja.”Iya, why not, kakak!” ucapnya lembut, lengkap dengan kerlingan maut.

“Beneran, nih?” tanya Teby masih belum yakin, keningnya berkerut.

Intan mengangguk ringan sembari menatap kakak kelasnya itu..

Teby bersorak girang."Yihaaaaaa!"

Orang-orang yang melintas langsung menoleh.

Intan jadi agak malu diliatin, bergegas ia melipir.

Teby mengikutinya. "Hey, tunggu!" kejarnya berusaha menyejajari langkah gadisnya.

"Malu-maluin tau nggak!" Intan melotot, mecubit keras lengan kakak kelasnya.

Teby cuma meringis senang.

Dan sejak itu, ruang V.I.P dalam hati Teby ada yang mengisi. Intan Savitri namanya.



[X]

( Lanjut aja baca halaman 250 di buku, Itu tuh, masuk ke scene yang ada Ryd nyuci motor )

BundaNa
04-04-2012, 04:52 PM
wah 3 bab hilang dari bukumu jev

Fere
04-04-2012, 06:16 PM
^

gw malah baru baca 3 bab yang ilang ini bun, bukunya belom.. ::hihi::

BundaNa
04-04-2012, 06:53 PM
makanya...beli ::hihi::

Fere
04-04-2012, 07:29 PM
nganu... bun, nganu... ::ungg::

Jevo Jett
16-04-2012, 12:20 PM
@BundaNa : Bukan ilang, cuma diirit...:D
@Fere :Belilah, dengan begitu kau sudah turut beramal :)

Jevo Jett
16-04-2012, 12:30 PM
Trafic light di perempatan Rampal menyala merah lagi.

Defender hitam berhenti, diikuti kendaraan lainnya yang ikut berhenti juga. Pengamen waria mendekati mobil itu, cuek aja ia bernyanyi di jendela dengan suara kemayu yang kaku dibuat-buat.

Jimi meraih selembar Patimura di dashboard, langsung saja diberikannya ke pengamen tadi agar lekas pergi.

“Makasih mas tampan, besok lewat lagi yaa…” ucap waria tadi dengan kenes, lalu melangkah gemulai menuju mobil lainnya.

Jimi jadi agak bergidik, antara geli dan kasihan dengan pemuda yang berdandan ala pemudi itu. Audio dan visual-nya sangat ancur.
Namun ia seperti melihat sebuah perjuangan untuk bertahan hidup yang begitu rumit, dan waria tadi sepertinya enjoy aja menjalani profesinya sebagai pengamen jalanan. Udah deh, Jim! Ngapain sih mikirin bencong segala? Tuh lampunya udah ijo!

Defender mulai bergerak lagi.
Putar-putar kota tanpa tujuan memang kebiasaan Jimi dikala bosan di rumah. Ada kalanya ia mengajak teman-temannya yang lain untuk diangkut ke dalam mobilnya, namun ada kalanya ia ingin sendiri, bergerak bebas kemana pun ingin pergi.

Neon box Cremus Café sudah terlihat beberapa meter di depan sana. Tiba-tiba saja terbesit keinginan untuk ngopi sekaligus menikmati free Wi-Fi. Ia menepikan mobilnya, lalu belok memasuki halaman parkir kafe tersebut. Ada Swift biru yang ia kenal siapa pemiliknya.

Lonely boy milik The Black Keys sayup mengalun ketika Jimi melangkah masuk ke kafe itu. Lihat kiri, lihat kanan, matanya pun langsung tertumbuk pada seorang gadis yang nampak asik sendiri dengan laptopnya.

“Halo ceweeek…!” sapa Jimi dengan manis.

Elvera mendongak, paras cantiknya membentuk segaris senyuman di bibirnya. “Hai, Jim!” pekiknya ringan.”Kirain siapa.”

Jimi menarik kursi di sebelah gadis itu, “Apa kabar, El?” tanyanya sembari duduk.

“Standart aja sih.” balas Elvera kembali menatap ke layar laptopnya. “Kamu sendiri apa kabar, Jim?” ia balik bertanya tanpa menoleh.

“Standart juga, sih.” Jimi meletakan laptopnya di atas meja.

“Yee ikut-ikutan.” Elvera menoleh sekilas.

“Kan kita sehati.” sahut Jimi ringan, lalu memanggil pelayan untuk memesan minuman. Saking seringnya ia memesan caramel machiato, pelayan kafe itu pun sudah hafal. Kafe tersebut memang sudah seperti rumah kedua bagi Jimi.

Duduk bersebelahan tapi dua remaja yang sudah lama kenal itu lebih banyak diam-diaman, karena masing-masing asik sendiri dengan laptopnya. Elvera sibuk YM-an, sementara Jimi khusyuk membaca berita – berita terbaru, tidak lupa membuka facebook untuk sekedar iseng ngerecokin status norak teman-temannya.

“Eh, Jim…” Elvera menoleh.

“Hmm?” sahut Jimi tanpa menoleh.

“Emang Ryd beneran ya? Sekarang ‘jalan’ ama Sasa?”

Jimi langsung menoleh,”What the maksud kamu nanya-nanya itu?” Ia sempat mengernyit sebelum akhirnya tersenyum nakal.

“Ya nggak ada maksud apa-apa, sih.” jawab Elvera dengan tenang.

“Halah! Yang bener?” goda Jimi usil.

“Kan cuma mau mastiin aja dari orang-orang terdekat.” Elvera beralasan.

Jimi menghela napasnya sejenak.”Kalo emang udah jadian, terus kenapa emangnya? Nggak rela?”

“Bukannya gitu,” Elvera mengulum senyum malu-malu.”Kalo Ryd jadian ama yang lain sih aku biasa aja ngeliatnya, ikhlas deh. Tapi pas denger dia jadian ama Sasa, kok kayaknya jadi rada nyesek gitu.” curhatnya berterus terang.”Aku sama Sasa kan juga lumayan kenal deket.”

Lagi-lagi Jimi menghela napasnya.”Ya begitulah cinta, deritanya tiada akhir.” ucapnya menirukan Pat Kay. “Udah deh ah, nggak usah ngurusin rumah tangga orang.”

“Bukannya ngurusin, cuma agak heran aja, kenapa jadinya malah ama Sasa?”

“Meneketehe!” Jimi mengangkat bahu seenaknya.”Udahlah,dibawa santai aja.”

“Emang akunya nyante aja, kok.”

“Terus kenapa pake nanya-nanya?” selidik Jimi.

“Kan cuma pengen tau.” dalih Elvera.

”Kamu tuh kan cantik, El.” ucap Jimi datar tanpa bermaksud merayu.”Nggak perlu pake bikini juga udah keliatan seksi, pasti gampang lah kalo mau cari cowok pengganti. Misalnya, si Jimi ini.”

”Yee, kucing garong mau nyari kesempatan!” sela Elvera tersenyum geli.

“Lho? Kok malah nuduh,sih? Kan misalnya, El. Misalnya.” Jimi senyum usil. ”Aku kan cuma ngasih sampel cowok yang saat ini jaraknya paling deket aja ama kamu.”

“Halah, bilang aja mau nawarin diri.”

“Enggak, El. Becanda, becanda. Sensitif amat sih kamu?” Jimi terkekeh.

“Iya lho juga nggak apa-apa kok, Jim.” goda Elvera dengan senyum manisnya.

“Waduh, lama-lama aku bisa main hati nih.”

“Main hati juga nggak apa-apa.”

Wajah Jimi mulai bersemu merah. “Kamu tuh kenapa sih, El? Jadi aneh gini?” tanyanya heran.

“Ya nggak kenapa-napa.” ringan aja Elvera menjawab.”Seneng aja liat kamu jadi nervous gitu.” senyumnya masih terkulum.”Kamu tuh ‘lucu’ juga ya, Jim.”

“Terus kenapa kalo lucu? Kamunya jadi mau, gitu?”

“Ya nggak gitu juga kali! GR amat sih kamu, ih.”

“Halah, bilang aja deh kalo mau. Mumpung aku lagi kosong, nih.”

Elvera tertawa renyah lagi.” Ceritanya udah dikuras nih, hatinya?” tanyanya kemudian.”Jessie udah nggak ada?”

Uanjing! Batin Jimi memaki.”Jangan nyebut nama itu, deh! Sakit, El!”

“Kalo sakit ya ‘diobatin’ dong, Jim.”

“Ya kamu dong ngobatin, katanya mau jadi dokter.” sahut Jimi dengan makna denotasi.

Elvera tersenyum simpatik, rupanya yang ia tangkap adalah makna konotasi dari kalimat Jimi tadi.”Kita udah berapa lama temenan?” tanyanya lembut.

“Kenapa emangnya? Kamu pengen minta putus, gitu?” Jimi malah mencandai.”Ya udah, kita putus!”

Keduanya terkekeh.

“Ok, let’s make a new story.” senyum Elvera mengembang dengan cantiknya.

“Apaan stora-stori?” Jimi mengernyit.

“Ya kita ‘jalan’ aja berdua, Jim.”

“Jalan ke mana?”

Elvera mulai gemes nggak karuan.

“Oh, kita jadian gitu, maksudnya?”

Elvera mengangguk pelan.

Jimi tersenyum nakal.”Nggak mau, ah! Kamu pasti mau ngerjain aku nih, iya kan?”

“Enggak Jimi, beneran.”

“Halah, kamu pasti becanda.”

“Serius aku.”

Jimi jadi senyum-senyum nggak jelas, antara senang bercampur bingung. Selama ini dia menganggap Elvera sebagai sahabat aja, tidak lebih. Itu pun sudah cukup menyenangkan,Sama sekali tidak pernah terbesit niatnya buat macarin.

“Nggak ada salahnya kan?” Elvera bertanya.” Aku ‘kosong’, kamu ‘kosong’. Jadi kenapa kita nggak saling mengisi hati aja?”

Terdiam beberapa jenak.

Jimi menarik napasnya dalam-dalam.”Ini bukan masalah aku kosong, kamu kosong, El.”

“Masalah apalagi? Karena aku mantannya Ryd? Dan dia sobatmu juga, gitu?” Elvera seperti bisa menebak pikiran Jimi.

“Iya, itu juga sih.”

“Udahlah, dibawa santai aja. Intinya sekarang, kamu mau apa nggak ‘jalan’ ama aku? Itu aja sih.”

Jimi masih bingung menentukan sikap.

“Jangan kelamaan mikirnya!”

Lagi-lagi Jimi menghela napas panjang.”Gini ya, El.” ucapnya serius.”Kalo aku suka ama kamu, itu memang. Kalo aku sayang ama kamu, itu juga memang. Tapi sebatas sebagai sahabat aja, nggak lebih.”

“Kalo sekarang aku pengennya lebih, gimana dong?” tanya Elvera dengan nada manja.

“Nggak enak ah, ama Ryd.”

“Apa urusannya ama dia?” Elvera mendelik, ”Ini urusan aku sama kamu, titik.”

“Oke gini aja Elvera cantik,” pelan Jimi berkata.”Aku tetep nggak mau ganti statusku jadian ama kamu.“ Ditatapnya gadis itu lekat-lekat. “Tapi, kalo kamu butuh seseorang untuk berbagi di saat senang maupun susah, aku bakal selalu ada untuk kamu.” ucapnya serius.

Dan senyum Elvera terkulum dengan manisnya.”Tuh kan, kalo gitu itu, gimana coba? Aku nggak bakal jatuh cinta sama kamu?”

“Ya, itu masalahmu, bukan urusan saya!” Jimi terkekeh.

Elvera memberengut, tangannya meninju pelan bahu Jimi. “Jahat, ih!”

“Biarin!” Jimi masih terkekeh. Ia kembali asik dengan laptopnya.




[||]

Jevo Jett
16-04-2012, 12:36 PM
Pagi menunggu bel masuk berbunyi.

Anak-anak IPA 6 masih asyik nongkrong di luar kelas, ketawa-ketiwi dengerin celotehannya Ali yang baru kena tilang Polisi, gara-gara motornya tidak memakai plat nomer bikinan SAMSAT.

Sebagai penggila modifikasi, tentu saja ukuran plat nomer yang resmi itu sangat mengganggu estetika. Ia pun menggantinya dengan plat nomer bikinan tukang letter yang secara visual lebih punya taste, dan ukurannya lebih kecil.

Yang bikin ia kesal bukan perkara tilang itu, tapi ketidak adilan pada saat kejadian, ada serdadu melakukan pelanggaran yang sama, namun sama Polisinya dibiarkan lewat begitu saja tanpa teguran, apalagi tilang.

“Asu tenan iku Silup!” Ali memaki penuh penghayatan. “Dia minta lima puluh ribu, tapi aku nggak punya. Kebetulan di dompet adanya cuma dua puluh, eh diembat juga! Taek!”

“Ikhlasin, ikhlasin.” Geri meringisi.” Tenang aja, Li. Entar kalo aku jadi Kapolri, biar kumutasi dia jadi Polisi tidur.”

“Halah, nggedabrus!”

Jimi yang nongkrong di sampingnya cuma ikutan meringis. Pandangannya kemudian beralih ke cewek-cewek IPA 3 yang lagi ngerumpi di pojokan sambil cekikikan. Lalu ke Tomi yang sibuk ngerayu Sari yang lagi ngambek. Isengnya pun kumat. “Udah deh, putusin aja, Sar!” teriaknya usil. “Dia tuh kemarin jalan sama aku kok, bukan sama mamanya!”

Karuan aja Tomi langsung melotot.

Yang lain malah menertawakannya.

“Iya Sar, kamu dibohogin tuh.” Ryd yang baru datang ikutan nyeletuk.” Mamanya Tomi lho kemarin jalan sama aku.”

Meledaklah suara tawa anak-anak di lokal IPA itu.

Tomi yang sewot langsung mengejar Ryd yang udah buru-buru kabur. Ia ngakak nggak karuan, sementara Tomi terus mengejar sambil memaki-maki nggak karuan.

Anak-anak yang lain masih terpingkal-pingkal dengan maksimal. Memang kurang ajar mereka itu kalau bercanda, nggak pake perasaan.

“Eh, Sari kalo cemberut gitu tambah manis, lho!” Geri iseng menggoda .

Yang digoda melengos dan buru-buru melangkah masuk ke kelasnya.

“Tambah gede aja ya itunya…” gumam Geri sembari geleng-geleng.

“Iya.” timpal Jimi kompakan usil.

Anak-anak yang lain spontan menatap Sari.

“Apanya, Ger? Biasa aja gitu kok.”

“Tasnya, tasnya!” Geri cengengsan menjawab.”Emang kamu mikir apaan?”

“Astagfirullah…” Somad langsung istigfar.

“Hiyaaa ketahuan! Somad tadi ngeres!”

Mereka pun tertawa-tawa lagi, bercanda-canda lagi, nggak ada bosen-bosennya.

Beberapa saat kemudian Jimi baru merasa ada sesuatu yang kurang di kemeriahan pagi itu. Ketika mendengar tawa ngakak teman-temannya, telinganya tak menangkap adanya harmonisasi. Biasanya ada gelegar suara Teby yang ibarat suara satu, sedangkan tadi itu hanya ada pengisi suara dua, jadinya tawa-tawa yang terdengar kurang spektakuler.

Sudah dua hari Teby tidak masuk, seolah menghilang tanpa kabar berita. Sebandel-bandelnya anak itu, ia sama sekali tidak pernah bolos, dan IPA 6 bagai kelas mati tanpa kehadiran biang kegaduhan yang satu itu.

Teeeet!

Bel masuk berbunyi. Sebagian anak-anak langsung mengerutu tidak jelas. Seperti biasa, males-malesan mereka melangkah ke ruang kelas masing-masing, mengutuki suara bel yang seakan-akan terdengar lebih cepat, padahal memang sudah waktunya.

Ke mana nih Kingkong? Dalam hati Jimi akhirnya bertanya-tanya.

Sampai jam pelajaran pertama dimulai, belum juga nampak si Teby. kelas IPA 6 terasa sepi.


[||]

E = mc²
16-04-2012, 12:36 PM
as expected ;D

dulu saya baca bukunya kepotong2, nyari2 bagian ini kirain kelewat halaman, jimi ma elvira, ternyata emang gagal cetak ya? :D

Jevo Jett
16-04-2012, 12:43 PM
Semilir angin senja itu merontokan kelopak-kelopak bunga flamboyan di halaman rumah Elvera. Melayang-layang sesaat, sebagian ada yang sempat mendarat di kepala Jimi, tapi dia tidak merasakan apa-apa. Mungkin kalau pohonnya yang tumbang dan menimpa kepalanya, baru dia bisa merasakannya, itu juga kalau masih sempat.

“Ngapain El nyuruh-nyuruh aku datang ke sini kalo cuma buat nemenin kamu bengong, heh?” Jimi mulai kesal.” Kamu kenapa? Ada masalah apa? Mau ngomong apa?” tanyanya secara medley.

Tak ada jawaban. Elvera malah menopangkan dagu dan mengulas senyuman polos tanpa dosa. Menatap teduh menyejukan, sanggup meruntuhkan iman jika kondisi tubuh sedang tidak imun.

Jimi meraih jaketnya dan mengenakannya lagi.

“Mau ke mana sih, Jim? Katanya bakal selalu ada untuk aku?” dengan nada manja Elvera bertanya.

“Iya, tapi bukan berarti aku bersedia adu bengong sama kamu! Nggak penting banget, tau!”

Elvera malah cekikikan, senang sekali dia melihat Jimi jengkel.

“Nggak betah aku nemenin kamu cuma diem-dieman nggak jelas gini.”

“Sabar dong, Jim. Kan aku lagi mikir.”

“Mikir apa?” ketus sekali Jimi bertanya.

Dengan jenaka Elvera menjawab. “Mikirin kamu…” senyumnya tekulum.

“Huek!”

Keduanya tertawa kecil.

“Eh, Jim… beneran deh, aku pengen ngomong.”

“Halah udah males.” Jimi melangkah ke Defender-nya. “Waktunya udah habis, aku mau pergi.”

“Mau ke mana sih?”

“Ke rumah Teby.”

“Ikuuuut…!”


[ || ]

Jevo Jett
16-04-2012, 12:55 PM
Derik jangkrik tak henti-hentinya bersahut-sahutan, juga diselingi lolongan anjing di kejauhan. Wangi bunga sedap malam yang tumbuh di pekarangan sesekali tercium, terbawa hembusan angin ke jendela kamar itu.

Udara semakin dingin , semakin menambah penderitaan Teby yang sedang sakit gigi. Selain mendapat rasa nyeri, geraham bungsunya yang mulai tumbuh itu juga menyebabkan tubuhnya demam tinggi.

Dokter menyarankan untuk operasi, namun anak itu belum berani. Bukan karena nyalinya ciut, tapi ia lebih takut dengan biayanya. Hal itu menyebabkan gejala pening di kepala. Jadi, lengkap sudah penderitaanya.

Ia kini terbaring lemah di lantai kamarnya. Kedua telapak tangannya menempel di pipi, matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong, perlahan mulai sayu karena pengaruh obat yang menyebabkan kantuk, tapi rasa itu seolah berperang dengan senat-senut di gusinya yang kian mendera.

Arrgh! Nggak…nggak…nggak kuat!

Andaikata saya memiliki keluarga kaya, tentu uang tiga juta itu tidaklah berat.

Ia mulai berandai-andai, mulai membenci keadaan.

Ya Tuhan, saya kan udah tobat, masa kau beri derita ini? Selama ini saya kan udah terima kenyataan, nggak pernah protes karena terlahir bukan dari keluarga kaya. Saya terima hidup apa adanya dan seadanya, kenapa juga harus kau tambah dengan sakit gigi?

HP saya satu-satunya sudah terjual buat ongkos berobat, entah apalagi nanti untuk biaya operasi. Arrgh!

Suara mesin Defender menyadarkan Teby dari lamunanya.

Mendengar suara mobil itu saja, cenat-cenutnya di gusinya mulai berkurang. Segera ia beranjak dari kamar, melangkah ke luar rumah. Dan agak kaget ketika melihat dengan siapa Jimi datang. “Wow, Elvera! Ada apakah gerangan dirimu kemari, nona?”

”Abis diapelin ama Jimi.”

“Syembarangan aja kalo ngomong!” Jimi langsung melotot.

Teby melirik sambil tersenyum nakal kearah Jimi. “Wah, wah, wah, ada cerita apa ini?”

“Udah, nggak usah dibahas!” Jimi sempat senyum tipis.”Kamu kenapa nggak masuk, Kong?” tanyanya mengalihkan topik.

Bukannya ngejawab, Teby malah garuk-garuk belakang kepalanya yang sebenernya tidak gatal.

“Itu pipi kok makin chubby aja sih, Teb?” tanya Elvera.

“Chubby katamu?” Teby meringis.” Lagi sakit gigi, tau!”

Jimi terkekeh.” Hari gini sakit gigi!” ujarnya setengah meledek.”Udah ke dokter?” tanyanya serius.

Teby cuma mengangguk.

“Terus?”

Teby menghela napas berat.”Ya, harus dicabut.” datar aja ia menjawab.”Lewat operasi kecil.”

“Udah, belum?” Tanya Jimi lagi.

“Ya belum lah.”jawab Teby diikuti helaan napasnya.”Masih ngeri.”

“Halah, nggak sakit aja kok pas dicabutya.” Kata Jimi yang sudah pernah menjalani operasi pengangkatan wisdom tooth.

“Bukan ngeri dicabutnya, tapi ngeri ama biayanya, bos.”

“Butuh berapa?”

Agak sungkan dan berat juga Teby menyebutkan angka yang nilainya jutaan untuk biaya operasi empat gigi bungsunya itu.

Jimi menarik napas sejenak.“Sekarang aku belum punya duit segitu sih, tapi tenang aja, entar aku bantu cariin deh sama anak-anak.” tukasnya santai.” Pake subsidi silang, kayak biasanya.”

Sebentar kemudian ia pamit. Ada urusan bisnis, katanya.

Teby jadi tidak enak enak juga, gara-gara giginya bermasalah, semua jadi ikutan repot. Namun diantara deritanya, ia merasa bersyukur memiliki sobat-sobat yang rasa kekerabatannya lebih kental dari darah.

Haleluya! Desisnya sembari menahan nyeri.


[||]

Jevo Jett
16-04-2012, 12:58 PM
Waktu menunjukan pukul sembilan malam. Elvera tampak mulai gelisah duduk di bangku sudut. Sementra Jimi dan Tomi sedang asyik bermain biliar, meladeni tantangan orang-orang yang mengajak mereka taruhan, sudah satu jam lebih mereka bermain.

Rupanya agak menyesal juga gadis itu ikut dengan Jimi. Bukannya pergi ke tempat-tempat romantis, tapi malah dibawa ke tempat yang isinya mayoritas adalah laki-laki sangar yang lengannya penuh tato. Tapi ia juga tidak bisa begitu saja menyalahkan Jimi, sebab Jimi memang tidak mengajaknya, ia sendiri yang memang kepingin ikutan.

Ruangan cukup pengap dengan kepulan asap rokok, ditambah sinar lampu TL yang menggantung di atas tiap meja biliar, tentu saja semakin membuat hawa terasa gerah. Beberapa kipas angin berbaling-baling tiga yang menggantung di langit-langit seperti tak sanggup mengusirnya.

Elvera melihat Jimi tersenyum penuh kemenangan. Om-om gendut yang menjadi lawannya juga tersenyum, namun rada sepet. Si om itu kemudian mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar pecahan seratus ribuan, lalu diserahkan uang itu ke tangan Jimi.

“Thanks ya Om!”


Di meja lain, Tomi masih asik bermain dengan lawannya.

“Tiga set lagi, gimana?” tanya si Om masih penasaran dengan Jimi.

“Besok aja deh, Om. Saya harus balikin anak orang dulu, nih.” Jimi meletakan stick di tempatnya.

“Siapa? Cewekmu?”

Jimi cuma nyengir.

Namun Elvera sempat melihat Jimi mengangguk mengiyakan, dan gadis itu segera mengalihkan pandangannya ketika Jimi menghampirinya.

“Pulang, El.” ajak Jimi dengan nada biasa saja.

Elvera mengangguk, senyum tipis terulas di bibirnya. Entah apa makna yang tersirat.


[||]

Jevo Jett
16-04-2012, 01:03 PM
Ada bulan bulat tapi bukan purnama, cahayanya pucat keperakan, seperti telah memudar di langit malam. Juga ada suara almarhum Kurt Cobain yang terdengar lirih menyanyikan “Something in the way” lewat siaran radio di dalam Defender itu.

Mobil tersebut sudah sampai di depan pagar rumah Elvera.”Mampir bentar ya, Jim.” Pinta gadis itu bukan bermaksud basa-basi.

“Males ah, tadi sore udah gitu kok.” balas Jimi sekenanya, lalu tersenyum nakal.

“Aku pengen ngomong.”

“Ya ngomong aja.” Jimi mematikan mesin.

Elvera menghela napasnya sejenak.”Aku kasih tau, ya?” senyumnya terkulum.

“Nggak mau, ah!” canda Jimi.

“Tuh, kan!” Elvera memberengut.

“Ya udah ngomong aja, nggak usah kebanyakan kata pengantar, napa?”

“Tadi kamu ngakuin aku sebagai apamu sama om di billiard?”

Jimi mengernyit sejenak, mengingat-ingat sesuatu.” Oh itu… iya, ceweku.” ujarnya enteng tanpa beban.”Lagian, kalo aku bilang bukan, dia paling juga nganggepnya tetep iya.Jadi ya diiyain aja sekalian.” bilangnya santai.

“Kalo aku yang nanya, diiyain juga, nggak?” Elvera melirik usil.

“Enggak…”

“Kenapa gitu, enggak?”

“Kan emang bukan.”

Kembali Elvera menarik napas sejanak.”Sebenernya, aku udah sediakan tempat yang lapang di hatiku untuk kamu, Jim.” ucapnya pelan berterus terang.”Aku merasa nggak ada yang pantas di dalam hatiku selain kamu.”

Jimi mendengarkan sambil senyum-senyum nggak jelas.

“Sebenernya tinggal selangkah lagi, tapi kamunya aja yang nggak mau maju.”

Jimi malah terkekeh.”Aku lho mikirnya nggak sesimpel itu, ya.” Ia coba menjelaskan.”Aku juga nggak punya alasan yang kuat untuk apa jadian ama kamu. Kalo cuma sekedar buat dapet status punya pacar sih, itu juga bukan prioritasku, jadi buat apa maju?”

“Apa masih trauma?”

“Nggak lah, cuma pengen bebas aja dari belenggu cinta yang tai kucing itu.”

Elvera mencibirnya, setengah meledek.”Bilang aja masih kapok.”

“Syembarangan aja!”

Elvera terkekeh, sejenak kemudian ia berkata.”Kamu nggak bakalan pernah tau indahnya cinta kalo nggak pernah mencoba.” Didekatkan wajahnya ke wajah Jimi, mengecup bibirnya.

Ada hangat yang menjalar dan memicu sebuah reaksi kimia dalam tubuh.


“Semoga malam ini kamu nggak bisa tidur, Jim.” Elvera membuka pintu, senyumnya masih terkulum saat gadis itu melangkah ke luar.

Dibukanya gerendel gerbang rumahnya. Ia menoleh, melambaikan tangan sebelum menutup lagi pintu pagar.


Klik! Gembok terkunci.

Jimi masih kaget, ia terdiam, tapi jujur masih kepingin lagi.

Dinding egonya seakan-akan telah runtuh dalam hitungan detik tadi. Keangkuhannya musnah seketika. Juga ada sedikit rasa sesal, mengapa tadi tidak sempat membalasnya. Sesal yang tiba-tiba saja menjelma jadi rasa penasaran.

[||]

Jevo Jett
16-04-2012, 01:18 PM
as expected ;D

dulu saya baca bukunya kepotong2, nyari2 bagian ini kirain kelewat halaman, jimi ma elvira, ternyata emang gagal cetak ya? :D

Versi revisi awal, Maret 2011. Waktu itu pertama kalinya ngobrol by phone ama orang redaksi. Jadi, bikin deh tambahan bab, itu juga berdasarkan dari judul "RELOAD". Pas Desember 2011, file yg udah diedit dibalikin, ternyata story Jimi ama Elvera nggak dipake, judul diganti pula. Ya udah lah, daripada kacau, pending aja bagian ini.

Jevo Jett
01-05-2012, 09:51 PM
Ada benda yang namanya meja belajar di kamar Jimi, tapi benda itu hampir tak pernah berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya sebagai perabotan pelengkap saja, pemiliknya lebih sering menggunakannya untuk merakit model kit ketimbang membaca buku pelajaran. Dan pemilik meja itu, kini malah sedang terbaring pasrah di atas spring bed. Kantuknya belum mau datang, bermacam-macam pikiran masih saja mengganggu benaknya. Padahal orang yang sedang dipikirkannya, mungkin saat itu malah sedang pulas tertidur nyenyak.

Tanpa dikehendakinya, lobus parientalis-nya membuka lorong waktu, matanya kini seakan-akan telah berubah jadi proyektor, menyorotkan sinar yang menghasilkan gambar-gambar bergerak pada langit-langit kamarnya, memutar ulang rekaman dua jam lalu yang tersimpan rapi dalam memori otaknya. Namun, hanya adegan berdurasi tiga detik itu yang terus diulang-ulang. Tiga detik yang membuatnya begitu menyesal karena kurang responsive, lantas merasa jadi cowok paling blo’on sedunia.

Sebagai pemegang sabuk cokelat, mungkin refleknya hanya terlatih untuk menghindari pukulan dan tendangan, lalu langsung balas menyerang. Dan ketika mendapat kecupan, jadinya malah bengong, ngebalas aja enggak.

Andaikata bisa diulang… Mulai ia berandai-andai, dan tanpa ia kehendaki lagi, lobus parientalis mengajaknya bertandang ke masa SMP, di waktu masa orientasi siswa tepatnya. Saat itulah pertama kalinya ia mengenal seorang Elvera, teman satu kelompok yang diketuainya.

“Hai, namaku Elvera.” Sapa gadis itu dengan senyum yang masih polos.”Kita satu kelompok, kan?”

Jimi hanya menganguk nyaris tanpa ekspresi, masih jaim. Walaupun dalam hati ia senangnya bukan main, karena gadis yang sejak pertama kali terlihat di gerbang dan langsung mencuri perhatian banyak cowok itu, ternyata masuk dalam kelompoknya.

Keesokan harinya, Elvera salah membawa tugas. Tepung ketan, wijen, kacang hijau, minyak goreng, ia bawa semuanya. Padahal, seharusnya cukup dengan membawa kue onde-onde saja, tidak perlu membawa semua bahan.

Jimi yang merasa bersalah karena lupa memberitahukan ‘rahasia’ itu pada anak buahnya, akhirnya memberikan onde-onde yang dibawanya ke gadis itu.

“Entar kamu gimana?” tanya Elvera.

“Udah tenang aja, aku bawa dua, kok.”

Sialnya, stok onde-onde satunya dicuri oleh entah siapa. Praktis ketika pembekalan di kelas, anak itu kena hukuman dari kakak kelas yang bernama Tinton- yang konon paling disegani se-SMP GP.

“Sini, sini!” perintah Tinton dengan congkanya.”Kenapa kamu nggak bawa?”

“Lupa, kak!”

“Lupa? Jangan bohong, kamu! Tadi saya liat kamu kasih punya kamu ke Elvera.”

Deg! Jimi langsung menampakan ekspresi kaget.

“Iya, kan?”

Dengan menunduk, Jimi akhirnya mengaku.”Iya, Kak.”

“Kenapa kamu kasihkan ke dia? Naksir ya?” tanya Tinton.

“Enggak, kak.”

“Ah, yang bener.” Tinton tersenyum nakal, niat usilnya pun muncul. Dipanggilnya Elvera ke depan kelas. Lalu disuruhnya Jimi untuk merayu gadis itu.

Seisi kelas pun langsung bergemuruh.

“Hei diam!” bentak Tinton, “Jangan ada yang ketawa!”

Semua langsung mingkem.

Jimi dan Elvera, masing-masing jadi salah tingkah.

“Ayo, dirayu!” perintah Tinton.

“Nggak bisa, kak.” ucap Jimi setengah sungkan.

Elvera makin menundukan kepala.

“Ayo, dirayu dong yang mesra!”

Jimi masih diam.

Elvera semakin dalam menundukan kepala, ada yang menetes dari matanya. Sebentar kemudian gadis itu mulai sesengukan karena menahan malu.

Lalu dengan kaku Jimi coba menenagkannya.”Elvera kok nangis sih?” disentuhnya pundak gadis itu,”Siapa yang nakal? Anak itu ya?” Sempat ditatapnya Tinton dengan pandangan tajam.”Entar deh, aku TONJOK dia!” sengaja ia memberi penekanan pada kalimat itu untuk menegaskan sebuah tantangan.

Tinton hanya tersenyum sinis meremehkan.

Seorang teman Tinton memberitahukan kalau ada guru.

“Udah,udah, duduk sana.” perintah Tinton.

Dissolve to : Jam istirahat pertama di hari pertama resmi jadi anak SMP.

Jimi ditarik ke toilet oleh Tinton dan dua orang temannya.

“Katanya mau nonjok?” Tinton tersenyum sinis.”Sudah merasa hebat kamu, ya?”

Di dalam toilet itu sudah ada dua anak kelas 7 lainnya yang sedang kencing. Yang satu namanya Veryd, satunya lagi Teby, namun waktu itu Jimi belum mengenal mereka.

“Udah, tonjok aja!” celetuk Veryd dengan santainya sambil menarik resleting.

Teby pun menimpali.”Tanganku nganggur juga nih, kalo mau pinjem.”

Born to be wild! Jreng…jreng!

Jimi meringis geli mengenangnya.

Kembali ia coba memejamkan mata. Kantuk belum juga mau berkunjung, menyapa pun tidak. Yang datang malah pikiran itu-itu lagi, tiga detik yang ingin ia ulang, tiga detik yang tanpa dihendakinya telah menciptakan sekepal kerinduan. Rindu yang tidak jelas arahnya, tak kasat mata namun sangat terasa, perlahan-lahan mulai menyiksa.


*Perfect Drug 2 ;)


[||]

Jevo Jett
01-05-2012, 10:11 PM
Kelabunya langit mulai rontok jadi gerimis. Di sore yang basah itu Jimi mampir ke rumah Teby. “Nyoh, Teb!” Jimi menyerahkan beberapa lembar Soekarno – Hatta.” Aku sama Tomi dapet lima ratus, Ryd tadi nambahin dua ratus, kurangnya gampang deh. Entar malem Minggu cari lagi.”

“Uang panas nih kayaknya?”

”Yang ngasih udah iklas kok.”

Agak merasa tidak enak juga Teby menerima uang itu. Selama ini teman-temannya sudah begitu baik padanya, sementara dia sendiri belum bisa membalas segala kebaikan-kebaikan itu. Satu sisi ia perlu, namun di sisi lainnya ia juga tak ingin dianggap benalu.

“Entar aku cicil balikin uang ini, Jim.”

“Udah deh, lupain aja soal itu.”

*
Untuk kedua kalinya Teby masuk ruang praktek dokter gigi itu. Walau tegangnya nggak karuan, pikirannya menghibur diri dengan membayangkan sedang duduk di kursi pantai, berusaha serileks mungkin, tapi tetap saja rasa ngeri menghantui.

Teq! Lampu dinyalakan lagi.

Teby mangap , lalu dokter mulai menyuntikan obat bius di beberapa titik pada bagian gusinya.

Lima menit berlalu, dokter pun mulai bertanya, “Sudah terasa ‘tebal’ ?”

Teby mengangguk saja.

Dokter memeriksa dengan pinset.”Sakit?”

Teby menggeleng, namun ketika gusinya dibuka, ia merasakan nyeri.

Dokter itu menghela napasnya. “Kamu suka minum, ya?” tanyanya.

“Kalo haus ya minum, dok.” jawab Teby dengan polosnya.

“Maksud saya minuman beralkohol.”

Teby meringis, mengangguk pelan.

“Nah itu penyebabnya, biusnya jadi nggak mempan.” Dokter mematikan lampu.”ditunda aja dulu.” Ia melangkah menuju mejanya, mencatat sesuatu di buku, lalu membungkus dua jenis obat.

Satu sisi ada perasaan sedikit lega di hati Teby, namun di sisi lainnya juga merasa sesal. Masalah pada satu gigi aja belum bisa diberesin dan masih butuh waktu lagi. Sementara setiap kali kontrol harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Enak kali ya? Jadi dokter gigi? Punya banyak pasien, dan penghasilan pun tinggi. Begitu pikirnya.


*

Waktu isirahat pertama baru dimulai, di toilet lama yang bisanya dijadikan area buat merokok itu masih tampak sepi. Mungkin anak-anak masih pada males ke sana, karena lokasi tersebut sudah tidak aman lagi semenjak ‘diliput’ anak bulletin yang sok bikin laporan investigasi. Tapi yang nggak berani ke tempat itu lagi cuma anak kelas satu dan dua aja, yang kelas tiga sih berlagak masa bodoh. Mereka yang bandel-bandel tetap aja masih berkeliaran di sekitar lokasi tersebut.

“Jim…!” Ali berlari menyusul Jimi.

Jimi menghentikan langkahnya sejenak, menoleh.

“Ada perlu aku sama kamu.” Ali menyejajari langkah Jimi. “Tapi ini rahasia.”

“Apaan?”

Ali menyulut cigaretnya terlebih dahulu, lalu memasukan kembali kotak rokok di sakunya, tak perlu ia menawarkan ke Jimi, karena anak itu memang bukan perokok.”Gini bos,” ucapnya dengan mulut berasap.”Bisa kan? Usahain dapat motornya Ryd buat kupake tarikan?”

Jimi menyeringai, otak bisnisnya pun langsung jalan.”Taruhannya berapa dulu, nih?” tanyanya sok jual mahal.

“Lima juta!”

“Ah, nggak mungkin!” Jimi tersenyum nakal.”Itu kayaknya masih terlalu kecil deh buat joki sekelas kamu.”

“Beneran deh, kali ini yang nantangin cuma berani pasang segitu.”

“Terus, kamu terima?”

“Ya iya lah, lagi butuh duit juga gini.”

Jimi berpikir sejenak, menimbang-nimbang sesuatu.”Bagianku berapa persen, nih?”

“Dua lima!”

Jimi langsung mencibir.”Sori, aku keberatan kalo nerima bagian cuma segitu.”

“Tambah lima persen, deh.”

Setelah berpikir sejenak, Jimi tersenyum tanda setuju.

“Dasar pemeras!” gerutu Ali.

“Simbiosis mutualisme, kan?”

“Simbiosis matamu!”

Keduanya terkekeh.

“eh, eh, ada guru! Ada guru!”

Mereka pun segera mengamankan diri masing-masing dari tempat itu.


[ || ]

Jevo Jett
06-05-2012, 10:48 PM
Siang pamitan pulang, sore mulai datang menyapa. Kedua kakak beradik itu sedang santai di beranda. Si sulung tampak asik memanjakan motornya, mengelapinya dengan cairan pembersih agar bodinya senantiasa mengkilap. Sementara si bungsu asik mengamati koleksi kaktus-kaktus mungilnya di pot-pot kecil. Ia memang menyukai jenis tanaman itu karena tidak bikin repot merawatnya, hanya butuh satu sendok air perminggu.

“Ryd…” pelan Dinda memanggil.

“Hmm?” sahut sang kakak tanpa menoleh.

“Entar ada acara nggak?”

Ryd menggeleng sambil terus mengelapi motornya.

“Kita nonton, yuk.”

“Nee!”Lagi-lagi Ryd menggeleng.”Minggu lalu kan kita abis nonton.” Ia menoleh ke adiknya.

“Terus apa hubungannya?”

Ryd pindah duduk di undakan teras.”Dihemat dong uangnya.”

Dinda langsung memberengut.”Papa kan udah nitipin jatahku di kamu.”

“Iya, tapi itu bukan berarti buat kamu boros-borosin!”

“Aaaa pokoknya aku pengen nonton.”

“Nggak!”

“Nonton!”

“Aku bilang nggak, ya nggak!” Ryd melotot galak.

Dinda mulai manyun nggak karuan, menatap Ryd penuh rasa benci.”Nyebelin! Aku pecat kamu jadi kakak!” Ia beranjak masuk ke dalam rumah. Biasa, ngambek tuh.

Ryd tak peduli, namun ia bisa maklum dengan perubahan sifat adiknya yang ‘baru kemarin sore’ jadi anak putih biru itu. Kolokan, baru mencicipi derasnya tuntuntan pergaulan di sekolah. Dimana untuk diterima di kelompok tertentu harus punya ini punya itu, pakai ini pakai itu, untuk menjadi keren itu identik dengan banyak tau, takut dibilang kuper hanya karena belum nonton film terbaru.

Untuk urusan outfit pun selera adiknya mulai berubah. Dulu dibeliin apa aja mau, sekarang untuk kaos aja maunya Roxy, atau keluaran clothing distro ternama. Beruntung ayah mereka masih mampu, tapi Ryd tidak setuju jika ayahnya terlalu memanjakan adiknya itu, apalagi selalu menuruti permintaanya. Bukannya cemburu, ia hanya tidak ingin adiknya jadi serba terbiasa menggampangkan sesuatu nantinya.

“Cengeng!” teriak Ryd ketika telinganya mulai mendengar suara sesengukan. “Ngadu sana ama Facebook!” Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya tadi.

“Kamu tuh emang bukan kakakku aslinya, kamu tuh anak pungut!” sahut Dinda.

“Kamu tuh yang anak pungut! Dulu ditukar papa ama anak kucing.” balas Ryd.

Diam beberapa jenak. Nggak lama suara Dinda terdengar lagi,”Oo nggak bisa! Waktu aku lahir kamu kan tau, tapi waktu kamu lahir aku kan nggak tau… jadi, pasti kamu yang anak pungut!” teriaknya disusul tawa penuh kemenangan.

Meskipun sebal, Ryd ikut tersenyum juga mendengar pikiran logis adiknya itu.
Sebentar kemudian, suara Defender yang berhenti di depan sana membuatnya menoleh ke pintu pagar. Siapa lagi yang datang kalau bukan Jimi.

Dinda keluar, ada senyum dan tatapan berbinar di matanya yang sedikit basah.

“Kenapa, dek?” tanya Jimi sembari membuka pintu pagar.” Abis diapain kamu ama dia?”

Dinda pun mengadu pada Jimi, lengkap dengan bumbu tambahan.

“Ya udah, Senin aja kita nontonnya ya.” ujar Jimi kalem penuh sayang.

“Asiiiik…” Dinda tersenyum senang, lalu menoleh ke kakaknya sambil melotot, meledek menjuluran lidah, dan langsung kabur sebelum kena lemparan sandal jepit.

“Punya adek satu aja disia-siain!” gerutu Jimi, lalu duduk di undakan.

“Mulai banyak tingkah dia lama-lama.” Ryd mendengus kesal.”Kamu juga sih, pake ikut-ikutan manjain dia segala!”

“Abis mau manjain siapa lagi coba? Adik aku nggak punya, pacar juga nggak punya… masa mau manjain kamu? Idih najisss!” Jimi terkekeh.”Najis buanget!”

“Matamu!” maki Ryd dengan fasih.

Jimi masih terkekeh. Sebentar kemudian baru ia mengutarakan maksud kedatangannya sore itu.”Motormu aku pake, ya?”

“Mau ke mana?”

“Ada proyek yang butuh kecepatan…” Jimi berimplisit ria.

Rupanya Ryd tidak menangkap maksudnya, juga tidak curiga. Yang dia pikir Jimi memakai motornya hanya untuk menghindari macet di jalan.”Cewek mana lagi yang mau kamu apelin, heh?”

” Ada deh!”

Mereka kemudian merogoh dompet, mengeluarkan STNK dan saling bertukar surat kendaraan masing-masing beserta kunci kontaknya. Nggak lama kemudian Jimi sudah duduk di atas motor, menekan stater.

Di gerbang perumahan itu, Ali sudah menunggu.
CBR merah itu akan dibawa dulu ke bengkel langganan Ali untuk disetel jadi setingan balap. Ia memang punya mekanik khusus yang ahli urusan dapur pacu. Mereka memang satu team.

Biarkan saja Ryd tidak tahu kalau motornya diutak-atik, biarlah.


[||]

BundaNa
07-05-2012, 06:46 PM
eh, dibukunya Jimi malah ga keliatan kenal sama Dinda ya?

ul.malik
07-05-2012, 07:26 PM
habis baca yang paling baru ini baru ngeh akhirnya.

heran aja itu elvera cepet banget transisi dari ryd ke jimi. ::ungg::

elhakim
08-05-2012, 04:04 PM
kepanjangan ceritanyah... ane print dolo deh.. ::ungg::

komporminyak
08-05-2012, 04:14 PM
kepanjangan ceritanyah... ane print dolo deh.. ::ungg::

beli novelnya donk... Jatuh Cinta,
ini kan yang untold story di novel itu.
kisah2 yang didrop yang ga jadi dicetak ;D

BundaNa
08-05-2012, 04:20 PM
@ul: itu kan jimi lg b'nostalgia jaman smp. bukan elvera dr ryd ke jimi

ul.malik
08-05-2012, 04:45 PM
^
iya bu.
maksud saya itu kan ceritanya setelah si sasa jadian ama ryd.
si elvera jadi deket ama jimi.

si elvera ini kok cepet banget berpindah ke lain hati, padahal kan sebelumnya masih intim banget ama ryd.
ternyata dulunya pernah ada sejarah ama si jimi.
::ungg::

BundaNa
10-05-2012, 12:27 PM
^iya baru baca semuanya...ggp lah, gwe sih nebaknya emang Jimi sama Elvera ntarnya kalau mau dibikin sequel::hihi::