PDA

View Full Version : Satu jam saja….



etca
09-02-2012, 04:21 PM
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=Y7ajd6VHZ7g

note : untuk yang bandwidthnya kenceng,
direkomendasikan baca kisah di bawah ini sambil mendengerkan youtube di atas :)


Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh di seluruh kota.

Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil.

Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya. Tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya yaitu bahwa ia bukan penduduk asli di situ, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu
dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada di kantong.

Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti
memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu sang suami berkata: “Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini.”
Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.

Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika. Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suami nya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu,orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya.

Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja.

Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya yang kini sudah hampir 2 tahun dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan
mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula.

Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak di tempat. “Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita”.

Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan.
Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anak nya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti…
Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit.

Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya.
Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota.

Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah dipusat kota.
Di situ gadis cilik itu dijual.
Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.

Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat.

Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi.

Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita yang pandai bermain piano dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang penuh welas asih bernama Geraldo.

Setahun setelah pernikahan mereka, ayahnya wafat dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu.

Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu.

Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam.

Sesuatu di telinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni.

Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu
di dekat foto.

Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang . Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.

Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada.

Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran :
“Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?”

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian di seluruh negeri.

Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil.

Ia mendatangi yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari semua panti jompo dan badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.

Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia selalu berharap dan berdoa agar ia dapat menemukan ibunya.

Akhirnya kamma baiknya berbuah.

Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka.

Sekali melihat, mereka segera tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto.
Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil di tepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.

Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya.
Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.

Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup
sekarang, dan sedang menunggunya. Ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar.

Pada hari ketiga, sekitar pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka bahwa ibunya mungkin sudah ditemukan walau dalam kondisi yang tidak sehat dan sedang sekarat. Mereka diminta segera datang menjumpai wanita tua yang tengah sekarat itu.

etca
09-02-2012, 04:21 PM
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi di pinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main di tepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikut nya yang lebih kecil lagi.
Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.
Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. “Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”.

Ia mulai berdoa, “Biarkanlah saya memiliki waktu setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja”.

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia kembali berdoa :
“Semoga saya masih memiliki cukup kamma baik untuk merawat mama walau hanya sebulan saja”.

Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya , dan ia mulai menangis : “Bila sebulan terlalu banyak, semoga kamma baik mendukung kami untuk bisa berkumpul dan saling memanjakan walau hanya selama seminggu”.

Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat.

Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan di tengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.

Mobil mereka berhenti di antara empat mobil mewah lainnya dan tiga mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti diikuti empat mobil rumah sakit lain.

Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
“Belum bergerak dari tadi.” lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan bergegas turun mobil.

Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
“Serrafona, kemari cepat !
Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu .”

Serrafona memandang tembok di hadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkan nya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

Serrafona berdoa dan berharap agar kamma baiknya berbuah sehingga ia bisa berkumpul dengan ibunya walau hanya sehari. “Biarlah saya memiliki kesempatan didekap mama dan memberitahukannya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia…… Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya”.

Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu ke dadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.

“Mama……”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam – antara waras dan tidak – dan tiap hari – antara sadar dan tidak – kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik kembali kesadarannya yang akan terlepas dari tubuh rentanya.

Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.

“Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang Mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu…… Mamaaaaa……”

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa dan berharap kembali ” Semoga saya masih memiliki kesempatan bersama Mama. Satu jam saja…satu jam saja…… ”

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.

***************

Teman….. mungkin saat ini kita sedang beruntung.
Hidup ditengah kemewahan dan kondisi berkecukupan.
Mungkin kita mendapatkan semua itu dari hasil keringat sendiri tanpa bantuan orangtua kita.
Namun yang perlu kita sadari adalah orangtua kita senantiasa berdoa untuk kita, meski itu hanya di pembaringan……
Sayangilah orangtua kita selagi mereka masih ada, masih bisa melihat dan mendengar, masih bisa menikmati makanan enak yang kita berikan……
Semoga kita tidak terlambat untuk membahagiakan orangtua kita.
Kalaupun kita tidak mampu membahagiakan orangtua, kita hendaknya selalu bertekad agar tidak membuat mereka sedih maupun kecewa apalagi hingga mengalirkan air mata atas ulah dan perilaku kita.

Semoga semua orangtua selalu berbahagia karena memiliki anak-anak yang tulus berbakti dan sayang kepada mereka.
Semoga demikianlah yang terjadi.

saus kecap (http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/artikel/satu-jam-saja/#more-10362)

opera
09-02-2012, 04:32 PM
::nangis:: ::nangis::
::maap:: ::maap:: ::maap:: ::maap::

etca
09-02-2012, 04:39 PM
gw dapat link ini pas ym-an ama orang ****** sebelah cari2 info.
mewek langsung pas baca tulisan di atas, mana gw juga bacanya sambil dengerin lagu youtubenya

::nangis::::nangis::
jadi kangen nyokap, minggu kemarin ga nelp beliau.. :|

Porcelain Doll
09-02-2012, 04:45 PM
g menyesal membuka thread ini ::nangis::::nangis::::nangis::

*mata panda*

ummu_w@rdah
10-02-2012, 08:09 AM
Subhanallah! Iih,, terima kasih, ini tausiah yang berharga. Aku adalah seorang ibu, dan anak dari seorang ibu juga, istri dari suami yang merupakan anak seorang ibu,,, sangat dalam dan menyentuh, aku retell ke teman2 ku juga sambil terharu,,, temanku ikut mengambil hikmahnya. terima kasih.