PDA

View Full Version : [Cerbung] Ryan dan Dena



Jumpin' Lizard
29-07-2011, 12:02 PM
Part. 1


Malam itu Ryan termenung sendiri dalam kamarnya. Terbayang-bayang perjalanan pulangnya tadi bersama Dena, teman kantor yang baru. Meski hanya berboncengan motor dan tidak mengantar sampai depan rumah Dena, Ryan senang bukan main.

Masih teringat juga ucapan Dena tadi siang, ketika meminta kepada Ryan untuk membonceng karena suami Dena berhalangan untuk menjemput.
”Mas Ryan, pulangnya ke arah Bekasi khan?”

Ryan yang sedang membuat kopi di pantry sesaat merasa kaku; suara merdu itu datang dari samping kirinya, menyapa buluh-buluh perindu dalam hatinya. Segera dengan sekuat tenaga Ryan memulihkan kondisinya, demi menoleh ke kiri untuk melihat siapa yang berucap kepadanya. Namun hanya itu yang bisa dilakukan, karena ketika dia menoleh, terlihat sepasang bola mata yang indah, menatap tajam kepadanya hingga seolah menusuk jantungnya. Tapi tusukan itu bukan tusukan yang sadis, melainkan tusukan yg lembut dan membawa kedamaian. Ryan lagi-lagi merasa kaku.

”Eh, iya Mbak. Kenapa emangnya Mbak Dena?”
Ryan menjawab pertanyaan Dena dengan terlebih dulu mengalihkan pandangannya, kembali ke cangkir tempat dia membuat teh. Padahal saat itu teh nya sudah selesai dibuat. Semata demi memulihkan lagi kondisinya yang secara dua kali berturut-turut dibuat lemah lunglai tak berdaya.

”Boleh nebeng ngga Mas? Suamiku ngga bisa jemput sore ini” pinta Dena.

”Oh, boleh saja Mbak” jawab Ryan sedatar mungkin. Dia tidak ingin perasaan hatinya yang bergejolak diketahui oleh Dena.

”Oke, makasih Mas Ryan. Sampe sore yah” ucap Dena sambil melambaikan tangan kepada Ryan seraya berjalan kembali ke ruang kerjanya.
Tak ada jawaban lagi dari Ryan. Hatinya telanjur berbunga-bunga. Pikirannya terbang ke awan.
Ryan tidak peduli bahwa jalur yang dia lewati sebenarnya tidak satu arah dengan rumah Dena. Walaupun sama-sama ke Bekasi, namun jalan yang ditempuh sebenarnya berbeda. Hal ini membuat Ryan harus sedikit mengambil jalan memutar untuk arah pulangnya saat berboncengan dengan Dena. Tapi Ryan tidak peduli. Seandainya jalan memutar yang ditempuh hingga mengelilingi duniapun, Ryan tidak peduli.

Memang sejak pertama kali Dena bekerja di kantornya, Ryan melihat ada yang spesial dalam diri Dena. Hal itu membuat Ryan jatuh hati padanya, meski kemudian Ryan mengetahui Dena sudah memiliki suami dan satu orang anak laki-laki. Ryan pun saat ini sudah bertunangan dengan Lina; kekasihnya semenjak di bangku kuliah. Namun entah kenapa, perasaan itu tiba-tiba muncul tanpa bisa ditahan oleh Ryan. Dan tidak seperti teman-teman kerja wanita yang lain, Ryan tidak bisa mendekat untuk sekedar mengobrol basa-basi dengan Dena, tidak bisa berakrab-akrab dengannya. Ryan hanya bisa curi-curi pandang dan mengagumi Dena dari jauh. Kadang jika berpapasan dengan Dena, Ryan hanya bisa menunduk atau mengalihkan pandangan ke arah lain. Padahal dengan teman-teman kerja wanita yang lain, Ryan sering menyapa bahkan mengajak bercanda. Entah mengapa Ryan tidak bisa berlama-lama menatap mata Dena. Tatapan balik dari Dena bisa membuatnya tiba-tiba seolah kehilangan tenaga, seperti tulang-tulang dalam tubuhnya melapuk dengan cepat.


Kembali ke dalam kamar malam itu. Suara-suara di dalam hati Ryan bersorak-sorak gembira karena bisa mengantar Dena pulang. Ryan tertidur pulas dengan senyum manis tersungging di bibirnya.







bersambung...

etca
29-07-2011, 06:59 PM
Hoo terinspirasi dari kisah nyata yak?
Settingnya Jakarta - Bekasong pulak,
ditunggu kelanjutannya.

Porcelain Doll
29-07-2011, 08:01 PM
serasa ngeliat cerita thegirlwhosoldtheworld versi co :luck:
ngikutin ah....cepetan bikin lanjutannya ya..

Jumpin' Lizard
01-08-2011, 02:51 PM
oke lanjut ya..
maaf kalo kali ini kalimatnya kurang rapi


Keesokan harinya Ryan bangun pagi seperti biasa. Bersiap untuk berangkat kerja. Namun pagi ini suara-suara di otak lebih mendominasi dirinya daripada suara-suara hatinya tadi malam.
“Ryan, dia cuma kebetulan bareng. Jangan berharap yang aneh-aneh”
“Dena memilihmu itu hanya acak saja. Dena itu karyawan baru jadi belum tahu siapa-siapa saja yang rumahnya searah dengan dia”
“Dena sudah berkeluarga, kamu sudah bertunangan. Janganlah kau rusak kedua kehidupan itu”
Dan masih banyak lagi suara-suara yang beredar dalam kepalanya. Menyadarkan dirinya. Menghempaskannya kembali ke bumi.


Siang itu, di meja kantornya, Ryan sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan dengan komputernya, ketika tiba-tiba ada pop-up di layarnya sebuah permintaan teman pada akun Yahoo!Messenger: denalova1601.
”Denalova.. ini pasti Dena” teriaknya girang dalam hati. Tak butuh berpikir untuk meng-accept permintaan itu. Sesaat kemudian sudah muncul chatbox pada layar komputer Ryan.

Dena: Makasih ya Mas Ryan atas tebengannya kemarin.
Ryan: Sama-sama Mba Dena.
Dena: panggil Dena saja Mas. Saya khan lebih muda
Ryan: Oke, baiklah.. Dena :). Ngomong-ngomong, tau dari mana nih YM saya?
Dena: Ada deh :). Mas, kalo saya nebengnya reguler, boleh ngga? Setiap Selasa seperti kemarin. Karena suami saya setiap Selasa selalu pulang telat.

Seperti ada suara sorak-sorai di dalam kepalanya. Jika sedang tidak ada di kantor mungkin Ryan sudah melompat-lompat kegirangan.

Ryan: Boleh banget Dena.. setiap hari juga boleh, hehehe..

Ryan memberanikan diri untuk sedikit mengajaknya bercanda. Sudah kadunglah, dia pikir. Sudah ada sedikit jalan untuk mendekat kepada Dena.
Dena hanya membalasnya dengan smiley ikon tertawa. Tapi seolah itu adalah ikon terindah yang pernah Ryan lihat.

Ryan: hari ini makan siang di mana Den?
Dena: wah, saya tiap hari bawa bekal Mas. Pagi-pagi sebelum berangkat, saya selalu masak untuk makan siang sendiri dan suami.
Ryan: oh.. oke kalau begitu.

Ryan terdiam sesaat. Ada perasaan aneh yang terasa kurang enak dalam hatinya. Tapi Ryan tidak mengerti perasaaan apa itu.

Dena: nanti lah kalo saya ngga sempet bawa, saya ajak Mas Ryan makan siang di sekitar sini deh..
Ryan: siapp!

Semenjak hari itu dan dua hari ke depannya, Ryan masih tetap seperti dulu: memandangi Dena dari jauh. Mengagumi pesona kecantikan dan kelembutannya. Namun kali ini Ryan sudah sedikit lebih kuat. Ketika Dena memandangnya kembali, Ryan sudah bisa membalasnya dengan senyum. Walau setelah itu tak ada sepatah katapun yang muncul dari bibirnya.

Tiba saatnya weekend. Lina, tunangan Ryan mengajaknya jalan-jalan pada hari Sabtu. Ryan, sebagai tunangan yang baik tentu saja menyetujui permintaan itu.
Jadilah hari itu mereka menghabiskan waktu berdua: jalan-jalan ke mal, makan dan menonton bioskop. Lina seperti biasa senang dengan hal ini, namun Ryan agak sedikit berbeda. Pikirannya kerap melayang kepada Dena, membayangkan dia sedang berjalan dengan Dena. Namun untung saja Lina tidak mengetahui perubahan itu, karena setiap kali Lina memandangnya, selalu ada senyum pada diri Ryan.
Lina merasa menjadi wanita yang paling berbahagia, karena memiliki tunangan yang baik hati. Lebih dari itu Ryan juga sangat pemaaf, karena pernah Lina melakukan kesalahan yang bisa saja berakibat fatal pada hubungan mereka. Tapi itu masa lalu, dan Ryan sudah lama melupakan hal itu.


Selasa! Ryan terbangun dengan gembira karena hari ini adalah Selasa. Hari di mana dia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Dena, meski hanya di atas jok motor. Pagi itu Ryan menghabiskan waktu lebih banyak dalam persiapannya berangkat kerja. Memilih kemeja lebih lama, bercermin lebih lama. Bahkan menggosok gigi lebih lama pula. Berangkat ke kantor lebih semangat, dengan senyum sumringah yang nyaris tak ingin lepas dari wajahnya.

Seharian penuh Ryan tenggelam dalam pekerjaannya. Maka ketika tiba saatnya pulang, dia langsung menghubungi Dena melalui nomor extensionnya.

”Dena, hari ini jadi khan pulang bareng?”
”Jadi Mas. Sebentar ya, 5 menit lagi deh”
”Oke, saya ke parkiran dulu ya, siap-siap. Nanti kamu tunggu saja di lobby depan.”
”Oke Mas.”

Sore itu mereka kembali berada di atas motor Ryan. Namun perjalanan ternyata tidak selancar seperti sebelumnya. Di tengah perjalanan, hujan rintik mulai turun. Ryan segera mengeluarkan mantel dan memakainya, dengan sedikit memberikan mantel bagian belakang untuk menutupi tubuh Dena dari terpaan gerimis.

”Ngga apa-apa ya Den. Sorry nih jadi kebasahan”
”It’s OK Mas. Yuk lanjut perjalanannya”

Namun hujan seakan tak berhenti menguji Ryan. Semakin lama hujan semakin deras saja, sehingga memaksa Ryan untuk menepi di sebuah kedai bakso pinggir jalan.

”Dena, makin deras nih hujannya. Kita berteduh saja yuk, sambil makan bakso”
”Iya Mas, boleh.”

Mereka berlari kecil memasuki kedai tersebut. Di dalamnya sudah cukup ramai dengan orang-orang yang juga berteduh, namun masih ada sedikit tempat kosong sehingga mereka bisa duduk di situ. Sekedar mengeringkan badan, sambil mengisi perut dengan hidangan bakso.
Tak ada banyak perbincangan ketika mereka makan. Namun ketika semua hidangan telah habis dan hujan tak juga reda, Ryan merasa sangat tidak enak jika hanya saling berdiam diri. Mulailah dia membuka pembicaraan basa-basi, yang tak diduga disambut dengan cukup antusias oleh Dena. Kekakuan segera cair, dan merekapun larut dalam perbincangan hangat, ngalor-ngidul dan serba canda. Ryan berharap dalam hati agar hujan tak segera berhenti, supaya bisa lebih lama lagi bersama Dena. Namun harapannya tidak kesampaian; hujan tak lama berhenti sehingga mau tak mau mereka harus melanjutkan perjalanan. Sebelum mengakhiri perbincangan, Ryan nekat meminta nomor handphone Dena, dan merekapun saling bertukar nomor.
Melanjutkan perjalanan dengan lebih akrab, mereka berdua nampak sudah seperti sahabat saja. Dan akhirnya ketika perjalanan sudah sampai tujuan, Dena turun dari motor, menggenggam erat tangan kanan Ryan seraya berkata ”Terima kasih ya Mas untuk malam ini. Dena senang”
Ryan serasa terbang ke awan. Hatinya berbunga-bunga.
”Sama-sama Dena, saya juga senang”
”Oke Mas, sampai ketemu di kantor ya besok” Ucap Dena seraya melambaikan tangan, berbalik badan dan berjalan menuju ke rumahnya.
Ryan memandanginya. Tak berkedip. Seolah satu kedipan adalah kerugian besar. Ketika akhirnya Dena lenyap dari pandangan, Ryan melanjutkan perjalanannya sendiri. Kendaraannya berjalan ke arah rumahnya, namun pikirannya berjalan ke negeri di awan.



bersambung ...

etca
01-08-2011, 03:36 PM
oke lanjut ya..
maaf kalo kali ini kalimatnya kurang rapi


Keesokan harinya Ryan bangun pagi seperti biasa. Bersiap untuk berangkat kerja. Namun pagi ini suara-suara di otak lebih mendominasi dirinya daripada suara-suara hatinya tadi malam.
“Ryan, dia cuma kebetulan bareng. Jangan berharap yang aneh-aneh”
“Dena memilihmu itu hanya acak saja. Dena itu karyawan baru jadi belum tahu siapa-siapa saja yang rumahnya searah dengan dia”
“Dena sudah berkeluarga, kamu sudah bertunangan. Janganlah kau rusak kedua kehidupan itu”
Dan masih banyak lagi suara-suara yang beredar dalam kepalanya. Menyadarkan dirinya. Menghempaskannya kembali ke bumi.


Siang itu, di meja kantornya, Ryan sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan dengan komputernya, ketika tiba-tiba ada pop-up di layarnya sebuah permintaan teman pada akun Yahoo!Messenger: denalova1601.
”Denalova.. ini pasti Dena” teriaknya girang dalam hati. Tak butuh berpikir untuk meng-accept permintaan itu. Sesaat kemudian sudah muncul chatbox pada layar komputer Ryan.

Dena: Makasih ya Mas Ryan atas tebengannya kemarin.
Ryan: Sama-sama Mba Dena.
Dena: panggil Dena saja Mas. Saya khan lebih muda
Ryan: Oke, baiklah.. Dena :). Ngomong-ngomong, tau dari mana nih YM saya?
Dena: Ada deh :). Mas, kalo saya nebengnya reguler, boleh ngga? Setiap Selasa seperti kemarin. Karena suami saya setiap Selasa selalu pulang telat.

Seperti ada suara sorak-sorai di dalam kepalanya. Jika sedang tidak ada di kantor mungkin Ryan sudah melompat-lompat kegirangan.

Ryan: Boleh banget Dena.. setiap hari juga boleh, hehehe..

Ryan memberanikan diri untuk sedikit mengajaknya bercanda. Sudah kadunglah, dia pikir. Sudah ada sedikit jalan untuk mendekat kepada Dena.
Dena hanya membalasnya dengan smiley ikon tertawa. Tapi seolah itu adalah ikon terindah yang pernah Ryan lihat.

Ryan: hari ini makan siang di mana Den?
Dena: wah, saya tiap hari bawa bekal Mas. Pagi-pagi sebelum berangkat, saya selalu masak untuk makan siang sendiri dan suami.
Ryan: oh.. oke kalau begitu.

Ryan terdiam sesaat. Ada perasaan aneh yang terasa kurang enak dalam hatinya. Tapi Ryan tidak mengerti perasaaan apa itu.

Dena: nanti lah kalo saya ngga sempet bawa, saya ajak Mas Ryan makan siang di sekitar sini deh..
Ryan: siapp!

Semenjak hari itu dan dua hari ke depannya, Ryan masih tetap seperti dulu: memandangi Dena dari jauh. Mengagumi pesona kecantikan dan kelembutannya. Namun kali ini Ryan sudah sedikit lebih kuat. Ketika Dena memandangnya kembali, Ryan sudah bisa membalasnya dengan senyum. Walau setelah itu tak ada sepatah katapun yang muncul dari bibirnya.

Tiba saatnya weekend. Lina, tunangan Ryan mengajaknya jalan-jalan pada hari Sabtu. Ryan, sebagai tunangan yang baik tentu saja menyetujui permintaan itu.
Jadilah hari itu mereka menghabiskan waktu berdua: jalan-jalan ke mal, makan dan menonton bioskop. Lina seperti biasa senang dengan hal ini, namun Ryan agak sedikit berbeda. Pikirannya kerap melayang kepada Dena, membayangkan dia sedang berjalan dengan Dena. Namun untung saja Lina tidak mengetahui perubahan itu, karena setiap kali Lina memandangnya, selalu ada senyum pada diri Ryan.
Lina merasa menjadi wanita yang paling berbahagia, karena memiliki tunangan yang baik hati. Lebih dari itu Ryan juga sangat pemaaf, karena pernah Lina melakukan kesalahan yang bisa saja berakibat fatal pada hubungan mereka. Tapi itu masa lalu, dan Ryan sudah lama melupakan hal itu.


Selasa! Ryan terbangun dengan gembira karena hari ini adalah Selasa. Hari di mana dia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Dena, meski hanya di atas jok motor. Pagi itu Ryan menghabiskan waktu lebih banyak dalam persiapannya berangkat kerja. Memilih kemeja lebih lama, bercermin lebih lama. Bahkan menggosok gigi lebih lama pula. Berangkat ke kantor lebih semangat, dengan senyum sumringah yang nyaris tak ingin lepas dari wajahnya.

Seharian penuh Ryan tenggelam dalam pekerjaannya. Maka ketika tiba saatnya pulang, dia langsung menghubungi Dena melalui nomor extensionnya.

”Dena, hari ini jadi khan pulang bareng?”
”Jadi Mas. Sebentar ya, 5 menit lagi deh”
”Oke, saya ke parkiran dulu ya, siap-siap. Nanti kamu tunggu saja di lobby depan.”
”Oke Mas.”

Sore itu mereka kembali berada di atas motor Ryan. Namun perjalanan ternyata tidak selancar seperti sebelumnya. Di tengah perjalanan, hujan rintik mulai turun. Ryan segera mengeluarkan mantel dan memakainya, dengan sedikit memberikan mantel bagian belakang untuk menutupi tubuh Dena dari terpaan gerimis.

”Ngga apa-apa ya Den. Sorry nih jadi kebasahan”
”It’s OK Mas. Yuk lanjut perjalanannya”

Namun hujan seakan tak berhenti menguji Ryan. Semakin lama hujan semakin deras saja, sehingga memaksa Ryan untuk menepi di sebuah kedai bakso pinggir jalan.

”Dena, makin deras nih hujannya. Kita berteduh saja yuk, sambil makan bakso”
”Iya Mas, boleh.”

Mereka berlari kecil memasuki kedai tersebut. Di dalamnya sudah cukup ramai dengan orang-orang yang juga berteduh, namun masih ada sedikit tempat kosong sehingga mereka bisa duduk di situ. Sekedar mengeringkan badan, sambil mengisi perut dengan hidangan bakso.
Tak ada banyak perbincangan ketika mereka makan. Namun ketika semua hidangan telah habis dan hujan tak juga reda, Ryan merasa sangat tidak enak jika hanya saling berdiam diri. Mulailah dia membuka pembicaraan basa-basi, yang tak diduga disambut dengan cukup antusias oleh Dena. Kekakuan segera cair, dan merekapun larut dalam perbincangan hangat, ngalor-ngidul dan serba canda. Ryan berharap dalam hati agar hujan tak segera berhenti, supaya bisa lebih lama lagi bersama Dena. Namun harapannya tidak kesampaian; hujan tak lama berhenti sehingga mau tak mau mereka harus melanjutkan perjalanan. Sebelum mengakhiri perbincangan, Ryan nekat meminta nomor handphone Dena, dan merekapun saling bertukar nomor.
Melanjutkan perjalanan dengan lebih akrab, mereka berdua nampak sudah seperti sahabat saja. Dan akhirnya ketika perjalanan sudah sampai tujuan, Dena turun dari motor, menggenggam erat tangan kanan Ryan seraya berkata ”Terima kasih ya Mas untuk malam ini. Dena senang”
Ryan serasa terbang ke awan. Hatinya berbunga-bunga.
”Sama-sama Dena, saya juga senang”
”Oke Mas, sampai ketemu di kantor ya besok” Ucap Dena seraya melambaikan tangan, berbalik badan dan berjalan menuju ke rumahnya.
Ryan memandanginya. Tak berkedip. Seolah satu kedipan adalah kerugian besar. Ketika akhirnya Dena lenyap dari pandangan, Ryan melanjutkan perjalanannya sendiri. Kendaraannya berjalan ke arah rumahnya, namun pikirannya berjalan ke negeri di awan.



bersambung ...
nope, sudah berani menuliskan dan mempostingnya di sini sudah oke banged kok :jempol:
ketimbang disimpan di laci meja ;)

ini cerita yang diharapkan berdramatisir, biasanya kok punya ending flat atau ngenes ya?
*tebaktebak buah manggis :D

Jumpin' Lizard
02-08-2011, 03:41 PM
^ makasih Mba Etca :)


Part. III



Ryan sudah lebih kuat sekarang. Jika berpapasan dengan Dena, Ryan sudah bisa menatap matanya dan memberi senyum. Dena membalasnya dengan senyum tipis sambil berlalu. Tak apa, Ryan mengerti. Dena adalah wanita, yang harus menjaga martabatnya. Ryan tahu jika Dena memberi senyum manis padanya, akan timbul kekhawatiran pada diri Dena bahwa nanti Ryan akan menganggapnya wanita murahan. Terlebih Dena sudah bersuami.
Namun ternyata Ryan salah menduga, karena bukan itu penyebabnya.

Siang itu, kembali bertemu dengan hari Selasa. Dena mengajak Ryan makan siang bersama. Kebetulan Dena sedang tidak membawa bekal dari rumah. Dengan antusias Ryan menyetujui ajakan itu. Jadilah siang itu mereka makan siang bersama, di sebuah warung makan terdekat dengan kantornya. Walau hanya warung sederhana, tapi Ryan merasa sangat gembira. Selesai makan, mereka masih sempat berbincang-bincang ringan. Hingga tiba pada satu obrolan yang membuat Ryan sedikit kecewa.

”Dena, nanti sore aku antar lagi ya, seperti biasa?”
“Waduh, maaf Mas. Hari ini suamiku tidak pulang telat. Jadi nanti aku dijemput.”
“Oh, ya sudah tidak apa-apa”

Ryan berusaha setenang mungkin. Menekan kuat-kuat kekecewaan yang timbul dalam pikirannya. Mencoba berusaha tampil seperti biasa di hadapan Dena. Tapi Ryan tidak tahu, Dena bisa melihat guratan kekecewaan pada wajah Ryan.

Sepulang makan siang, mereka kembali pada kesibukannya masing-masing. Untuk kali ini pekerjaan Ryan banyak yang tidak selesai. Beberapa kali Ryan melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang membuatnya harus mengulangi pekerjaannya. Suasana hatinya kacau balau.

”Otakku harus bisa menguasai diri, jangan kalah oleh hati” begitu ucap Ryan menyemangati diri. Namun tetap saja tidak mengubah keadaan. Ryan akhirnya menyerah, dan memilih beristirahat di kursi kerjanya, menarik nafas panjang.
Setelah lebih tenang, Ryan menelusuri penyebab kegundahan hatinya. Dia tidak mengerti pada diri sendiri, kenapa harus kecewa ketika Dena tidak bisa ikut pulang bersamanya. Ryan bukan siapa-siapa Dena. Dena sudah berkeluarga. Ryan sudah bertunangan. Mereka hanya teman biasa. Ryan hanya kebetulan pulang ke arah yang sama dengan Dena. Berbagai pikiran itu menyelimuti hatinya. Menyadarkan dirinya. Namun Ryan tidak memungkiri, rasa kagumnya kepada Dena sudah meningkat menjadi rasa sayang. Tak peduli bagaimana perasaan Dena terhadapnya, Ryan akan tetap menyayanginya. Untuk sementara Ryan menyerah pada keadaan; Dena tak mungkin jadi miliknya saat ini, tapi tak ada yang melarang Ryan untuk menyayanginya. Sekalipun Dena tak perlu tahu. Biarlah Ryan menyimpan sendiri perasaannya.

Sore itu Ryan pulang sendiri. Ketika sampai di lobby, dia melihat Dena sudah dijemput oleh suaminya, menggunakan mobil. Tak ingin melihat pemandangan itu lebih lama, Ryan mengalihkan pandangannya ke sudut yang lain; ke antrian kendaraan yang sedang menuju pintu keluar. Namun Ryan tidak tahu, Dena pun melihat Ryan saat itu, dan Dena melambaikan tangan ke arah Ryan tanpa sepengetahuan suaminya.

Menelusuri jalan pulang sendiri, Ryan merasa hampa. Jalur yang dia lalui sekarang adalah jalur ketika bersama Dena, yang lebih jauh dan sering terkena macet. Tidak biasanya dia melalui jalur ini ketika berkendara sendiri, karena Ryan punya jalur pulang yang lebih dekat dan lebih lancar untuk membawanya ke rumah. Ryan baru menyadari, ketika bersama Dena, semakin lama waktu tempuh perjalanan pulang Ryan semakin suka. Semakin macet Ryan akan semakin menikmati perjalanan itu. Namun kini, dengan kondisi yang sama, Ryan jadi kesal sendiri. Bukan kesal dengan kondisi jalan, namun kesal dengan kesentimentilannya yang mengajak dia melalui jalur ini.

Malam itu, di kamarnya Ryan kembali termenung. Namun belum selesai renungannya, suara handphone berbunyi. Ada SMS masuk.

Mas, gimana pulang tadi, aman? Maaf ya ngga bisa ikut.

Ternyata Dena yang kirim SMS. Ternyata Dena tidak melupakannya begitu saja. Begitu pikir Ryan. Sedikit kegembiraan menyembuhkan rasa kecewanya.
Dengan cepat Ryan membalas SMS Dena

Alhamdulillah aman. Gpp kok Den, kamu memang seharusnya ikut suami

Ryan mencoba tetap biasa. Memposisikan dirinya sebagai teman biasa. Meskipun Ryan menyayangi Dena.
Kemudian ada SMS balasan lagi dari Dena

Mas, aku lagi download lagu nih. Ada yg mau dititip ngga?

Saat itu, entah datang dari mana, Ryan teringat lagu lama milik Selena yang berjudul I could Fall in Love. Kondisi Ryan mirip dengan lirik lagu itu. Langsung saja Ryan membalas SMS Dena, dan merekapun saling berbalas SMS.

Boleh dong, I could Fall in Love nya Selena.

Oke mas, aku cariin ya. Ciye, lagi fall in love nih?

Ah engga kok, Cuma suka lagunya aja. Makasih ya..

Siplah.. sama-sama Mas.

Malam itu, Ryan tidur dengan perasaan lebih ikhlas. Dia menyayangi Dena, itu yang penting. Ryan tidak peduli apakah Dena juga menyayanginya atau tidak. Ryan paham kondisi Dena. Rasanya Ryan tidak ingin mengacaukan keluarga Dena yang terlihat sangat harmonis dan bahagia. Kebahagiaan Dena adalah kebahagiaan Ryan, meskipun untuk itu mereka tidak bisa bersama-sama.




bersambung..

aya_muaya
02-08-2011, 04:47 PM
keren ik... I love it...

Jumpin' Lizard
03-08-2011, 02:51 PM
tengkyu Mba aya :)

lanjut lagi,


Part. IV



Hari berganti, pekan berlalu, tak terasa sudah dua bulan lebih Ryan selalu mengantar Dena pulang setiap hari Selasa. Mereka semakin akrab saja, dan Ryan merasa makin menyayangi Dena. Tetapi Ryan tetap berusaha menyimpannya sendiri dalam hati perasaan itu. Meskipun semakin lama terasa semakin berat untuk menyimpannya sendiri, tak tahan untuk diungkapkan.

Suatu hari, Dena mengajak Ryan makan malam untuk merayakan lulusnya masa percobaan kerjanya. Setelah tiga bulan bekerja, Dena diangkat menjadi karyawan tetap oleh manajemen perusahaan.
”Mas, nanti malam kita makan yuk. Aku yang traktir”
”Wah, ada apa memangnya Den? Tumben nih.”
”Aku sudah lewat masa probation Mas. Sudah karyawan tetap sekarang”
” Syukur Alhamdulillah. Oke nanti malam, kamu sekalian yg nentuin tempatnya ya”
”Oke Mas. Aku udah dapet kok tempatnya, kebetulan searah dengan kita pulang.”

Malam itu mereka makan di restoran steak yang cukup bagus, tidak mewah namun suasananya cukup asri dan menyenangkan.
”Maaf ya Mas, cuma bisa ajak ke tempat yang seperti ini” kata Dena.
”Waduh, ini saja sudah bagus Den” kata Ryan sambil tersenyum. Senyum yang sudah beberapa bulan pekan ini memikat hati Dena. Tanpa Ryan ketahui, Dena pun menyimpan rasa yang serupa.

Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbincang ringan mengenai apa saja. Tapi terlihat Dena yang lebih sering berbicara; menceritakan keluarganya, keluarga suaminya hingga anak lelakinya yang lucu. Ryan lebih banyak mendengarkan, melihat mata indah Dena, mengamati gerak raut wajahnya yang mempesona. Ryan hanya banyak tersenyum sebagai respon dari cerita yang Dena sampaikan.

Dan akhirnya pesanan datang. Dena mengambilkan pisau dan garpu untuk Ryan, suatu gerakan yang tidak Ryan duga. Tidak sampai di situ, Dena juga mengambilkan botol saus untuknya. Takjub dengan kejadian itu, Ryan tidak bisa berkata apa-apa, hanya memandangi Dena saja.
”Khan aku yang traktir Mas. Boleh dong sesekali diambilkan juga. Toh cuma garpu dan botol saja” ungkap Dena sambil mengambil pisau dan garpu untuknya sendiri, tanpa membalas tatapan mata Ryan.

Mereka pun makan dengan diselingi obrolan ringan lagi. Selesai makan, Ryan merasa ini saat yang baik untuk berbicara lebih dalam, lebih serius, lebih ke hati. Bukan melulu obrolan ringan yang terlupakan di esok hari.

Namun Ryan tidak mau gegabah, dia juga akan membaca situasi, menunggu timing yang pas. Jika malam ini tidak ada kesempatan, Ryan akan dengan sabar menunggu kesempatan di lain hari.
Hingga tiba-tiba Dena bertanya kepadanya, ”Mas, lagu Selena itu, perasaan ke siapa Mas?”
Tercekat dengan pertanyaan itu, Ryan berusaha mengumpulkan jawaban-jawaban palsu di otaknya untuk diucapkan. Namun kali ini Ryan tidak tega untuk berdusta kepada Dena. Wanita cantik di hadapannya itu rasanya tidak pantas untuk dibohongi.

Apakah ini waktunya? Apakah ini timing yang tepat? Begitu pikir Ryan dalam hati.
Sudah telanjur ditembak seperti itu, akhirnya Ryan menjawab dengan jujur.
”Dena, mohon maaf sebelumnya. Semoga kamu tidak marah dengan jawabanku. Dan mohon jangan rubah pandanganmu terhadapku, aku tetap kawanmu, kawan biasa.”

Dena terdiam, menunggu ucapan berikutnya dari Ryan.

”Dari pertama aku melihatmu, ada sesuatu yang spesial dalam dirimu yang membuatku jatuh hati. Sorot matamu yang indah, wajah cantikmu yang mempesona sungguh membuatku menyukaimu. Jadi lagu Selena itu memang perasaanku padamu. Tapi sesungguhnya aku tak mau kamu tahu hal ini, karena kamu sudah berkeluarga. Aku merasa menjadi orang yang sangat hina jika mengganggu dirimu dengan perasaan konyol ini”

Dena terenyuh. Belum bisa berkata apa-apa saat itu. Ryan kembali melanjutkan ucapannya.

”Jadi aku hanya bisa mengagumimu dari jauh. Aku tak bisa mengharapkan kita bersama. Bukan berarti aku tak berharap, hanya saja harapan itu tipis sekali. Kadang aku berkhayal, jika engkau adalah pasangan hidupku kelak, maka hidupku akan sangat indah, aku akan menjadi lelaki paling berbahagia. Namun kenyataan menghempaskan khayalanku. Aku tak mau mengganggu keluargamu yang harmonis itu. Aku menyayangimu, tapi biarlah terjadi seperti ini.”
”Ketika kamu pertama kali memintaku membonceng, tahukah kamu perasaanku saat itu? Luar biasa senang. Namun saat itu aku belum kuat untuk menatap matamu. Syukurnya dengan semakin akrabnya kita, aku sudah menjadi lebih kuat sekarang.”

Keheningan terjadi. Ryan menatap mata Dena, tapi kali ini Dena yang tak sanggup menatap balik pada Ryan. Akhirnya Dena berbicara.

”Mas Ryan, sesungguhnya perasaan kita serupa. Ketika awal aku memboceng, memang belum ada rasa apa-apa terhadap Mas. Tapi aku tahu Mas Ryan orang baik. Setelah sering kita bersama, akupun mulai jatuh hati. Aku suka cara Mas menghargaiku sebagai wanita. Seingatku Mas belum pernah menyentuh kulitku secara sengaja”

Ryan sangat terkejut dengan jawaban Dena. Haru, gembira dan kagum bercampur jadi satu.

”Dena, kamu itu terlalu suci untuk dikotori oleh tangan-tangan lelaki” hanya itu jawaban Ryan, merespon ucapan terakhir Dena.

”Mas, aku tahu dulu Mas sering curi pandang ke aku. Aku juga tahu Mas tidak bisa kuat menatap balik mataku. Tapi sekarang kondisinya terbalik Mas, aku sekarang yang tidak kuat menatap mata Mas lama-lama. Aku takut jatuh cinta Mas. Aku ini isteri orang. Tapi akupun tak bisa membohongi hatiku sendiri. Rasanya berbeda jika bersamamu Mas. Aku merasa lebih tenang, lebih kuat dan percaya diri. Mas orang yang baik, menghargaiku dan tak pernah bosan mendengar curhatku”

Ryan tak sanggup berkata apa-apa lagi. Kenyataan yang baru saja dia hadapi membuat hati dan pikirannya tidak karuan; antara senang, sedih dan haru. Kesunyian kembali menghampiri mereka. Hingga pada akhirnya Dena sendiri yang memecah sunyi, ”Mas, sudah malam. Kita pulang yuk.”
”Oke Dena, kuantar seperti biasa ya” tukas Ryan sambil senyum.

Di perjalanan pulang, Dena mengantuk. Entah sadar atau tidak, Dena menyandarkan dagunya ke pundak Ryan. Sontak hati Ryan diliputi perasaan damai, hangat. Indah sekali perasaan Ryan saat itu.

Ah, rasanya Ryan tak ingin perjalanan ini berakhir. Ia ingin selamanya berada bersama Dena, menjadi tempat bersandar baginya.



bersambung..

itsreza
03-08-2011, 04:08 PM
:jempol: untuk Jumpin' Lizard

Ceritanya seru dan enak dibaca...
perasaan Dena & Ryan udah terungkap di Part IV... cepat juga ya, jadi penasaran menunggu kisah selanjutnya :mikir:

Jumpin' Lizard
10-08-2011, 05:27 PM
makasih mas itsreza


maaf agak lama nyambung lagi, berikut Part V



Hari-hari Ryan dan Dena sudah tidak seperti dulu lagi. Dengan terbukanya perasaan masing-masing, kini mereka sudah bisa lebih rileks satu sama lain. Namun demi menjaga nama baik Dena, Ryan rela tidak selalu berada di dekat dengan Dena di kantor. Ryan tidak ingin mereka jadi bahan pergunjingan rekan-rekan sekerja.
Rutinitas kebersamaan merekapun masih sama seperti dulu; pulang kerja berdua di hari Selasa, terkadang makan siang bersama di pantry kantor atau di luar, dan acap berpapasan tatap muka di koridor. Sampai tiba suatu saat ketika Dena memberi kabar yang membuat Ryan senang.
”Mas, suamiku mau ke luar kota untuk urusan kantor, lima hari. Berangkat hari Kamis besok. Pulang Selasa depan. Jadi kita bisa bersama-sama lebih sering untuk beberapa hari nanti” kata Dena.
”Wah, senangnya aku Den. Oke berarti aku bisa sekalian antar jemput yah?” pinta Ryan penuh harap.
”Iya Mas” kata Dena sambil tersenyum.
”Yesss!!” teriak Ryan dalam hati.

Esoknya, hari Kamis Ryan menjemput Dena ke rumahnya. Namun Ryan hanya bisa menunggu di mulut gang, beberapa meter dari rumah Dena. Ryan tidak ingin ada suara-suara tidak enak dari tetangga Dena.

Dena, aku di depan gang yah. Gak enak kalo sampe ke rumah. Ditunggu kehadiranmu :).

Begitu sms yang dikirim oleh Ryan ke Dena. Tak lama kemudian Dena datang, dengan wajah senyum penuh arti. Sebelum Ryan membuka mulut untuk berkata-kata, Dena sudah menukasnya ”Iya Mas, aku ngerti. Yuk berangkat”

Di perjalanan itu mereka berdua nampak ngobrol dengan ceria. Jalanan yang macet dan suhu yang panas tak mampu meluluhkan kegembiraan mereka. Tiba-tiba Ryan punya ide spontan yang langsung diutarakan ke Dena saat itu juga ”Den, hari Sabtu ini kita jalan-jalan yuk.”

”Ke mana Mas?” tanya Dena.

”Ke mana saja. Kita luangkan waktu berdua mumpung kesempatan ini ada”

”Tapi aku punya anak Mas. Memang sih selama ini juga kutitipkan ke baby sitter”

”Kalo gitu ke mal saja Den. Kita makan dan nonton. Sore sudah bisa pulang”

”Oke Mas, tapi mal nya jangan yang sekitar Bekasi yah”

”Sip, nanti kita ke Mal of Indonesia, Kelapa Gading”

“Setuju Mas, tapi jemput aku ya seperti biasa”

Hari Sabtu pun tiba. Singkat cerita mereka menghabiskan waktu berdua saja di MoI. Makan bersama, nonton bioskop dan berkeliling mal menjadi kebahagiaan tersendiri buat mereka. Ketika di dalam bioskop, Ryan -dengan degup jantung kencang- mencoba memberanikan diri memegang tangan Dena. Tak ada penolakan. Makin yakin dengan hal ini, Ryan menggenggam tangan Dena. Yang digenggam membalas dengan genggaman yang lebih erat. Ryan merasa terbang ke bulan. Dena pun merasa tenang di samping Ryan. Cinta mereka mengalir deras di antara genggaman itu. Dena bersandar di dada Ryan, dan Ryan mengelus kepala Dena dengan mesra.
Indah sekali perasaan Ryan saat itu. Meski hanya berpura menjadi pasangan Dena, ia sudah sangat bersyukur.
Di antara mereka tak ada kecupan, tak ada belaian ataupun hembusan nafas dan bisikan yang terlalu dekat. Ryan sangat menjaga kesucian Dena. Tak ingin setan mengganggu dengan hawa nafsunya, Ryan melepas genggamannya seraya memberi senyum kepada Dena. Yang diberi senyum membalas dengan senyuman paling manis. Dena juga mengerti Ryan adalah orang baik yang tidak akan berbuat macam-macam.

Sorenya mereka pulang dengan perasaan yang lebih dari sebelumnya. Ryan lebih mencintai dan menyayangi Dena. Begitupun sebaliknya. Maka ketika mereka harus berpisah, ada sedikit kekecewaan pada diri Ryan. Mengapa waktu tak bisa dihentikan. Mengapa mereka harus berpisah karena keadaan. Mengapa Tuhan tak mempertemukannya dengan Dena sejak dahulu.

Selesai mengantar Dena pulang, Ryan kembali ke rumahnya dalam perjalanan pulang sendirian. Saat ini perasaan Ryan sudah semakin berkembang. Sudah tumbuh di hatinya rasa ingin memiliki Dena. Ryan yang dahulu ikhlas mencintai Dena tanpa mengharapkan apa-apa, kini sudah mulai ingin memilikinya.

”Hatiku sedang tak waras!” gumamnya. Untuk mengalihkan perasaan itu, Ryan menggeber kencang-kencang motornya. Meliuk-liuk pada kondisi lalu lintas yang ramai membutuhkan konsentrasi lebih sehingga Ryan tak sempat memikirkan perasaan yang baru saja muncul itu.

Untuk sementara Ryan berhasil. Dia bisa mengalihkan pikirannya pada hal lain. Tapi Ryan tidak tahu, itu hanya sementara. Kelak ketika dia sudah sampai di rumah, ketika pikirannya kosong, perasaan itu bisa setiap saat mengancamnya untuk datang kembali ke dalam pikirannya.


Bersambung..

Jumpin' Lizard
11-08-2011, 05:13 PM
Part VI
(agak pendek, tapi cukup penting :D)



Malam itu, masih di hari Sabtu yang sama, Ryan kembali sendirian di dalam kamarnya. Perasaan itu kembali muncul. Perasaan ingin memiliki Dena. Perasaan yang sebelumnya nyaris tidak pernah terlintas dalam benaknya.

“Enyah jauh-jauh perasaan itu!” hardiknya. Ia menghardik diri sendiri. Tidak dalam hati tapi terucap dengan keras dari mulutnya.

Namun perasaan itu tak juga pergi. Ryan tak habis akal, dihadirkannya bayangan Lina ke dalam pikirannya. Bayangan Lina sang tunangan diharapkan bisa menghapus perasaan ingin memiliki Dena. Namun yang terjadi tidak sesuai harapannya. Alih-alih perasaan itu hilang, malah bayangan Lina yang berangsur-angsur pudar dari pikirannya.

Namun Ryan tak juga menyerah; dia membayangkan wajah suami Dena, yang pernah dilihatnya satu kali ketika menjemput Dena. Ryan membayangkan keluarga Dena yang harmonis. Ryan ingin menimbulkan perasaan empati kepada suami Dena. Namun bukan itu yang terjadi. Hati Ryan malah sakit diserang rasa cemburu.
Diliputi berbagai perasaan itu, tak terasa mata Ryan berkaca-kaca. Ryan tak menyangka, cinta bisa menyakitkan seperti ini. Akhirnya untuk sementara Ryan luluh, menyerah kepada keinginan hatinya. Membiarkan otaknya terus memikirkan Dena, memikirkan cara memilikinya. Sedikit pikiran Ryan yang masih waras mengingatkan bahwa tak ada cara yang baik untuk memiliki Dena dengan kondisi seperti ini. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mencoba mengembalikan perasaan seperti dulu; ikhlas mencintai Dena tanpa mengharapkan apa-apa. Tapi sulit sekali kembali seperti dulu, karena Ryan sudah tau perasaan Dena kepadanya.

Semakin lama perasaan berkecamuk itu tak juga hilang. Perasaan cinta yang menyakitinya saat ini menjalar hingga ke serangan fisik. Perut Ryan terasa dihujani jarum-jarum yang menusuk. Semua perasaan hatinya tertumpah ke sana. Menyerah dengan kondisi, Ryan meringkuk di atas tempat tidur sambil menahan sakit. Entah sakit yang mana yang dia tahan. Mungkin keduanya.
Matanya sudah basah oleh air mata. Ryan tak ingat kapan dia terakhir menangis, mungkin sudah belasan tahun atau bahkan lebih dari dua puluh tahun lalu. Namun kali ini cintanya kepada Dena mampu membuatnya menitikkan air mata.

Love hurts. Truth hurts.




bersambung...

aya_muaya
11-08-2011, 10:01 PM
ikutan sesek di hati.... hiks..kasiahn ryan...

etca
23-09-2011, 01:20 PM
mana kelanjutannya nih? ::oops::

aya_muaya
24-09-2011, 08:51 PM
iya..aku tunggu2....gak nongol2 lg....