PDA

View Full Version : UN SMP 2014 mulai memakan "korban"



cherryerichan
09-05-2014, 09:12 AM
Leony Tinggalkan
Kesan Bagi
Teman-temannya
TRIBUN-BALI,COM, TABANAN - Sudah dua hari dan
dua mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian
Nasional (UN) SMP diikuti oleh Leony Alvionita S (14),
siswi SMP Negeri 1 Tabanan. Namun, untuk dua mata
pelajaran lagi yang akan diujikan hari ini (yakni
Bahasa Inggris) dan besok (IPA), dipastikan Leony tak
akan lagi bisa mengikutinya.
Leony yang akrab dipanggil Onik telah menghadap
Sang Maha Pencipta dengan cepat, mengejutkan
keluarga, teman-teman sekolah dan gurunya. Selasa
(6/5) menjelang siang itu, setelah mengerjakan UN
bidang studi Matematika, Onik mengakhiri hidupnya.
Siswi kelas X SMPN 1 Tabanan ditemukan
menggantung dirinya menggunakan dasi seragam
sekolah di kediamannya Jalan Mawar nomor 51
Tabanan.
Menurut Keterangan Kapolres Tabanan, AKBP
Dekananto Eko Purwono, Onik nekat mengakhiri
nyawanya karena diduga kecewa tidak bisa menjawab
soal Matematika UN.
“Korban langsung dilarikan ke Rumah Sakit Kasih Ibu
Tabanan,” ujarnya. Namun, jiwa Onik tak tertolong,
dan dinyatakan meninggal dunia pada pukul 11.30
Wita.
Dari obrolan beberapa warga sekitar rumah keluarga
Onik, seusai ujian Onik pulang dan mengobrol dengan
ibunya tentang situasi UN. Onik memberitahu ibunya
bahwa dia mendapat contekan dari temannya.
Mendengar itu, sang ibu langsung memarahi Onik,
karena dianggap belajar Onik selama sebelum UN
menjadi sia-sia jika dia mencontek saat UN.
Onik lantas ngambek dan masuk ke kamarnya. Sang
ibunda mengira Onik ganti baju di dalam kamar.
Namun, setelah namanya dipanggil, dan dari dalam
kamar tak ada jawaban, sang ibunda lantas masuk
kamar.
Ternyata Onik didapati sudah dalam posisi gantung
diri dengan menggunakan dasi. Hariadi, guru Agama
Budha SMPN 1 Tabanan yang selama ini cukup
mengenal Onik, mengatakan bahwa muridnya itu
tergolong paling menonjol kemampuan akademiknya.
“Saya kaget membaca status BlackBerry teman-
temannya, yang menginformasikan Onik meninggal
dunia,” ujar Hariadi.
Hariadi tak menyangka Onik bisa berbuat senekat itu.
Pasalnya, tak ada gelagat aneh yang tampak pada
pribadi Onik. Bahkan, gadis berusia 14 tahun itu
pernah diikutkan lomba ceramah agama Budha dalam
bahasa Inggris. “Dia cerdas, dan akrab dengan
teman-temannya,” terangnya.
Pada saat diberi tugas pun, kata Hariadi, Onik selalu
mengerjakannya tepat waktu dan disiplin. Hariadi
sempat bertemu Onik setelah ujian kemarin.
Satu di antara teman Onik, Shasha Bella, merasa
kehilangan dengan kepergian Onik. Namun, Shasha
tak berkenan memberikan keterangan lebih lanjut
karena hendak belajar. “Yang pasti saya sedih, dia
orangnya cantik dan baik,” ucapnya.
Sementara itu, dalam kalimat terakhirnya di twitter
tertanggal 5 Mei, Onik yang memiliki akun
@liony_alvionita menulis “Eh ternyata sekarang
tanggal 5″. Pada tanggal 27 April, ia menulis
“sepahit-pahitnya hidup pasti akan manis pada
waktunya”
Sementara itu, tadi malam doa terus dilantunkan di
rumah duka Kertha Semadi, Denpasar, tempat di mana
jenazah Onik disemayamkan. Tangis dari sanak
keluarga, kerabat serta kawan-kawan Onik seakan
tak berhenti ketika mereka bertandang di rumah duka
itu. Mereka larut dalam kesedihan.
Air mata menetes dari sejumlah teman sekolah yang
menghadiri persemayaman Onik berbaur dengan
panjatan doa. Banyak kerabat tidak menduga bahwa
anak keempat Sugiartama itu meninggal dunia dengan
cara nekat hanya karena hal sepele.
Sejumlah kerabat yang datang langsung menghampiri
Sugiartama, ayahanda Onik. Mereka menanyakan
tentang kepergian Leony secara mendadak.
Dengan tabah Sugiartama menceritakan kepergian
anak perempuannya tersebut. Kepada Tribun Bali,
Sugiartama mengaku urusan telah diserahkannya ke
pada pihak kepolisian.
Ia sendiri tidak menduga sama sekali kepergian
anaknya secepat itu. Padahal, saat pulang sekolah
kemarin, Sugiartama sendiri yang menjemput Leony.
“Tidak ada firasat apapun saat itu. Sikap Leony juga
seperti biasanya, tidak ada yang berbeda,” tuturnya.
Meninggalnya Leony sangat disesali, karena di
lingkungan keluarga sama sekali tidak ada masalah.
Sugiartama pun tidak menyangka ujian nasional
menjadi pemicu anak perempuannya nekat mengakhiri
hidup.
“Selama ini Leony sudah belajar dan mengikuti
bimbingan belajar. Keluarga berpikir tidak menjurus
ke sana (bunuh diri),” imbuh Sugiartama, yang
tampak terpukul.
Rencananya, pemakaman Leony akan dilakukan pada
9 Mei nanti. “Dikremasi atau dikubur di Tabanan
masih belum tahu. Keluarga masih rembuk,” ucap
Sugiartama.(Tribun Bali Cetak)

---------- Post Merged at 08:12 AM ----------

Mendikbud Bersedih Ada Siswa Bunuh
Diri Usai UN
Andi Saputra - detikNews
Sorong - Menteri Pe�didikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
M Nuh prihatin dan memberikan simpati sedalam-dalamnya
bagi keluarga yang anaknya bunuh diri usai ikut Ujian
Nasional (UN). Meski demikian, harus diselidiki lebih
mendalam kasus di SMPN 1 Tabanan, Bali itu.
"Kami tentu ikut bersedih, tapi apa semata-mata karena
itu?" kata M Nuh di sela-sela kunjungan kerja di Sorong,
Papua Barat, Kamis (8/5/2014).
Dalam mengkorelasikan variable satu dengan variable
lainnya, masyarakat harus jeli. Apakah ada korelasi antara
UN dengan bunuh diri. Menurut M Nuh, bisa jadi UN
hanyalah puncak dari stress yang dialami siswa tersebut.
"Ini bukan berarti kami mentolerir bunuh diri, tidak sama
sekali. Tapi ini barangkali case-case sangat spesifik pada
diri siswa itu," ujar mantan Rektor ITS Surabaya.
Apalagi, dari 4,1 juta peserta UN SMP, yang bunuh diri tidak
menunjukan angka yang signifikan. Seraya berkelakar, jika
ada satu kelas bunuh diri massal usai UN, baru bisa
dipikirkan ulang penyelenggaraan UN.
"Tapi jangan diplintir saya mendukung bunuh diri. Sekali
lagi tidak dibenarkan bunuh diri itu," pungkas M Nuh.

etca
09-05-2014, 10:33 AM
RIP Onik,
speechless gw, memang sih 'masalah' terberat bagi anak kelas 3 adalah menghadapi UN.
Obrolan tadi pagi dengan ponaan : "Gimana? lega UN udah kelar?"
Trus dia langsung pasang muka panik, "Apaan? Makin horor dan panik nunggu hasilnya."
;D

lily
09-05-2014, 10:43 AM
saya heran , sekarang makin banyak anak bunuh diri , setelah ditegur ato dinasehati ortunya ya ?

kapan hari , anak 6 taon terjun dari apartment setelah ditolak ortunya nonton Spiderman 2.

sekarang , bunuh diri , gantung diri setelah ditegur ortunya karena mencontek.

Kingform
09-05-2014, 12:40 PM
kok anak2 jaman sekarang labil banget ya
dimarahin dikit langsung bunuh diri

yang salah cara marahinnya, ato emang jaman udah berubah?

mbok jamu
09-05-2014, 01:00 PM
Dulu yang begini ndak diberitakan, anak bunuh diri itu memalukan, aib.

Jaman sekarang semua diberitakan, ndak peduli dengan dampaknya.

234
09-05-2014, 03:23 PM
Kalo terpaksa harus "menyalahkan orang", IMO, saya akan tunjuk pihak ortu yg menurutku kurang peka thd anak sendiri shg langsung memarahi Onik krn mengaku nyontek.

Kalo terpaksa harus "menyalahkan sistem", dlm konteks dan cakupan yg lebih kecil (baca: bukan sistem pendidikan scr lebih luas), saya tidak akan tunjuk sistem UN nya melainkan akan tunjuk sistem penerimaan siswa jenjang selanjutnya (dlm hal ini jenjang masuk SMA) yg kebanyakan menerapkan sistem penyaringan calon siswa dgn se-mata2 melihat hasil nilai murni UN shg UN menjadi ajang ujian berat bagi siswa. Dan ada rentang waktu hampir 2bln antara pelaksanaan UN SMP dgn penerimaan siswa SMA. Dua hal itu IMO scr psikologis ndak bagus buat anak yg merasa "gagal dlm UN". Jangankan anak, saya yakin ortu pun akan stress kalo nilai UN anaknya jeblok sementara hampir 2bln ndak bisa berbuat apa2 selain harus menunggu "eksekusinya" (gagal masuk SMA favorit). Stress, takut, cemas, kuatir dst itu muncul thd sesuatu yg belum terjadi (gagal masuk sekolah favorit), bukan yg sudah terjadi (nilai UN jeblok). Bayangan2 buruk yg tersimpan di otak terlalu lama (2 bln) itulah yg bisa memicu hal2 negatif dari orang ybs, baik itu si anak maupun ortunya.

Just my 2 cents sbg orang yg ndak terlalu paham masalah psikologi (scr formal).

RIP Onik.

:ngopi:

---------- Post Merged at 02:23 PM ----------

@Mbak Mbok

Biasanya sih nanti terus ada yg menimpali "kejadian yg menimpa Onik adalah sebuah fenomena gunung es". Heboh deh jadinya. :mrgreen:

Masyarakat kita memang masih suka yg heboh2 kok mbak Mbok. Celakanya itu seringnya justru ndak pernah bisa menyentuh ke inti persoalan yg sesungguhnya. Lha gimana mau bisa berpikir jernih kalo sambil heboh. Dan hebohnya paling juga sebentar, lalu masalahnya menguap dilupakan begitu saja ditelan kehebohan masalah lain silih berganti. Begitulah potretnya. ;D

:ngopi:

GiKu
09-05-2014, 04:04 PM
gw masih gak mudheng
seandainya gak lulus UN, masalah berikut yg terkait dg hasil UN ini apa aja ya ?

234
09-05-2014, 04:44 PM
Kalo sekalian ndak lulus sekolah IMO menurutku scr "psikologis" relatif ndak terlalu berat dibandingkan lulus sekolah dgn nilai UN jeblok dan pas2an.

Ndak lulus sekolah itu jelas. Harus tinggal kelas dan mengulang ujian lagi tahun depan.

Sedangkan lulus sekolah dgn nilai UN pas2an itu nasibnya masih menggantung ndak jelas. Cemas-cemas cemas (bukan harap-harap cemas) menunggu hampir 2bln tanpa bisa berbuat banyak sebelum masuk ke jenjang berikutnya (SMA). Padahal, IMO, toh akhirnya sejeblok apapun peluang tetap bisa sekolah di SMA masih sangat besar meskipun tentu saja kemungkinan besar hanya masuk sekolah "asal2an" aja. Tapi toh setelah itu sudah tidak ada lagi kecemasan, yg ada biasanya adalah yo wis "terima nasib", kecuali muncul kecemasan baru mikir nanti bisa kuliah dimana kalo SMA nya dianggap kualitasnya ndak bagus. Tapi setidaknya masih cukup waktu mengatasi kecemasan baru tsb krn masih punya kesempatan (les tambahan misalnya). Sehingga meskipun cemas tapi masih bersifat "harap2 cemas", bukan "cemas2 cemas".

Adanya asa dan harapan itulah yg menjadikan semangat hidup seseorang. Kalo hanya cemas, cemas dan cemas aja tanpa merasa punya harapan itulah yg membuat seseorang down kehilangan semangat hidup, resiko terburuk ya bunuh diri.

Perasaan cemas2 cemas menunggu dlm rentang waktu 2bln (terhitung sejak ybs sadar bahwa nilai UN nya jeblok sampe akhirnya bisa sekolah kembali di SMA "asal2an") itulah menurut saya yg bisa sangat "berbahaya".

Tentu saja resiko itu menjadi sangat kecil kalo anak ybs punya "mental baja". Disinilah pentingnya peran ortu dlm menanamkan sikap dan mental tsb ke anak. Gagal itu wajar, bukan musibah yg harus terus diratapi. :)

Note: Saya dulu kuliah kena DO ato lebih tepatnya men-DO-kan diri dgn cara ndak daftar ulang ngambil SKS. Saat2 setahun (2 semester) menunggu surat DO sekaligus dampratan ortu adalah saat2 yg paling "menyiksa" bagi saya. Begitu muncul surat DO dari dekan yg ditandatangani rektor langsung, plus omelan dan kekecewaan ortu, maka perasaan saya langsung legaaa. Tinggal mikir kedepannya mesti ngapain, tapi malah lebih jelas ndak ada stress lagi. Ndak jadi sarjana ora patheken. :cengir:

:ngopi:

GiKu
09-05-2014, 05:09 PM
jadi orientasinya semacam gengsi sesaat ya, mbah

btw, sebelum UN banyak sekolah2 mengadakan acara doa bersama sampe nginep2 di sekolah dengan tujuan para siswa/i dapat lulus UN
belum denger ada yang berdoa dg tujuan ilmunya bisa bermanfaat
::ungg::

opera
09-05-2014, 05:17 PM
disini memang masih salah kaprah...
dikiranya klo nilai matematika jelek = bodoh = gak bisa maju = gak bisa jadi orang sukses
sama aja ngetest ikan manjat pohon ( kata siapa ya ini ) padahal dia jago renang

234
09-05-2014, 05:46 PM
jadi orientasinya semacam gengsi sesaat ya, mbah

btw, sebelum UN banyak sekolah2 mengadakan acara doa bersama sampe nginep2 di sekolah dengan tujuan para siswa/i dapat lulus UN
belum denger ada yang berdoa dg tujuan ilmunya bisa bermanfaat
::ungg::
Bisa jadi ada unsur tsb (gengsi sesaat). Tapi bukan itu poin saya. Lebih kena pake istilah "cemas sesaat". Tapi kalo "sesaat" itu relatif lama maka semakin lama perasaan cemas tsb akan bisa semakin menggumpal yg bisa berujung pada bentuk sikap paling fatal berupa bunuh diri, tergantung sejauh mana "kekuatan mental" ybs dlm menghadapi rasa cemas ts.

Btw, pengalaman setahun lalu waktu sulungku ikutan UN SMP, saya malah memperlakukannya "bak seorang raja". Ndak boleh stress, mboknya saya suruh "puasa cerewet" selama anakku UN, tiap hari saya yg anterin langsung ke sekolah selama UN, saya ajak terus becanda hahahihi tapi scr terselubung kasih semangat n motivasi ke anak, bahkan selalu saya tanamkan sugesti "pokoke kamu pasti bisa, halagh UN sih masalah cemen itu, bukan dhemit yg harus ditakuti, dst..dsb."

Dan alhamdulillah hasilnya lumayan kok, cuman tetep aja sambil becanda saya ledekin ke si tole, "kok ndak bisa dapet nilai 10 semua?" :mrgreen: Pas ambil nilai UN wali kelasnya coba mau ngasih surprise ke saya pas ngasih amplop tertutup ke saya dia bilang "bapak jgn kaget lihat nilainya ya..." Setelah saya buka dan tahu nilainya wali kelasnya malah yg "kaget" sambil bilang "kok biasa2 aja ndak surprise sih pak?!" *mungkin dia membayangkan setelah buka amplop saya akan langsung berdiri mengangkat tangan keatas dan jalan muter2 sambil teriak "goooolll...goooolll..."* :D

:ngopi:

TheCursed
09-05-2014, 06:00 PM
^Lebih lucu lagi, pas kepala sekolah gue dulu nyerahin surat kelulusan gue di atas podium... dan baru tau, setelah tiga tahun nguplek di sekolah beliau,... baru tau kalo gue cowok...

nggak tau mau ::arg!:: atau ::ngakak2:: .



BTW, seriusnya, gue masih agak bingung, jaman gue sekolah dulu, dari SD sampe SMA, target 'lulus' tuh bahkan nggak masuk ekuasi gerombolan gue.
Target kita dulu, honestly, 'be the best in the game'. For the bragging rights. ;D

So, betul-betul atas nama semangat ingin tau, Apa ujian UN sekarang segitu susahnya ?
Gue dari jurusan IPA, So ada yang bisa berbaik hati ngasi contoh soal FIS, BIO, MAT atau KIM dari UN yang relatif baru biar gue bisa dapet klarifikasi ?

GiKu
09-05-2014, 06:08 PM
^
jaman gw dulu, WC cowok/cewek dipisah

234
09-05-2014, 06:49 PM
Kalo soal yg konyol2 kayaknya saya udah kenyang deh waktu jaman sekolah. Cuman harga yg harus dibayar cukup mahal. DO. :cengir:

*sekarang cuman bisa "ngiri" aja pas 2thn lalu dapet kontaknya lagi teman dulu eks "saingan" di kelas ternyata sekarang didepan namanya udah ada embel2 Professor dan dibelakang namanya ada tambahan PhD plus sederet gelar yg saya ndak mudheng soale gelar dr LN semua. semua di bidang fisika lagi. padahal dulu temen barengan nyontek saya* ;D

Oops...sori oot... ::maap::


Apa ujian UN sekarang segitu susahnya ?
Menurutku biasa2 kok. Cuma bedanya, CMIIW, kayaknya kejar targetnya yg lebih berat shg ndak semua anak bisa "tahan". Dulu jamanku dapet nilai 7 itu udah cukup, 8 mau nyari apa lagi, 9 anggap aja bonus, 10 kalo pas ada cewek yg lagi ditaksir. :mrgreen: Kalo sekarang kayaknya standard nilainya udah lebih tinggi. Saya pernah sempet ter-bengong2 pas ambil nillai rapor anakku dapet "teguran" dari wali kelas karena nilainya (lupa mapelnya apa) "cuma" 8. ::doh:: Katanya minimal harus 8.5. Dus nilai 8 itu adalah "nilai merah". ::arg!::

BTW di sekolah anakku yg SMA masuk tahun lalu, passing grade untuk bisa diterima nilai UN nya 37.4, artinya nilai rata2nya minimal 9.3 dari total 4 mapel (MAT, IPA, IND, ENG). Itupun karena thn lalu nilai UN rata2 scr nasional turun. Dulu, katanya, sempet di sekolah tsb passing grade nya nilai rata2 harus 9.7 baru bisa diterima. ::arg!::

:ngopi:

TheCursed
09-05-2014, 07:02 PM
....
Menurutku biasa2 kok. Cuma bedanya, CMIIW, kayaknya kejar targetnya yg lebih berat shg ndak semua anak bisa "tahan". Dulu jamanku dapet nilai 7 itu udah cukup, 8 mau nyari apa lagi, 9 anggap aja bonus, 10 kalo pas ada cewek yg lagi ditaksir. :mrgreen: Kalo sekarang kayaknya standard nilainya udah lebih tinggi. Saya pernah sempet ter-bengong2 pas ambil nillai rapor anakku dapet "teguran" dari wali kelas karena nilainya (lupa mapelnya apa) "cuma" 8. ::doh:: Katanya minimal harus 8.5. Dus nilai 8 itu adalah "nilai merah". ::arg!::
...

8 nilai merah ?
The HELL ...?!
Nggak heran pada stress.... ::arg!::
Kalo 8 nilai merah. Angkatan gue dulu bisa DO semua.... ;D

BTW, serius, 8 nilai merah itu kebijakan dari mana sih ?
Ada yang tau ?

Kami dulu 5, baru nilai merah. Itupun karena emang beneran di tulis pake tinta merah.

Walaupun, iya, setelah mengarungi lautan Interwebs, gue menemukan ternyata soal2 UN-nya, 'level derita'-nya 11-12 sama jaman gue dulu.

tuscany
09-05-2014, 07:17 PM
Kalau saya nggak mau menyalahkan siapa-siapa.
*sok bijak ::elaugh::

Cuma mau menyalahkan sistem. Selama pendidikan masih dibuat sekolah favorit versus non favorit, maka pressure ke anak dan (gengsi) ortu tetap ada. Mestinya sih agenda utama kementerian pendidikan adalah pemerataan kualitas pendidikan, pengecualian sekolah swasta bonafid yang memang pasarannya orang berduit. Jadi besok-besok pas mau ujian belajarnya lebih konsen, nggak ada pikiran ntar dapet nggak sekolah bagus karena semua sekolah bagus.

cherryerichan
09-05-2014, 07:54 PM
sebenernya ada sih trik un ini. tapi eke mingkem aja aaaah...
tatuuuut..hahahaaaaay.

234
09-05-2014, 09:43 PM
BTW, serius, 8 nilai merah itu kebijakan dari mana sih ?
Ada yang tau ?
Kebijakan sekolah ybs. Memang ndak benar2 merah (makanya tak kasih tanda petik) dlm arti meskipun "merah" (dibawah 8) tapi tetap aja naik kelas.

Di SMP anakku yg lalu (SMPN eks RSBI) standard tsb dibuat berjenjang. Saya udah lupa angka persisnya berapa, tapi misalnya aja begini...

Pas kelas satu standard nilai MAT minimal harus 7, lalu di kelas dua dinaikkan jadi 8 dan kelas tiga naik lagi jadi 8.5 dst.

Itu hanya misal aja lho soale saya beneran lupa detailnya bahkan memang ndak pernah niat ngapalin. Tapi kurang lebih modelnya begitu. Tentu saja, meskipun ini hanya tersirat, maksud sekolah ybs ya untuk mengangkat "rating sekolah". Jor2an nyari predikat "sekolah favorit". Dan itu sekolah negeri lho. ::doh::


Selama pendidikan masih dibuat sekolah favorit versus non favorit,...
Setuju. Dan sistem penerimaan dgn hanya nilai murni UN (tanpa tes seleksi) yg saya singgung diatas itulah yg semakin menegaskan munculnya sekolah "favorit vs non-favorit" tsb. Yg "favorit" akan semakin favorit dan yg "non-favorit" akan tambah terpuruk. Makin memperjelas "gap", mau ndak mau, diakui atau ndak diakui, tapi memang itulah yg terjadi sbg dampak sistem tsb. IMO.

Itulah kenapa, dugaanku aja lho tapi ini sangat logis, tahun lalu banyak sekolah swasta yg mundur ndak mau gabung lagi pake sistem penerimaan online. Itu, sekali lagi, sangat logis mereka menolak lha kalo ikutan ujung2nya cuma terima limpahan siswa "sisa2 buangan" yg terlempar dari sekolah negeri favorit. ::doh::

Makanya banyak sekolah swasta yg "curi start" sebelum masa kelulusan udah berani terima siswa baru dan harus bayar uang muka yg ndak bisa ditarik kembali kalo kemudian anak ybs diterima di sekolah negeri. Memang ini bisa dipandang sbg praktek "kotor", tapi ya apaboleh buat menurutku memang itulah cara "cerdik" sekolah untuk bisa dapetin kandidat anak2 potensial bisa masuk ke sekolah itu. Setidaknya ini bisa jadi upaya pemerataan, menghindari penumpukan "siswa2 pintar masuk sekolah favorit" dan disisi lain "siswa2 kurang pintar masuk sekolah non-favorit" yg akan bikin tambah lebar jurang pemisahnya aja.

:ngopi:

mbok jamu
10-05-2014, 10:05 AM
@Mbak Mbok

Biasanya sih nanti terus ada yg menimpali "kejadian yg menimpa Onik adalah sebuah fenomena gunung es". Heboh deh jadinya. :mrgreen:

Masyarakat kita memang masih suka yg heboh2 kok mbak Mbok. Celakanya itu seringnya justru ndak pernah bisa menyentuh ke inti persoalan yg sesungguhnya. Lha gimana mau bisa berpikir jernih kalo sambil heboh. Dan hebohnya paling juga sebentar, lalu masalahnya menguap dilupakan begitu saja ditelan kehebohan masalah lain silih berganti. Begitulah potretnya. ;D

:ngopi:

Waktu masih kecil, kakak temen mbok ada yang pernah mencoba bunuh diri, minum cairan pembunuh serangga. Sampai sekarang mbok ndak tahu kenapa, yang jelas orangtuanya malu banget. Malu karena sebagai orangtua mereka ndak bisa melihat bahwa anaknya sedang bermasalah and the child didn't trust them enough to talk to them.

Jaman sekarang semua diberitakan, masalah individu dilemparkan ke masyarakat. Masyarakat disuruh mikir sementara individu itu sendiri bersikap seakan-akan ndak ada yang salah pada mereka. Masyarakat latah ngurusin masalah orang pada diri sendiri punya masalah yang harus diselesaikan. Si individu tadi tetap jadi pecundang, wong ndak merasa bertanggungjawab menyelesaikan masalahnya sendiri.

Ronggolawe
10-05-2014, 10:15 AM
8 nilai merah ?
The HELL ...?!
Nggak heran pada stress.... ::arg!::
Kalo 8 nilai merah. Angkatan gue dulu bisa DO semua.... ;D

BTW, serius, 8 nilai merah itu kebijakan dari mana sih ?
Ada yang tau ?

Kami dulu 5, baru nilai merah. Itupun karena emang beneran di tulis pake tinta merah.

Walaupun, iya, setelah mengarungi lautan Interwebs, gue menemukan ternyata soal2 UN-nya, 'level derita'-nya 11-12 sama jaman gue dulu.

itu akibat budaya "tiger mom" yang merasuki banyak
keluarga "modern" di kota-kota besar Indonesia. Aki
batnya secara spartan anak-anak ini di les tambahan
setiap hari untuk mendapatkan nilai sempurna ~9,2 an
nilai minimal untuk bersekolah di SMA Negeri Top Ten
se Jakarta :)

Urzu 7
10-05-2014, 01:35 PM
Bersyukurlah yang angkatan jaman dulu bisa lulus walau pas2an

neofio
10-05-2014, 01:45 PM
Bersyukurlah yang angkatan jaman dulu bisa lulus walau pas2an


::ngakak2::

tau aja...... nasib qta

TheCursed
11-05-2014, 01:50 AM
....bersekolah di SMA Negeri Top Ten
se Jakarta :)

Bahagia punya ortu yang cuman bilang:"yang penting kamu masuk sekolah negri yang nggak berantem, soalnya bapak ngga sanggup bayarin yang mahal2." ;D

Ronggolawe
11-05-2014, 07:23 AM
itulah.... sulit untuk menjadi siswa yang mencintai
(proses) pembelajaran secara "tulus" hari ini...

234
11-05-2014, 10:23 AM
Bahagia punya ortu yang cuman bilang:"yang penting kamu masuk sekolah negri yang...
Masalahe, ndak ada sekolah (SMA) negri yang...passing/entry grade nya untuk nilai UN rata2 dibawah 8.

Seperti kata Kang Ronggo, untuk Top Ten se Jakarta minimum rata2 9,2. Dan setahuku, untuk SMAN 3 Bandung thn lalu juga +9,2.

Untuk Jogja (kodya) thn lalu, SMAN 3 +9,3 dan SMAN 1 +9,2. Untuk SMAN "paling buncit" yg lokasinya udah mepet, maaf, mBantul passing gradenya masih sekitar +8,3.

Jadi kalo nilai UN pas2an gimana ceritanya bisa masuk sekolah negri? :mikir:

Note: Tentu saja untuk kota2 lain bisa saja angkanya berbeda tapi, poin saya, hasil nilai UN adalah syarat mutlak untuk bisa masuk sekolah negri.

Itulah poin yg saya "tentang" dlm posting2 saya sebelumnya. Dan ini sangat2 obyektif lho. Soale kalo mau subyektif mestinya saya harus berterima kasih dgn sistem tsb, lha wong gara2 sistem itu tahun lalu anakku bisa bebas milih sekolah negeri dimana aja kok, bahkan yg paling favorit sekalipun, shg sbg ortu saya jadinya ndak perlu repot pusing nyari2 sekolah. :mrgreen:

:ngopi:

Ronggolawe
11-05-2014, 10:35 AM
masalah nya nilai tersebut hanya bisa diraih dengan
2 cara, yaitu belajar sparta atau bocoran soal UN :)

Budaya "spartan" ini bener-bener bikin masa sekolah
tidak lagi menyenangkan.

234
11-05-2014, 11:02 AM
Muncul juga prejudice... :cengir:

Anakku tiap Sabtu pagi berenang lanjut futsal sampe sore, hari Minggu kadang ngeband. Di rumah tiap hari becanda hahahihi... :)

*sekarang di Jogja malah nambah lagi basket, caving dan naik gunung. untung dia ndak sekalian ikutan klub standup comedy* :mrgreen:

:ngopi:

---------- Post Merged at 10:02 AM ----------

Oya satu hal lagi... :mrgreen:

Kemarin pas habis pengumuman diterima di SMAN 3 Jogja ada kesempatan tes lanjutan untuk masuk test akselerasi (kelas percepatan 2thn). Pas saya tanya mau ikutan test ndak, anakku njawab: "Halagh ngapain yah sekolah cepet2..., ndak asik kaleee..." :)

:ngopi:

Ronggolawe
11-05-2014, 11:12 AM
bukan prejudice, tapi memang begitu mbah Djie...

Kebetulan ane memang sering main ke SMP dan SMA
Negeri di bilangan Jakarta, jadi sering ngobrol dengan
beberapa guru dan mengamati perilaku para siswa.

para siswa potensial biasanya dituntut untuk senan
tiasa dalam kondisi "near perfect" setiap hari dalam
menghadapi ujian/ulangan... bahkan nilai 95 dan 91
itu sudah sangat jauh jaraknya (dizaman ane sih, itu
sama-sama 9) :)

kebetulan, dulu dikampus ane banyak lulusan Tarnus
yang nilai UN mereka berkisar 8,8-9,2 dan rata-rata
Ranking UMPTN mereka berada di 100 besar Nasional,
Kalau mendengar cerita mereka persiapan UN dan UM
PTN, banyak dari kami (rata-rata lulusan SMAN Top5
se-Bandung) pada melongo kok ada ya manusia bak
robot seperti itu? :)

lah ini, 9,2 nilai minimum?


PS:
Kalau anaknya Mbah Djie kan kasus khusus, itu bisa di
lihat dari bapaknya :)

#kabooordotkom :)

234
11-05-2014, 12:50 PM
Iya sih, sistem yg sekarang memang sangat mendorong model belajar "spartan" seperti itu. Disitulah perlunya sikap dan peran ortu untuk bisa lebih bijak krn biar bagaimanapun harusnya ortu lah yg paling tahu kondisi anak, baik kondisi kapasitas "intelektual" si anak dan yg lebih penting lagi kapasitas mentalnya.

Saya juga pernah cerita di tret sebelah kok bahwa yg masih agak "memusingkan" saya sekarang adalah kondisi anak kedua saya. Sisi intelektualitas bagi saya ndak terlalu penting (tapi bukan berarti ndak penting lho), tapi mentalnya yg menurutku masih "kurang tangguh" itu yg bikin kuatir. Tapi beruntung dia masih kelas 4 SD ditambah lagi saya denger mulai tahun ini saringan masuk SMPN ndak pake ukuran UN lagi, bahkan denger2 UN untuk SD akan dihapus.

Jadi saya masih cukup waktu untuk "menggembleng mentalnya" sampe nanti menjelang masuk SMA, untuk menjadikan aktifitas sekolah sebagai sesuatu yg "menyenangkan" atau minimal ndak terlalu menjadi beban bagi anak.

Dan syukur2 nanti kedepannya UN sudah ndak jadi satu2nya tolok ukur saringan masuk SMA lagi. Ini sebenarnya poin (sistem) yg saya tentang.

UN sebagai satu2nya tolok ukur masuk ke jenjang sekolah berikutnya (SMAN) itu udah salah kaprah!

Namanya aja ujian kelulusan (jenjang sekarang), lha kok malah dijadikan ujian masuk (ke jenjang berikutnya). Bahkan pada prakteknya, UN tidak sepenuhnya mempengaruhi kelulusan siswa krn kelulusan siswa lebih banyak ditentukan oleh ujian sekolah, bukan UN. ::doh::

Itu jelas2 salah kaprah. Dan itu yg menjadikan UN, yg sekarang, menjadi sangat "sakral". UN menjadi se-gala2nya bagi anak sekolah. Kalo gagal, konsekuensi terburuknya ya sampe kayak kasus Onik diatas. ::arg!::

Anyway saya tetap setuju adanya UN, dgn fungsi dan tujuan sbg salah satu alat ukur menilai (sistem) pendidikan yg sedang berlangsung, memetakan pemerataan pendidikan antar daerah, dll. Tapi saya tidak setuju UN dijadikan sbg ukuran, apalagi satu2nya ukuran, saringan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Itu poin saya dari awal. :)

:ngopi:

TheCursed
11-05-2014, 07:18 PM
Masalahe, ndak ada sekolah (SMA) negri yang...passing/entry grade nya untuk nilai UN rata2 dibawah 8.

Seperti kata Kang Ronggo, untuk Top Ten se Jakarta minimum rata2 9,2. Dan setahuku, untuk SMAN 3 Bandung thn lalu juga +9,2.

Untuk Jogja (kodya) thn lalu, SMAN 3 +9,3 dan SMAN 1 +9,2. Untuk SMAN "paling buncit" yg lokasinya udah mepet, maaf, mBantul passing gradenya masih sekitar +8,3.

Jadi kalo nilai UN pas2an gimana ceritanya bisa masuk sekolah negri? :mikir:
...

itu yang Top Ten.
Kalo yang nomor 99 dari top 100, misalnya, berapa ?

BTW, skor passing itu di tetapkan sekolah atau Diknas ?

234
11-05-2014, 08:57 PM
itu yang Top Ten.
Kalo yang nomor 99 dari top 100, misalnya, berapa ?
Untuk wilayah Jakarta saya ndak tahu. Saya hanya pernah tahu untuk wilayah Jogja aja soale waktu itu memang sedang berkepentingan buat sekolahkan anakku disana. Seingatku, SMAN "paling non-favorit" di Jogja waktu itu passing grade nya masih 33 koma sekian atau secara nilai rata2 UN masih berkisar di angka 8,3. Artinya, pada periode tsb, untuk nilai UN dibawah itu (rata2 8,3) jelas ndak bakalan bisa masuk sekolah negeri (SMA Negeri) di seluruh wilayah Kodya Jogja. Dus bisa juga dibilang, nilai dibawah 8.3 adalah "nilai merah". :mrgreen:

Tapi seperti saya bilang sebelumnya, untuk tiap wilayah angkanya bisa berbeda. (Kodya) Jogja, Bandung dan (sebagian) DKI prediksiku angkanya kurang lebih segitu, paling beda2 tipis aja.


BTW, skor passing itu di tetapkan sekolah atau Diknas ?
Oleh "pasar", bukan oleh Diknas bukan oleh sekolah. Itu hanya semacam angka statistik aja, dus tiap tahun bisa berubah tapi ndak bakalan meleset jauh. Faktor lain yg menentukan adalah hasil sebaran nilai UN thn yg bersangkutan, baik per daerah maupun scr nasional.

:ngopi:

TheCursed
11-05-2014, 09:54 PM
...
Oleh "pasar", bukan oleh Diknas bukan oleh sekolah...
:ngopi:

'Da F**kkk ????
Kalo gitu UN beneran nggak fungsi apa2. Karena fungsi utamanya sebagai pengevaulasi hasil belajar anak, toh, nggak kepake juga, kalo endingnya di tentukan oleh 'pasar'. ::arg!::::arg!::::arg!::

Ini sih, bener kata Prof gue di sini, 'Bukan UN-nya yang salah, tapi sistemnya yang ngaco'.
Endonesah... Endonesah... makin f**ked up aja ente... ::doh::

Buat gambaran perbandingan sama jaman gue dulu. Waktu gue masuk SMU dulu, skor rata2 6 masih masuk di SMU gue yang katanya termasuk 10(atau 20 ? gue lupa) besarnya Jakarta.
Batas minimum lulus SMP, seinget gue sekitar rata2 4-5, masih punya kemungkinan masuk SMU negri yang sama sekali nggak punya nama di Jakarta pinggiran.

Edit:
2013, SMUN 15 Jakarta masih menerima siswa dengan skor 6.275 dengan nilai masuk rata2 6.59.

Sementara mantan SMU gue... nilainya, setelah di tinggal gerombolan gue, makin fantastis... ;D
Gue nggak yakin 'fun' buat belajar di sana masih ada. ::nangis::
Mungkin bagusan dulu waktu kita masih 'merintis di scene underground' dan 'Indie label', ketimbang kondisi sekarang yang udah tenar dan ikut jalur 'Major label'.

tuscany
11-05-2014, 10:03 PM
kenapa ya masih pada ingat skornya waktu mau masuk sma? kok aku enggak?

oh...soalnya nggak bagus-bagus amat jadi mending dilupakan saja ::elaugh::

Ronggolawe
11-05-2014, 10:09 PM
Buat gambaran perbandingan sama jaman gue dulu. Waktu gue masuk SMU dulu, skor rata2 6 masih masuk di SMU gue yang katanya termasuk 10(atau 20 ? gue lupa) besarnya Jakarta.
nah itu...
Akibat "Tiger Moms" muncul banyaknya bimbel ini
itu, jadinya passing grade nya naik menjadi ~9an
untuk masuk SMAN top 10 :)

Ditambah soal UN yang ikut Standar Olimpiade se
gala (kalau gugling bisa dilihat ada kaitan antara
soal UN dan Olimpiade Sains Nasional) menjadi naik
tingkat kesulitannya (bahkan peserta OSN pun bia
sanya cuma fokus di satu mata pelajaran).

Dulu sekali waktu JK naikin standar kelulusan UN
dari 3-an ke 4-an lalu ke 5-an, dan banyak yang
komplen gw nganggap itu yang komplen anak ma
las... tapi sekarang ketika standar minimum kelu
lusan dihilangkan, ada cengkraman baru, hanya
yang cukup mampu menyekolahkan anak + Bimbel
yang barangkali berkali lipat biaya sekolah, yang
dapat akses wajar untuk memasuki PTN :)

TheCursed
11-05-2014, 10:31 PM
nah itu...
Akibat "Tiger Moms" .....

Ngeliat komentar ini... Way to go 'Rents ! You just murderized your sons and daughter ! ... And still dare, after that to put the blame on others... ::doh::
Geh, jadi makin males pulang ke Indo... ::grrr::

Komparasi, jaman gue dulu yang gue tau dari angkatan gue di SMU, yang ambisius itu anak2nya.
Orang tua bertugas mengawasi anak2 tersebut dalam usaha mereka mencapai ambisi tersebut.

OK, emang ada temen gue yang keluarga-nya(nggak cuma orang tuanya) yang 'tiger'.
Tapi itupun, dalam populasi satu kelas(atau, kalo gue berani, 2-3 kelas), seinget gue cuma ada satu orang yang kayak gitu.
And, yeah, he was a mess between UN and UMPTN.

234
11-05-2014, 10:38 PM
Kalo gitu UN beneran nggak fungsi apa2. Karena fungsi utamanya sebagai pengevaulasi hasil belajar anak, toh, nggak kepake juga, kalo endingnya di tentukan oleh 'pasar'.
Untuk saat ini: YA. Atau lebih tepatnya, fungsinya udah salah kaprah.

:ngopi:

Ronggolawe
11-05-2014, 10:46 PM
Komparasi, jaman gue dulu yang gue tau dari angkatan gue di SMU, yang ambisius itu anak2nya.
Orang tua bertugas mengawasi anak2 tersebut dalam usaha mereka mencapai ambisi tersebut.
idealnya kan disitu :)

ketika anak-anak "nerd" ini mendapatkan sarana
yang pas buat mereka, ngga sulit lah kalau cuma
mau dapat nilai UN diatas 9,5 (tapi gw masih ngga
habis pikir bagaimana caranya dapat nilai 9 untuk
Bahasa Indonesia?)

Ketika anak-anak ini dengan keSADARannya sendiri
berkeinginan untuk memiliki capaian tertentu seca
ra akademik, tentunya keSADARan tersebut yang
akan membuatnya fokus pada proses dan goal yang
jauh di depan, bukan sekedar nilai UN.

---------- Post Merged at 09:46 PM ----------



2013, SMUN 15 Jakarta masih menerima siswa dengan skor 6.275 dengan nilai masuk rata2 6.59.

Sementara mantan SMU gue... nilainya, setelah di tinggal gerombolan gue, makin fantastis...
mungkin gara-gara gerombolan loe, tuh SMA jadi
naik pamor.... :)

TheCursed
11-05-2014, 11:32 PM
....
mungkin gara-gara gerombolan loe, tuh SMA jadi
naik pamor.... :)

Oh, Heck No, Bro. You do not pile this sh1t on us.

dan soal UN di atas 9.5... Hell, bahkan angkatan gue yang nggak punya skor UN segitu aja, ternyata nggak bisa di bilang bodoh. Karena, sederhananya, banyak diantara mereka lebih fokus pada pengetahuan yang memang nggak di ujikan di UN. I.e. mereka yang fokus di bidang bahasa sampe, actually I think, kalo di ukur dengan alat ukur UN, she literally break the scale without even trying(the entire class sported 'What The F**k' face, when the scores announced ).

Walaupun memang, kalo cuma sekedar lulus, bahkan bocah2 'nggak niat' ini-pun, punya skor rata2 yang jauh di atas memuaskan. Itu anak emang pengennya masuk sastra UI.

Then again, actually, NONE of US Did. Nggak ada angkatan gue yang punya skor sampe 9.5.

Barusan diskusi sama Prof gue di sini, ternyata Indonesia, atau pastinya Jakarta mencanangkan program wajib belajar 12 tahun, ya ?
So, ngutip dari pak Prof, seharusnya dengan pernyataan ini pemerintah Indo memberikan jaminan bahwa semua yang lulus UN, bisa di tampung di sekolah Negri.
Dan, konsekuensinya, kalo lulus UN, dan nggak ketampung, peserta UN bisa nuntut pemerintah ke pengadilan. Seharusnya....

tuscany
12-05-2014, 12:15 AM
Good point. More school, please!
Oh wait...anggaran negara abis buat subsidi BBM sama gaji PNS dan dikorupsi.

Anggaran pendidikan 20% kalo beneran buat pendidikan - bukan buat bayarin gaji guru PNS yang semakin lama semakin banyak, tunjangan sertifikasi guru dan berentetan proyek penunjang dari pemerintah - maka nggak lama kok ngejar kualitas pendidikan dunia, mestinya.

Ronggolawe
12-05-2014, 12:32 AM
gw sampai sekarang sangat cenderung "menyalahkan"
budaya "tiger parenting" yang ngga jelas urusannya
apa dan mau kemana, kecuali masalah gengsi dan am
bisi yang ngga jelas.

apalagi kalau bicara kualitas pendidikan dunia, maka
indikator bodohnya tentu saja misalnya, Nobel Prize,
atau daya tawar Profesional Worker lulusan Indonesia
atau kalau di akademik, seberapa banyak Jurnal Ilmiah
yang berasal dari Akademisi Indonesia.

kalau itu tujuan nya, tentu kita ngga boleh menutup
peluang bagi mereka yang punya potensi, tapi karena
keterbatasan tidak bisa masuk PTN yang kondusif ba
gi karir akademiknya.

gw ngga tahu apakah sistem penerimaan PTN sekarang
yang menggunakan kuota:
1. 50% penerimaan langsung, berdasarkan nilai UN, rapor
SMA, dan Reputasi SMA (yang disaring lewat UN SMP
dan harus dibayar mahal lewat berbagai bimbel dll).

2. 30% penerimaan via SMBPTN (UMPTN dulu)

3. 20% penerimaan via SMPTN (Ujian Mandiri PTN) yang
biasanya berat ke Uang Pembangunan,

cukup adil?
Apakah dengan pola ini, akan muncul Hans Wospakrik
muda misalnya?

TheCursed
12-05-2014, 12:58 AM
gw sampai sekarang sangat cenderung "menyalahkan"
budaya "tiger parenting" yang ngga jelas urusannya
apa dan mau kemana, kecuali masalah gengsi dan am
bisi yang ngga jelas.
...

Gue ngeliat malah 'Tiger Parenting' ini penyakit tambahan yang muncul gara Sistem Pendidikan yang 'begitulah'.

Analogi-nya kayak orang yang menderita Pneumonia gara2 HIV.
'Pneumonia'-nya emang penyakit, tapi nggak akan bisa sembuh selama 'HIV'-nya nggak di basmi.

So, Tiger Parenting-nya emang masalah, tapi Tiger Parenting sendiri nggak bisa 'di obati' selama sistem pendidikan Indonesia masih belom bisa 'keep their sh1t together'.

234
13-05-2014, 05:34 PM
Iseng2 saya jadi inget hasil UN SMP periode 2011/2012 yg didominasi oleh siswa dari Bali yg kebetulan sedaerah dgn Onik.


Hasil Un SMP TOP 15

1. Ni Putu Tamara Bidari Suweta dari
SMPN 1 Denpasar Bali dengan nilai UN
sempurna 40,00.
2. Novia Meizura dari SMPN 49 Jakarta
dengan nilai UN 39,80.
3. Amalia Adinugraha Arisakti dari
SMPN 5 Semarang dengan nilai UN
39,80.
4. Anggi Indah Safitri dari SMPN 1
Bondowoso dengan nilai UN 39,80.
5. Adella Felita Tantra dari SMPN 1
Denpasar Bali dengan nilai UN 39,80.
6. Julia Justina dari SMPN 1 Denpasar
Bali dengan nilai UN 39,80.
7. Made Surya Dharmawan dari SMPN
1 Denpasar Bali dengan nilai UN
39,80.
8. I Putu Arya Aditya Nugraha dari
SMPN 1 Denpasar Bali dengan nilai UN
39,80.
9. Gede Fajar Satria dari SMPN 1
Denpasar Bali dengan nilai UN 39,80.
10. Ketut Nindy Rahayu Sugitha dari
SMPN 1 Denpasar Bali dengan nilai UN
39,80.
11. Ida Bagus Gde Ananta Mahesvara
dari SMPN 1 Denpasar dengan nilai UN
39,80.
12. I Wayan Govinda Gotama Putra
dari SMPN 1 Denpasar Bali dengan
nilai UN 39,80.
13. I Gusti Ngurah Agung Putra
Agniveda dari SMPN 1 Denpasar
dengan nilai UN 39,80.
14. Rico Wijaya dari SMPN 1 Denpasar
dengan nilai UN 39,80.
15. Adelia Suriyanti dari SMP Kristen
Penabur dengan nilai UN 39,80.
Note: Total jumlah soal UN adalah 180 soal yg terdiri dari IND=50, ENG=50, MAT=40 dan IPA=40. Jadi nilai UN 40,00 artinya sapu bersih semua soal. Nilai UN 39,80 artinya salah satu dari 180 soal dan salahnya di mapel bahasa, biasanya bhs IND, krn jika salahnya di mapel eksak (MAT ato IPA) maka total nilai UN cuma 39,75.

Lalu bagaimana dgn gambaran umum SMP di Bali? Inilah jawabnya: (Note: Ini untuk periode 2012/2013 yg justru nilai rata2nya turun dibandingkan 2011/2012)


Dari sisi sekolah di Bali, SMPN 1 Denpasar juga mendapat ranking satu peraih rata-rata nilai UN murni tertinggi dengan rata-rata nilai siswa 39,18. Pada posisi kedua dipegang SMPN 3 Denpasar dengan rata-rata 35,00, dan ranking tiga diperoleh SMPN 10 Denpasar (34,16).

Posisi 4 sampai 12 besar di Bali, berturut-turut dipegang oleh SMP Dwijendra Bualu (33,92), SMPN 4 Kuta Selatan (33,73), SMPN 1 Sukawati (33,33), SMPN 1 Kuta (33,30), SMPN 1 Gianyar (33,08), SMPN 12 Denpasar (33,00), SMP Nasional Plus Widiatmika (32,92), SMP Raj Yamuna Denpasar (32,69) dan SMPN 1 Ubud (32,69).
Edyaaan! Ternyata nilai 8 (32/4) di SMP di Bali adalah "nilai merah". Gimana Onik ndak stress?! ::doh::

Note: Bahkan saya pribadi rasa2nya sangat sulit untuk membuang jauh2 sikap "prejudice" dgn hasil2 diatas.


Hariadi, guru Agama Budha SMPN 1 Tabanan yang selama ini cukup mengenal Onik, mengatakan bahwa muridnya itu tergolong paling menonjol kemampuan akademiknya.
Lalu bagaimana dgn siswa-siswi lain yg tidak semenonjol Onik?! ::arg!::

:ngopi:

tuscany
13-05-2014, 05:44 PM
Yang tidak semenonjol Onik mungkin lebih mampu menerima keadaan, deal with it, struggle and move on.

234
13-05-2014, 06:33 PM
Yup. Oleh sebab itulah, seperti yg udah saya singgung didepan, bagiku "kapasitas mental" (termasuk sikap, adab, perilaku, dll) itu lebih penting daripada "kapasitas intelektual".

Dan saat ini, dlm konteks (sistem) pendidikan, urusan kapasitas intelektual itu udah dikuasasi oleh "pasar" (masyarakat, sekolah, diknas, dst.) Pemilihan materi mapel UN berupa MAT, IPA, IND dan ENG itu sendiri sangat jelas mengindikasikan hal tsb. Bidang eksak (MAT/IPA) dan bahasa (IND/ENG) itu adanya di "otak kiri". Sedangkan urusan "otak kanan", secara umum, udah banyak diabaikan dlm sistem pendidikan kita sekarang.

Mestinya poin itu yg harus dibenahi.

Tapi bagaimanapun, ada ungkapan yg berbunyi "jika kamu tidak mampu mengubah keadaan sekelilingmu maka ubahlah (persepsi dalam) diri kamu sendiri".

Tapi sayangnya ungkapan tsb pun ternyata juga bisa jadi salah kaprah. Kalo, misalnya, sekelilingnya korupsi dan ternyata sulit diberantas maka akhirnya yg lain malah jadi pada ikutan korupsi.

Krn itulah ungkapan diatas belumlah cukup, tapi perlu dipadukan dgn sebuah ungkapan asli warisan para leluhurku, yaitu "anglaras ilining banyu, angeli nanging ora keli".

*hadeuh barusan saya kesambet apaan yak kok malah jadi ngelantur ndak jelas...* ::maap::

:ngopi:

TheCursed
13-05-2014, 08:14 PM
Yup. Oleh sebab itulah, seperti yg udah saya singgung didepan, bagiku "kapasitas mental" (termasuk sikap, adab, perilaku, dll) itu lebih penting daripada "kapasitas intelektual".

Dan saat ini, dlm konteks (sistem) pendidikan, urusan kapasitas intelektual itu udah dikuasasi oleh "pasar" (masyarakat, sekolah, diknas, dst.) Pemilihan materi mapel UN berupa MAT, IPA, IND dan ENG itu sendiri sangat jelas mengindikasikan hal tsb. Bidang eksak (MAT/IPA) dan bahasa (IND/ENG) itu adanya di "otak kiri". Sedangkan urusan "otak kanan", secara umum, udah banyak diabaikan dlm sistem pendidikan kita sekarang.
....

Actually, ngomongin "Otak Kiri" dan "Otak Kanan". Eksak Vs Sosial... IMHO sih, bahkan urusan otak mana yang di pake aja nggak terlalu penting kok sebenernya, kalo yang di cari itu cuma nilai.
Repetition ngapalin tipe soal aja. Itu yang paling gampang terlintas di kepala gue. Nggak perlu pake 'Otak Kiri', yang fungsinya buat memahami materi eksakta.

Gue yang ngajar di fak yang notabene mengutilisasi 'otak kiri' secara full aja, masih sering banget nemu mahasiswa/i yang flow berfikir-nya 'mlungker'. Padahal ini fitur standard banget buat orang2 yang mau bermain di bidang 'otak kiri'. Dan anak2 ini bisa masuk fak 'otak kiri', karena skor masuknya bilang begitu. ;D

Kesimpulan gue sementara: Dengan pola belajar orientasi skor, anak bisa di bikin tau 2+2 harus =4, tanpa harus mengerti apa arti simbol 2, 4, + dan =.
Dan itu, kalaupun dengan menggunakan kacamata 'otak kiri is the best', udah salah banget. ::grrr::

Kalo mau, contoh efek dari cara belajar ini yang lebih jelas lagi:
Anak bisa di bikin tau kalo 70 + 30 itu = 100, karena dia ngapal tabel tambah2an sampe =100; Atau, dia cuma harus tau arti simbol dan cara peggunaan bilangan arab 0-9, tanda + dan =.

dua2nya bikin anak bisa menjawab soal 70+30=?. Yang satu dengan menghapalkan kombinasi penulisan dari 100 macam operasi, yang lain hanya dengan memahami 12 macam simbol matematik. Cuman cara kedua yang pake otak kiri. Dua2nya bisa bikin anak dapet full score.
So, jadinya, kalo orientasi-nya cuma skor(yang diminta pasar, pula), bahkan exploitasi 'otak kiri'-pun sebenernya nggak perlu. ::arg!::

234
13-05-2014, 09:02 PM
Saya sebenarnya ndak mudheng kalo bicara teknis ttg otak-kiri vs otak-kanan soale blass ndak punya background ilmu psikologi, neurologi apalagi neuroscience, mangkanya saya nulisnya pake tanda petik.

Poinku, saat ini sistem pendidikan kita, bahkan lebih luas lagi sistem dan nilai2 yg tumbuh subur dlm masyarakat, hanya mengeksploitasi satu sisi tertentu aja dlm diri manusia sementara sisi yg lain banyak diabaikan. Entah itu mau diistilahkan sbg sisi otak-kiri vs sisi otak-kanan, eksak vs sosial, rasionalitas vs spiritualitas, intelektualitas vs akhlak, dst...dsb apapun istilah yg mau dipakai.

Shg munculah ketimpangan2, ketidak-seimbangan, kegalauan, stress,...bunuh diri.

Kembali ke masalah anak sekolah...:

Saya malah heran kalo ada ortu yg malah semakin mengeksploitasi sisi tsb pada anak2 mereka. Bimbel, les tambahan, privat, dll alih2 menciptakan keseimbangan tapi justru semakin memperbesar ketidak-seimbangan yg sudah ada pada anak. Make sense kalo anak2 sekolah sekarang banyak yg stress. Jangankan anak SMP, cerita anak SD bunuh diri pun bukan cerita aneh lagi.

Miris sebenarnya kalo melihat kondisi tsb. :(

:ngopi:

cherryerichan
13-05-2014, 09:22 PM
sepengalamanku..anak yg biasanya dikelas unggulan sukar menerima kekalahan. ada temen pas smp dapet nilai 8,5 buat ulangan sedang biasanya dapet 100, nangis ngamuk2 ampe tuh kertas ulangan dirobek robek. histeris bener. sekarang dah jadi dokter.. cuma ya itu,agak "dingin".

---------- Post Merged at 08:22 PM ----------

sementara yang otaknya pas pasan kayak diriku..dapet 8,5 anugerah banget. hiks hiks hiks

TheCursed
13-05-2014, 09:56 PM
....

Saya malah heran kalo ada ortu yg malah semakin mengeksploitasi sisi tsb pada anak2 mereka. Bimbel, les tambahan, privat, dll alih2 menciptakan keseimbangan tapi justru semakin memperbesar ketidak-seimbangan yg sudah ada pada anak. Make sense kalo anak2 sekolah sekarang banyak yg stress. Jangankan anak SMP, cerita anak SD bunuh diri pun bukan cerita aneh lagi.

Miris sebenarnya kalo melihat kondisi tsb. :(

:ngopi:

Orang tua juga jadi kayak gitu, karena nggak ada jaminan anak yang lulus ujian akhir sekolah bisa masuk sekolah negeri. Yang relatif lebih murah dan, diharapkan, memberikan pendidikan yang serius.

Jumlah sekolah negeri tersedia lebih sedikit dari jumlah calon siswanya. So, aturan ekonomi berlaku. Mereka bisa pilih2 siswa.
Lama2, karena begitu timpangnya antara demand dan supply bangku sekolahan, itu bangku bisa di lelang ala ebay. Dengan nilai UN sebagai 'mata uang'-nya. Makanya tiap tahun skor rata2 masuk sekolah negeri makin fantastis... orang tua makin berkompetisi dalam mempressure anak2nya.

TheCursed
13-05-2014, 10:17 PM
sepengalamanku..anak yg biasanya dikelas unggulan sukar menerima kekalahan. ada temen pas smp dapet nilai 8,5 buat ulangan sedang biasanya dapet 100, nangis ngamuk2 ampe tuh kertas ulangan dirobek robek. histeris bener...

Nah... nggak cuma anak kelas unggulan kok yang kayak gitu.

Respon kayak gitu berlaku sama semua orang yang merasa yakin menguasai trade-craft-nya, tapi ternyata bisa 'jatuh' gara2 satu hal yang 'silly' di mata dia.

Analoginya, kayak maen Starcraft, rasanya udah sampe level pro, tapi ternyata sukses di gulung sama baneling rush... ;D
Mengingat temen lo ini skornya rata2 hampir perfect, so, bakalan banyak banget hal yang di mata dia sebagai 'blunder'. :)

Gue inget master tenis lapangan jaman dulu, John McEnroe, yang punya kebiasaan nyumpah dan banting raket kalo sampe ketinggalan sekian point.
Ngamuk2nya dia di lapangan itu entertainment jadi entertainment juga... nyumpahnya 'warna-warni' banget. ;D